Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM SYARA’
(Makalah Ini Ajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh)

Disusun Oleh:
HABIBUR ROHMAN
FATHUR ROHMAN

Dosen Pengampu : Dr. H. M. Muwaffaq, S.Ag., SE., M.Si

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS QOMARUDDIN
GRESIK
2022

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,
Setelah membaca mahdalah, sholawat dan salam, Alhamdulillah makalah
ini berhasil kami buat walaupun dengan penuh kesadaran bahwa dalam makalah
ini masih terdapat banyak kekurangan.
Makalah ini sebagai pemantik forum akademik perkuliahan, tentunya kami
berharap banyak respon dari kawan-kawan mahasiswa dan dosen pembimbing
agar wacana keilmuan kami semakin banyak.
Kami sadar bahwa minimnya literasi dan kedangkalan pemahaman
merupakan salah satu keterbatasan pada kami, berharapa mendapatkan saran dan
masukan guna perbaikan makalah kami dimasa-masa yang akan dating.
Akhirnya, semoga makalah ini memberikan manfaat kepada siapa saja
yang membacanya dan menambah wawasan ilmu pengetahuan

Gresik 27 November 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

COVER …………………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR .………………………………………………………….ii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii


A. Latar Belakang ........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................................... 1
BAB II .................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
A. Pengertian Hukum Syara’......................................................................... 2
B. Macam Macam Hukum Syara’................................................................. 5
C. Hukum Taklifi ............................................................................................ 7
D. Hukum Wadh’i ......................................................................................... 11
BAB III ………………………………………………………………………….15
A. KESIMPULAN......................................................................................... 14
B. SARAN ...................................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap perbuatan manusia mukallaf (akil baligh) terkena khitab
(titah) dari Allah SWT. Khitab merupakan seperangkat aturan hukum
Allah dan Rasulnnya baik berupa iqtidha` (perintah, larangan, anjuran
untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan
dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau mani’ (penghalang).
Khitab Allah dikalangan umat islam lebih dikenal dengan hukum
syara’, lebih sempit lagi disebut hukum fikih. Hukum syariat bertujuan
untuk mengatur perbuatan orang islam mukallaf, tak lain agar
meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, wajib bagi muslim mukallaf mengetahui hukum
syara’ yang telah ditetapkan. Melalui makalah ini akan diuraikan apa yang
dimaksud dengan hukum syara’ beserta pembagian-pembagiannya
berdasarkan literature dan analisis penulis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Syara’?
2. Berapa pembagian Hukum Syara’?
3. Berapa pembagian hukum Taklifi?
4. Berapa pembagian hukum Wadh’i?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu hukum Syara’
2. Mengetahui pembagian hukum syara’
3. Mengetahui pembagian hukum Taklifi
4. Mengetahui pembagian hukum wadh’i

1
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Syara’
Hukum ( ‫ الحكم‬/al-hukm) menurut bahasa bermakna : ‫المنع والقضاء‬
(mencegah, memutuskan).1
Sedangkan pengertian hukum syara’ secara istilah adalah :
2
‫هو خطاب هللا المتعلق بأفعال المكلفين باالقتضاء أو التخيير او الوضع‬

Artinya Khitab (kalam) Allah Swt yang berkaitan dengan semua perbuatan
mukallaf, baik berupa iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan
atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau mani’ (penghalang)).3
Menurut ahli ushul fiqh mendefinisikan hukum sebagai ketentuan Allah
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan
melakukan atau meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan, sedangkan
Menurut ahli fiqh, yang disebut hukum adalah khitab Allah dan sabda Rasul.
Artinya hukum yang bersangkutan dengan manusia, yakni yang dibahas dalam
ilmu fiqih bukan hukum yang bersangkutan dengan akidah dan akhlak.4
Berangkat dari pegertian hukum syara’ tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Khitab Allah
Yaitu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah melalui kitab sucinya
yaitu Al-Qur’an dengan perbuatan mukallaf.
Khitab Allah (titah Allah) ada yang bersifat langsung dan tidak langsung.
a) Yang bersifat Langsung adalah al-Qur’an
b) Yang bersifat tidak langsung adalah sunnah Nabi, SAW.

1
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al Fiqh al-Islam (Bairut: Dar al-Fikr, 2001) cet.ke-2, hal.37
2
Abdul Qodir Syaibati, Imtau al-Uqul bi-Raudloti al-Wushul (Riyad:Maktabah Malik,2014) hal.5
3
Saipuddin Shidiq,Ushul Fiqh,(Jakarta:Prenada media Group,2014),cet.ke-2,hlm.121.
4
Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009) hal. 37

2
Sunah disebut juga sebagai khitob Allah, hal ini didasari oleh ayat Al-
Qur’an yang menyatakan bahwa nabi tidak berkata berdasarkan nafsu
tetapi didasari oleh wahyu.

}4{‫}ان هو اال وحي يوحى‬3{‫وما ينطق عن الهوى‬


Artinya: Dan tiadalah yang diucapkan itu (al-Qur’an )menurut kemaun
hawa nafsunya .Ucapannya itu tiadak lain hanyalah wahyu yang
diwahyuka (kepadanya).(QS,An-Najm /53;3-4)

Kedua ayat diatas menjelaskan bahwa Rosulullah tidak mengucapkan


sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu. Demikian pula
dengan ijma’ harus mempunyai sandaran baik al-Qur’an atau Hadis. Sama
halnya dengan itu dali-dalil hukum lainnya tidak sah dijadikan sebagi
dasar hukum kecuali setelah diketaahui adanya pengakuan dari wahyu. 5
Ijma dikatakan khitob Allah karena ijma’ tidak lepas dari dalil al-Qur’an
dan sunnah,begitu juga dalil syara’ yang juga disebut khitob Allah dan
menjelalskan hukum sesuatu yang tidak ada dalilnya
2. Perbuatan mukallaf
Hukum syara’ yang terdapat dari ayat al-Qur’an (ayat al-ahkam) maupun
Sunnah Nabi, SAW. (hadits al-Ahkam) hanya yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf. Sehingga pembahasan diluar aspek tersebut tidak
masuk dalam kategori hukum syara’.
Mukallaaf dari segi bahasa adalah berarti yang diberati/dibebani, yang
bertanggung jawab.6 Mukalaf menurut istilah berarti seorang muslim yang
dikenai beban atau kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama,
sedangkang syaratnya mukallaf ada dua. Pertama, Berakal. Kedua,
mengetahui dan memahami khitab atau hukum agama.7 Jadi anak kecil dan
orang gila tidak termasuk mukallaf.

5
Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009) hal. 38
6
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. (Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997) hal.
1225
7
Abdul Qodir Syaibati, Imtau al-Uqul bi-Raudloti al-Wushul (Riyad:Maktabah Malik,2014)
hal.12

3
3. Iqtidha’ (tuntutan)
adalah perintah untuk mengerjakan sesuatu atau larangan untuk melakukan
sesuatu. Dengan demikian, salah satu kriteria yang terkandung dalam ayat
al-ahkam maupun hadits al-ahkam adalah adanya makna perintah maupun
larangan.
Contoh:
َّ ‫أاقِ ِم ال‬... “Dirikanlah shalat...” (QS. Al-Isra/17: 78)
‫ص اَلةا‬
‫ اوال تا ْق اربُواال ِّزنا‬..“dan janganlah kamu mendekati zina.” (QS. Al-Isra/17: 32)
4. Takhyir (Pilihan)
Kriteria lain yang terkandung dalam ayat al-ahkam atau hadits al-ahkam,
adalah takhyir. Takhyir adalah kebebasan yang diberikan kepada mukallaf
untuk memilih melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukannya.
Contoh:
‫ْض َح َر ٌج ۗ َو َم ْن ي ُِّط ِع‬ ِ ‫ج َح َر ٌج َّو َال َعلَى ْال َم ِري‬ ِ ‫ْس َعلَى ْاالَ ْعمٰ ى َح َر ٌج َّو َال َعلَى ْاالَ ْع َر‬ َ ‫لَي‬
‫ت تَجْ ِريْ ِم ْن تَحْ ِتهَا ْاالَ ْن ٰه ُر ۚ َو َم ْن يَّت ََو َّل يُ َع ِّذ ْبهُ َع َذابًا اَلِ ْي ًما‬ ٰٰ
ٍ ٰ‫هللاَ َو َرسُوْ لَهٗ يُ ْد ِخ ْلهُ َج ٰن‬
“Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang
dan atas orang yang sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan
barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungaisungai
dan barang siapa yang berpaling niscaya akan diazab-Nya dengan azab
yang pedih. “ (QS. Al-Fath/48: 17)
5. Ketentuan yang ditetapkan (wadh’i)
Kriteria terakhir yang terkandung dalam ayat al-ahkam atau hadits al-
ahkam adalah mengandung ketentuan yang ditetapkan (wadh’i). Wadh’i
adalah adanya kaitan antara perbuatan mukallaf dengan sebab (assabab)
atau syarat (asy-syarth) atau halangan (mani’) tertentu.
Contoh
a) Kaitan perbuatan mukallaf dengan sebab (asy-syabab)
Perintah melaksanakan shalat dzhuhur dengan sebab masuknya waktu
shalat.
‫ق الَّي ِْل َوقُرْ ٰانَ ْالفَجْ ۗ ِر اِ َّن قُرْ ٰانَ ْالفَجْ ِر َكانَ َم ْشهُوْ دًا‬
ِ ‫س اِ ٰلى َغ َس‬
ِ ‫اَ ِق ِم الص َّٰلوةَ ِل ُدلُوْ ِك ال َّش ْم‬

4
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh8. Sesungguhnya shalat subuh
itu disaksikan (oleh malaikat)”. (Al-Isra/17: 78)

Ayat Ini menerangkan waktu-waktu shalat yang lima. tergelincir


matahari untuk waktu shalat Zhuhur dan Ashar, gelap malam untuk
waktu Magrib dan Isya.
b) Kaitan perbuatan mukallaf dengan syarat (asy-syarth)
Suci sebagai syarat syahnya shalat.
‫ق‬ِ ِ‫ٰيٰٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُ ْٰٓوا اِ َذا قُ ْمتُ ْم اِلَى الص َّٰلو ِة فَا ْغ ِسلُوْ ا ُوجُوْ هَ ُك ْم َواَ ْي ِديَ ُك ْم اِلَى ْال َم َراف‬
‫َوا ْم َسحُوْ ا ِب ُرءُوْ ِس ُك ْم َواَرْ ُجلَ ُك ْم اِلَى ْال َك ْعبَي ۗ ِْن َواِ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوْ ۗا َواِ ْن ُك ْنتُ ْم‬
‫ضى اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر اَوْ َج ۤا َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمنَ ْالغ َۤا ِى ِط اَوْ ٰل َم ْستُ ُم النِّ َس ۤا َء فَلَ ْم ت َِج ُدوْ ا َم ۤا ًء‬ ٰٓ ٰ ْ‫َّمر‬
‫هللاُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِّم ْن‬ٰ ٰ ‫ام َسحُوْ ا ِب ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ِّم ْنهُ ۗ َما ي ُِر ْي ُد‬ ْ َ‫ص ِع ْيدًا طَيِّبًا ف‬ َ ‫فَتَيَ َّم ُموْ ا‬
َ‫ج َّو ٰل ِك ْن ي ُِّر ْي ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُ ِت َّم نِ ْع َمتَهٗ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُوْ ن‬ ٍ ‫َح َر‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan
shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata
kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit9 atau
dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh10 perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-
Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (Al-Maidah/5:6)

B. Macam Macam Hukum Syara’


Ulama ushul fiqh sebagian besar membagi hukum syara' menjadi dua
macam, yaitu hukum Taklifi dan hukum wadh'i.

8
Ayat ini menerangkan waktu salat yang lima. Tergelincirnya matahari menunjukkan waktu salat
Zuhur dan Asar, sedangkan gelap malam menunjukkan waktu salat Magrib, Isya’, dan Subuh.
9
Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air
10
artinya: menyentuh. menurut Jumhur ialah: menyentuh sedang sebagian Mufassirin ialah:
menyetubuhi.

5
1. Hukum taklifi
11
‫خطاب الشرع المتعلق بأفعال المكلفين باالقتضاء أو التخيير‬

Yaitu suatu ketentuan Khitab syar’i yang berkaitan dengan semua


perbuatan mukallaf, yang menuntut mukallaf melakukan atau
meninggalkan perbuatan atau berbentuk pilihan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan.

2. Hukum wadh’i
12
‫خطاب الشرع بجعل الشئ سببا او علة او شرطا او مانعا او صحيحا او فا سدا‬

Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah khitob syar’i


yang mengandung ketentuan-ketentuan bahwa sesuatu merupakan sebab
atau menjadi syarat, atau menjadi penghalang, atau menjadi shohih atau
fasid.
Dengan mengemukakan batasan dari dua macam hukum tersebut dapat
deketahui perbedaan antara keduanya. Ada dua perbedaan mendasar antara
dua macam hukum tersebut:
a) Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah, larangan,
atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf, sedangkan hukum
wadh’i berupa penjelasan hubungan suatu peristiwa dengan hukum
taklifi. Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa sholat wajib
dilaksanakan umat islam, dan hukum wadh’i menjelaskan bahwa
waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi
wajibnya seseorang menunaikan shalat zuhur.
b) Hukum taklifi dalam berbagai macamnya selalu berada dalam batas
kemampuan seorang mukalaf. Sedangkan hukum wadh’i sebagiannya
ada yang diluar kemampuan manusia dan bukan merupakan aktifitas
manusia.13

11
Abdul Qodir Syaibati, Imtau al-Uqul bi-Raudloti al-Wushul (Riyad:Maktabah Malik,2014)
hal.5
12
Ibid, hal. 44
13
Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009) hal. 40

6
C. Hukum Taklifi
Hukum taklifi dibagi menjadi 5 (lima) yaitu wajib, mandub, haram,
makruh dan mubah.
1. Wajib
Menurut bahasa adalah tetap atau pasti, Sedangkan menurut istilah
َ َّ‫المدح والث‬
‫واب وعلى‬ َ ِ ُّ‫ع فعله على وج ِه الل‬
‫زوم ورتَّب على امتثال ِه‬ ُ ‫طلب ال َّشار‬
َ ‫ما‬
14
ِ ‫ترك ِه مع القُ ْدر ِة ال َّذم والعقا‬
‫ب‬
Yaitu yang dituntut syari’ untuk melakukan suatu perbuatan dengan tegas
dan kuat, jika dilaksanakan akan menyebabkan pujian dan pahala, dan jika
ditinggalkan dalam keadaan mampu akan menyebabkan celaan dan siksa.
Contoh: Kewajiban melaksanakan sholat lima waktu dan puasa ramadhan.

Ada dua unsur wajib yang membedakan dengan hukum taklifi yang lain:
1) Adanya sifat al-luzum (mesti; tegas; pasti) untuk melakukannya,
sehingga hukum perbuatan tersebut tidak bersifat anjuran semata;
2) Adanya janji bagi yang melakukannya sekaligus ancaman dosa bagi
yang meninggalkannya.
Wajib dapat diklasifiksikan dalam beberapa hal diantaranya:
1) Wajib dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban ada dua macam
a) Wajib Ain yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap
mukallaf tanpa terkecuali seperti sholat wajib.
b) Wajib kifai yaitu Kewajiban yang dibebankan kepada seluruh
mukallaf, namun jika telah dilaksanakan oleh sebagian orang islam
maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi seperti sholat
janazah
2) Wajib dilihat dari segi kandungan perintah ada dua macam
a) Wajib Mu’ayyan yaitu kewajiban dimana yang menjadi objeknya
adalah tertentu tanpa ada pilihan seperti Kewajiban puasa di bulan
ramadhan.

14
Ibid, hal 6

7
b) Wajib Mukhayyar yaitu kewajiban dimana yang menjadi onjeknya
boleh dipilih seperti kaffaratnya sumpah (memberi kakan 10 anak
miskin atau memerdekakan budak atau puasa 3 hari).
3) Wajib dilihat dari segi waktu pelaksanaannya ada dua macam
a) Wajib Mutlak yaitu kewajiban yang pelaksanaannya tidak dibatasi
dengan waktu tertentu seperti, membayar puasa ramadhan yang
ditinggalkan.
b) Wajib Muaqqot yaitu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi oleh
waktu tertentu seperti sholat 5 waktu, puasa ramadhan dan haji.15
4) Wajib dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:
a) Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah
ditentukan ukurannya, seperti zakat.
b) Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak
ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.16

2. Mandub
Mandub secara bahasa adalah sesuatu yang dianjurkan, Sedangkan
menurut istilah
‫وليس على‬
َ َ َّ‫المدح والث‬
،‫واب‬ َ ‫ ورتَّب على امتثال ِه‬،‫إلزام‬
ٍ ‫طلب ال َّشار ُع فعلُهُ من غير‬
َ ‫ما‬
َّ ‫تر ِك ِه‬
ُ‫الذ ُّم والعقاب‬

Yaitu yang dituntut syari’ untuk melakukan suatu perbuatan tidak dengan
tegas dan kuat, jika dilaksanakan akan menyebabkan pujian dan pahala,
dan jika ditinggalkan tidak menyebabkan celaan dan siksa.
Abdul Karim Zaidan, membagi mandub menjadi tiga tingkatan :
1) Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang
dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya salat
sunnah dua rakaat sebelum fajar.

15
Joseph Schacht. Pengatar Hukum Islam (diterjemahkan dari An Introduction to Islamic Law,
Oleh Joko Supomo), (Bandung: Nuansa,2010). Hal 180
16
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Amani 1977).
hal:146-151

8
2) Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan
salat sunah dua rakaat sebelum salat dhuhur.
3) Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah
sebagai manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur.17
4) Haram
Haram menurut bahasa adalah sesuatu yang dilarang
mengerjakannya. sedangkan menurut istilah
‫وليس على‬
َ َ َّ‫المدح والث‬
،‫واب‬ َ ‫ ورتَّب على امتثال ِه‬،‫إلزام‬
ٍ ‫طلب ال َّشار ُع فعلُهُ من غير‬
َ ‫ما‬
،ً‫ ويثابُ تار ُكهُ امتثاال‬،‫واإللزام‬
ِ ‫الكف عنه على وج ِه ال َح ْت ِم‬
َّ ‫ارع‬ ِ ‫ب ال َّش‬
َ َ‫تر ِك ِه ما طل‬
‫ويُعاقبُ فاعلُهُ اختيا ًرا‬
Yaitu sesuatu yang dituntut Syara’ untuk ditinggalkan dengan tegas dan
kuat, jika ditinggalkan karenaketaatan mendapat pahala, dan jika
dilakukan secara sadar mendapat siksa.”
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan
dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya
bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang
diharamkan).18 Haram terbagi menjadi dua:
1) Al Muharram li dzatihi Artinya bahwa hukum syara’ telah
mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,
mencuri, shalat tanpa bersuci, mengawini salah satu muhrimnya
dengan mengetahui keharamannya.
2) Al-muharam li ghoirihi Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya
ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi
bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram:
seperti sholat yang memakai baju gosob, jual beli yang mengandung
unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri sedang
haid).19

17
Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009) hal. 52-53
18
Ibid, Hal 54
19
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Amani 1977)
hal. 156

9
5) Mubah
Mubah menurut bahasa adalah melepaskan atau mengizinkan,
sedangkan menurut istilah
. ‫ وال يلحقُهُ مد ٌح شرعي وال ذ ٰم بفعل ِه و تر ِك ِه‬،‫ع المكلَّف بين فعل ِه وترك ِه‬
ُ ‫ما خيَّر ال َّشار‬

Yaitu Pemberian kebebasan memilih dari Syari’ kepada mukallaf untuk


melakukan atau meninggalkan sesuatu, tidak ada pujian dan celaan syar’i
dalam melakukan atau meninggalkannya.
Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang
berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapat lagi hidup bersama maka
boleh (mubah) bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami
agar suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229.
Abu Ishaq al-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat membagi
mubah kepada tiga macam:
1) Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang pada sesuatu hal
yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum hukumnya mubah,
namun mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti sholat dan
mencari rizki. Mubah yang seperti ini bukan berarti dianggap mubah
dalam hal memilih makan atau tidak makan, karena meninggalkan
makan sama sekali dalam hal ini akan membahayakan dirinya.
2) Sesuatu baru dianggap mudah bilamana dilakukan sekali-sakali, tetapi
haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain,
mendengankan musik.
3) Sesuatu yang mubah berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu
yang mubah pula. Misalnya membeli perabot rumah untuk untuk
kepentingan kesenangan. Hidup senang itu hukumnya mubah dan
untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan
yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk
mencapai sesuatu yang mubah tidak layak denag menggunakan sesuatu
yang dilarang.20

20
Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009) hal. 60-61

10
D. Hukum Wadh’i
Ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum wadh’i sebagai berikut : “hukum
yang menghendaki sesuatu itu sebagi sebab bagi sesuatu yang lain atau
sebagai syarat atau sebagai penghalang atau sebagai sesuatu yang
memperkenankan keringanan atau rukhsah atau sebagi pengganti hukum
ketetapan pertama (azimah) atau sebagai yang sahih dan fasid” Berikut
penjelasan dari setiap pembagianya :
1) Sebab, ialah suatu khitob (titah) yang menjadikan adanya suatu hukum dan
dan dengan tidak adanya sesuatu itu menjadi lenyapnya sesuatu hukum.
Sedangkan menurut istilah Ushul fiqh seperti dikemukakan oleh Abdul
Karim Zaidan sebab yaitu: “sesuatu yang dijadikan oleh syari’at sebagai
tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak
adanya hukum”.21
Misalnya nikah menjadi sebab adanya hak waris mewarisi antara suami
dan istri sedangkan talak menjadi sebab hilangnya hak waris antara suami
istri tersebut, kemudian contoh lain
ُ َ ‫ ف َ َم ْن شَ هِ دَ ِم ن ْ كُ مُ ال شَّ ه ْ َر ف َ ل ْ ي‬.......
)185) ...... ۖ ُ ‫ص ْم ه‬
“Barang siapa diantara kamu melihat bulan itu maka hendaklah ia
berpuasa” (QS. Al Baqarah 2:185)
Akibat melihat bulan hilal (1 ramadhan ) dinamakan sabab sedangkan
pekerjaan yang dikenai sebab itu dinamai musbab.
2) Syarat ialah sesuatu yang menjadi syarat sah bagi yang lain atau harus ada
sesuatu tersebut untuk menjalankan sebuah hukum. Sedangkan menurut
istilah Ushul fiqh seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan syarat
adalah sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain, dan
berada di luar dari hakikat sesuatu itu.22
Misalnya wudhu adalah syarat sahnya shalat jika tidak berwudhu maka
tidak sahlah shalat tersebut contoh lainnya

21
Ibid, Hal 62
22
Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009) hal. 64

11
‫النكاح اال بولي وشاهدي عدل‬
“sahnya suatu pernikahan hanya dengan adanya seorang wali dan dua
orang saksi “

Tanpa seorang wali dan dua orang saksi maka tidak sahlah pernikahan
tersebut.
Para ulama Ushul Fiqh membagi syarat kepada dua macam:
a) Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri.
Contoh, semua syarat yang ditetapkan oleh syar’i dalam perkawinan,
jual beli, hibah, dan wasiat.
b) Syarat ja’li, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukalaf itu
sendiri. Contoh Syarat yang ditetapkan suami untuk menjatuhkan talaq
kepada istrinya dan ketetapan majikan untuk memerdekakan
budaknya. Artinya jatuhnya talaq atau merdeka itu tergantung
pada adanya syarat, tidak adanya syarat pasti tidak akan ada talaq
atau merdeka. Bentuk kalimat talak adalah sebab timbulnya talaq,
tetapi jika telah memenuhi syarat.23
3) Mani’ ialah Sesuatu yang ditetapkan syariat sebagai penghalang adanya
hukum, atau bagi adanya hukum, atau berfungsinya penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab.
Misalnya wanita yang sedang haid maka tidak wajib baginya untuk
menjalani shalat yang asal hukumnya wajib dan pakaian seseorang yang
sedang shalat terkena kotoran atau perkara najis mejadi penghalang bagi
shalat tersebut.
4) Azimah dan ruhkshah, ialah hukum apabila dilihat dari segi berat atau
ringannya
a. Azimah ialah hukum syara’ yang pokok dan berlaku untuk umum bagi
seluruh mukallaf dan dalam semua keadaan waktu. misalnya shalat
fardu yang lima waktu dan puasa pada bulan ramadhan
b. Rukhsah ialah peraturan tambahan yang dijalankan berhubungan
dengan hal hal yang memberatkan masyarakat sebagai pengecualian
dari hukum hukum yang pokok. Misalnya boleh berbuka puasa pada

23
Ibid, hal 66

12
bulan puasa bagi para musafir dalam keadaan terpaksa, bangkai boleh
dimakan asal tidak bermaksud menentang hukum syara’ dan tidak
berlebihan.24
5) Sah dan fasid ialah hukum apabila dilihat dari pensifatannya
a. Sah adalah sesuatu yang bergantung dengan nufudz (kelulusah), nufuz
sendiri dapat diartikan sebagai sampainya kepada tujuan. Dengan kata
lain sah merupakan perkara yang dilakukan sesuai dengan hukum
syari’at. Seperti halal mengambil manfaat pada akad jual-beli dan halal
bersenang-senang pada akad nikah keduanya merupakan hasil dari
kesahan itu, contoh lain seperti salat yang dikerjakan dengan cukup
rukun dan syarat.25
b. Fasid adalah sesuatu yang dilakukan seseorang dengan tidak
memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan, seperti ketika
berwudhu urutannya sesuka hati tanpa melihat urutan yang ditetapkan,
kaka wudhunya tidak sah.26

24
Abdul Qodir Syaibati, Imtau al-Uqul bi-Raudloti al-Wushul (Riyad:Maktabah Malik,2014)
hal.5
25
Mujiburrahman, Kunci Memahami Ushul Fiqih (terjemah syarah waroqot) (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2006) Cet Ke 2, Hal 8
26
Ibid, Hal 9

13
BAB III

PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Hukum syara’ menurut ahli ushul fiqh adalah khitob Allah yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan
melakukan atau meninggalkan, atau pilihan atau berupa ketentuan,
sedangkan menurut ahli fiqh adalah khitob Allah dan sabda Rasul yang
bersangkutan dengan manusia, bukan hukum yang bersangkutan dengan
akidah dan akhlak.
2. Hukum syara’ dibagi menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh’i.
3. Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan (untuk
dikerjakan atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau mengandung
pilihan antara yang dikerjakan dan ditinggalkan. Hukum Taklifi ini
dibagi menjadi lima, yaitu wajib,mandub, haram, makruh, mubah.
4. Hukum Wadh’i adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai
sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu
yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi adanya sesuatu
yang lain tersebut. Hukum wadh’i dibagi menjadi lima, yaitu sebab,
syarat, mani’, azimah dan ruhkshah, sah dan fasid.
B. SARAN
Demikian makalah ini kami buat, menyadari bahwa makalah yang
kami susun ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu kami mengharapkan saran dan masukan yang
konstruktif demi perbaikan penulisan makalah dan konten untuk
pengembangan selanjutnya. semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita
semua.

14
DAFTAR PUSTAKA
Syaibati, Abdul Qodir. Imtau al-Uqul bi-Raudloti al-Wushul. Riyad:
Maktabah Malik. 2014
Shidiq, Saipuddin. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada media Group cet ke2.
2014
Mujiburrahman. Kunci Memahami Ushul Fiqih (terjemah syarah
waroqot). Surabaya: Mutiara Ilmu, Cet Ke 2. 2006
M. Zaeni, Effendi, H. Satria. Ushul Fiqih. Jakarta : Prenada Media. 2009
Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh Kaidah Hukum Islam. Jakarta:
Pustaka Amani. 1977
Schacht, Joseph. Pengatar Hukum Islam (diterjemahkan dari An Introduction
to Islamic Law, Oleh Joko Supomo). Bandung: Nuansa. 2010
Kemenag RI. Al Qur’an dan Terjemahannya. Lajnah Pentashihan Mushaf Al-
Qur’an Kemenag RI. 2019
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka
Progressif. 1997

15

Anda mungkin juga menyukai