Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

Hukum Takhlifi

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 5:

NAZWA (220440100)
ZAINITA HUSNIA (220440084)
M ROHID KHADAFY (210440136)
AZRI ANDRIANSYAH (210440123)

DOSEN PEMBIMBING:
NAZLI HASAN, LC., M.A

PRODI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
LHOKSEUMAWE
2022/2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................... i

BAB l PENDAHULUAN ........................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah .......................................................................... 2
1.3 Tujuan .................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 3

2.1 PengertianHukumTakhlifi ............................................................... 3


2.2 Pembahasan Hukum Takhlifi Menurut Jumhur Ulama .................. 4
2.3 Pembagian Hukum Takhlifi ........................................................... 6
1. Wajib (Ijab) ............................................................................... 6
2. Mandub (Sunah) ........................................................................ 12
3. Tahrim (Haram) ........................................................................ 16
4. Karahah (Makruh) ..................................................................... 18
5. Ibahah (Mubah) ......................................................................... 20

BAB III PENUTUP .................................................................................... 23

3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 23


3.2 Saran ............................................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 26

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu ushul fiqh berguna untuk kepentingan ilmu syariah, dan yang paling
tepat, dan bermanfaat, terutama bagi para mujtahid dalam melakukan istinbath
hukum dengan berbagai dalil dan nash serta logika berpikir. Al-Ghazali
mengatakan: "ilmu yang paling terhormat adalah ilmu yang dapat meningkatkan
kemampuan nalar dan logika, serta dapat mendukung penerapan syariat, dan itu
termasuk ilmu ushul fiqh. Hal semacam itu, dibutuhkan dari syariat dan
nalar.Ushul fiqh adalah tempat perlindungan terakhir bagi para fuqaha dalam
memutuskan perkara yang dihadapi oleh umat. Taklid semata tidak dapat diterima
karena manusia telah diberi akal untuk terus berpikir dengan logika yang ada
dalam tuntunan syara’. Dalam syariat Islam terdapat dua jenis hukum yang
dibebankan kepada mukallaf (orang yang telah memenuhi persyaratan untuk
dibebani hukum ) yang pertama adalah Taklifi dan yang kedua adalah Wadh’iy.

Hukum-hukum ini yang digunakan oleh seorang mukallaf untuk menjadi


tumpuan dalam menjalankan ibadah. Hukum taklifi menurut pengertian
kebahasaan adalah hukum pemberian beban sedangkan menurut istilah adalah
perintah Allah yang berbentuk pilihan dan tuntutan. Dinamakan hukum taklifi
karena perintah ini langsung mengenai perbuatan seorang mukalaf (balig dan
berakal sehat). Disebutkan tuntutankarena hukum taklifi menuntut seorang
mukallaf untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan secara pasti.

Pembahasan tentang hukum taklifi adalah salah satu dari beberapa kajian
Ushul Fiqh. Bahkan salah satu tujuan utama dari studi Ushul Fiqh adalah
bagaimana menyimpulkan hukum taklifi’ dari sumber-sumbernya.Oleh karena itu
penting kedudukan hukum taklifi’ dalam pembahasan ini, maka pada pembahasan
ini akan dipaparkan penjelasan tentang hal-hal tersebut. Adapun tujuan karya
ilmiah ini yaitu, mengetahui tentang pendapat para imam mazhab tentang hukum

1
taklifi,dan mengetahui pengertian dari hukum taklifi dan macam-macam hukum
Takhlifi.1

1.2 Rumusan Masalah

Berikut rumusan masalah dari makalah ini:


1. Apa yang dimaksud dengan Hukum Takhlifi ?
2. Bagaimanakah Pembahasan-pembahasan Hukum Takhlifi dalam Ushul
Fiqh menurut para ulama ?
3. Bagaimana Pembagian-pembagian dari Hukum Takhlifi ?

1.3 Tujuan

Tujuan yang hendak dicapai pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian dari Hukum Takhlifi.
2. Untuk mengetahui dan memahami pembahasan-pembahasan Hukum
Takhlifi dalam Ushul Fiqh menurut jumhur ulama.
3. Untuk mengetahui Bagian-bagian dari Hukum Takhlifi.

1
Muhtada, Fikri, et all. (2022). Kajian Takhlifi Menurut Para Imam Mazhab. Tahkim, hlm 247-
248

2
BAB II

PEMBAHASAN

HUKUM TAKHLIFI

2.1 Pengertian Hukum Takhlifi

Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “mencegah” atau


“memutuskan”. Menurut terminologi ushul fiqh, hukum (al-hukm) berarti: Khitab
(kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa Iqtidla
(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan),
Takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan
tidak melakukan), atau Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab,
syarat, atau mani’ [penghalang].2

Takhlifi berasal dari kata kallafafa-yukallifu-taklif yang artinya beban. Hukum


takhlifi secara bahasa berarti hukum pembebanan, atau hukum yang dibebankan
dari Allah dan Rasul-Nya kepada para hamba-hamba-Nya. Sedang menurut istilah
adalah.

‫ب فِ ْعل ِم ْن ُم َكلَّف ا َ ْو َكفَّهُ َع ْن فِ ْعل ا َ ْو‬


َ َ‫طل‬ َ َ ‫فَا ْل ُح ْك ُم ا لت َّ ْك ِل ْي ِفي ُه َو َماا ْقت‬
َ ‫ضى‬
ُ‫ف َع ْنه‬ ِ ‫ت َ َخيَّي ُْرهُ َبيْنَ ِف ْعل َو ْال َك‬
“Hukum Taklifi ialah apa yang mengandung kehendak meminta terhadap
mukallaf untuk memperbuatnya atau menahannya dari memperbuat, atau memilih
antara melakukan dan tidak melakukan”.

Jadi, arti hukum takhlifi menurut dalil tersebut adalah suatu hukum yang
dibebankan kepada mukallaf yang mengandung tiga unsur pokok, yaitu tuntutan
untuk melakukan, atau larangan (untuk tidak melakukan) atau kebolehan memilih
(antara melakukan atau tidak melakukan).3

2
Hallaf, ‘Abd al-Wahhab. (2003). ‘Ilmu Ushul al-fiqh. Al Qahira: Dar al-hadit, hlm 76.
3
Hayat, Abdul. (2017). Ushul Fiqh: Dasar-dasar Untuk Memahami Fiqh Islam.Jakarta: Rajawali
Press, hlm 13.

3
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan
atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara yang
dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya
atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat
dan tidak memperbuat.4

Atau pengertian lain dari Hukum Takhlifi adalah tuntutan allah yang berkaitan
dengan perintah untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara
berbuat sesuatu atau meninggalkannya.5

Dinamai hukum takhlifi karena mengandung pembebanan (takhlif) kepada


para mukallaf untuk dikerjakan, ditinggalkan atau dipilih antara dikerjakan atau
ditinggalkan. Tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan atau untuk
meninggalkannya adalah jelas sekali sebagai pemberian beban . Adapun pilihan
antara mengerjakan dan meninggalkan suatu perbuatan pada hakikatnya bukanlah
merupakan suatu pembebanan, tetapi hanya alternatif belaka. Para ahli ushul
memasukkannya ke dalam pembebanan (takhlif) adalah berdasarkan kepada
(ghalibnya).6

2.2 Pembahasan-pembahasan Hukum Takhlifi Dalam Ushul Fiqh Menurut


Jumhur Ulama

Hukum takhlifi menurut jumhur ulama ushul fiqh atau mutakallimin terbagi
menjadi lima macam, yaitu al-ijab (wajib), al-nadb (sunah), ibahah (mubah atau
boleh memilih), al-karahah (makruh), dan al-tahrim (haram). Kelima hukum ini
menimbulkan efek terhadap perbuatan mukallaf dan efek itulah yang dinamakam
al-ahkam al khamsah.

Sementara menurut imam Hanafiah, Hukum takhlifi dibagi tujuh, fardhu,


wajib, tahrim, karahah tahrim, karahah tanzih, nabd dan ibahah.Menurut

4
Muhtada, Fikri. Op., Cit. Hlm 247.
5
Rosyada, Dede. (1999). Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: kencana, hlm 17-18.
6
Hayat, Abdul. Op., Cit. hlm 14.

4
mereka, suatu perintah didasarkan pada dalil yang pasti (qath’i). yakni Al-Quran
dan Hadis mutawattir, maka perintah itu disebut fardhu. Namun, bila suruhan itu
berdasarkan dalil yang zhanni, maka ia dinamakan wajib. Demikian pula halnya
dengan larangan, Bila larangan itu berdasarkan dalil yang pasti (qath’i), maka ia
disebut haram. Sebaliknya, Bila larangan itu berdasarkan dalil yang zhanni, maka
ia tergolong kepada hukum makhruh.

Perbedaan antara ulama Hanafiyah dengan ulama Jumhur terdapat pula dalam
tuntutan meninggalkan secara pasti. Jumhur ulama tidak membedakan kekuatan
dalil yang menetapkan larangan yang pasti itu, dengan arti semua larangan yang
pasti itu menimbulkan hukum haram, baik dalil yang menetapkan qath’i atau
zhanni. Ulama hanafiyah membagi larangan yang pasti itu kepada dua bagian.
Pertama tuntutan meninggalkan secara pasti itu ditetapkan dengan dalil qath’i
baik dari Al-Quran, hadis mutawattir atau ijma’ yaitu disebut dengan tahrim.
Hukum haram ini adalah kebalikan dari hukum fardhu. Umpamanya larangan
berbuat zina.

Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Imam Al-Haramain, yang
membagi macam hukum takhlifi menjadi tujuh, yakni:

ُ‫ظ ْو ُر َو ْال َم ْك ُر ْوه‬


ُ ‫ب َو ْال ُمبَا ُح َو ْال َم ْح‬
ُ ‫ب َو ْال َم ْندُ ْو‬ ِ ‫ ا َ ْل َو‬: ‫س ْب َعة‬
ُ ‫اج‬ َ ‫ا َ ْل َ ْح َكا ُم‬
,‫ب َعلَى ت َ ْر ِك ِه‬ ُ َ‫اب َعلَى فِع ِل ِه َويُعَاق‬ ُ َ ‫ب َما يُث‬ ُ ‫ فَ ْال َواج‬.‫اط ُل‬
ِ َ‫َوالص ِح ْي ُح َو ْالب‬
ُ َ ‫ َو ْال ُم َبا ُح َم َاليُث‬,‫ب َعلَى ت َ ْر ِك ِه‬
‫اب‬ ُ َ‫ع َلى ِف ْع ِل ِه َو َل يُ َعاق‬
َ ‫اب‬ُ َ ‫ب َما يُث‬ ُ ‫َو ْال َم ْندُ ْو‬
‫ب‬ُ َ‫اب َع َلى ت َ ْر ِك ِه َويُ َعاق‬ ُ ‫مح‬
ُ َ ‫ظ ْو ُر َما يُث‬ ْ ‫ َو ْال‬,‫ب َعلَى ت َ ْر ِك ِه‬ ُ َ‫َعلَى فِ ْع ِل ِه َو َليُ َعاق‬
,‫ب َعلَى فِ ْع ِل ِه‬ ُ َ‫اب َعلَى ت َ ْر ِك ِه َو َل يُ َعاق‬ ُ َ ‫ َو ْال َم ْك ُر ْوهُ َما يُث‬,‫َعلَى فِ ْع ِل ِه‬
ِ َ‫ َو ْالب‬,‫َوالص ِح ْي ُح َما يَت َعَ ِل ُق بِ ِه النفُ ْوذُ َويُ ْعت َد بِ ِه‬
‫اط ُل َم َال يَت َعَلَّ ُق بِ ِه النفُ ْوذُ َو َل‬
‫يُ ْعت َد بِ ِه‬
“Hukum ada tujuh, yaitu wajib, sunah, mubah, mahzur (haram), makruh, sahih
dan batal. Wajib ialah perbuatan yang diberi pahala jika dikerjakan, disiksa jika

5
ditinggalkan. Sunah adalah perbuatan yang diberi pahala jika dikerjakan, namun
tidak berdosa jika ditinggalkan. Mubah adalah perbuatan yang tidak diberi
pahala jika dikerjakan, dan tidak disiksa jika ditinggalkan. Mahzur ialah
perbuatan yang diberi siksa jika dikerjakan, dan diberi pahala jika ditinggalkan.
Makhruh ialah perbuatan yang diberi pahala jika ditinggalkan, namun tidak
disiksa jika dilakukan. Sahih ialah kondisi yang terkait dengan keberlangsungan
atau keteranggapan. Batal ialah kondisi yang tidak terkait dengan
keberlangsungan atau keteranggapan”.7

2.3 Pembagian Hukum Takhlifi

Jumhur ulama ushul membagi hukum takhlifi kepada 5 lima macam, yaitu :

1). Wajib (ijab)

a). Pengertian Wajib

Apabila kewajiban itu dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf disebut dengan
wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut disebut dengan wajib. oleh karena itu,
menurut ulama ushul fiqh istilah ijab terkait dengan khitab (tuntutan Allah),
sedangkan wujub adalah akibat dari khitab dan wajib adalah perbuatan yang dituntut
oleh khitab Allah.8

Definisi Wajib (ijab) secara Bahasa adalah:

‫ازما‬ َ ِ‫ضى ْال ِف ْع َل ِإ ْقت‬


ِ ‫ضاء َج‬ ِ َ ‫اب للاِ ت َ َعلَى يَ ْقت‬
ُ ‫ط‬ ُ ‫ا َ ْل ْي َج‬
َ ‫اب ُه َو ِخ‬

Tuntutan secara pasti dari syar’i untuk dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan
atau tuntutan yang pasti atau tegas.

Sementara Wahbah Zuhaili mendefinisikan wajib (ijab) secara istilah adalah


sebagai berikut:

ِ ‫طلَبا َج‬
‫ازما‬ ِ َّ‫ع فِ ْعلُهُ ِمنَ ْال ُم َكل‬
َ ‫ف‬ ُ ‫ار‬
ِ ‫ش‬ َ َ‫طل‬
َّ ‫ب ال‬ َ ‫ش ْرعا ُه َو َما‬
َ ‫ب‬ ِ ‫ا َ ْل َو‬
ُ ‫اج‬
7
Hayatuddin, amrullah. (2019). Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam. Jakarta:
Amzah, hlm 120.
8
Ibid, hlm 121-122.

6
Wajib menurut syara’ adalah apa yang dituntut syara’ kepada mukallaf untuk
diperbuat, dalam bentuk tuntutan yang keras.9

Sementara Ahli ushul fiqh mendefinisikan arti wajib secara sederhana dengan:

ُ َ‫اب فَا ِعلُهُ َويُ َعاق‬


‫ب‬ ُ ‫ب َعلَى َو ْج ِه ال ُز ْو ِم ِب َحي‬
ُ َ ‫ْث يُث‬ ْ ‫ب ُه َو ْال ِف ْع ُل ْال َم‬
ِ ‫طلُ ْو‬ ُ ‫اج‬ِ ‫ا َ ْل َو‬
ُ‫ار ُكه‬
ِ َ‫ت‬
Wajib adalah sesuatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan
pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya karena
perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa
orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang
menuntut.10

Wajib menurut syara’ adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syara’ secara
keras kepada mukallaf untuk melaksanakannya. Atau definisi lainya ialah suatu
perbuatan jika dikerjakan akan mendapat pahala dan jika ditinggalkan akan berdosa.11

Dalam masalah wajib, para ahli ushul fiqh bahwa wajib dapat diketahui melalui
beberapa penunjuk, diantaranya adalah:

1. Melalui penunjukan sifat wajib itu sendiri. Hal ini terjadi dalam beberapa
bentuk:
a. Bentuk kata kerja FiilAmar (kata perintah), seperti dalam Al-Quran Surah
Taha ayat 14 yang artinya:
“Dan laksanakanlah shalat untuk mengingat Aku… (QS. Taha (20): 14).
b. Bentuk kata-kata yang tercantum dalam kalimat itu sendiri menunjukkan
wajib, seperti yang tercantum dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 183
yang artinya:

9
Ibid, hlm 121.
10
Syarifuddin, Amir. (2014). Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Prenadamedia, hlm 341-342.
11
Darmawati. (2019). Ushul Fiqh. Jakarta: kencana, hlm 113.

7
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu
bertakwa”. (QS. Al-Baqarah(2):183).
c. Bentuk kata-kata ancaman bahwa suatu perbuatan jika ditinggalkan akan
diancam dengan hukuman keras, seperti yang tercantum dalam Al-Quran
Surah An-Nisa’ ayat 93 yang artinya:
“Dan barangsiapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja,
maka balasannya adalah neraka jannam, dia kekal didalamnya. Allah
murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar
baginya”. (QS. An-Nisa’ (4): 93).

2. Fi’il Mudari yang diikuti lam amar, seperti yang tercantum dalam Al-quran
Surah Al-Hajj ayat 29 yang artinya:
“…Supaya mereka bertawaf di kakbah”. (QS. Al-Hajj (22): 29).

3. Melalui petunjuk qarinah (tanda/indikasi) lainnya, seperti yang tercantum


dalam Al-Quran Surah Ali ‘Imran ayat 97 yang artinya:
“Dan Allah mewajibkan atas manusia berhaji ke baitullah bagi orang-orang
yang mampu”. (QS. Ali ‘Imran (3): 97).12

b). Pembagian Wajib

Pembagian wajib dapat dilihat dari beberapa segi, wajib terbagi empat. Yaitu dari
segi waktu pelaksanaan kewajiban, siapa yang dituntut untuk mengerjakannya,
berapa kadar yang dituntut dan apanya yang dituntut.

1. Pembagian wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya


Wajib ditinjau dari segi waktu pelaksanaan perbuatan yang dituntut,
terbagi kepada dua, yaitu: wajib muthlaq dan wajib mu’akkat.13

12
Hayatuddin, amrullah. Op., Cit. hlm 122-123.
13
Syarifuddin, Amir. Op., Cit. hlm 344.

8
a. Wajib muthlaq
Wajib muthlaq adalah suatu kewajiban yang waktu pelaksanaannya tidak
ditentukan, dengan arti tidak salah bila waktu pelaksanaanya
ditangguhkan sampai waktu yang ia sanggup untuk melakukannya.
Umpamanya meng-qadha puasa yang tertinggal karena uzur. Ia wajib
melakukannya dan dapat dilakukan kapan saja ia mempunyai
kesanggupan.
b. Wajib muaqqat
Wajibmuaqqat adalah suatu kewajiban yang pelaksanaanya ditentukan
dalam waktu tertentu dan tidak sah dilakukan di luar waktu yang telah
ditentukan. Contohnya ialah puasa di bulan Ramadhan dan shalat wajib.14
Wajib muaqqat ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Wajib muwassa’,
mudhayyaq dan dzusyibhaini.
1. Wajib muwassa’
Wajib muwassa’ (kewajiban yang mempunyai batas waktu yang
longgar) adalah suatu kewajiban yang waktu untuk melakukan
kewajiban itu melebihi waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri.
Misalnya shalat Zhuhur. Waktu yang disediakan untuk shalat Zhuhur
itu ialah dari tergelincir matahari sampai ukuran bayang-bayang
sepanjang badan, atau sekitar tiga jam, sedangkan waktu untuk
melakukan shalat Zhuhur itu sendiri hanya sekitar 10 menit. Dalam
bentuk Wajib muwassa’ ini diberi kelapangan bagi mukallaf untuk
melaksanakan kewajiban dalam rentangan waktu yang ditentukan
itu.15
2. Wajib mudhayyaq
Wajib mudhayyaq (kewajiban yang mempunyai batas waktu yang
sempit),adalah suatu kewajiban yang menyamai waktunya dengan
kewajiban itu sendiri, dengan arti pelaksanaan kewajiban sama
waktunya dengan waktu yang disediakan untuk melaksanakan wajib

14
Ibid, hlm 344.
15
Ibid, hlm 345.

9
itu. Umpamanya puasa Ramadhan. Waktu melaksanakan puasa
Ramadhan itu adalah satu bulan, yaitu selama bulan ramadhan yang
telah ditetapkan. Dalam hal ini puasa wajib Ramadhan tidak dapat
dilakukan di luar ramadhan, sedangkan dalam bulan Ramadhan itu
tidak dapat dilakukan puasa selain puasa Ramadhan. Hal ini telah
disepakati oleh ulama ushul.

3. Wajib dzu syibhaini


Wajib dzu syibhaini (longgar dan sempit) adalah suatu kewajiban yang
pelaksanaanya dalam waktu tertentu dan waktunya mengandung dua
sifat tersebut di atas. Dari satu segi ia disebut muwassa’ dan dari segi
lain ia adalah mudhayyaq. Umpamanya ibadah haji. Bahwa ibadah haji
hanya satu kali dalam satu tahun dan tidak dapat dalam tahun itu
dilaksanakan haji lainnya, maka hal ini disebut dengan “mudhayyaq”.
Dari segi pelaksanaannya, ibadah haji lebih sempit waktunya daripada
waktu yang disediakan untuk melaksanakan rangkaian ibadah haji,
maka hal ini disebut dengan “muwassa’. Dengan demikian ia memiliki
titik kesamaan dengan dua bentuk diatas. Karenanya di kalangan
ulama disebut dzusyibhaini.16

2. Pembagian wajib dari segi pelaksana


Wajib dari segi pelaksana dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Wajib ‘Aini
Wajib ‘Aini adalah suatu kewajiban yang dibebankan oleh syar’i kepada
setiap orang mukallaf secara individu. Kewajiban itu harus dilaksanakan
secara pribadi oleh mukallaf dan tidak mungkin dilakukan oleh orang lain.
Contohnya seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan menjauhi hal-
hal yang diharamkan.

16
Ibid, 347-348.

10
b. Wajib Kifayah
Wajib Kifayah adalah kewajiban yang dibebankankepada seluruh
mukallaf, namun bilamana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam,
maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi sehingga orang yang tidak
ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya
pelaksanaan shalat jenazah, kewajiban melakukan amar makruf dan nahi
mungkar, menjawab salam, menyelamatkan orang tenggelam,
memadamkan kebakaran, dll.17

3. Pembagian wajib dari segi kadar yang dituntut


Wajib dari segi jumlah atau kadar yang dituntut terbagi kepada dua, yaitu:
a. Wajib muhaddad
Wajib muhaddad adalah suatu kewajiban yang kadar wajibnya sudah
ditentukan secara pasti sehingga seseorang yang dituntut tidak dapat
berbuat lain dari itu. Misalnya, zakat mal dan zakat fitrah. Kewajiban
zakat harta atau zakat fitrah telah ditentukan kadarnya, dalam arti bila
telah terpenuhi syarat-syarat wajib, maka seseorang harus
melaksanakannya menurut ukuran yang telah ditentukan.18
b. Wajib Ghairu Muhaddad
Wajib ghairu muhaddad adalah suatu kewajiban yang kadar ukurannya
tidak dijelaskan oleh syara’ secara pasti, tetapi dituntut pelaksanaanya.
Misalnya berinfak harta di jalan allah, bertolong-tolongan untuk kebajikan
dan takwa, bersedekah kepada fakir miskin, memberi makan orang yang
kelaparan, dan sebagainya.19

17
Efendi, Satria. (2017). Ushul Fiqh. Jakarta: prenada: media, hlm 43.
18
Syarifuddin, Amir. (2014). Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: kencana, hlm 11.
19
Hayat, Abdul. Op., Cit, hlm 24.

11
4. Pembagian wajib dari segi bentuk perbuatan yang dituntut
Ditinjau dari segi bentuk perbuatan yang dituntut, wajib terbagi menjadi
dua bagian, yaitu:
a. Wajib Mu’ayyan
Wajib mu’ayyan adalah kewajiban yang sudah ditentukan wujud
perbuatannya dan tidak boleh memilih wujud perbuatan lain atau
perbuatan yang berkaitan dengan sesuatu yang diperintahkan. Misalnya
menjalankan shalat, puasa, zakat dan haji.
b. Wajib Mukhayyar
Wajib Mukhayyar adalah kewajiban yang dituntut oleh syar’i kepada
orang mukallaf di antara sekian banyak kewajiban (yang boleh dipilih).
Misalnya kewajiban yang melanggar sumpahnya sendiri ia boleh memilih
antara membayar kafarah atau memberi makan kepada 10 orang fakir
miskin.20

2). Mandub (sunah)

a). Pengertian Mandub

Definisi nabd secara bahasa sama dengan kata “khafif” yang artinya adalah
ringan, seperti kalimat “RajulunKhafif” yang berarti seorang laki-laki yang tidak
banyak tingkah”. Diartikan demikian karena nabd bukan fardhu, lafal nabd dapat
diartrikan sama dengan lafal “Istihab” yang artinya disukai. Akan tetapi, kata al
mandub merupakan bentuk Masdar dari nadb yang berarti “almad’ufih” artinya yang
diserukan.21

Mandub adalah bentuk masdar dari kata nabada-yandhubu-nabd, yang berarti


mengajak atau menganjurkan.22Mandub dalam artian lughawi adalah seruan untuk
sesuatu yang penting.

20
Hayatuddin, Amrullah. Op., Cit. hlm 124
21
Ibid, hlm 125.
22
Pachrudin, R. (2021). Analisis Hukum Takhlifi dan Pengembangannya dalam Ushul Fiqh. hlm 5.

12
Sedangkan Mandub menurut istilah adalah:

‫ازما‬ َ ِ‫ضى ْال ِف ْع َل اِ ْقت‬


ِ ‫ضاء َج‬ ِ َ ‫اب للاِ ت َ َعالَى َي ْقت‬
ُ ‫ط‬َ ‫ب ُه َو ِخ‬
ُ ‫ا َلنِ ْد‬
Titah Allah SWT yang menuntut atas suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak
secara pasti.

Maksud dari definisi diatas, sunah itu adalah titah yang mengandung perintah
yang tidak mesti dikerjakan, hanya berupa anjuran melaksanakannya. Dalam hal ini
mukallaftidak dilarang untuk meninggalkannya. Dituntut untuk dikerjakan itu disebut
mandub sedangkan akibat dari tuntutan disebut nadb.23

Sebagian ulama memberi arti terhadap mandub itu dengan:

ِ َ ‫ب َعلَى ت‬
‫ار ِك ِه‬ ُ َ‫اب َعلَى فَا ِع ِل ِه َول يُ َعاق‬
ُ َ ‫َما يُث‬
Sesuatu yang diberi pahala orang yang melakukannya dan tidak disiksa orang yang
meninggalkannya.24

Dan adapun arti mandub seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan,
mandub adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana
akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang
tidak melaksanakannya.25

Dari bentuk-bentuk perbuatan mandub (sunah), istilah yang dipakai untuk


menunjukkan mandub (sunah adalah sebagai berikut):

1. Al-Sunah artinya pekerjaan yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, secara


tekun.
2. Nafilah artinya pekerjaan yang dilakukakn oleh Rasulullah SAW, secara
tekun
3. Al-Mustahabu yaitu sesuatu yang dikerjakan Rasulullah SAW, tetapi dalam
pengerjaannya hanya dilakukan satu atau dua kali saja.

23
Hidayatuddin, Amrullah. Op., Cit, hlm 125.
24
Syarifuddin,Amir. Op., Cit, hlm 362.
25
Effendi, Satria. Op., Cit, hlm 49.

13
4. Al-Tawattu’ yaitu suatu pekerjaan yang tidak pernah dilakukan Rasulullah
SAW, tetapi hal ini didasarkan pada pilihan manusia.26

Perbuatan yang mandub (sunah), dapat diketahui melalui bentuk-bentuk lafal


yang tercantum dalam nash,

1. Lafal Al-Sunah atau Nafilah, seperti yang dicantumkan dalam Al-Quran


Surah Al-Isra’ ayat 29 yang artinya:
“… Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu
ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan tuhanmu mengangkatmu ke
tempat yang terpuji”. (QS. Al-Isra’ (17): 79).

2. Lafal yang berbentuk anjuran, seperti yang dicantumkan dalam Al-Quran


surah Al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
“… Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di
antaramu… (QS. Al-Baqarah (2): 282).

3. Lafal yang berbentuk amar (perintah), tetapi ditemukan qarinah (petunjuk)


yang menunjukkan bahwa amar tersebut tidak tegas, seperti yang
dicantumkan dalam Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 282 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar”.
(QS. Al-Baqarah (2): 282).27

b).Pembagian Mandub (sunah)

Mandub (sunah) dapat dibagi dari beberapa segi, yaitu:

1. Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melakukan perbuatan sunah.
Sunah ini terbagi menjadi dua, yaitu:

26
Hidayatuddin, Amrullah. Op., Cit, hlm 127.
27
Ibid, hlm 125-126.

14
a. Sunah Muakkadah
Yaitu perbuatan yang selalu dilakukan oleh Nabi di samping ada
keterangan yang menunjukkan bahwa perbuatan itu bukanlah sesuatu yang
fardhu. Umpamanya shalat witir, dua rakaat fajar sebelum subuh. Sunah
dalam bentuk ini, karena kuatnya, sebagin ulama mengatakan bahwa
orang yang meninggalkannya dicela, tetapi tidak berdosa, karena orang
yang meninggalkannya secara sengaja berarti menyalahi sunah yang biasa
dilakukan Nabi.
b. Sunah Ghairu Muakkadah
Yaitu perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi, tetapi Nabi tidak
melazimkan dirinya untuk berbuat demikian. Umpamanya memberikan
sedekah kepada orang miskin, shalat sunah 4 rakaat sebelum zhuhur dan
sebelum ashar. Untuk perbuatan yang seperti ini digunakan kata: nafal,
mustahab, ihsan dan tathawwu’.
2. Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan.
Sunah ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Sunah Hadyu
Yaitu perbuatan yang dituntut untuk melakukannya karena begitu besar
faedah yang didapat darinya dan orang yang meninggalkannya dinyatakan
sesat dan tercela; bahkan bila satu kelompok kamu sengaja
meninggalkannya secara terus-menerus, maka kelompok ini harus
diperangi. Sunah dalam bentuk ini merupakan kelengkapan dari kewajiban
keagamaan. Umpamanya shalat berjamaah, shalat hari raya, adzan dan
iqamah. Dari segi besar pahalanya sunah ini termasuk sunnah muakkadah.
b. Sunah Zaidah
Yaitu sunah yang apabila dilakukan oleh mukallaf dinyatakan baik tetapi
bila ditinggalkan, yang meninggalkannya tidak diberi saknsi apa-apa;
seperti cara-cara yang biasa dilakukan oleh Nabi dalam kehidupan sehari-
harinya. Umpamanya adalah cara makan. Sunah zaidah ini tempatnya
adalah di bawah derajat sunah ghairu muakkadah.

15
c. Sunah Nafal
Yaitu suatu perbuatan yang dituntut sebagai tambahan bagi perbuatan
wajib, seperti shalat sunnah 2 rakaat yang mengiringi shalat wajib, shalat
tahajud, witir dan lainnya yang dalam istilah lain disebut sunah ghairu
muakkadah.28

3). Tahrim (Haram)

a). Pengertian Tahrim (Haram)

Definisi Tahrim secara bahasa adalah:

‫ازما‬ َ ‫الت ْر َك اِ ْق ِت‬


ِ ‫ضاء َج‬ ِ ‫ضى‬ِ َ ‫اب للاِ ت َ َعا َل َي ْقت‬
ُ ‫ط‬َ ‫ا َلت َّ ْح ِر ْي ُم ُه َو ِخ‬
Tahrim adalah Titah Allah SWT yang menuntut hukum untuk meninggalkan suatu
perbuatan dengan tuntutan yang pasti.

Sementara definisi Tahrim secara istilah adalah:

‫ف فِ ْعلَهُ َحتْما‬ ِ َّ‫ع ِمنَ ْال ُم َكل‬


َّ ‫ف ال َك‬ ُ ‫ار‬
ِ ‫ش‬ َ َ‫طل‬
َّ ‫ب ال‬ َ ‫اَلت َّ ْح ِر ْي ُم ش َْرعا هُ َو َما‬
Tahrim adalah apa-apa yang dituntut oleh syara’ untuk tidak melakukannya dengan
tuntutan yang keras.29

Secara Terminology ushul fiqh, Haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah
dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam
dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati allah akan diberi
pahala. Misalnya, larangan berzina, larangan mencuri dan larangan menganiaya.30

Akibat dari tuntutan tersebut disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut itu
disebut dengan haram. Dalam kajian ushul fiqih dijelaskan, bahwa sesuatu tidak akan

28
Syarifuddin, Amir. Op., Cit, hlm 362-363
29
Hidayatuddin, amrullah. Op., Cit, hlm 132.
30
Effendi, Satria. Op., Cit, hlm 50.

16
dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi
kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan).31

Perbuatan tahrim atau haram, dapat diketahui melalui beberapa bentuk lafadz
yang tercantum dalam nash sebagai petunjuknya, diantaranya yaitu:

1. Berbentuk dengan langsung menggunakan kata haram. Seperti yang


dicantumkan dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 173 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut nama selain Allah”. (QS.
Al-Baqarah (2): 173).

2. Berbentuk lafal nahyi (larangan). Seperti yang dicantumkan dalam Al-Quran


Surah Al-An’am ayat 151 yang artinya:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan Sesutu (sebab) yang benar. Demikian itu
yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahaminya”. (QS. Al-An’am
(6): 151).

3. Berbentuk lafal amar (perintah) untuk menjauhi suatu perbuatan. Seperti yang
dicantumkan dalam Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 90 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamar, berjudi,
berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan anak panah, adalah
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keuntungan”. (QS. Al-Maidah (5): 90).

4. Berbentuk contoh perbuatan yang dianggap buruk yang diancam sanksi berat
dari Allah. Seperti yang dicantumkan dalam Al-Quran Surah An-Nur ayat 4
yang artinya:
“Dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan terhormat (berbuat
zina), kemudian itu tidak mendatangkan empat orang saksi, maka hendaklah

31
Ibid, hlm 51

17
mereka didera delapan puluh kali deraan, dan janganlah diterima kesaksian
dari mereka selama-lamanya. Itulh orang-orang yang fasik”. (QS. An-
Nur(24): 4).32

b).Pembagian Haram

para ulama ushul fiqh, antara lain Abdul-Karim Zaidan, membagi haram kepada
beberapa macam, yaitu:

1. Al muharram li dzatihi
yaitu sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung
kemudharatan bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa
terpisah dari zatnya. Misalnya, larangn berzina, larangan menikahi watita
mahram seperti ibu kandung atau saudara kandung, ketentuan hukum haram
memakan bangkai, dan mengenai ketentuan haramnya membunuh jiwa
manusia.33
2. Al-muharram li ghairihi
yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya, karena secara esensial
tidak mengandung kemudharatan, namun dalan kondisi tertentu, sesuatu itu
dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang akan membawa kepada
sesuatu yang dilarang secara esensial. Misalnya larangan melakukan jual beli
pada waktu shalat jum’at.34

4). Karahah (Makruh)

a). Pengertian karahah (makhruh)

Dalam artian lughawi, karahah adalah sesuatu yang tidak disenangi atau sesuatu
yang dijauhi. Sedangkan dalam istilah ulama ushul, karahah adalah:

‫ع ت َ ْر َكهُ َعلَى َو ْج ِه َغي ِْر الل ُز ْو ِم‬


ُ ‫اار‬
ِ ‫ش‬ َ َ‫طل‬
َّ ‫ب ال‬ َ ‫َما‬

32
Hayatuddin, Amrullah. Op., Cit, hlm 132-133
33
Effendi, Satria. Op., Cit, hlm 51.
34
Ibid, hlm 53.

18
sesuatu yang dituntut oleh pembuat hukum untuk ditinggalkan dalam bentuk tuntutan
yang pasti.

Pengaruh tuntutan ini terhadap perbuatan yang dilarang disebut “karahah” dan
perbuatan yang dilarang secara tidak pasti itu disebut “makruh”.35

Apabila perbuatan makhruh itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkan


akan mendapat pahala dan apabila dikerjakan, maka orang yang yang Mengerjakan
tidak mendapat siksa. Sekalipun demikian sangat dianjurkan untuk meninggalkan
yang makhruh.36

Perbuatan Makhruh ini dalam nash dapat diketahui melalui bentuk-bentuk lafal
berikut:

1) Bentuk lafal nahyi (larangan), tetapi terdapat qarinah (petunjuk) yang


menunjukkan bahwa perbuatan itu dimakruhkan. Seperti firman Allah dalam
Al-Quran Surah Al-Maidah ayat 101 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jnganlah kamu menanyakan (kepada
Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menusahkan
kamu”. (QS. Al-Maidah (5): 101).

2) Bentul lafal Amar (perintah) untuk menjauhi, tetapi terdapat qarinah


(petunjuk) yang menunjukkan bahwa perbuatan itu dimakhruhkan (menurut
sebagian ulama). Seperti firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Jumu’ah
ayat 9 yang artinya:
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat,
maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tingggalkanlah jual
beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (QS. A-
Jumu’ah (62): 9)

35
Syarifuddin, Amir. Op., Cit, hlm 373
36
Hayat, Abdul. Op., Cit, hlm 32.

19
Berjualan ketika azan sudah berkumandang hukumnya makhruh. Karena itu ayat
di atas menunjukkan kepada larangan untuk melakukan transaksi jual beli ketika azan
sudah berkumandang, tetapi bentuk larangannya tidak bersifat pasti.37

b). Pembagian Karahah (makhruh)

Menurut kalangan Hanafiyah, makhruh terbagi kepada dua macam, yaitu:

a. Makhruh tahrim
Yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu
bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari Rasulullah hanya sampai
ke dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya larangan meminang wanita
yang sedang dalam pinangan orang lain dan larangan membeli sesuatu yang
sedang dalam tawaran orang lain.38
b. Makhruh tanzih
Yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misalnya,
memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat butuh di
waktu perang. Menurut sebagian kalangan Hanafiyah, pada dasarnya
memakan daging kuda hukumnya haram karena ada larangan memakannya
berdasarkan Hadis riwayat Daraquthni. Namun ketika sangat butuh waktu
perang di benarkan memakannya sekalipun dianggap makhruh.39

5). Ibahah (mubah)

a). Pengertian Ibahah (mubah)

Kata Mubah berasal dari fi’ilmadhi “Abaha” dengan arti menjelaskan dan
memberitahukan. Kadang-kadang muncul dengan arti melepaskan dan mengizinkan.
Sedangkan menurut istilah Mubah berarti:

‫ف بَيْنَ ْال ِف ْع ِل َوالت َّ ْر ِك فَلَ ُهأ َ ْن يَ ْف َع َل َولَهُ ا َ ْن َليَ ْف َع َل‬


ِ َّ‫ع ْال ُم َكل‬ َّ ‫َما َخي ََّر ال‬
ُ ‫شا ِر‬

37
Hayatuddin, Amrullah. Op., Cit, hlm 131.
38
Effendi, Satria. Op., Cit, hlm 55.
39
Ibid, hlm 56.

20
sesuatu yang diberi kemungkinan oleh pembuat hukum untuk meilih antara
memperbuat atau meninggalkan. Ia boleh melakukan atau tidak.40

Pengertian Mubah menurut istilah ushul fiqh adalah:

‫ع ا َ ْن‬
ُ ‫ار‬
ِ ‫ش‬ ْ ‫ َولَ ْم َي‬.‫ف َب ْينَ ِف ْعل َوت َ ْر ِك ِه‬
َّ ‫طلُبْ ال‬ َ َّ‫ع ْال ُم َكل‬
ُ ‫ار‬ َ ‫ا َ ْل ُم َبا ُح ُه َو َما َخيَّ َر ال‬
ِ ‫ش‬
ُ‫ي َع ْنه‬
َ ‫ب ا َ ْن يُ َك ِف‬ُ ُ‫طل‬ ْ ‫ف َهذَا ْال ِف ْع َل َولَ ْم َي‬
ُ َّ‫َي ْف َع َل ْال ُم َكل‬
Mubah ialah apa-apa yang dibolehkan oleh syara’ terhadap mukallaf untuk memilih
antara mengerjakan atau meninggalkannya. Syara’ tidak menuntut mukallaf untuk
melakukan perbuatan itu dan tidak untuk mencegahnya.41

Imam Syaukani memberikan arti “sesuatu yang tidak dipuji mengerjakannya atau
meninggalkannya”.

Muhammad Khudhari mengartikan “Apa yang diberi hak pilih untuk memperbuat
atau meninggalkan tanpa ada pujian begitu pula celaan”.

Dalam hal ini seorang mukallaf boleh memperbuat atau tidak memperbuat. Tidak
berdosa orang yang memperbuat dan tidak berdosa pula orang yang meninggalkan.
Umpamanya ketika ada cekcok yang berkepanjangan dalam rumah tangga dan
dikhawatirkan tidak lagi akan dapat hidup bersama, maka boleh bgi seorang istri
untuk membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya.
Atau contoh lain seperti makan, minum dan bermain.42

Akibat dari khitab Allah ini disebut dengan Al-Ibahah dan perbuatan yang boleh
dipilih itu disebut al-mubah. Melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan
tidak punya konsekuensi terhadap imbalan pahala atau imbalan dosa.43

40
Syarifuddin, Amir. Op., Cit, hlm 375.
41
Hayat, Abdul. Op., Cit, hlm 34.
42
Syarifuddin, Amir. Op., Cit, hlm 375.
43
Hayatuddin, Amrullah. Op., Cit, hlm 128

21
b). Pembagian Mubah

Abu Ishaq al-syathibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga
macam, yaitu:

a. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal


yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang
mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai ia mampu
mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya seperti shalat
dab berusaha mencari rezeki.
b. Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali,
tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain dan
mendengar nyanyian, maka hukumnya adalah mubah bila dilakukan sekali-
kali, tetapi akan menjadi haram hukumnya apabila menghabiskan waktu
hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian.
c. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu
yang mubah pula. Misalnya membeli perabotan rumah untuk kepentingan
kesenangan. Hidup sedang hukumnya adalah mubah, dan untuk mencapai
kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya
harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai sesuatu yang mubah tidak
layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang.44

44
Effendi, Satria. Op., Cit, hlm 57.

22
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

 Hukum takhlifi adalah tuntutan Allah yeng berkaitan dengan perintah untuk
melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat sesuatu atau
meninggalkannya.
 Pembahasan Hukum takhlifi menurut jumhur ulama
Menurut Jumhur ulama ushul fiqh, hukum takhlifi terbagi menjadi lima
bagian yaitu: wajib, haram, sunah, mubah dan makhruh.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, Hukum takhlifi dibagi menjadi tujuh
bagian yaitu: ijab, nadb, tahrim, karahah, ibahah, karahah tahrim dan karahah
tanzih.
 Pembagian Hukum Takhlifi
Hukum takhlifi dibagi menjadi 5 macam, yaitu:
a) Wajib
Hukum wajib dibagi menjadi 4 macam, yaitu:
1) Dari segi waktu pelaksanaannya, yaitu wajib muthlaq dan wajid muaqqat.
2) Dari segi kadar tuntutannya, yaitu wajib muhaddad dan wajib ghairu
muhaddad.
3) Dari segi orang yang dibebani kewajiban, yaitu wajib ‘aini dan wajib
kifayah.
4) Dari segi kandungan perintah, yaitu wajib mu’ayyan dan wajib
mukhayyar.
b) Sunah
Hukum sunah dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1) Dari segi selalu dan tidak selalunya Nabi melakukan perbuatan sunah.
Sunah ini terbagi menjadi dua, yaitu sunah muakkadah dan sunah ghairu
muakkadah.

23
2) Dari segi kemungkinan meninggalkan perbuatan, mandub atau sunah
terbagi kepada tiga, yaitu Sunah Hadyu, Sunah Zaidah dan Sunah Nafal.

c) Haram
Hukum haram dibagi menjadi dua bagian, yaitu Haram li dzatihi dan Haram li
ghairihi.
d) Makhruh
Hukum makhruh dibagi menjadi dua yaitu Makhruh tanzih dan Makhruh
tahrim.
e) Mubah
Hukum mubah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal
yang wajib dilakukan.
2) Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya bilamana dilakukan sekali-kali,
tetapi haram hukumnya bila dilakukan setiap waktu.
3) Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai
sesuatu yang mubah pula.

3.2 SARAN

Dalam malakah ini penulis hendak memberikan saran-saran sebagai berikut:

Penulisan makalah ini merupakan penelitian analisis komparatif mengenai


Hukum takhlifi. Dalam penulisan ini penulis seringkali kesulitan mendapat literature,
karena jarang sekali dijumpai buku-buku Ushul Fiqh yang khusus berbicara tentang
hukum-hukum melainkan hanya dalam bab-bab saja. Maka dari itu perlu kiranya
studi lanjutan mengenai hukum takhlifi.

Demikianlah makalah ini telah rampung. Makalah ini disusun berdasarkan


kemampuan penulis, baik dalam metode maupun materi. Sedangkan penulis masih
terbatas dengan pengetahuannya sendiri. Maka dari itu makalah ini masih sangat jauh
dari kata sempurna. Berangkat dari kekurangan ini penulis sangat mengharap kritik

24
serta saran yang membangun dari berbagai pihak sebagai bahan evaluasi dan proyeksi
untuk penelitian selanjutnya.

Segelintir harapan penulis dalam makalah ini, semoga makalah ini bias dijadikan
sebagai tambahan ilmu untuk memperkaya khazanah keintelektualan bagi semua
pihak terutama bagi pengembang ilmu ushul fiqh, dan serta dapat memberikan
manfaat kepada seluruh pembacanya. Maha benar Allah atas segala Firman-Nya.

25
DAFTAR PUSTAKA

Muhtada, Fikri, et al. (2022). Kajian Hukum Takhlifi Menurut Para Imam
Mazhab. TAHKIM, 17.2: 245-260.

Pachrudin,R. (2021). Analis Hukum Takhlifi dan Pengembangannya dalam Ushul


Fiqih. MASILE, 2(2).

Darmawati. (2019). Ushul Fiqh. Jakarta: kencana.

Hayat, Abdul. (2017). Ushul Fiqh: Dasar-dasar Untuk Memahami Fiqh Islam.
Jakarta: Rajawali Press.

Syarifuddin, Amir. (2014). Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta: Prenada Media.

Effendi, Satria. (2017). Ushul Fiqh. Jakarta: Predana Media.

Hayatuddin, Amrullah. (2019). Ushul Fiqh: Jalan Tengah Memahami Hukum Islam.
Jakarta: Amzah.

Syarifuddin, Amir. (2014). Garis-garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Rosyada, dede. (1999). Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Departemen Agama RI,

26
27

Anda mungkin juga menyukai