Anda di halaman 1dari 20

HUKUM SYARA’ DAN KONSEP HUKUM TAKLIFI

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
USHUL FIQIH

Dosen Pengampu :
Dr. H. Syamsudin, M.Ag

Tim Penyusun:
Liofiani Dwi Nur Hidayati (D01219029)
Hanna Luthfi Laily (D01219024)
Hisyam Muhammad Fiqyh Aladdiin (D01219026)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas taufik


dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Hukum
Syara’ dan Konsep Hukum Taklifi ini tepat pada waktunya. Shalawat serta
salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita
termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah Hukum Syara’ dan Konsep Hukum Taklifi ini. Harapan
kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah
satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta
pengalaman, sehingga nantinya saya dapat memperbaiki bentuk ataupun isi
dari makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian
yang dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang kami
miliki. Oleh sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap
pembaca yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di
kemudian hari.

Surabaya, 25 September 2021

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................i
KATA PENGANTAR ..............................................................................................ii
DAFTAR ISI .............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1


A. Latar Belakang ...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..........................................................................................1
C. Tujuan ............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ..........................................................................................2


A. Pengertian Hukum Syara’ ..............................................................................2
B. Pembagian Hukum Syara’..............................................................................2
C. Pengertian Hukum Taklifi ..............................................................................9
D. Pembagian Hukum Taklifi .............................................................................10

BAB III PENUTUP ..................................................................................................15


Kesimpulan ....................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa dalam mempelajari Ushul Fiqih
terdapat bermacam-macam hukum yang diantaranya adalah hukum syara’.
Hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “Hukum” dan
“Syara”. Hukum menurut bahasa, yakni memutuskan (al-qadha) dan
mencegah (al-man’u). Hukum juga berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu
yang lain. Sedangkan, Syara’ secara etimologi berarti jalan-jalan yang biasa
dilalui, maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia untuk menuju kepada
Allah. Jadi Hukum Syara’ adalah seperangkat peraturan, berdasarkan
ketentutan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini
berlaku, serta mengikat semua umat yang beragama Islam.
Dalam Islam terdapat berbagai macam hukum, diantaranya adalah hukum
taklifi dan hukum wad’i. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu
pengerjaan dari mukallaf, atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan
pilihan kepadanya antara melakukan dan meninggalkannya. Dari sini, seperti
yang telah ada pada judul makalah, kami akan membahas mengenai
pengertian dan pembagian hukum syara’ serta konsep dasar hukum taklifi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Hukum Syara’?
2. Bagaimana Pembagian Hukum Syara’?
3. Apa Pengertian Hukum Taklifi?
4. Bagaimana Pembagian Hukum Taklifi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Hukum Syara’?
2. Untuk mengetahui Pembagian Hukum Syara’?
3. Untuk mengetahui Pengertian Hukum Taklifi?
4. Untuk mengetahui Pembagian Hukum Taklifi?

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hukum Syara’
1. Pengertian Hukum Syara’
Hukum syara’ merupakan kata majemuk dari kata “hukum” dan
“syara”. Hukum secara bahasa berarti “memutuskan, menetapkan,
dan menyelesaikan”. Kata syara’ secara bahasa berarti jalan.
Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia menuju Allah SWT,
dengan cara beribadah kepada Nya.1 Hukum syara adalah seperangkat
peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia
yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat
yang beragama Islam.2 Hukum syara’ menurut istilah para ahli ushul
adalah akibat dari kitab Allah itu pada perbuatan mukallaf yang
mengikat untuk semua umat islam, seperti wajib, haram dan mubah.
Hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum
wadh’i. Hukum Taklifi, yaitu hukum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung tuntutan dan kebolehan.
Hukum Wadh’i, yaitu hukum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.
2. Pembagian Hukum Syara’
a. Hukum Taklifi
Hukum Taklifi dibagi menjadi 5:
1) Wajib: suatu perbuatan yang apabila dikerjakan
mendapatkan pahala dan apabila di tinggalkan
mendapatkan siksa.
2) Sunnah (mandub): sesuatu yang dituntut menurut syara’
untuk melakukannya namun tuntutannya tidak begitu

1
Ira Fitrotun, “Pengertian dan Pembagian Hukum Syara’,”
https://irameblog.wordpress.com/2017/06/07/pengertian-dan-pembagian-hukum-syara/ diakses
tanggal 25 September 2021.
2
Tantawi, “Hukum Syara’,” https://tantawi-ushulfiqh.blogspot.com/2010/12/hukum-syara.html
diakses tanggal 25 September 2021.

2
keras. Atau dengan kata lain diberi pahala jika
mengerjakannya dan tidak disiksa apabila
meninggalkannya.
Menurut para ulama dikalangan mahzab Hanafi,
mandub ada tiga macam, yaitu:
a) Sunnah Hadyi ialah suatu perbuatan yang diperintah
untuk menyempurnakan perbuatan wajib seperti
adzan dan shalat berjama’ah. Orang yang
meninggalkan perbuatan ini dikatakan tersesat dan
tercela dan seandainya seisi kampung sepakat
meninggalkannya, maka mereka dapat diperangi.
b) Sunnah Zaidah ialah semua perbuatan yang
dianjurkan melakukannya sebagai sifat terpuji karena
mengikuti jejak Nabi sebagai manusia biasa seperti
dalam makan, minum, tidur dan lain sebagainya dan
apabila perbuatan tersebut ditinggalkannya tidak
dapat dikatakan makruh.
c) Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan melakukannya
sebagai pelengkap dari perbuatan wajib dan sunnah
seperti shalat sunnah. Perbuatan tersebut apabila
dilakukan mendapat pahala dan apabila ditinggal tidak
dapat disiksa ataupun dicela.
Menurut para ulama mahzab Syafi’i membagi mandub
mejadi dua macam, yaitu:
a) Sunnah Muakad ialah perbuatan yang dituntut
memperbuatnya namun tidak dikenakan siksa bagi
yang meninggalkannya tetapi dicela. Seperti azan,
shalat berjama’ah, shalat hari raya, berkorban dan
aqiqah, karena perbuatan tersebut selalu dilakukan
oleh Rasulullah, itu bukan wajib namun digemari oleh
Rasulullah.

3
b) Sunnah Ghairu Muakad ialah segala perbuatan yang
dituntut melakukannya namun tidak dicela apabila
meninggalkannya, tetapi Rasulullah sering
meninggalkannya.
Jika seseorang telah mengerjakan perbuatan mandub,
lalu ia berhenti sebelum perbuatan itu selesai menurut
ulama mahzab Hanafi ia wajib mengqadha perbuatan
tersebut. Tetapi menurut ulama mahzab Syafi’i orang
tersebut boleh meneruskan perbuatan tersebut ataupun
meninggalkannya.
3) Haram: apa yang dutuntut syara’ untuk tidak melakukannya
dengan tunutan keras, atau dengan kata lain dilarang
melakukannya dan kalau dilakukan akan mendapat siksa
dan apabila ditinggal akan mendapatkan pahala. Para ulama
mahzab Hanafi membagi haram menjadi dua macam, yang
dilihat dari segi kekuatan dalil yang menetapkan, yaitu:
a) Haram yang ditentukan melalui dalil qath’i yaitu dari
al-Qur’an, sunnah mutawatir dan ijma’. Haram yang
ditentukan sebagai kebalikan dari fardhu.
b) Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti
hadis ahad dan qiyas, haram yang seperti ini sebagai
kebalikan wajib atau juga dinamakan karahiyatut
tahrim.
Para ulama mahzab Maliki membagi haram menjadi dua
macam, yaitu:
a) Haram lizatihi yaitu haram semenjak semula, seperti
zina, shalat tanpa wudhu, perkawinan dengan wanita
yang haram dinikahi dan memakan bangkai. Semua
itu diharamkan sejak semula karena mendatangkan
kerusakan.

4
b) Haram lighairi yaitu pada dasarnya perbutan tersebut
boleh, dapat dijadikan alasan (sebab) hukum dan
mejadikan sumber perikatan, karena itu shalat dengan
pakaian dari hasil curian itu boleh, shalat sah tetapi
berdosa karena mencuri.
4) Makruh: apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya
namun tidak begitu keras atau dengan kata lain apa yang
tidak dikenakan hukuman bagi pelaku, namun dicela.
5) Mubah: apa yang diberikan kebebasan kepada para
mukallaf untuk memilih melakukan atau meninggalkan
perbuatan tersebut, karena syara’ tidak memerintahkan
maupun melarangnya, ataupun perbuatan tersebut
diperintah namun ada tanda yang menunjukkan mubah.
Berdasarkan keterangan diatas mubah ada tiga macam,
yaitu:
a) Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih
antara melakukan atau meninggalkannya.
b) Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’
memberitahukan memberi kelonggaran atau kemudahan
bagi yang melakukannya
c) Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan
melakukan atau meninggalkannya.
b. Hukum Wad’hi
Hukum wadh’i yaitu hukum yang bertujuan menjadikan
sesuatu adaah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau
penghalang baginya. Hukum wadh’i terbagi menjadi lima macam,
yaitu : sebab, syarat, mani’, rukhsah dan azimah, sah dan batal.
1) Sebab: apa yang dijadikan syara’ sebagai tanda atas musabab
dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan
tidak adanya musabab karena tidak adanya sebab.

5
2) Syarat: apa yang tergantung adanya hukum dan adanya
hukum dengan adanya syarat dan dengan tidak adanya syarat
maka hukum tidak ada. Syarat yang ditetapkan syara’
mungkin sebagai pelengkap sebab hukum. Syarat-syarat
dalam perbuatan hukum kadang ditetapkan syara’ yang
dinamakan “syarat syar’i” dan kadang ditetapkan oleh
mukallaf sendiri yang dinamakan “syarat ja’li”. Syarat syar’i
dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a) Syarat yang terkandung dalam kitab taklifi yang kadang-
kadang dalam bentuk tuntutan untuk membuatnya seperti
wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang dalam tuntutan
tidak untuk meperbuat.
b) Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya
haul bagi yang memiliki harta kekayaan yang cukup nisab
menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a) Syarat yag ditentukan untuk menyempurnakan hikmah
sesuatu perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan
hikmah perbuatan hukum.
b) Syarat yang ditentukan tidak cocok dengan maksud
perbuatan hukum yang dimaksud bahkan bertentangan
dengan hikmah perbuatan hukum itu.
c) Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan
hikmah perbuatan hukum.
3) Mani’: apa yang memasikan adanya tidak ada hukum atau
batal sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi
syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang
mencegah) berlakunya hukum atasnya.
Para ulama mahzab Hanafi membagi mani’ menjadi lima
macam, yaitu:

6
a) Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti
menjualnya orang yang merdeka.
b) Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab
lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta
melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab bagi
orang yang mengikat perjanjian.
c) Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti
khiyar syarat.
d) Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti
khiyar ru’yah
e) Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti aib.3
4) Sah, Batal atau Fasad
Secara etimologi sah atau Shihhah atau shahih artinya
sakit. Secara terminologi, sah yaitu tercapainya sesuatu yang
diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syaratnya
terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi
kehendak syara’ pada perbuatan itu. Secara etimologi fasad
berarti perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya.
Secara terminologi menurut jumhur ulama sama dengan
batal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah adalah kerusakan
yang tertuju kepada salah satu sifat, sedangkan hukum asal
perbuatan itu disyari’atkan.
Wahbah Al Zuhaili mengatakan bahwa yang terkuat dalam
pendapat mayoritas ulama ushul fiqh yang mengatakan
bahwa sah, fasad, dan batal termasuk dalam hukum wadh’i
karena yang dimaksudkan dengan sah adalah tercapainya
ketentuan syara’ dalam suatu perbuatan, dan batal atau fasad,
tidak terdapatnya pengaruh syara’ dalam perbuatan tersebut.

3
Ira Fitrotun, “Pengertian dan Pembagian Hukum Syara’,”
https://irameblog.wordpress.com/2017/06/07/pengertian-dan-pembagian-hukum-syara/ diakses
tanggal 25 September 2021.

7
5) Azimah dan Rukhshah
Secara etimologi ‘azimah adalah tekad yang kuat.
Sedangkan secara terminologi adalah hukum-hukum yang
telah disyari’atkan Allah kepada seluruh hambaNya sejak
semula. Jumhur ulama menyatakan bahwa yang termasuk
‘azimah adalah kelima hukum taklifi yaitu wajib, sunah,
haram, makruh, dan mubah. Macam-Macam ‘Azimah ada 4,
yaitu:
a) Hukum yang disyari’atkan sejak semula untuk
kemashlahatan umat manusia seluruhnya, seperti ibadah
dan mu’amalah.
b) Hukum yang disyari’atkan karena ada sesuatu sebab
yang muncul, seperti hukum mencaci berhala atau
sesembahan agama lain.
c) Hukum yang disyari’atkan sebagai pembatal hukum
yang sebelumnya, seperti peristiwa pengalihan arah
kiblat.
d) Hukum pengecualian dari hukum-hukum yang umum,
seperti larangan mengawini wanita yang bersuami
dengan lafaz yang bersifat umum, kemudian
dikecualikan dengan wanita-wanita yang menjadi budak
(An Nisaa’:24).

Secara etimologi rukhshah berarti kemudahan, kelapangan


dan kemurahan. Secara terminologi Imam Al Baidhawi
menyatakan yaitu hukum yang ditetapkan berbeda dengan
dalil, karena adanya uzur. Jadi Rukhshsah adalah keringanan
dan kelapangan yang diberikan kepada seorang mukallaf
dalam melakukan perintah dan menjauhi larangan. Macam-
macam rukhshah ada 2, yaitu:

8
a) Dari segi bentuk hukum asalnya
Rukhshah melakukan adalah keringanan dalam
melaksanakan suatu perbuatan yang menurut asalnya
harus ditinggalkan. Contoh: memakan daging babi dalam
keadaan terpaksa. (Al Baqarah:173) Rukhshah
meninggalkan adalah keringanan untuk meninggalkan
perbuatan yang menurut hukum ‘azimahnya adalah wajib
atau sunnah. Contoh: kebolehan meninggalkan puasa
Ramadhan bagi orang sakit atau dalam perjalanan (Al
Baqarah:184)
b) Dari segi bentuk keringanan yang diberikan
Keringanan dalam bentuk menggugurkan kewajiban
contohnya ialah bolehnya meninggalkan shalat jum’at,
haji, umrah, dan jihad dalam keadaan udzur.4

B. Konsep Hukum Taklifi


1. Pengertian Hukum Taklifi
Taklifi secara bahasa berasal dari kata kallafa-yukallifu-taklif, yang
artinya beban. Secara istilah, hukum taklifi adalah hukum yang
menghendaki mukalaf untuk mengerjakan atau memilihnya antara
mengerjakan atau meninggalkannya. Misalnya hukum tentang
perintah shalat yang menunjukan hukum wajib untuk dikerjakan, dan
larangan membunuh, yang menunjukan hukum haram untuk
dilakukan.5
Hukum Taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para
mukallaf (aqil-baligh) atau orang yang dipandang oleh hukum cakap
melakukan perbuatan hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban,
maupun dalam bentuk larangan. Hukum taklifi dimaksud mencakup
lima macam kaidah atau lima kategori penilaian mengenai benda dan

4
Tantawi, “Hukum Syara’,” https://tantawi-ushulfiqh.blogspot.com/2010/12/hukum-syara.html
diakses tanggal 25 September 2021.
5
Abdul Mughits, Ushul Fiqh Bagi Pemula (Jakarta : CV Artha Rivera, 2008), 68.

9
tingkah laku manusia dalam hukum islam, yaitu jaiz, sunnah, makruh,
wajib dan haram. Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung
perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukalaf,
seperti menjelaskan bahwa sholat wajib dilaksanakan umat islam.6
2. Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklifi ada lima macam, yang termasuk dalam fiqih sebagai
ketentutan hukum, seperti wajib (Ijab/perintah), mandub
(nadb/anjuran), haram (tahrim/larangan), makruh (karahah/dibenci)
dan mubah (ibahah/boleh)7, sebagai berikut:
1. Al-Ijab (mewajibkan)
Ijab tuntutan secara pasti dari syari’ untuk dilaksanakan dan
tidak boleh (dilarang) ditinggalkan, karena orang yang
meninggalkannya dikenai hukuman. Misalnya, dalam surat An-
Nur : 56:

َّ ‫َواَقِْي ُموا‬
َّ ‫الص ٰلوَة َواٰتُوا‬
‫الزٰكوَة‬
Artinya : “Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat...”
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafadz amr, yang menurut
ahli para Ushul Fiqih melahirkan ijab, yaitu kewajiban
mendirikan sholat dan membayar zakat. Apabila kewajiban ini
dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf, maka disebut dengan
wujub. Sedangkan perbuatan yang dituntut (yaitu mendirikan
sholat dan membayar zakat), disebut dengan wajib.
Hasil dari ijab atau konsekuensinya dinamakan wujub
(kewajiban) dan tuntutan pelaksanaanya atau kerjaan yang
dikenal hukum wujub disebut wajib.8 Ijab sebagai firman yang
menuntut suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.9 Tuntutan
untuk memperbuat secara pasti, dengan arti harus diperbuat

6
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kencana, 2015), 41
7
Abuddin Nata, Studi Islam Komprehensif, (Jakarta : Kencana, 2011), 241
8
Nazar Bakry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003), 154
9
Muhammad Syukri Albani Nasution, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2014), 74

10
sehingga orang yang memperbuat patut mendapat ganjaran dan
tidak dapat sama sekali ditinggalkan, sehingga orang yang
meninggalakan patut mendapat anacaman Allah.
2. An-Nadab
Nadb yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang
tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga
seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang
meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk
dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan
disebut nadb.10 Misalnya, dalam surat Al-Baqarah :282. Allah
SWT berfirman:

‫ِا‬ ِ ِ
ُ‫ٰاٰيَيُّ َها الَّذيْ َن اٰ َمنُ ْاوا ا َذا تَ َدايَْن تُ ْم بِ َديْن ا ٰل اَ َجل ُّم َس ًّمى فَا ْكتُبُ ْوه‬
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermualamah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya....”
Lafadz faktubuhu (maka tuliskanlah olehmu), dalam ayat itu
pada dasarnya mengandunng perintah (wujub).

ٗ‫ضا فَ ْليُ َؤِد الَّ ِذى ْاؤُتِ َن اََمانَتَه‬


ً ‫ض ُك ْم بَ ْع‬
ِ ِ
ُ ‫فَا ْن اَم َن بَ ْع‬
Artinya :“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya...”
Tuntutan wujub dalam ayat tersebut, berubah menjadi nadb.
Dimana jika seseorang bermuamalah secara tidak tunai (hutang)
untuk waktu yang telah disepakati mengembalikan barang/uang

10
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), 155

11
itu hendaknya ia menulisnya sebagai pengingat kalau ia sedang
berhutang.11
3. At-Tahrim
Tahrim adalah firman yang menuntut untuk tidak melakukan
sesuatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti.12 Pengaruh
terhadap perbuatan tersebut disebut hurmah, sedangkan perbuatan
yang dilarang secara pasti disebut muharram atau haram. Di
dalam masalah pahala, hukum haram ini merupakan perbuatan
yang apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya
akan mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu dikerjakan
mendapat siksa. Seperti firman Allah Al-An’am ayat ke 151:

‫اَّللُ إََِّل ِِب ْلَِق‬


َّ ‫س الَِِّت َحَّرَم‬
َ ‫َوََل تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
Artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah
diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar”
Contoh ayat diatas menunjukkan bahwa ayat tersebut
menunjukkan pengaruh tahrim dan dalam lafadz walaa taqtulun
nafsallati harramallahu merupakan perbuatan yang jelas tidak
diperbolehkan oleh Allah, maka lafadz tersebut menunjukkan
perbuatan haram.
4. Al-Karahah
Karahah adalah firman Allah yang menuntut untuk tidak
melakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak pasti,
tetapi hanya berupa anjuran untuk tidak berbuat. Perbuatan yang
dilarang secara tidak pasti tersebut disebut makruh. Dalam hal
masalah pahala, makruh ini merupakan perbuatan yang apabila
perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya
akan mendapat pahala dan apabila dikerjakan, maka orang yang

11
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Diterjemahkan Dari Uhsul Fiqh, oleh Moh zuhri,
dkk), (Semarang : Dina Utama, 2014), 29-30
12
Hidayacht, “Macam-Macam Hukum Taklifi”, https://www.yomi.my.id/2015/11/macam-macam-
hukum-taklifi.html, diakses pada tanggal 9 November 2015.

12
mengerjakannya tidak mendapat siksa. Seperti hadits Nabi
Muhammad SAW.
13
‫اَّللِ الطَََّل ُق‬
َّ ‫الَََل ِل ِعْن َد‬
ْ ‫ض‬ُ َ‫اَبْغ‬
Artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah
talak” (H.R. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim)
Contoh ayat diatas menunjukkan bahwa perbuatan talak
adalah diperbolehkan hukumnya, namun perbuatan tersebut
sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu, ayat diatas
merupakan hukum al-karahah dan perbuatan talak itu
menunjukkan makruh.
5. Al-Ibahah
Ibahah adalah firman Allah yang memberi kebebasan
kepada mukalaf untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perbuatan. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada tuntutan untuk
mengerjakan atau meninggalkan. Sehingga, seseorang bebas
ingin mengerjakan suatu perbuatan atau tidak. Perbuatan yang
diberi pilihan untuk berbuat atau tidak disebut mubah.14 Dalam
masalah pahala, mubah ini merupakan suatu perbuatan yang bila
dikerjakan, orang yang mengerjakan tidak mendapat pahala, dan
bila ditinggalkan tidak mendapat siksa. Seperti firman Allah
surat Al-Maidah ayat 2:

‫اد ْوا‬ ِ
ُ َ‫صط‬
ْ َ‫َوا َذا َحلَْلتُ ْم ف‬
Artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah
haji, maka bolehlah kamu berburu”
Dalam contoh pada ayat diatas, menunjukkan bahwa ada
pilihan untuk manusia. Jika ia telah selesai melaksanakan ibadah

13
Fathur Rahman Alfa, “Pernikahan Dini dan Perceraian di Indonesia”, Jurnal Ilmiah Ahwal
Syakhshiyyah, Vol. 1, No. 1, (Juni, 2019), 55.
14
Amsori, “Al-Ahkam Al-Khams Sebagai Klasifikasidan Kerangka Nalar Normatif Hukum Islam:
Teori dan Perbandingan”, Jurnal Pakuan Law Review, Vol. 3,No. 1, (Januari-Juni 2017), 44.

13
haji, maka ia diperbolehkan untuk berburu. Hal ini menunjukkan
bahwa ayat diatas merupakan hukum al-ibahah, dan pilihan
untuk berburu setelah melaksanakan ibadah haji atau tidaknya
merupakan perbuatan mubah. Karena tidak ada masalah jika hal
itu dilakukan atau tidak.

14
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah
tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara’ menurut istilah para ahli
ushul adalah akibat dari kitab Allah itu pada perbuatan mukallaf yang mengikat
untuk semua umat islam, seperti wajib, haram dan mubah.
Hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.
Hukum Taklifi, yaitu hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang mengandung tuntutan dan kebolehan. Hukum Wadh’i, yaitu hukum syara’
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan,
sebab atau mani’.
Secara istilah, hukum taklifi adalah hukum yang menghendaki mukalaf
untuk mengerjakan atau memilihnya antara mengerjakan atau meninggalkannya.
Hukum Taklifi adalah ketentuan hukum yang menuntut para mukallaf (aqil-
baligh) atau orang yang dipandang oleh hukum cakap melakukan perbuatan
hukum baik dalam bentuk hak, kewajiban, maupun dalam bentuk larangan.
Hukum taklifi ada lima macam, seperti Ijab yang perbuatannya bersifat
wajib (perintah). Kemudian, nadb atau mandub yang perbuatannya bersifat
sunnah (anjuran untuk dikerjakan). Setelah itu, tahrim yang perbuatannya bersifat
haram (larangan), karahah yang perbuatannya bersifat makruh (dibenci/lebih baik
ditinggalkan) dan ibahah yang perbuatannya bersifat mubah (boleh dilakukan atau
tidak dilakukan).

15
DAFTAR PUSTAKA

Fitrotun, Ira. “Pengertian dan Pembagian Hukum Syara’”.


https://irameblog.wordpress.com/2017/06/07/pengertian-dan-
pembagian-hukum-syara/ diakses tanggal 25 September 2021.

Tantawi. “Hukum Syara’”. https://tantawi-


ushulfiqh.blogspot.com/2010/12/hukum-syara.html diakses tanggal
25 September 2021.

Mughits, Abdul. Ushul Fiqh Bagi Pemula, Jakarta : CV Artha Rivera, 2008.

Effendi, Satria. Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2015.

Nata, Abuddin. Studi Islam Komprehensif, Jakarta : Kencana, 2011.

Bakry, Nazar. Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2003.

Nasution, Muhammad Syukri Albani. Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Rajawali


Pers, 2014.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqih (Diterjemahkan Dari Uhsul Fiqh, oleh
Moh zuhri, dkk), Semarang : Dina Utama, 2014.

Hidayacht, “Macam-Macam Hukum Taklifi”,


https://www.yomi.my.id/2015/11/macam-macam-

16
hukum-taklifi.html, diakses pada tanggal 9 November
2015.

Alfa, Fathur Rahman. “Pernikahan Dini dan Perceraian di Indonesia”, Jurnal


Ilmiah Ahwal Syakhshiyyah, Vol. 1, No. 1, (Juni, 2019), 55.

Amsori, “Al-Ahkam Al-Khams Sebagai Klasifikasidan Kerangka Nalar Normatif


Hukum Islam: Teori dan Perbandingan”, Jurnal Pakuan Law Review,
Vol. 3,No. 1, (Januari-Juni 2017), 44.

17

Anda mungkin juga menyukai