Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

AL- HUKM, AL-SYARII`, AL-MAHKUM FIIH, dan AL-MAHKUUM


`ALAIH
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Abdul Wahab Farhub, M.Pd.

Disusun Oleh :
Della Oktavia (2522006)
Fata Mufida Rizki (2522003)
M Ulfan Afandi (2522010)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT ISLAM NAHDLOTUL ULAMA
TEMANGGUNG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, atas limpahan rahmat dan karunianya,
sehingga kami dapat menyelesaikan “makalah” ini pada tepat waktu yang telah ditentukan.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
mencerahkan dunia dari kegelapan.

Kami sadar bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, penulisan makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh di INISNU Temanggung.
Untuk itu kami selalu menerima kritik dan saran yang membangun bagi para pembaca guna
menyempurnakan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan
dapat menambah pengetahuan di dalam lembar makalah ini.

Temanggung, 07 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
2.1 Al-Hukm............................................................................................................2
2.1.1 Pengertian...........................................................................................2
2.1.2 Pembagian Al-Hukm..........................................................................3
2.1.3 Hukum Taklifi....................................................................................3
2.1.4 Hukum Wadh`i...................................................................................9
2.2 Al-Syari`............................................................................................................14
2.3 Al-Mahkum Fih.................................................................................................15
2.3.1 Pengertian...........................................................................................15
2.3.2 Syarat-Syarat Al-Mahkum Fih...........................................................15
2.4 Al-Mahkum Alaih .............................................................................................17
2.4.1 Pengertian...........................................................................................17
2.4.2 Syarat-Syarat Al-Mahkum Alaih........................................................17
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 18
A. Kesimpulan..........................................................................................................18
B. Saran....................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-
cara menginstinbath (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul
setelah fiqh, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul
fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum orang ulama menetapkan suatu perkara
untuk haram, ia telah mengkaji yang telah menjadi alasan perkara itu diharamkan.
Hukum haramnya disebut fiqh, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia telah
megkaji ushul fiqh terlebih dahulu, sehingga dapat mengethui alasan-alasan ulama
menetapkan suatu hukum fiqh, dan tujuan mempelajari ushul fiqh ini tercapai, yaitu
terhindar dari sifat taqlid atau sifat ikut-ikutan karena buta terhadap dalil al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian
ushul fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqh adalah bagaimana menyimpulkan
hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum
syara’ dalam kajian ini, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu
sendiri serta berbagai macamnya.
Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat Islam.
Berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang hakim (pembuat hukum),
al­mahkum fiih (perbuatan manusia), dan tentang al­ mahkum ‘alaih (mukalaf).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan al-hukm, beserta pembagiannya?
2. Apa yang dimaksud dengan al-syarii`?
3. Apa yang dimaksud dengan al-mahkum fiih?
4. Apa yang dimaksud dengan al-mahkum `alaih?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui :
1. Pengertian al-hukm dan pembagiannya
2. Pengertian al-syarii`
3. Pengertian al-mahkum fiih
4. Pengertian al-mahkum `alaih

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Al-Hukm
a. Pengertian
Hukum (al-hukm) secara etimologi berarti mencegah , memisahkan, dan
memutuskan. Secara bahasa hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu. Secara
terminologi, hukum didefinisikan oleh para ahli usul diantaranya:
i. Zahrah dan Wahbah al-Zuhaili

Khitab (kalam) Allah Swt yang berkaitan dengan semua perbuatan


mukallaf, baik berupa iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk
melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan
tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu
sebagai sebab, syarat, atau penghalang/ mani’)
ii. Abdul Wahab Khallaf

‫خطاب هللا المتعلق بأ فعال المكلفين اقتضاء اوتخييرا او وضعا‬

Khitab pembuat hukum (syari’/Allah) yang bersifat tuntutan (thalaban),


pilihan (takhyiran), ataupun penetapan (wadh’an), yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf

iii. Syaikh al-Utsaimin


‫مااقتضاه خطاب الشرع المتعلق بافعال المكلفىن من طلب او تخيير او وضع‬
Hukum adalah segala sesuatu yang telah ditentukan oleh khitab syarak
(khitabullah) yang berhubungan dengan segala perbuatan orang-orang
mukallaf melalui cara menuntut suatu perbuatan (thalab), memberikan
pilihan (takhyir), atau penetapan keadaan.

Dari definisi di atas, difahami bahwa hukum itu memiliki tiga aspek yaitu:
khitabullah; perbuatan mukallaf; dan ketentuan berupa tuntutan, pilihan, dan
ketetapan.

2
3

b. Pembagian Al-Hukm
Memahami hukum-hukm syara` merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Sebab, hukum-hukum syara’ memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan perbuatan
dan tingkah laku manusia dalam kehidupan praktis mereka, baik berkaitan dengan
berbagai perintah maupun larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar.
Hukum dibedakan menjadi dua yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i.
A. Hukum Taklifi
Taklifi (‫ ) تكليفي‬secara bahasa berarti pembebanan dan pemberian tanggungan.
Secara istilah, hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah,
larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat. sebagaimana diutarakan para ahli ushul sebagai
berikut:
 Abdul Wahab Khallaf dan Wahbah al-Zuhaili

‫الحكم التكليفي هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه‬

Segala sesuatu yang menetapkan tuntutan sebuah pekerjaan bagi


seorang mukallaf, atau suatu larangan terhadap suatu perbuatan, atau
pilihan antara mengerjakan atau tidak mengerjakan.

 Abdullah bin Yusuf bin Isa Ya’qub al-jadi’ al-Inziy

‫ هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف او طلب كف او خير فيه بين الفعل و الترك‬... ‫الحكم التكليفي‬

Hukum taklifi adalah sesuatu yang menetapkan permintaan perbuatan


dari mukallaf, permintaan untuk menghentikan (perbuatan), atau
memberikan pilihan antara melakukan perkerjaan dan menghentikanya.

Dinamakan hukum taklifi adalah karena jenis hukum-hukum tersebut


mengandung “tuntutan” , baik untuk mengerjakan atau untuk meninggalkan,
atau untuk memberi alternatif memilih antara mengerjakan atau
meninggalkannya. Kesimpulannya, hukum taklifi adalah hukum yang
mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan pasti, tuntutan
untuk mengerjakan dengan tuntutan tidak pasti, tuntutan untuk
meninggalkan dengan tuntutan pasti, tuntutan untuk meninggalkan dengan
tuntutan tidak pasti, tuntutan untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan.
4

Macam-macam Hukum Taklifi

1. Al-ijab (wajib)
a. Pengertian
Tuntutan atas suatu perbuatan dengan tuntunan yang jelas dan tegas dinamakan
wajib. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 43.
َّ ‫ار َكعُ ْوا َم َع‬
َ‫الرا ِك ِعيْن‬ َّ ‫ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا‬
ْ ‫الز ٰكوة َ َو‬ َّ ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk”
Maka kegiatan salat, menunaikan zakat ini hukumnya wajib.
Secara etimologi, wajib (‫ )الواجب‬berarti keharusan, kelaziman, tetap atau pasti.
Secara istilah, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan:

‫ كما اذا كا نت‬،‫هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما بان اقتران طلبه بما يدل على تحتيم فعله‬: ‫الواجب شرعا‬
‫صيغة الطلب نفسها تدل على التحتيم او د ل على تحتيم فعله تر تيب العقوبة على تر كه او اية قر ينة شر عيت اخر ى‬

Secara terminologis, wajib adalah apa yang diminta oleh Allah untuk
dikerjakan oleh mukallaf dengan pemintaan yang kuat dengan disertai
permintaanya itu dengan apa yang menunjukan pada pentingnya pekerjaan itu.
Sebagaimana sighat permintaan itu menunjukan pada urgensi atau
menunjukan pada urgensi pekerjaan yang mengakibatkan pada sanksi
(hukuman) karena meninggalkanya, atau penanda yang menjadi indicator
syari’at lainnya.

Wajib menurut jumhur ulama merupakan sinonim atau persamaan dari kata
fardhu, yaitu tuntutan yang bersifat mengikat, tegas atau harus dikerjakan dan
apabila ditinggalkan, maka pelakunya berdosa lagi tercela.

Dapat disimpulkan bahwa, wajib merupakan sesuatu yang diperintahkan Allah


dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan mendapat
pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.

b. Pembagian wajib
Wajib dibedakan menjadi beberapa macam, dilihat dari berapa segi yaitu:
1. Dari Segi Orang Yang Dibebani Kewajiban
Kewajiban dilihat dari cakupan subjek hukum dibedakan menjadi dua, yaitu
wajib aini dan wajib kifaiy.
5

a. Wajib ‘aini
Wajib ‘aini ( ‫ ) واجب عيني‬adalah kewajiban yang dibebankan kepada
setiap mukallaf (sudah baligh dan berakal), tanpa terkecuali. Seperti :
shalat wajib.
b. Wajib kifā`i
Wajib kifā`i ( ‫ ) واجب كفائي‬adalah kewajiban yang dibebankan kepada
seluruh mukallaf, namun jika telah dilaksanakan oleh sebagian umat
Islam, maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi. Sebagai contoh,
shalat jenazah.
2. Dari Segi Kandungan Perintah Kewajiban
Dilihat dari objek kandungan perintah kewajiban, dibedakan menjadi dua,
yaitu wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar.
a. Wajib Mu’ayyan
Wajib mu’ayyan ( ‫ ) واجب معين‬adalah kewajiban dimana yang menjadi
objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan. Misal: kewajiban puasa di
bulan Ramadhan.
b. Wajib Mukhayyar
Wajib mukhayyar ( ‫ ) واجب مخير‬kewajiban dimana yang menjadi
objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Sebagai contoh
tentang kaffarat sumpah. Kewajiban kaffarat yang harus ditunaikan
bagi orang yang melakukan pelanggaran terhadap sumpah, yaitu
memberi makan kepada sepuluh orang miskin; membebaskan seorang
budak; dan berpuasa tiga hari.
3. Dari Segi Waktu Pelaksanaannya
Kewajiban dilihat dari sisi waktu pelaksanaanyan dibedakan menjadi dua,
yaitu wajib muthlaq dan wajib muaqqat.
a. Wajib Muthlaq
Wajib muthlaq ( ‫ ) واجب مطلق‬kewajiban yang pelaksanaannya tidak
dibatasi dengan waktu tertentu. Seperti kifarat orang yang bersumpah,
dan yang melanggar sumpah. Untuk memperbuat ini tidak dijelaskan
waktunya. Ada orang yang melanggar sumpah itu menghendaki secara
langsung untuk menghapuskan sumpah yang dilanggamya itu. Seperti
haji, wajib bagi yang sanggup. Kewajiban mengerjakan haji itu tidak
dijelaskan tahunnya.
6

b. Wajib Muaqqat
Wajib muaqqat ( ‫ ) واجب موقت‬kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi
dengan waktu tertentu. Dan wajib muaqqat ini ada dua macam yaitu:
a. Muwassa’, yaitu waktu yang tersedia lebih lapang daripada waktu
pelaksanaan kewajiban itu sendiri. Misal: shalat 5 waktu.
b. Mudhayyaq, yaitu waktu yang tersedia hanya mencukupi untuk
melaksanakan kewajiban itu. Misal: puasa bulan Ramadhan, haji di
bulan dzul hijjah tanggal 9,10, 11, 12 dan 13.

2. An-nadb (sunnah)
a) Pengertian
Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan yang
tidak pasti. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 282-283.
َ ‫يا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن إِلَ ٰى أ َ َج ٍل ُم‬
ُ‫س ًّمى فَا ْكتُبُوه‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (282)

َّ ‫ق‬
ُ‫اَّللَ َربَّه‬ ِ َّ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا َف ْلي َُؤ ِد الَّذِي اؤْ ت ُ ِمنَ أ َ َمانَتَهُ َو ْليَت‬
ُ ‫فإ ِ ْن أ َ ِمنَ بَ ْع‬
“Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa
kepada Allah, Tuhannya,” (283)

Secara bahasa, mandub (‫ )المندوب‬berarti sesuatu yang dianjurkan,


disenangi, dicintai. Mandub dalam penggunaannya memiliki istilah lain seperti:
sunnah , nafilah, Mustahab, tathawu’ dan fadhilah.
Secara istilah, mandub adalah segala pekerjaan yang dituntut dari
seorang mukallaf dengan tuntutan yang tidak begitu kuat, yang mana sighat dari
permintaan itu menunjukan pada tidak begitu urgen. Apabila allah menuntut
sebuah pekerjaan dengan sighat di sunnah demikian, dianjurkan demikan, maka
pekerjaan yang diminta dengan sighat itu adalah mandub . Apa bila permintaan
dengan sighat amar (perintah) dan adanya indicator yang menunjukan bahwa
perintah itu adalah mandub, maka pekerjaan yang diminta itu adalah mandub
juga.
Dapat disimpulkan bahwa, sunnah merupakan suatu perbuatan yang
dianjurkan oleh allah dan rasulnya dimana akan diberi pahala orang yang
melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya.
7

b) Pembagian sunnah
Dilihat dari tingkatan anjuran untuk dilakukan, mandub (sunnah) dibedakan
dalam tiga macam, yaitu: muakkadah, ghairu muakkadah, dan zawaid.
1) Muakkadah
Muakkadah adalah sunnah yang sangat dianjurkan, dibiasakan oleh rasul
saw dan jarang ditinggalkannya. Seperti sholat sunnah 2 rakaat sebelum
fajar.
2) Ghairu Muakkadah
Ghairu Muakkadah adalah sunnah biasa, yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya. Misal, shalat sunnah 2x
dua rakaat sebelum shalat zuhur.
3) Zawāid
Zawāid adalah sunnah mengikuti kebiasaan sehari-hari rasulullah saw
sebagai manusia. Misal: cara makan rasul, tidur, berpakaian, dan
sebagainya.
3. At-tahrim (haram)
a) Pengertian
Haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang
mengerjakannya.” Secara terminologi ushul fiqh, haram berarti sesuatu
yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana orang yang melanggarnya
dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena menaati Allah diberi pahala.
“Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan
yang pasti.” Misalnya, larangan berzina. Sebagaimana dijelaskan dalam
Q.S Al-Isra` ayat 32:
َ ‫سا ٰٓ َء‬
‫س ِبي ًل‬ َ ‫ٱلزن ٰ َٰٓى ۖ ِإنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح‬
َ ‫شةً َو‬ ۟ ‫و ََل تا َ ْق َرب‬
ِ ‫ُوا‬
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”

b) Pembagian haram
1) Al-muharram li dzatihi
Al-muharram li dzatihi adalah sesuatu yang diharamkan oleh syariat
karena esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia,
dan kemudaratan itu tidak bisa terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan
8

berzina, larangan menikahi wanita mahram seperti ibu kandung dan


saudara kandung, makan bangkai, darah, babi.
2) Al-muharram li ghairihi
yaitu sesuatu yang dilarang bukan karena esensinya, karena secara
esensial tidak mengandung kemudaratan, namun dalam kondisi
tertentu, sesuatu itu dilarang karena ada pertimbangan eksternal yang
akan membawa kepada sesuatu yang dilarang secara esensial.
Misalnya, larangan melakukan jual beli pada waktu azan shalat Jumat.
4. Al-Karahah (makruh)
a) Pengertian
“Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan yang
tidak pasti.”
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”. Dalam istilah
ushul fiqh, makruh menurut mayoritas ulama ushul fiqh berarti sesuatu yang
dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, di mana bilamana ditinggalkan akan
mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Misal, makruh berkumur-
kumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan ketika wudhu di siang
hari Ramadhan.
b) Pembagian Makruh
1) Makruh Tahrim
yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang melarang itu
bersifat zhanni al-wurud (kebenaran datangnya dari Rasulullah hanya
sampai ke dugaan keras), tidak bersifat pasti. Misalnya, larangan me-
minang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain dan larangan
membeli sesuatu yang sedang dalam tawaran orang lain.
2) Makruh Tanzih
yaitu sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya.
Misalnya, memakan daging kuda dan meminum susunya pada waktu sangat
butuh di waktu perang.
5. Al-Ibahah (mubah)
a) Pengertian
“Hukum yang mengandung tuntutan memilih antara mengerjakan dan
meninggalkan.”
9

Secara bahasa, mubah berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara
istilah, mubah merupakan suatu hal yang diberikan pilihan oleh syariat bagi
seorang mukallaf untuk melakukan atau tidak; dan tidak ada hubungannya
dengan dosa serta pahala.
b) Pembagian Mubah
Dilihat dari sisi konsekuensi yang ditimbulkan, Abu Ishaq Al-Syatibi dalam
kitabnya, al-Muwafaqat, membedakan mubah dalam empat kategori, yaitu:
1. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal
yang wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yang mubah,
namun berfungsi untuk menggerakan seseorang mengerjakan kewajiban shalat
dsb.
2. Sesuatu dianggap mubah dilakukan, tetapi bisa mengantarkan kepada
perbutan yang dilarang. Atau dengan ungkapan lain, mubah hukumnya jika
dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya jika dilakukan setiap waktu.
Misal: bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan waktu hanya untuk
bermain dan bermusik maka menjadi haram.
3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yg
mubah pula. Misal: membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan.
4. Sesuatu yang mubah yang tidak berfungsi untuk mengantarkan kepada
sesuatu apapun. Seperti menikmati kebaikan dan kemewahan dalam hidup.
Seperti bersenang-senang dalam hal makan, pakain, kendaraan, tempat tinggal,
dan sebagainya.

B. Hukum Wadh`i

Hukum wadh`i adalah hukum yang memiliki tujuan untuk menjadikan sesuatu itu
menjadi sebab, syarat, mani`, rukhsah/azimah, atau sah dan batal bagi sesuatu.

1. Sebab
a. Pengertian
Secara bahasa, sebab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa
yang dimaksud. Dalam bahasa indonesia, sebab berarti hal yang menimbulkan
terjadinya sesuatu. Sebab menurut jumhur ulama adalah sesuatu yang jelas batas-
batasnya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda bagi adanya hukum.
10

Dapat disimpulkan bahwa, sebab adalah sesuatu yg dijadikan oleh syariat


sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak
adanya hukum.
b. Pembagian Sebab
Dilihat dari asal kemunculannya, sebab dibedakan dalam dua macam, yaitu:
a) Sebab yang bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada di luar
kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi,
karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yg
harus dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir matahari menjadi sebab
(alasan) bagi datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan
menjadi sebab bagi kewajiban puasa ramadhan.
b) Sebab yang merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan
kemampuannya. Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka
puasa di siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik
dari penjual kepada pembeli.
2. Syarat
a. Pengertian
Syarat secara bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yg lain,
atau sebagai tanda. Secara istilah, syarat adalah sesuatu yang keberadaan hukum
bergantung pada keberadaanya, dan ketidakadaan (syarat ) itu mengharuskan
ketidakadaan hukum.
Dari definisi di atas, disimpulkan bahwa syarat adalah sandaran keberadaan
sesuatu yg lain; ketika syarat itu tidak ada, maka menyebabkan sesuatu yang lain
itu menjadi tiada. Dan syarat itu bukan menjadi bagian dari sebuah pekerjaan, tetapi
sesuatu yang berada di luar.
b. Pembagian Syarat
1) Syarat syar’i
Syarat syar’i adalah syarat yang datang langsung dari syari’at itu sendiri.
Misal: keadaan rusyd (kemampuan mengelola pembelanjaan sehingga tidak
menjadi mubazir) bagi anak yatim.
2) Syarat ja’ly
Syarat ja’ly adalah syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri.
Misal: seorang suami berkata kepada istri, jika engkau memasuki rumah si fulan
maka jatuhlah talak terhadapmu satu.
11

3. Mani`
a. Pengertian
Mani’ secara bahasa berasal dari kata mana’a-yamna’u, yang berarti mencegah,
menghalangi, dan penghalang dari sesuatu. Secara istilah, mani` adalah apa yang
mengharuskan ketidakadaanya hukum karena factor keberadaanya, atau batalnya
sebab, yang kadang terwujudnya sebab syar’iy, dan terpenuhinya semua syarat -
syaratnya tetapi terdapat penghalang (mani’) yang menyebabkan terhalangnya
terealisasinya hukum.
Dengan ungkapan lain, mani’ adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
b. Pembagian Mani
Māni’ dibedakan dalam dua aspek, yaitu:
1) Māni’ al-hukm
Māni’ al-hukm adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi
adanya hukum. Misal: haid wanita sebagai penghalang shalat, hubungan orang
tua menjadi sebab tidak berlakunya hukum qisas
2) Māni’ al-sabab
Māni’ al-sabab adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat
hukum. (batas nishab menjadi sebab wajib zakat).
4. Azimah dan Rukhsah
a. Azimah
Azimah adalah apa yang disyariatkan oleh Allah SWT sebagai hukum asal yang
bersifat umum yang dikhususkan pada suatu keadaan yang tidak pada keadaan lain,
yang dikhususkan pada seorang mukallaf, dan tidak pada mukallaf yang lain.
Pembagian Azimah, menurut ulama ushul , azimah dibedakan dalam beberapa
macam, yaitu:
a) Al-Ashl, yaitu karena ditentukan dari semenjak awal untuk kemaslahatan
manusia, seperti ibadah, muamalah, jinayah.
b) Al-Sabab, yaitu hukum yang disyariatkan karena adanya sebab yang muncul.
Seperti dilarang mencaci berhala orang kafir, karena dikhawatirkan orang kafir
mencaci balik Allah dan Rasul-nya.
12

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain


Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan
mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia
memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS al-An`am
[6]: 108)
c) Al-Nasikh, yaitu hukum yang disyari’atkan sebagai nasikh (pembatal) terhadap
keberadaan hukum sebelumnya, sehingga status al-mansukh seolah-olah tidak
pernah ada. Contoh, perpindahan kiblat dari masjidil aqsha ke masjidil haram.

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh


Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani)
yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling
ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak
lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS al-baqarah [2]: 144)
d) Al-Isitsna’, yaitu hukum pengecualian dari hukum yang bersifat umum.
13

Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS al-Nisa [5]: 24)
b. Rukhsah

Rukhsah adalah apa yang disyariatkan oleh Allah SWT berupa ketentuan
hukum sebagai peringan (memberikan keringanan) kepada orang mukallaf pada
kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan keringanan tersebut. Atau (rukhsah)
itu adalah apa yang disyariatkan karena ketidakmampuan (‘udzur) yang
menghalangi pada kondisi-kondisi khusus, atau (rukhsah) adalah dibolehkanya
orang yang dalam keadaan terpaksa karena adanya dalil yang menunjukan adanya
bahaya.

Dari definisi di atas, disimpulkan bahwa rukhsoh adalah keringanan yang


diberikan oleh Allah SWT karena adanya alasan syar’iy, yaitu berupa dua keadaan:
(1) karena factor darurat (2) karena factor untuk menghilangkan masyaqah
(kesempitan) atau kesulitan.

Pembagian Rukhsoh:

1) Rukhsoh Isqath yaitu sesorang mengerjakan rukhsoh, lantaran hukum


azimahnya sudah gugur. Contoh: seseorang orang memakan bangkai lantaran tidak
ada makanan lain, sementara kalau tidak makan ia akan binasa.

2) Ruksoh tarfiah yaitu jika hukum rukhsah dan azimah masih terdapat
semuanya. Contoh: memperbukakan puasa pada bulan Ramadhan, diperbolehkan
hanya yang dirasa berai mengeijakannya oleh mukalaf.

5. Sah dan Batal


a. Sah (sahih)
14

Sah (sahih) merupakan perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntunan syara’,
yaitu terpenuhinya syarat, rukun, sebab, dan tidak ada mani’, serta memiliki
konsekuensi bagi pelakuknya yaitu telah bebasnya dari tanggungan hukum yang
menjadi tanggung jawabnya.
Sebagai misal: shalat dhuhur dilakukan setelah tergelincir matahari (sebab),
didahului dengan bersuci (syarat), dan tidak dalam keadaan haidh (tidak ada mani’),
maka shalatnya dinyatakan sah. Tapi jika sebabnya tidak ada, syaratnya tidak
terpenuhi, walaupun tidak ada mani’-nya, maka shalatnya dinyatakan tidak sah.
b. Batal
Batal (buthlan atau bathil) yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang
ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan. Batal juga dapat diartikan
tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan
tidak mendatangkan pahala di akhirat.

2.2 Al-Syarii`

Dalam ushul fiqh kata hakim adalah merujuk pada penentu dan pembuat
hukum syariat yang hakiki, yaitu Allah SWT. Hal ini, didasarkan pada firman Allah
SWT dalam QS. Al-An’am: 57.

‫ص ْال َح َّق َوه َُو َخي ُْر‬ ْ ‫قُ ْل اِنِ ْي َع ٰلى بَيِنَ ٍة ِم ْن َّربِ ْي َو َكذَّ ْبت ُ ْم بِه َما ِع ْن ِد‬
ُّ ُ‫ي َما ت َ ْستَ ْع ِجلُ ْونَ بِه ا ِِن ْال ُح ْك ُم ا ََِّل ِ هَّللِ يَق‬
ِ َ‫ْالف‬
َ‫اص ِليْن‬

"Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku,
sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya
disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik“.

Oleh sebab itu, Allah Swt. disbeut pula dengan istilah syari’.

Abdullah bin Yusuf bin Isa bin Ya’qub al-jadi’ Al-‘Anziy, dalam kitabnya Taisir Ilm
Ushul Al-Fiqh, “Hakim secara hakekat adalah Allah SWT satu-satunya, sementara para
rasul adalah penyampai risalah dari Allah, mereka tidak menetapkan hukum dengan
menciptakannya dari diri mereka sendiri; sementara para mujtahid adalah penyingkap
terhadap hukum-hukum Allah, mereka tidak menciptakan hukum itu sekalipun mereka
disebut sebagai para hakim atau hukum-hukum itu disandarkan kepada mereka.”
15

2.3 Al-Mahkum Fiih


a) Pengertian
Mahkum fih (‫ ) المحكوم فيه‬secara bahasa adalah objek hukum, atau sasaran
hukum. Secara istilah, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan:
‫هو فعل المكلف الذي تعلق به حكم الشارع‬: ‫المحكوم فيه‬.
Mahkum fih adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan hukum
syara’. Misalnya dalam QS Al-Baqarah ayat 184 :

َ ‫ف َم ْن َكانَ ِم ْن ُك ْم َّم ِر ْيضًا ا َ ْو َع ٰلى‬


‫سفَ ٍر فَ ِعدَّة ٌ ِم ْن اَي ٍَّام اُخ ََر‬

Artinya : Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam kedaan
bepergian, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
pada hari-hari yang lain
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan
orang mukalaf, yaitu bepergian atau sakit, di mana kedua hal tersebut menjadi
uzur syar’i bagi diperbolehkannya seorang mukallaf tidak berpuasa pada bulan
Ramadan.
Zahrah menyebutkan, bahwa Mahkum Fih berkaitan dengan realisasi
atau implementasi dari hukum taklifi. Dengan kata lain, mahkum fih (perbuatan
hukum), itu akan dapat dilihat realisasinya dalam lima kategori ketentuan
hukum syara’ yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.
b) Syarat -Syarat mahkum Fih
Abdul Wahab Khallaf menyatakan, bahwa perbuatan yang menjadi
objek taklif (pembebanan hukum) harus memenuhi persyaratan, yaitu:
1. Diketahui secara sempurna dan rinci.
Ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global, baru bisa dan wajib
dilaksanakan ketika ada penjelasan rinciannya dan tata caranya dari
Rasulullah SAW. Contohnya: shalat, puasa, zakat, haji
َّ ‫ار َكعُ ْوا َم َع‬
َ‫الرا ِك ِعيْن‬ َّ ‫ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا‬
ْ ‫الز ٰكوة َ َو‬ َّ ‫َواَقِ ْي ُموا ال‬
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta
orang-orang yang ruku.‘ (QS al-Baqarah [2]: 43)
Perintah shalat dalam ayat diatas tidak disertai dengan
penjelasan tentang bagaimana shalat itu dijalankan dan dilakukan.
Sehingga ayat tersebut bersifat global maka dari itu perlu ada
penjelasan tentang bagaimana pelaksanaan shalat itu dilakukan.
16

Oleh karena itu, Nabi SAW menjelaskan bagaimana praktek shalat


itu:
ُ ‫صلُّوا َك َما َراَ ْيتُ ُمو نِ ْي ا‬
َ ‫ َو‬: ‫ قَا َل‬... ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَى هللاُ َعلَ ْي ِه و‬ َ ‫ اَتَيْنا َ ا‬, ٌ‫َحدَّ ثَنا َ ما َ ِلك‬
َ ِ ‫ِلى النَّبِي‬
‫ َو ْليَ ُؤ َّم ُك ْم أ َ ْكبَ ُر ُك ْم ؛ رواه البخاري‬, ‫صالَة ُ فَ ْلي َُؤذ ِْن لَ ُك ْم ا َ َحد ُ ُك ْم‬
َّ ‫ت ال‬ َ ‫فَ ِا ذَا َح‬, ‫ص ِلي‬
ِ ‫ض َر‬ َ
Malik menceritakan kepada kami, kami mendatangi nabi SAW
….beliau bersabda: “dan shalatlah kalian itu, sebagaimana kamu
melihat aku shalat, apablia shalat telah tiba waktunya hendaklah
salah seorang diantara kalian melakukan azan, dan orang yang
lebih besar (lebih tua) di antara kalian hendaklah menjadi imam.
(HR Bukhari).
Hadis di atas menjelaskan bagaimana praktek shalat harus
dilakukan, yaitu dengan cara mengikuti amaliyah Nabi SAW dalam
melakukan shalat.
2. Diketahui secara pasti bahwa perintah itu berasal dari Allah dan
rasulnya.
Untuk mengetahui tentang dari mana perintah itu berasal, maka
diperlukan uji validitas dalil yang ada, sehingga bisa ditentukan
bahwa perintah itu benar dan pasti.
3. Perbuatan yang diperintahkan dan dilarang harus dalam batas
kemampuan manusia.
Secara prinsip, Allah SWT tidak membebankan suatu hukum
kecuali dalam batas kemampuan manusia untuk melaksanakan.
Allah SWT berfirman:

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan
17

kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat


sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang
tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami;
dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah
kami terhadap kaum yang kafir”. (QS al-Baqarah [2]: 286).
2.4 Al-Mahkum Alaih
a. Pengertian
Mahkum alaih secara bahasa berarti subjek hukum, pelaku hukum, atau
pemikul tanggung jawab hukum, orang yang dibebani hukum. Secara istilah, menurut
ulama ushul fiqh:
1) Wahbah al-Zuhaili
‫ المحكوم عليه هو اَلنسان الذي تعلق بفعله خطاب الشارع اؤ حكمه و يسمي المكلف‬.
Mahkum alaih adalah manusia yang mana perbuatannya terkait dengan
khitab Allah atau hukum-hukumnya. Dan (manusia) yang demikian itu
disebut sebagai mukallaf.
2) Abdul Wahab Khallaf
‫هو المكلف الذي تعلق حكم الشارع بفعله‬: ‫المحكوم عليه‬.
Mahkum alaih adalah seorang mukallaf yang perbuatannya terkait
dengan hukum syara’.
b. Syarat Mahkum Alaih
1) Memahami khitab hukum dan dalil syara’ baik secara mandiri atau melalui bantuan
orang lain.
2) Mempunyai Ahliyah (kemampuan untuk menunaikan kewajiban/ kemampuan
menerima taklif).
Kemampuan menerima taklif dibagi menjadi 2 yaitu:
1. Ahliyah al Wujub, yaitu kemampuan menerima hak dan kewajiban. Kepantasan
ini dasarnya adalah kemanusiaan, artinya berlaku selama kemanusiaan itu tetap
dimiliki.
2. Ahliyah al `Ada yaitu kecakapan bertindak. Kecakapan bertindak haruslah
dilihat dari segi kepantasan seseorang untuk dinilai sah segala ucapan dan
perbuatannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian
ushul fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqh adalah bagaimana menyimpulkan
hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum
syara’ dalam kajian ini, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu
sendiri serta berbagai macamnya.
Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat Islam.
Berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang hakim/syari` (pembuat hukum),
al-mahkum fih (perbuatan manusia), dan tentang al­ mahkum ‘alaih (mukalaf).
Macam-macam hukum syara` diantaranya ada : Hukum Taklifi yaitu hukum
yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat. Ada lima macam hukum taklifi, diantaranya
: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Hukum Wadh`i yaitu hukum yang
memiliki tujuan untuk menjadikan sesuatu itu menjadi sebab, syarat, mani`,
rukhsah/azimah, atau sah dan batal bagi sesuatu.

B. Saran

Semoga Makalah ini dapat menambah ilmu kita tentang Hukum Syara’ beserta
pembagiannya. Dan semoga kita dapat mengambil manfaatnya.
Demikianlah makalah mengenai Hukum Syara’ beserta pembagiannya yang
dapat penulis sampaikan, penulis sudah berusaha memaparkan dan menjelaskan
materi dengan semaksimal mungkin, tapi tidak menutup kemungkinan adanya
kekeliruan dalam penyusunannya, penulis berharap kepada pembaca agar dapat
memberikan penulis kritikan maupun masukkan yang positif demi penyempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dalam proses evaluasi
pendidikan.

18
DAFTAR PUSTAKA
Kallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu Usul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta
Bahrudin, M. 2019. Ilmu Ushul Fiqih. Lampung: CV Anugrah Utama Rahaja
Zein, Satria Effendi M. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Miswanto, Agus. 2019. Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam. Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama
http://tholabullilmi.blogspot.com/2017/12/makalah-al-hakim-mahkum-fiih-dan-mahkum.html
https://liaamania22.wordpress.com/2017/05/18/contoh-makalah-ushul-fiqh-hukum-hakim-
mahkum-fih-dan-mahkum-alaih/
https://www.kompasiana.com/iswatul41572/5f9be828d541df2ed3179202/hukum-syara-dan-
pembagiannya
https://www.academia.edu/60233904/Hukum_Syara_dan_Pembagiannya

19

Anda mungkin juga menyukai