Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ETIKA KEILMUAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Disusun Oleh :

1. ANGGIE OKTA FARIZA


2. DEWI ARISANDI
3. CIPTA EKA SARI

Dosen : Dr. Mahfudz, S.Ag., M.Pd

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ( STAI ) BATURAJA

Jln. Bindung Langit Lawang Kulon No. 0799


Telp. ( 0735 ) 323689
Tahun 2020 / 2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dengan hati, pikiran yang tulus dan ikhlas sama-sama kita
panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmatNya kepada
kita semua.
Shalawat dan salam kepada sang kekasih Allah Baginda Rasulullah SAW
beserta al dan sahabat beliau yang telah rela mengorbankan jiwa dan raga dalam
memperjuangkan aqidah Islam yang pengaruh dan manfa’atnya hingga kini masih
kita rasakan.
Selanjutnya makalah ini disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan
kuliah dan rujukan bagi kita semua dalam mempelajari Etika Keilmuan dalam
Filsafat Pendidikan Islam, Kami menyadari makalah kami jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, kami memohon maaf atas segala kekurangan dan
kami mengharapkan kritik dan saran dari kita semua. demi kesempurnaan makalah
kedepanya.
Hanya ini yang dapat kami sampaikan, agar lebih lanjut lagi mari kita bahas
secara bersama-sama. apa yang terdapat dalam makalah kami ini, semoga menjadi
manfaat untuk kita semua terutama bagi kami sendiri. Aamiin.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ ii

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iii

BAB I .................................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ......................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1

BAB II ................................................................................................................ 2

A. Etika Keilmuan Dalam Filsafat Pendidikan Islam. ..................................... 2

B. Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam................................................... 3

C. Positivisme Dalam Etika Keilmuan ............................................................ 5

D. Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme ........................ 6

BAB III ............................................................................................................. 10

A. Kesimpulan ......................................................................................... 10

B. Saran ................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai orang yang berpikir (filsafat) sudah tentu ia memiliki pemikiran


bagaikan dua sisi mata uang, baik dan buruk sehingga dalam ilmu filsafat dikenal
nama etika, yakni aturan untuk membedakan baik dan buruk. Demikian pula pada
aplikasinya, seorang ilmuwan dalam kehidupan sehari-hari seakan dituntut untuk
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupannya, baik saat berpikir maupun
bertindak.Dalam sebuah riwayat dikatakan “Al adabu fauqal ‘ilmi” (Adab itu lebih
tinggi daripada ilmu).

Benar bahwa perbuatanya mempunyai tujuan langsung, tetapi apakah


manusia secara total tau secara keseluruhan, mempunyai tujuan? Supaya apa yang
di kehendaki bisa tercapai, kita juga harus tau etika dalam hidup, cara berfikir yang
baik, sikap dan ucap yang baik. Di makalah ini sudah dijelaskan berbagai hal
tentang etika keilmuan dalam filsafat Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Etika Keilmuan Dalam Filsafat Pendidikan Islam?


2. Bagaimana Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam?
3. Bagaimana Positivisme Dalam Etika Keilmuan?
4. Bagaimana Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Etika Keilmuan Dalam Filsafat Pendidikan Islam.

Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti:
adat istiadat. Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan
logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai
sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan
pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan.
Menurut Ibnu Miskawaih tentang etika dalam karyanya yang berjudul
Tahdzib Al-Akhlak, dia mencoba menunjukkan bagaimana kita dapat memperoleh
watak-watak yang lurus untuk menjalankan tindakan-tindakan yang secara moral
benar terorganisasi dan tersistem.
Moral, etika atau akhlak menurut Ibnu Miskawaih adalah sikap mental yang
mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap
mental terbagi dua, yaitu yang berasal dari watak dan yang berasal dari kebiasan
dan latihan. Akhlak yang berasal dari watak jarang menghasilkan akhlak yang
terpuji; kebanyakan akhlak yang jelek. Sedangkan latihan dan pembiasaan lebih
dapat menghasilkan akhlak yang terpuji. Karena itu Ibnu Miskawaih sangat
menekankan pentingnya pendidikan untuk membentuk akhlak yang baik. Dia
memberikan perhatian penting pada masa kanak-kanak, yang menurutnya
merupakan mata rantai antara jiwa hewan dengan jiwa manusia.
Menurut Aristoteles tujuan hidup manusia adalah mendapatkan kebahagian,
kebahagiaan manusia akan dapat diwujudkan dengan sendirinya melalui dua jalan,
pertama, melalui sifat pertengahan antara mengikuti dorongan
sifat kebinatangan dan kemanusiaan, yakni nafsu makan, hasrat, dan nafsu yang
berada dibawah bimbingan akal. Kedua, kebahagiaan itu terjadi pada pengguna akal
dalam melakukan penelitian ilmu pengetahuan dan merenungkan tentang
kebenaran.

2
Sedangkan menurut Al- Ghazali tujuan pendidikan adalah mengembangkan
budi pekerti yang mencangkup penanaman kualitas moral dan etika
kepatuhan,kemanusiaan, kesederhanaan dan membenci hal-hal yang buruk seperti
melanggar perintah atau kehendak tuhan.
Etika dalam kajian filsafat merupakan bagian dari aksiologi karena etika
berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dalam segala sesuatu. Sedangkan
dalam ontologi dipertanyakan apa hakekat sesuatau, dalam epistimologi
dipertanyakan bagaimana sesuatu itu terjadi dan dari mana sesuatu itu ada, maka
dalam aksiologi dipertanyakan mengenai tujuan dari hakikat sesuatu. Misalnya,
tentang pendidikan islam maka muncul pertanyaan, apa pendidikan islam itu?
Mengapa pendidikan islam diperlukan? Untuk apa ada pendidikan islam?

B. Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam

Aliran pragmatis timbul pada abad 20.Pendiri aliran ini adalah Charks E.
Peirce. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai
sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan(terus-menerus berubah).
Berbicara tentang etika keilmuan, apabila digunakan perspektif
pragmatisme, etika keilmuan diatur menurut nilai-nilai dan etika
pragmatism.Pragmatisme berasal dari kata pragma (bahasa Yunani) yang berarti
tindakan, perbuatan.Pragmatisme adalah aliran dalam filsafat yang berpandangan
bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi
kehidupan nyata.
Pragmatisme berpandangan bahwa subtansi kebenaran adalah jika segala
sesuatu memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan. Pendidikan agama Islam
adalah bagian dari tugas agama maka mengajarkan pendidikan islam adalah
kebenaran.
Pragmatisme menurut para filsuf-filsuf yang terkenal sebagai berikut:
Menurut William James dan John Dewey, filsafatnya diantaranya
menyatakan bahwa tiada kebenaran yang mutlak, berlaku umum, yang bersifat
tetap, yang berdiri sendiri lepas dari akal yang mengenal. Sebab pengalaman yang

3
kita anggab benar dalam perkembangan pengalaman itu senantiasa berubah karena
didalam praktik. Menurut Jemes, dunia tidak dapat diterangakan dengan berpangkal
pada satu asas saja. Dunia adalah dunia yang terdiri dari banyak hal yang saling
bertentangan tentang kepercayaan agama.
Dalam filsafat Islam, pragmatisme tentu ada karena tujuan pendidikan Islam
adalah membentuk anak didik yang bertaqwa kepada Allah SWT, berkepribadian
luhur, berpengetahuan yang luas, terampil, dan dapat diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari.Agar anak didik memiliki keahlian duniawi dan ukhrowi, dan keduanya
bisa memberikan keuntungan.
Menurut John Dewey, tugas filsafat adalah memberikan pengarahan bagi
perbuatan nayata. Filsafat tidak boleh larut dalam pemikiran-pemikiran metafisis
yang kurang praktis, filsafat harus berpijak pada pengalaman dan mengolahnya
secara kritis.
Secara umum, pargmatisme berarti hanya ide yang dapat dipraktikkan yang
benar dan berguna. Apabila filsafat Islam berkiblat pada pandangan Pragmatime
John Dewey, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah segala sesuatu
yang sifatnya nyata, bukan hal yang diluar jangkauan panca indra.
Etika keilmuan berkaitan pula dengan kode etik bagi para pendidik
(guru). Maksud dari kode etik guru di sini adalah norma-norma yang mengatur
hubungan kemanusiaan (relationship) antar guru dengan lembaga pendidikan
(sekolah); guru dengan sesama guru; guru dengan peserta didik; dan guru dengan
lingkungannya. Sebagai sebuah jabatan pekerjaan, profesi guru memerlukan kode
etik khusus untuk mengatur hubungan-hubungan tersebut.
Dalam perspektif islam, pendidikan etika juga membahas pula masalah yang
berkaitandengan substansi etika yang dimiiki oleh dunia pendidikan Islam,
terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Keilmuan yang bersumber pada Al Qur’an dan As-Sunnah.
2. Keilmuan yang berbasis kepada pola pendidikan tradisional Islam.
3. Keilmuan sebagai alat yang merumuskan prinsip-prinsip pendidikan
4. Keilmuan yang mengarahkan pendidikan kepada tujuan umum dalam beragama
Islam.

4
5. Keilmuan yang mengacu pada doktrin agama Islam dan kebergantungan kepada
tokoh agama.

C. Positivisme Dalam Etika Keilmuan

Paham yang berkaitan dengan etika keilmuan tidak dapat terlepas dari
pandangan positivisme, selain pragmatisme di atas. Positivisme di perkenalkan
oleh Aguste Comte(198-1857) yang bertuang dalam karya utama Aguste Comte
adalah Cours de Philosophic Positive, yaitu kursus tentang Filsafat Positif (180-
1842), selain itu karyanya yang pantas disebutkan di sini adalah Discour L’esprit
Positive(1844) yang artinya pembicaraan tentang jiwa positif.
Positivisme berasal dari kata “positif”. Kata positif disini sama artinya
dengan factual, yaitu apa yang berdasarkan fakta-fakta. Menurut positivisme,
pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta.Dengan demikian, ilmu
pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan.Oleh
karena itulah, Positivisme menolak cabang filsafat metafisika.[9]
Etika keilmuan yang menganut Positivisme akan mempertegas tentang
kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang Konkret dan indrawi.
Hukum itu menyatakan bahwa umat manusia berkembang melalui tiga tahap hidup.
Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, Teologis,
metafisik, dan positif.
· Tahap teologis merupakan periode yang paling lama dalam sejarah manusia,
karena bentuk pemikiranya yang dominan dalam masyarakat primitif, meliputi
bahwa semua benda memiliki kelengkapan hidupnya sendiri.
· Tahap metafisik terutama merupakan tahap transisi antara tahap teologis dan
metafisik, tahap ini ditandai dengan hukum-hukum alam yang asasi dan dapat
ditemukan dengan akal budi.
· Tahap positif ditandai oleh kepercayaan akan data empiris sebagai sumber
pengetahuan terakhir. Akan tetapi, pengetahuan selalu bersifat sementara, dan
pengetahuan dapat ditinjau kembali dan di perluas.

5
Dari pandangan Comte tentang tiga tahapan pemikiran manusia, dapat
diambil pemahaman bahwa etika keilmuan yang terus berkembang tidak selamanya
hierarkis sistematis sebagaimana dikemukakan oleh Comte sebab ajaran Islam tidak
dikenal tahapan demikian. Pandangan manusia seharusnya didasarkan pada dua
etika yang paling mendasar, yaitu :
1. Pandangan bahwa semua makhluk Allah hanya tunduk mutlak kepada sang
pencipta.
2. Semua pengabdian manusia sepenuhnya harus didukung oleh rencana-rencana
Allah yang tertuang dalam wahyu-Nya, yang berupa ( Al-Qur’an dan As-Sunnah).
Apabila pendidikan islam menganut paham ini, tidak akan dibahas segala
hal yang berhubungan dengan metafisikal, apalagi yang supranatural. Akan tetapi,
etika keilmuan yang dibangun oleh filsafat pendidikan islam tidak menganut paham
positivisme, meskipun menerima kebenaran yang menggunakan
paham tersebut. Dalam islam, kebenaran yang hakiki hanya kebenaran Tuhan,
selain kebenaran Tuhan, hanyalah kebenaran yang nisbi. Akan tetapi, setiap
kebenaran nisbi diyakini oleh umat Islam sebagai cara menuju kebenaran hakiki.

D. Etika Keilmuan Pada Zaman Renaissance Dan Humanisme

Istilah Renaissance berasal dari bahasa perancis yang berarti kebangkitan


kembali.Orang yang pertama menggunakan istilah ini adalah Jules
Michelet.Menurutnya, Renaissance adalah periode penemuan manusia dan dunia,
bukan sekedar kebangkitan kembali yang merupakan permulaan kebangkitan
modern.
Awal mula suatu masa baru ditandai oleh suatu usaha besar dari Descartes
(1596-1650).Sejak saat permulaan Renaissance, individualisme dan humanism
telah dicanangkan.Descartes memperkuat ide-ide ini.Humanisme dan
individualisme merupakan cirri Renaissance yang sangat penting.Humanisme ialah
pandangan bahwa manusia mampu mengatur dunia dan dirinya.

6
Pada abad pertengahan, manusia kurang dihargai sebagai manusia.
Kebenaran diukur berdasarkan ukuran dari Gereja (Kristen), bukan menurut ukuran
yang dibuat manusia.
Humanisme sesungguhnya telah mengambil moral kemanusiaan seluruhnya
dari agama.Humanisme menyatakan bahwa pendidikan spiritual dan menepati janji,
dalam nisbatnya dengan keutamaan-keutamaan moral, dapat dicapai tanpa
keyakinan terhadap Tuhan. Manusia adalah makhluk yang selalu mengejar cita-cita
dan berusaha mengubah “apa yang ada” menjadi “apa yang semestinya” atau “ apa
yang kini ada” menjadi “apa yang seharusnya ada” didalam alam, masyarakat, dan
dirinya sendiri pula.
Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar Humanisme adalah etika
meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia akan
berakhir sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang merupakan
perubahan abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada hanyalah
perubahan.
Humanisme yang dimaksudkan adalah tentang kemuliaan manusia karena
Allah memuliakanya, sebagaimana firmanya dalam surat At-Tin ayat 4-5 :

ْ ُ ْ ْ ْ ْ ْ
‫ ث َّم رددناهُ أ ْسفل سافِل ِني‬. ‫لقد خلقنا اإلنسان ِِف أحس ِن تقوِيم‬

Artinya :
“ sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya. Kemudian, kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka).” (Q.S. At-Tin : 4-5)
Yang menyebabkan kemulyaan manusia terjaga dan harkat martabatnya
tetap tingi adalah keilmuannya yang dapat membangun keimanan dan ketakwaan,
sebagaimana disebutkan dalam surat At-Tin ayat 6:
ُ ْ ‫ج ٌر غ‬
‫ْي م ْم ُنون‬
ْ ْ ُ
‫ات فلهم أ‬ ِ
‫اِل‬ َّ ‫إال َّاَلِين آم ُنوا وعملُوا‬
‫الص‬
ِ ِ ِ

7
Artinya :
“kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, maka bagi
mereka, pahala yang tiada putus-putusnya”. (Q.S. At-Tin : 6)
Perlu diketahui pula bahwa dalam sejarah filsafat, masa etik diisi oleh tiga
macam aliran filsafat, yaitu aliran Epicorus, Stoa, dan Skeptis. Epicorus yang
mendirikan sekolah filosofi lahir di samos pada tahun 341 SM dan meninggal di
Athena pada tahun 217 SM dalam usia 70 tahun. Menurut pendapat Epicorus,
ajaran etiknya adalah mencari kesenangan, tujuanya memperkuat jiwa untuk
menghadapi semua keadaan.
Yang kedua adalah aliran Stoa didirikan di Athena oleh Zeno dari Kition
(133-266 SM).Ia dilahirkan di Kition pada tahun 340 SM, dan meninggal di
Athena pada tahun 264 SM ia mencapai umur 76 tahun. Ajaran etiknya adalah
memberikan petunjuk tentang sikap sopan santun dalam kehidupan.Tujuanya
menyempurnakan moral manusia.
Yang terakhir adalah aliran Skeptis.Skeptis artinya ragu-ragu.Keragu-
raguan terhadap segala sesuatu merupakan fondasi keyakinan.Sekolah yang
dijadikan aliran Skeptis adalah sekolah aliran Pyrrhon dari Elis.Pyrrhon sendiri
lahir tahun 360 SM dan meninggal dunia pada tahun 270 SM.
Itulah beberapa pandangan tentang etika yang nantinya akandianut oleh
para filsuf dan bisa jadi oleh ilmuan. Lalu dimana letak atau posisi etika keilmuan
dalam konteks pendidikan islam ? dalam perpektif filsafat pendidikan islam, etika
keilmuan yang harus dibangun adalah sebagai berikut:
1. Semua ilmu bersumber dari Alloh SWT. Karena Alloh Robbul “alamin.
2. Semua ilmu wajib digali dan dicari sebanyak mungkin karena islam mewajibkan
mencari ilmu sejak manusia dari buaian hingga keliang lahat.Sabda Nabi SAW :
ْ َّ ْ ْ ْ ْ ُُ ُْ
‫أطلبوا العِلم مِن المه ِد ا ِىل الله ِد‬

“Tuntutlah ilmu mulai dari buaian hingga liang lahat” (HR. Bukhori)
ُ ‫م ْن سلك طريْ ًقا يلْت ِم ُس بهِ عِلْ ًما س َّهل‬
َّ‫اهلل َُل بهِ طريْ ًقا إىل اجلن ِة‬
ِ ِ ِ ِ

8
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menggapai ilmu, maka Allah
memudahkan baginya jalan menuju surga.”. (HR. Muslim)[12]
3. Setiap ilmu yang dimiliki sekecil apapun harus diamalkan dalam hidup.
4. Setiap ilmu yang dimiliki harus menjadi cahaya yang menerangi kehidupan dan
menolong orang-orang yang masih bodoh atau awam.
5. Setiap ilmu yang dimiliki harus disebarkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan
umum.
Firman Allah:
ْ ُ ُ ُ َّ َّ ْ َّ ْ َّ ْ ُْ
‫قل هل ي ْستوِي اَلِين يعلمون واَلِين ال يعلمون إِنما يتذكر أولو األْلاب‬
ُ ُ

“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang


yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakal-lah yang dapat
menerima pelajaran. (Q.S. Az-Zumar: 9)
6. Setiap ilmu yang dikembangkan harus mempermudah usaha manusia dalam
mempertahankan kehidupannya dan tidak mendatangkan kemadzorotan.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Etika adalah suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap


perbuatan-perbuatan manusia. Etika dalam kajian filsafat merupakan bagian dari
aksiologi karena etika berbicara tentang tujuan yang hendak dicapai dalam segala
sesuatu
Etika Pragmatis Dalam Pendidikan Islam berpandangan bahwa kriteria
kebenaran sesuatu ialah apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan
nyata. Etika keilmuan yang menganut Positivisme akan mempertegas tentang
kebenaran pengetahuan terletak pada fakta-fakta yang Konkret dan
indrawi. Sedangkan Etika keilmuan yang dibangun di atas dasar Humanisme adalah
etika meterealisme karena sesungguhnya manusia adalah materi, karena manusia
akan berakhir sebagaimana benda yang lain, hanya keberakhiran materi yang
merupakan perubahan abadi. Oleh sebab itu tidak ada kehancuran yang ada
hanyalah perubahan.

B. Saran

Bagi para pendidik pada khususnya, sebaiknya mengerti bagaimana etika


keilmuan dalam dunia pendidikan islam itu ditinjau dari sudut filosofinya tidak
hanya sekedar mengerti tapi juga bisa mempraktiknya dalam dunia pendidikan ,
karena pendidikan yang baik dan benar (berkualitas) akan memunculkan individu-
individu yang beradab dengan begitu tercipta kehidupan-kehidupan sosial yang
bermoral. sekalipun institusi-institusi pendidikan saat ini memiliki kualitas dan
fasilitas, namun institut-institut tersebut masih belum memproduksi individu-
individu yang beradab. Sebabnya, visi dan misi pendidikan yang mengarah kepada
terbentuknya manusia yang beradab, terabaikan dalam tujuan institut pendidikan.

10
DAFTAR PUSTAKA

[1]http://akhsyaifulrijal.wordpress.com/2011/04/02/kajian-filsafat-etika-
islam/
[2] http://munirbadrul.blogspot.com/2012/07/etika-pragmatis-dalam-pendidikan-
islam.html
[3] Drs. Hasan Basri, M.Ag.Filsafat Pendidikan Islam,(Pustaka setia
bandung: 2009) hal:97
[4] http://munirbadrul.blogspot.com/2012/07/etika-pragmatis-dalam-pendidikan-
islam.html
[5] http://akhsyaifulrijal.wordpress.com/2011/04/02/kajian-filsafat-etika-
islam/
[6] Drs. Hasan Basri, M.Ag.Filsafat Pendidikan Islam,(Pustaka setia
bandung: 2009) hal:100
[7] http://munirbadrul.blogspot.com/2012/07/etika-pragmatis-dalam-pendidikan-
islam.html

11

Anda mungkin juga menyukai