Disusun Oleh :
Della Oktavia (2522006)
Fata Mufida Rizki (2522003)
M Ulfan Afandi (2522010)
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, atas limpahan rahmat dan karunianya,
sehingga kami dapat menyelesaikan “makalah” ini pada tepat waktu yang telah ditentukan.
Sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
mencerahkan dunia dari kegelapan.
Kami sadar bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, penulisan makalah
ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh di INISNU Temanggung.
Untuk itu kami selalu menerima kritik dan saran yang membangun bagi para pembaca guna
menyempurnakan makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua yang membacanya dan
dapat menambah pengetahuan di dalam lembar makalah ini.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 2
2.1 Al-Hukm............................................................................................................2
2.1.1 Pengertian...........................................................................................2
2.1.2 Pembagian Al-Hukm..........................................................................3
2.1.3 Hukum Taklifi....................................................................................3
2.1.4 Hukum Wadh`i...................................................................................9
2.2 Al-Syari`............................................................................................................14
2.3 Al-Mahkum Fih.................................................................................................15
2.3.1 Pengertian...........................................................................................15
2.3.2 Syarat-Syarat Al-Mahkum Fih...........................................................15
2.4 Al-Mahkum Alaih .............................................................................................17
2.4.1 Pengertian...........................................................................................17
2.4.2 Syarat-Syarat Al-Mahkum Alaih........................................................17
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 18
A. Kesimpulan..........................................................................................................18
B. Saran....................................................................................................................18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-
cara menginstinbath (menggali hukum). Sekalipun ushul fiqh muncul
setelah fiqh, tetapi secara teknis, terlebih dahulu para ulama menggunakan ushul
fiqh untuk menghasilkan fiqh. Artinya sebelum orang ulama menetapkan suatu perkara
untuk haram, ia telah mengkaji yang telah menjadi alasan perkara itu diharamkan.
Hukum haramnya disebut fiqh, dan dasar-dasar sebagai alasannya disebut ushul fiqh.
Dengan demikian, sebelum seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia telah
megkaji ushul fiqh terlebih dahulu, sehingga dapat mengethui alasan-alasan ulama
menetapkan suatu hukum fiqh, dan tujuan mempelajari ushul fiqh ini tercapai, yaitu
terhindar dari sifat taqlid atau sifat ikut-ikutan karena buta terhadap dalil al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian
ushul fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqh adalah bagaimana menyimpulkan
hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum
syara’ dalam kajian ini, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu
sendiri serta berbagai macamnya.
Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat Islam.
Berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang hakim (pembuat hukum),
almahkum fiih (perbuatan manusia), dan tentang al mahkum ‘alaih (mukalaf).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan al-hukm, beserta pembagiannya?
2. Apa yang dimaksud dengan al-syarii`?
3. Apa yang dimaksud dengan al-mahkum fiih?
4. Apa yang dimaksud dengan al-mahkum `alaih?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui :
1. Pengertian al-hukm dan pembagiannya
2. Pengertian al-syarii`
3. Pengertian al-mahkum fiih
4. Pengertian al-mahkum `alaih
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Al-Hukm
a. Pengertian
Hukum (al-hukm) secara etimologi berarti mencegah , memisahkan, dan
memutuskan. Secara bahasa hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu. Secara
terminologi, hukum didefinisikan oleh para ahli usul diantaranya:
i. Zahrah dan Wahbah al-Zuhaili
Dari definisi di atas, difahami bahwa hukum itu memiliki tiga aspek yaitu:
khitabullah; perbuatan mukallaf; dan ketentuan berupa tuntutan, pilihan, dan
ketetapan.
2
3
b. Pembagian Al-Hukm
Memahami hukum-hukm syara` merupakan kewajiban bagi setiap muslim.
Sebab, hukum-hukum syara’ memuat aturan-aturan yang berkaitan dengan perbuatan
dan tingkah laku manusia dalam kehidupan praktis mereka, baik berkaitan dengan
berbagai perintah maupun larangan-larangan yang tidak boleh dilanggar.
Hukum dibedakan menjadi dua yaitu: hukum taklifi dan hukum wadh’i.
A. Hukum Taklifi
Taklifi ( ) تكليفيsecara bahasa berarti pembebanan dan pemberian tanggungan.
Secara istilah, hukum taklifi adalah hukum yang mengandung perintah,
larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk berbuat
sesuatu atau tidak berbuat. sebagaimana diutarakan para ahli ushul sebagai
berikut:
Abdul Wahab Khallaf dan Wahbah al-Zuhaili
الحكم التكليفي هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه
هو ما اقتضى طلب فعل من المكلف او طلب كف او خير فيه بين الفعل و الترك... الحكم التكليفي
1. Al-ijab (wajib)
a. Pengertian
Tuntutan atas suatu perbuatan dengan tuntunan yang jelas dan tegas dinamakan
wajib. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 43.
َّ ار َكعُ ْوا َم َع
َالرا ِك ِعيْن َّ ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا
ْ الز ٰكوة َ َو َّ َواَقِ ْي ُموا ال
“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang
rukuk”
Maka kegiatan salat, menunaikan zakat ini hukumnya wajib.
Secara etimologi, wajib ( )الواجبberarti keharusan, kelaziman, tetap atau pasti.
Secara istilah, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan:
كما اذا كا نت،هو ما طلب الشارع فعله من المكلف طلبا حتما بان اقتران طلبه بما يدل على تحتيم فعله: الواجب شرعا
صيغة الطلب نفسها تدل على التحتيم او د ل على تحتيم فعله تر تيب العقوبة على تر كه او اية قر ينة شر عيت اخر ى
Secara terminologis, wajib adalah apa yang diminta oleh Allah untuk
dikerjakan oleh mukallaf dengan pemintaan yang kuat dengan disertai
permintaanya itu dengan apa yang menunjukan pada pentingnya pekerjaan itu.
Sebagaimana sighat permintaan itu menunjukan pada urgensi atau
menunjukan pada urgensi pekerjaan yang mengakibatkan pada sanksi
(hukuman) karena meninggalkanya, atau penanda yang menjadi indicator
syari’at lainnya.
Wajib menurut jumhur ulama merupakan sinonim atau persamaan dari kata
fardhu, yaitu tuntutan yang bersifat mengikat, tegas atau harus dikerjakan dan
apabila ditinggalkan, maka pelakunya berdosa lagi tercela.
b. Pembagian wajib
Wajib dibedakan menjadi beberapa macam, dilihat dari berapa segi yaitu:
1. Dari Segi Orang Yang Dibebani Kewajiban
Kewajiban dilihat dari cakupan subjek hukum dibedakan menjadi dua, yaitu
wajib aini dan wajib kifaiy.
5
a. Wajib ‘aini
Wajib ‘aini ( ) واجب عينيadalah kewajiban yang dibebankan kepada
setiap mukallaf (sudah baligh dan berakal), tanpa terkecuali. Seperti :
shalat wajib.
b. Wajib kifā`i
Wajib kifā`i ( ) واجب كفائيadalah kewajiban yang dibebankan kepada
seluruh mukallaf, namun jika telah dilaksanakan oleh sebagian umat
Islam, maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi. Sebagai contoh,
shalat jenazah.
2. Dari Segi Kandungan Perintah Kewajiban
Dilihat dari objek kandungan perintah kewajiban, dibedakan menjadi dua,
yaitu wajib mu’ayyan dan wajib mukhayyar.
a. Wajib Mu’ayyan
Wajib mu’ayyan ( ) واجب معينadalah kewajiban dimana yang menjadi
objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan. Misal: kewajiban puasa di
bulan Ramadhan.
b. Wajib Mukhayyar
Wajib mukhayyar ( ) واجب مخيرkewajiban dimana yang menjadi
objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Sebagai contoh
tentang kaffarat sumpah. Kewajiban kaffarat yang harus ditunaikan
bagi orang yang melakukan pelanggaran terhadap sumpah, yaitu
memberi makan kepada sepuluh orang miskin; membebaskan seorang
budak; dan berpuasa tiga hari.
3. Dari Segi Waktu Pelaksanaannya
Kewajiban dilihat dari sisi waktu pelaksanaanyan dibedakan menjadi dua,
yaitu wajib muthlaq dan wajib muaqqat.
a. Wajib Muthlaq
Wajib muthlaq ( ) واجب مطلقkewajiban yang pelaksanaannya tidak
dibatasi dengan waktu tertentu. Seperti kifarat orang yang bersumpah,
dan yang melanggar sumpah. Untuk memperbuat ini tidak dijelaskan
waktunya. Ada orang yang melanggar sumpah itu menghendaki secara
langsung untuk menghapuskan sumpah yang dilanggamya itu. Seperti
haji, wajib bagi yang sanggup. Kewajiban mengerjakan haji itu tidak
dijelaskan tahunnya.
6
b. Wajib Muaqqat
Wajib muaqqat ( ) واجب موقتkewajiban yang pelaksanaannya dibatasi
dengan waktu tertentu. Dan wajib muaqqat ini ada dua macam yaitu:
a. Muwassa’, yaitu waktu yang tersedia lebih lapang daripada waktu
pelaksanaan kewajiban itu sendiri. Misal: shalat 5 waktu.
b. Mudhayyaq, yaitu waktu yang tersedia hanya mencukupi untuk
melaksanakan kewajiban itu. Misal: puasa bulan Ramadhan, haji di
bulan dzul hijjah tanggal 9,10, 11, 12 dan 13.
2. An-nadb (sunnah)
a) Pengertian
Hukum yang mengandung tuntutan untuk mengerjakan dengan tuntutan yang
tidak pasti. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Baqarah ayat 282-283.
َ يا أَيُّ َها الَّذِينَ آ َمنُوا إِذَا تَدَايَ ْنت ُ ْم بِدَي ٍْن إِلَ ٰى أ َ َج ٍل ُم
ُس ًّمى فَا ْكتُبُوه
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang piutang
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (282)
َّ ق
ُاَّللَ َربَّه ِ َّض ُك ْم بَ ْعضًا َف ْلي َُؤ ِد الَّذِي اؤْ ت ُ ِمنَ أ َ َمانَتَهُ َو ْليَت
ُ فإ ِ ْن أ َ ِمنَ بَ ْع
“Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (utangnya) dan hendaklah dia bertakwa
kepada Allah, Tuhannya,” (283)
b) Pembagian sunnah
Dilihat dari tingkatan anjuran untuk dilakukan, mandub (sunnah) dibedakan
dalam tiga macam, yaitu: muakkadah, ghairu muakkadah, dan zawaid.
1) Muakkadah
Muakkadah adalah sunnah yang sangat dianjurkan, dibiasakan oleh rasul
saw dan jarang ditinggalkannya. Seperti sholat sunnah 2 rakaat sebelum
fajar.
2) Ghairu Muakkadah
Ghairu Muakkadah adalah sunnah biasa, yaitu sesuatu yang dilakukan
Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya. Misal, shalat sunnah 2x
dua rakaat sebelum shalat zuhur.
3) Zawāid
Zawāid adalah sunnah mengikuti kebiasaan sehari-hari rasulullah saw
sebagai manusia. Misal: cara makan rasul, tidur, berpakaian, dan
sebagainya.
3. At-tahrim (haram)
a) Pengertian
Haram secara etimologi berarti “sesuatu yang dilarang
mengerjakannya.” Secara terminologi ushul fiqh, haram berarti sesuatu
yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, di mana orang yang melanggarnya
dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang
meninggalkannya karena menaati Allah diberi pahala.
“Hukum yang mengandung tuntutan untuk meninggalkan dengan tuntutan
yang pasti.” Misalnya, larangan berzina. Sebagaimana dijelaskan dalam
Q.S Al-Isra` ayat 32:
َ سا ٰٓ َء
س ِبي ًل َ ٱلزن ٰ َٰٓى ۖ ِإنَّ ۥهُ َكانَ ٰفَ ِح
َ شةً َو ۟ و ََل تا َ ْق َرب
ِ ُوا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
b) Pembagian haram
1) Al-muharram li dzatihi
Al-muharram li dzatihi adalah sesuatu yang diharamkan oleh syariat
karena esensinya mengandung kemudaratan bagi kehidupan manusia,
dan kemudaratan itu tidak bisa terpisah dari zatnya. Misalnya, larangan
8
Secara bahasa, mubah berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara
istilah, mubah merupakan suatu hal yang diberikan pilihan oleh syariat bagi
seorang mukallaf untuk melakukan atau tidak; dan tidak ada hubungannya
dengan dosa serta pahala.
b) Pembagian Mubah
Dilihat dari sisi konsekuensi yang ditimbulkan, Abu Ishaq Al-Syatibi dalam
kitabnya, al-Muwafaqat, membedakan mubah dalam empat kategori, yaitu:
1. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal
yang wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yang mubah,
namun berfungsi untuk menggerakan seseorang mengerjakan kewajiban shalat
dsb.
2. Sesuatu dianggap mubah dilakukan, tetapi bisa mengantarkan kepada
perbutan yang dilarang. Atau dengan ungkapan lain, mubah hukumnya jika
dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya jika dilakukan setiap waktu.
Misal: bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan waktu hanya untuk
bermain dan bermusik maka menjadi haram.
3. Sesuatu yang mubah yang berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yg
mubah pula. Misal: membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan.
4. Sesuatu yang mubah yang tidak berfungsi untuk mengantarkan kepada
sesuatu apapun. Seperti menikmati kebaikan dan kemewahan dalam hidup.
Seperti bersenang-senang dalam hal makan, pakain, kendaraan, tempat tinggal,
dan sebagainya.
B. Hukum Wadh`i
Hukum wadh`i adalah hukum yang memiliki tujuan untuk menjadikan sesuatu itu
menjadi sebab, syarat, mani`, rukhsah/azimah, atau sah dan batal bagi sesuatu.
1. Sebab
a. Pengertian
Secara bahasa, sebab berarti sesuatu yang dapat menyampaikan kepada apa
yang dimaksud. Dalam bahasa indonesia, sebab berarti hal yang menimbulkan
terjadinya sesuatu. Sebab menurut jumhur ulama adalah sesuatu yang jelas batas-
batasnya, yang oleh Allah dijadikan sebagai tanda bagi adanya hukum.
10
3. Mani`
a. Pengertian
Mani’ secara bahasa berasal dari kata mana’a-yamna’u, yang berarti mencegah,
menghalangi, dan penghalang dari sesuatu. Secara istilah, mani` adalah apa yang
mengharuskan ketidakadaanya hukum karena factor keberadaanya, atau batalnya
sebab, yang kadang terwujudnya sebab syar’iy, dan terpenuhinya semua syarat -
syaratnya tetapi terdapat penghalang (mani’) yang menyebabkan terhalangnya
terealisasinya hukum.
Dengan ungkapan lain, mani’ adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai
penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
b. Pembagian Mani
Māni’ dibedakan dalam dua aspek, yaitu:
1) Māni’ al-hukm
Māni’ al-hukm adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi
adanya hukum. Misal: haid wanita sebagai penghalang shalat, hubungan orang
tua menjadi sebab tidak berlakunya hukum qisas
2) Māni’ al-sabab
Māni’ al-sabab adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab, sehingga sebab itu tidak lagi mempunyai akibat
hukum. (batas nishab menjadi sebab wajib zakat).
4. Azimah dan Rukhsah
a. Azimah
Azimah adalah apa yang disyariatkan oleh Allah SWT sebagai hukum asal yang
bersifat umum yang dikhususkan pada suatu keadaan yang tidak pada keadaan lain,
yang dikhususkan pada seorang mukallaf, dan tidak pada mukallaf yang lain.
Pembagian Azimah, menurut ulama ushul , azimah dibedakan dalam beberapa
macam, yaitu:
a) Al-Ashl, yaitu karena ditentukan dari semenjak awal untuk kemaslahatan
manusia, seperti ibadah, muamalah, jinayah.
b) Al-Sabab, yaitu hukum yang disyariatkan karena adanya sebab yang muncul.
Seperti dilarang mencaci berhala orang kafir, karena dikhawatirkan orang kafir
mencaci balik Allah dan Rasul-nya.
12
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-
budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-
Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu)
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka
isteri-isteri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah
kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan
tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling
merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS al-Nisa [5]: 24)
b. Rukhsah
Rukhsah adalah apa yang disyariatkan oleh Allah SWT berupa ketentuan
hukum sebagai peringan (memberikan keringanan) kepada orang mukallaf pada
kondisi-kondisi tertentu yang membutuhkan keringanan tersebut. Atau (rukhsah)
itu adalah apa yang disyariatkan karena ketidakmampuan (‘udzur) yang
menghalangi pada kondisi-kondisi khusus, atau (rukhsah) adalah dibolehkanya
orang yang dalam keadaan terpaksa karena adanya dalil yang menunjukan adanya
bahaya.
Pembagian Rukhsoh:
2) Ruksoh tarfiah yaitu jika hukum rukhsah dan azimah masih terdapat
semuanya. Contoh: memperbukakan puasa pada bulan Ramadhan, diperbolehkan
hanya yang dirasa berai mengeijakannya oleh mukalaf.
Sah (sahih) merupakan perbuatan hukum yang sesuai dengan tuntunan syara’,
yaitu terpenuhinya syarat, rukun, sebab, dan tidak ada mani’, serta memiliki
konsekuensi bagi pelakuknya yaitu telah bebasnya dari tanggungan hukum yang
menjadi tanggung jawabnya.
Sebagai misal: shalat dhuhur dilakukan setelah tergelincir matahari (sebab),
didahului dengan bersuci (syarat), dan tidak dalam keadaan haidh (tidak ada mani’),
maka shalatnya dinyatakan sah. Tapi jika sebabnya tidak ada, syaratnya tidak
terpenuhi, walaupun tidak ada mani’-nya, maka shalatnya dinyatakan tidak sah.
b. Batal
Batal (buthlan atau bathil) yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang
ditetapkan dan tidak ada akibat hukum yang ditimbulkan. Batal juga dapat diartikan
tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan
tidak mendatangkan pahala di akhirat.
2.2 Al-Syarii`
Dalam ushul fiqh kata hakim adalah merujuk pada penentu dan pembuat
hukum syariat yang hakiki, yaitu Allah SWT. Hal ini, didasarkan pada firman Allah
SWT dalam QS. Al-An’am: 57.
ص ْال َح َّق َوه َُو َخي ُْر ْ قُ ْل اِنِ ْي َع ٰلى بَيِنَ ٍة ِم ْن َّربِ ْي َو َكذَّ ْبت ُ ْم بِه َما ِع ْن ِد
ُّ ُي َما ت َ ْستَ ْع ِجلُ ْونَ بِه ا ِِن ْال ُح ْك ُم ا ََِّل ِ هَّللِ يَق
ِ َْالف
َاص ِليْن
"Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku,
sedang kamu mendustakannya. tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya
disegerakan kedatangannya. menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik“.
Oleh sebab itu, Allah Swt. disbeut pula dengan istilah syari’.
Abdullah bin Yusuf bin Isa bin Ya’qub al-jadi’ Al-‘Anziy, dalam kitabnya Taisir Ilm
Ushul Al-Fiqh, “Hakim secara hakekat adalah Allah SWT satu-satunya, sementara para
rasul adalah penyampai risalah dari Allah, mereka tidak menetapkan hukum dengan
menciptakannya dari diri mereka sendiri; sementara para mujtahid adalah penyingkap
terhadap hukum-hukum Allah, mereka tidak menciptakan hukum itu sekalipun mereka
disebut sebagai para hakim atau hukum-hukum itu disandarkan kepada mereka.”
15
Artinya : Maka barang siapa di antara kamu yang sakit atau dalam kedaan
bepergian, maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan
pada hari-hari yang lain
Yang menjadi objek perintah dalam ayat tersebut adalah perbuatan
orang mukalaf, yaitu bepergian atau sakit, di mana kedua hal tersebut menjadi
uzur syar’i bagi diperbolehkannya seorang mukallaf tidak berpuasa pada bulan
Ramadan.
Zahrah menyebutkan, bahwa Mahkum Fih berkaitan dengan realisasi
atau implementasi dari hukum taklifi. Dengan kata lain, mahkum fih (perbuatan
hukum), itu akan dapat dilihat realisasinya dalam lima kategori ketentuan
hukum syara’ yaitu wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah.
b) Syarat -Syarat mahkum Fih
Abdul Wahab Khallaf menyatakan, bahwa perbuatan yang menjadi
objek taklif (pembebanan hukum) harus memenuhi persyaratan, yaitu:
1. Diketahui secara sempurna dan rinci.
Ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat global, baru bisa dan wajib
dilaksanakan ketika ada penjelasan rinciannya dan tata caranya dari
Rasulullah SAW. Contohnya: shalat, puasa, zakat, haji
َّ ار َكعُ ْوا َم َع
َالرا ِك ِعيْن َّ ص ٰلوة َ َو ٰاتُوا
ْ الز ٰكوة َ َو َّ َواَقِ ْي ُموا ال
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta
orang-orang yang ruku.‘ (QS al-Baqarah [2]: 43)
Perintah shalat dalam ayat diatas tidak disertai dengan
penjelasan tentang bagaimana shalat itu dijalankan dan dilakukan.
Sehingga ayat tersebut bersifat global maka dari itu perlu ada
penjelasan tentang bagaimana pelaksanaan shalat itu dilakukan.
16
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan tentang hukum syara’ adalah salah satu dari beberapa objek kajian
ushul fiqh. Bahkan tujuan utama dari studi ushul fiqh adalah bagaimana menyimpulkan
hukum syara’ dari sumber-sumbernya. Oleh karena begitu penting kedudukan hukum
syara’ dalam kajian ini, maka terlebih dahulu perlu dijelaskan hakikat hukum syara’ itu
sendiri serta berbagai macamnya.
Istilah hukum syara’ bermakna hukum-hukum yang digali dari syariat Islam.
Berbicara tentang hukum syara’ melibatkan pembicaraan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengannya, seperti pembicaraan tentang hakim/syari` (pembuat hukum),
al-mahkum fih (perbuatan manusia), dan tentang al mahkum ‘alaih (mukalaf).
Macam-macam hukum syara` diantaranya ada : Hukum Taklifi yaitu hukum
yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf
untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat. Ada lima macam hukum taklifi, diantaranya
: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Hukum Wadh`i yaitu hukum yang
memiliki tujuan untuk menjadikan sesuatu itu menjadi sebab, syarat, mani`,
rukhsah/azimah, atau sah dan batal bagi sesuatu.
B. Saran
Semoga Makalah ini dapat menambah ilmu kita tentang Hukum Syara’ beserta
pembagiannya. Dan semoga kita dapat mengambil manfaatnya.
Demikianlah makalah mengenai Hukum Syara’ beserta pembagiannya yang
dapat penulis sampaikan, penulis sudah berusaha memaparkan dan menjelaskan
materi dengan semaksimal mungkin, tapi tidak menutup kemungkinan adanya
kekeliruan dalam penyusunannya, penulis berharap kepada pembaca agar dapat
memberikan penulis kritikan maupun masukkan yang positif demi penyempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat dalam proses evaluasi
pendidikan.
18
DAFTAR PUSTAKA
Kallaf, Syekh Abdul Wahab. 2005. Ilmu Usul Fikih. Jakarta: PT Rineka Cipta
Bahrudin, M. 2019. Ilmu Ushul Fiqih. Lampung: CV Anugrah Utama Rahaja
Zein, Satria Effendi M. 2017. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Miswanto, Agus. 2019. Ushul Fiqh: Metode Istinbath Hukum Islam. Yogyakarta: Magnum
Pustaka Utama
http://tholabullilmi.blogspot.com/2017/12/makalah-al-hakim-mahkum-fiih-dan-mahkum.html
https://liaamania22.wordpress.com/2017/05/18/contoh-makalah-ushul-fiqh-hukum-hakim-
mahkum-fih-dan-mahkum-alaih/
https://www.kompasiana.com/iswatul41572/5f9be828d541df2ed3179202/hukum-syara-dan-
pembagiannya
https://www.academia.edu/60233904/Hukum_Syara_dan_Pembagiannya
19