Anda di halaman 1dari 5

[01:44, 4/28/2020] S3 Asep: PENDIDIKAN KARAKTER DIMULAI DARI GURU BERKARAKTER

Penulis

 I GEDE ARIYASA

Pendidikan karakter yang didengungkan pemerintah tampaknya hanya menyentuh siswa sebagai
objek. Sementara guru ditempatkan sebagai subjek. Siswa harus dibiasakan dengan pengembangan
budi pekerti sehingga karakternya baik. Permasalahannya, bagaimana guru-guru yang memberikan
pendidikan karakter?  Apakah guru-guru yang memberikan pendidikan karakter sudah berkarater
baik? Jika ia, ini artinya pendidikan karakter kita mengasumsikan karakter guru-guru kita sudah baik.

Kita cermati bagaimana karakter anak-anak didik kita sekarang? Sudahkah mencerminkan karakter
baik gurunya? Sebuah ungkapan masyarakat Bali yang banyak dipakai untuk memberi nasehat,
mempunyai makna yang sangat dalam. Kénkénang nyampat apang kedas, yen sampaté ané anggon
nyampat misi tahi blék. Terjemahnnya secara bebas: bagaimana menyapu dengan bersih, kalau
sapunya berisi tahi ayam”

Makna implisit yang terkandung di dalamnya adalah, ketika kita memberikan nasehat, mendidik,
dsb., maka sebaiknya kita harus bersih dulu, paham, mengerti, dan menguasai apa yang menjadi isi
nasehat tersebut. Kalau dianalogikan, Bagaimana kita mengerti dan belajar persatuan bangsa jika
belajar dari orang yang justru ingin mendirikan negara sendiri di Republik ini? Dalam konteks guru
berkarakter, pertanyaan yang patut direnungkan oleh seorang guru adalah, Bagaimana siswa dapat
belajar karakter baik dari guru yang tidak punya karakter baik?

Bahkan sebuah tembang ginade yang di Bali sering dipakai menasehati kita, penuh dengan
makna. Eda ngadén awak bisa, depang anaké ngadanin, geginané buka nyampat, anak sai tumbuh
luhu, hilang luhu ebuk katah, wiadin ririh, enu liu pelajahin. Terjemahan bebasnya adalah: jangan
merasa diri pintar, biarlah orang yang tahu, seperti tugas menyapu, setiap saat kotoran/sampah itu
ada, hilang sampah debu masih banyak, Meskipun pintar masih banyak yang harus dipelajari.

Seperti halnya menyapu, betapa pun bersihnya kita menyapu debu itu pasti tetap ada. Artinya,
jikalau pun sapu yang kita pakai menyapu sudah bersih dan sampah sudah dibersihkan, tapi debu
pasti akan tetap ada. Apalagi ketika sapu yang kita pakai menyapu tidak bersih atau bahkan berisi
tahi ayam. Dapat dibayangkan kita tidak dapat menyapu dengan bersih, ketika sapu yang akan
dipakai menyapu belum bersih. Dari hal ini dapat dimengerti bahwa untuk membangun sebuah
karakter baik tidak begitu mudah seperti yang dibicarakan.

Mungkin bagi sebagian guru akan protes, mengapa guru harus berkarakter? Guru kan manusia biasa,
tentu tidak akan sempurna. Bagaimana mungkin membuat siswa berkarakter dari guru yang tidak
sempurna? Dan sederet pertanyaan serta argumen lainnya. Kita meyakini bahwa hanya Tuhan saja
yang sempurna, oleh karenanya belajar kesempurnaan dari yang tidak sempurna adalah
kemustahilan. Karena itu ketidaksempurnaan hasil tentu tidak relevan lagi jika dipakai sebagai
alasan. Jadi dalam ketidaksempurnaan itulah guru harus menjadikan pendidikan menuju pendidikan
yang berkarakter dan bermutu.

Kegiatan utama pendidikan adalah belajar. Belajar bisa dilakukan dimana saja dan kapan pun. Salah
satu tempat belajar adalah sekolah. Para ahli memberikan pengertian yang beragam tentang belajar,
karena aktivitas belajar sendiri juga bermacam-macam. Banyak aktivitas-aktivitas yang diperoleh
hampir setiap orang berasal dari proses belajar, seperti mendapatkan perbendaharaan kata-kata
baru, menghafal syair, menghitung, membaca, dll.

Dalam aktivitas belajar di sekolah tingkat kanak-kanak sampai tingkat atas, posisi guru adalah
sebagai kunci terdepan dan sentral terlaksananya proses pembelajaran sebagai seorang pendidik
dan mencetak bakal-bakal sember daya manusia. Oleh karena itu guru dituntut untuk profesional
dalam tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik, serta yang penting juga adalah guru mestinya memiliki karakter yang
baik.

Dr. Uhar Suharsaputra, dalam bukunya “Menjadi Guru Berkarakter” yang diterbitkan Paramitra


Publishing Yogyakarta, Agustus 2011, menyatakan bahwa Guru berkarakter sesungguhnya  bukanlah
sesuatu yang bersifat to be or not to be, melainkan a process of becoming.  Guru yang
berkarakter adalah guru yang siap untuk terus menerus meninjau arah hidup dan kehidupannya
serta menjadikan profesi guru sebagai suatu kesadaran akan panggilan hidup. Guru berkarakter
senantiasa berusaha dan berjuang mengembangkan aneka potensi  kecerdasan yang dimilikinya.

Dalam konteks ini menjadi guru berkarakter itu adalah suatu proses. Dengan demikian seorang guru
dapat dengan cukup mudah untuk menilai dirinya apakah dia sudah menjadi lebih pekat konsentrasi
berkarakternnya dibandingkan sebelumnya. Setelah sekian tahun menjadi guru, apakah dirinya
memiliki karakter yang lebih baik dibandingkan ketika diawal mereka menjadi guru.

Untuk lebih memudahkan kita menilai proses perkembangan karakter, dapat digunakan
konsep Sumbu Karakater X-Y. Sebuah sumbuh kartesius dengan sumbu X (ke arah mendatar) dan
sumbu Y (ke arah vertikal). Artinya a process of becoming menjadi guru berkarater apakah bergerak
ke sumbu Y positif, sumbu X positif, atau sebaliknya ke sumbu X negatif atau bahkan ke Y negatif.
Seorang guru dapat menilai proses menjadi guru berkarakter secara kualitatif menggunakan sumbu
X-Y.

Sebagai contoh seorang guru menilai bahwa setelah sekian tahun bertugas merasakan bahwa dirinya
mempunyai karakter positif secara kuantitas maupun kualitas lebih dari sebelumnya, itu artinya
karakter guru bergerak ke arah Sumbu Karakter Y positif. Tetapi jika karakter positifnya hanya
berkembang kulitasnya saja itu artinya karakter guru berkembang ke arah ”sumbu X positif. Tetapi
jika secara kuantitas dan kualitas guru merasa dirinya bahwa karakter baiknya berkurang dari
sebelumnya, itu artinya karakter guru berkembang ke arah ”sumbu Y negatif.” Jika karakter baik
guru berkurang secara kuantitas dari sebelumnya artinya karakter guru berkembang ke arah ”sumbu
X negatif”.

Pertanyaannya sekarang adalah, Anda termasuk guru berkarakter X positif, X negatif, Y positif, atau Y
negatif? Konsep ini ini tampaknya juga bisa dipakai oleh para orang tua. Setelah sekian lama menjadi
orang tua, bagaimana kuantitas dan kualitas karakternya? Ketika kita berbicara dalam konteks
pendidikan, maka kita berharap guru dan orang tua mempunyai karakter Y positif atau minimal X
positif. Hal ini diyakini karena dari guru-guru dan orang tua inilah pendidikan karakter akan
membuahkah hasil baik. Semoga
[01:44, 4/28/2020] S3 Asep: Menjadi Guru yang Berkarakter

Oleh : Wijaya Kurnia Santoso (Praktisi Pendidikan)

Pembahasan tentang guru selalu menarik untuk diperbincangkan. Di Indonesia, akhir-akhir ini guru
menjadi “buah bibir” yang cukup menyedot banyak perhatian publik. Mulai dari tanggung jawabnya
tentang kemerosotan moral peserta didik, menggugat profesionalismenya, ribetnya sertifikasi guru
dan lain sebagainya. Di luar itu semua, guru adalah salah satu ujung tombak pendidikan. Ditengah
berbagai serangan invasi budaya barat, guru mempunyai peran sebagai kunci pendidikan. Artinya,
guru memiliki andil sebagai filter budaya sekaligus berperan mengantarkan suksesi masa depan
peserta didik. Jika guru sukses mendidik maka kemungkinan besar murid-muridnya akan meraih
kesuksesan pula.

Kesuksesan yang diraih oleh Imam Syafi’i tidak bisa dipisahkan dari peran guru-guru beliau,
khususnya Imam Malik. Begitu pula dengan kesuksesan KH. Hasyim Asy’ari yang tidak bisa lepas dari
peran guru-guru beliau, khususnya Syekh Kholil, Bangkalan Madura. Peran guru sangatlah vital
sebagai pembentuk kepribadian, visi, misi serta cita-cita anak didiknya di masa mendatang. Di balik
kesuksesan yang diraih oleh murid, selalu ada peran guru dibalik kesuksesan itu.

Guru adalah pendidik, bukan sekedar pengajar. Tugas guru bukan hanya mengajar, tetapi lebih dari
itu, yakni mendidik. Mendidik bukan hanya sekedar mentransfer ilmu, tetapi menjadi contoh
teladan, menumbuhkan karakter dan sumber inspirasi bagi para peserta didik. Profesi guru sama
pentingnya dengan profesi dokter maupun apoteker. Apabila ada apoteker dan dokter melakukan
malpraktik dalam bidangnya, maka bisa berdampak pada pasien mengalami cedera, cacat permanen
dan bahkan kematian. Sangat mengerikan bukan?. Seandainya malpraktik itu terjadi di dunia
pendidikan dan dilakukan oleh para guru betapa lebih mengerikannya hal yang akan terjadi. Ya,
malpraktik pendidikan. Dampak dan bahayanya lebih mengerikan dibanding malpraktik kesehatan.
Karena yang dibentuk dalam pendidikan ini adalah individu yang nantinya menjadi bagian dari
masyarakat, terlebih lagi peserta didik yang sekarang ini menjalani proses pendidikan, nantinya 20-
30 tahun mendatang akan menjadi pemimpin negeri ini. Jika output yang dihasilkan adalah orang-
orang yang tidak memiliki mental pemimpin dan negaran serta tidak memiliki kepribadian yang baik,
maka nasib bangsa ini ke depan akan terancam. Oleh karena itu, dalam proses mendidik harus
dilakukan dengan serius, tidak boleh disepelekan. Para pendidik pun juga harus siap dan mau
memantaskan diri menjadi seorang pendidik (baca: guru) yang baik. Guru harus bisa bertindak
profesional, tidak hanya memiliki gelar sarjana saja tapi juga harus memiliki karakter pendidik yang
tertanam dalam diri dan jiwanya. Kampus-kampus yang menelurkan para guru, selain membekali
dengan ilmu profesional, juga harusnya membentuk karakter para calon guru sehingga siap
diterjunkan untuk membentuk karakter dan kepribadian peserta didik nantinya.

Di sinilah urgensi melahirkan guru-guru berkualitas, guru yang mampu membangkitkan semangat
besar dalam diri anak untuk menjadi aktor perubahan dunia. Serta guru yang mampu
menjadi uswah bagi para muridnya. Karena sekali lagi bahwa tujuan pendidikan bukan hanya
sekedar cerdas intelektualnya tapi jauh lebih penting dari itu, yakni perubahan perilaku yang baik.

Berikut ini 11 karakteristik yang seharusnya dimiliki oleh guru :


1. Ikhlas

Hadits dari Abdullah bin Mas’ud riwayat at-Tirmidzi dan asy-Syafi’i dalam ar-Risalah dari Nabi saw,
beliau bersabda : Allah akan menerangi orang yang mendengar perkataanku, kemudian ia
menyadarinya, menjaganya, dan menyampaikannya. Terkadang ada orang yang membawa
pengetahuan kepada orang yang lebih tahu darinya. Ada tiga perkara yang menyebabkan hati
seorang muslim tidak dirasuki sifat dengki, yaitu ikhlas beramal karena Allah, menasehati para
pemimpin kaum muslimin, dan senantiasa ada dalam jama’ah al muslimin. Karena dakwah akan
menyelimuti dari belakang mereka.

2. Tenang dan tidak buru-buru

Rasulullah saw bersabda kepada Asyaj bin Abdil Qais, “Sesungguhnya pada dirimu  terdapat  dua
perkara yang dicintai Allah : tenang dan tidak terburu-buru.” (HR.  Muslim)

3. Lembut dan tidak kasar

Rasulullah bersabda,  “wahai Aisyah,  bersikaplah lembut,  karena sesungguhnya Allah apabila
menghendaki kebaikan pada suatu keluarga,  Dia ilhamkan kelembutan kepada mereka.” (HR.
Ahmad)

4. Hatinya penyayang

Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Ibnu Umar ra : “Sesungguhnya setiap pohon selalu memiliki buah.
Buah hati adalah anak. Sesungguhnya Allah tidak menyayangi orang yang tidak sayang kepada
anaknya. Demi jiwaku yang berada di TanganNya, tidak akan masuk surga selain orang yang
penyayang.” Kami katakan, “Wahai Rasulullah, setiap kita menyayangi?” Beliau menjawab,
“Bukanlah yang dimaksud dengan kasih sayang adalah seseorang menyayangi temannya.  Yang
dimaksud dengan kasih sayang adalah menyayangi seluruh umat manusia.”

5. Memilih yang termudah selama bukan dosa

Dari Aisyah ra, ia berkata: “Tidaklah Rasulullah SAW menentukan pilihan antara dua perkara
melainkan beliau memilih yang termudah diantara keduanya selama bukan termasuk dosa. Apabila
termasuk dosa, maka beliau menjadi orang yang paling menjauhinya. Tidaklah Rasulullah SAW
marah untuk dirinya sendiri dalam masalah apapun kecuali apabila syariat Allah dilanggar,   maka
beliau akan marah karena Allah SWT
6. Menjauhkan diri dari marah

Rasulullah  SAW bersabda,  “seorang pemberani bukanlah orang yang pandai berkelahi. Orang
pemberani adalah orang yang mampu menguasai diri ketika marah.” (Muttafaqun ‘alaih)

7. Jujur

Hai orang-orang yang beriman,  bertkwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang
yang benar. (QS. At-Taubah [9] : 119)

8. Bertutur kata dengan baik

Jauhilah neraka walau dengan sebiji kurma. Siapa saja tidak menemukan sebiji kurma,  maka dengan
perkataan yang baik. (Muttafaqun ‘alaih)

9. Menampakkan wajah berseri

Engkau jangan menyepelekan kebaikan sedikit pun, meski hanya sekedar bertemu  saudaramu
dengan wajah yang berseri-seri (HR. Muslim)

10. Bersikap hati-hati (wara’) dan meninggalkan Syubhat

Keutamaan ilmu lebih baik dari keutamaan ibadah. Sebaik-baiknya agama kalian adalah wara’. (HR.
ath-Thabrani dan al-Bazzar. al-Mundziri berkata, “hadist ini sanadnya hasan”).

11. Amanah

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya,….
(QS. An-Nisa [4]: 58)

Semoga guru-guru di negeri ini memiliki karakter demikian, dan akan lahir dari rahim pendidikan ini
para pemimpin yang amanah. Jadilah guru yang baik atau tidak sama sekali.

Anda mungkin juga menyukai