Anda di halaman 1dari 14

PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN HUKUM SYARA

Makalah ini dibuat sebagai tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen: Suprihatin, Dra. M.E.I.

Oleh:

SUSIYATI

41182911210015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM “45” BEKASI

2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayahnya terutama
nikmat iman, kesehatan dan kesempatan sehingga penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan.

Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah Ushul Fiqih. Dalam penulisan makalah ini saya merasa banyak kekurangan-
kekurangan baik pada penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang saya miliki.
Untuk itu kritik dan saran sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini.

Akhirnya saya sebagai penulis berdoa semoga Alloh SWT memberikan pahala yang
setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan ini sebagai ibadah, Aamiim Yaa
RobbalAlamiin

Bekasi, Mei 2023

Susi yati

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................ i


DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan masalah............................................................................................................. 1
BAB II........................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 2
2.1 Pengertian Hukum Syara .................................................................................................. 2
2.2 Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i................................................................ 2
2.3 Pembagian Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i .............................................................. 3
2.3.1 Hukum Taklifi ........................................................................................................... 3
2.3.2 Hukum Wadh’i .......................................................................................................... 5
BAB III ...................................................................................................................................... 8
KESIMPULAN .......................................................................................................................... 8
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 9

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Segala amal perbuatan manusia dan tutur katanya tidak dapa lepas dari ketentuan hukum
syari’at, baik hukum syari’at yang tercantum didalam al-Qur’an dan as-sunnah, maupun yang
tidak tercantum dalam kedua-duanya, akan tetapi terdapat pada hukum syari’at yang lain.

Sebagaimana yang dikatakan Imam Ghazali, bahwa mengetahui hukum syara’


merupakan inti dari ilmu fiqh dan ushul fiqh. Hukum syara’ berhubungan dengan perbuatan
mukallaf. Meskipun dari tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara’ dari segi
metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau hasi penggalian hukum
syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan orang-orang mukallaf, baik berupa
perintah ataupun larangan, pilihan, maupun berupa wadh’i (sebab akibat).

Ketetapan Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan mukallaf seperti wajib,
sunnah, makruh, haram, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan atau mani’dan lain
sebagainya.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa yang dimaksud dengan hukum syara’?


2. Apa perbedaan hukum taklifi dan hukum wadh’i?
3. Apa saja yang pembagian hukum taklifi dan hukum wadh’i?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Syara


Hukum syara’ merupakan kata majemuk dari kata “hukum” dan “syara”. Hukum
secara bahasa berarti “memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan”. Kata syara’ secara
bahasa berarti jalan. Maksudnya adalah jalan yang dilalui manusia menuju Allah SWT,
dengan cara beribadah kepada Nya.

Hukum syara’ menurut istilah para ahli ushul adalah akibat dari kitab Allah itu pada
perbuatan mukallaf yang mengikat untuk semua umat islam, seperti wajib, haram dan
mubah.

Hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum
Taklifi, yaitu hukum syara’ yang berhubugan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung
tuntutan dan kebolehan.Hukum Wadh’i, yaitu hukum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.[1]

2.2 Perbedaan Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i


Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklif dengan hukum al-wadh’i, antara lain:

1. Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau


memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wadl’i, hal ini tidak ada,
melainkan. mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di
antara dapat dijadikan sebab, syarat, atau penghalang.
2. Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan atau
memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum wadl’i, hal ini tidak ada,
melainkan. mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga salah satu di
antara dapat dijadikan sebab, syarat, atau penghalang.
3. Hukum taklifi harus sesuai dnegan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan atau
meninggalkannya, karena dalam hukum al-taklif tidak boleh ada kesulitan (masyaqah)
dan kesempitan (haraj) yang tidak mungkin dipikul oleh mukallaf. Sedangkan dalam
hukum al-wadl’i hal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masyaqah dan haraj dalam
hukum al-wadl’i adakalanya dapa dipikul mukallaf, seperti menghadirkan saksi
sebagai syarat dalam pernikahan, dan adakalanya di luar kemampuan mukalaf, seperti
tergelincirnya matahari bagi wajibnya shalat dhuhur.
4. Hukum taklifi ditujukan kepada para mukallaf, sedangkan hukum al-wadl’i dutujukan
kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, seperti anak kecil dan
orang gila.[2]

2
2.3 Pembagian Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i

2.3.1 Hukum Taklifi


Hukum taklifi dibagi menjadi lima, yaitu:
1. Wajib : suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan
apabila di tinggalkan mendapatkan siksa.
2. Sunnah (mandub) : sesuatu yang dituntut menurut syara’ untuk melakukannya
namun tuntutannya tidak begitu keras. Atau dengan kata lain diberi pahala jika
mengerjakannya dan tidak disiksa apabila meninggalkannya.

Menurut para ulama dikalangan mahzab Hanafi, mandub ada tiga macam,
yaitu:

a. Sunnah Hadyi ialah suatu perbuatan yang diperintah untuk


menyempurnakan perbuatan wajib seperti adzan dan shalat berjama’ah.
Orang yang meninggalkan perbuatan ini dikatakan tersesat dan tercela
dan seandainya seisi kampung sepakat meninggalkannya, maka mereka
dapat diperangi.
b. Sunnah Zaidah ialah semua perbuatan yang dianjurkan melakukannya
sebagai sifat terpuji karena mengikuti jejak Nabi sebagai manusia biasa
seperti dalam makan, minum, tidur dan lain sebagainya dan apabila
perbuatan tersebut ditinggalkannya tidak dapat dikatakan makruh.
c. Nafal ialah perbuatan yang dianjurkan melakukannya sebagai
pelengkap dari perbuatan wajib dan sunnah seperti shalat sunnah.
Perbuatan tersebut apabila dilakukan mendapat pahala dan apabila
ditinggal tidak dapat disiksa atapun dicela.

Menurut para ulama mahzab Syafi’i membagi mandub mejadi dua macam,
yaitu:

a. Sunnah Muakad ialah perbuatan yang dituntut memperbuatnya namun


tidak dikenakan siksa bagi yang meninggalkannya tetapi dicela. Seperti
azan, shalat berjama’ah, shalat hari raya, berkorban dan akikah, karena
perbuatan tersebut selalu dilakukan oleh Rasulullah, itu bukan wajib
namun digemari oleh Rasulullah.
b. Sunnah Ghairu Muakad ialah segala perbuatan yang dituntut
melakukannya namun tidak dicela apabila meninggalkannya, tetapi
Rasulullah sering meninggalkannya.

Jika seseorang telah mengerjakan perbuatan mandub, lalu ia berhenti sebelum


perbuatan itu selesai menurut ulama mahzab Hanafi ia wajib mengqadha
perbuatan tersebut. Tetapi menurut ulama mahzab Syafi’i orang tersebut boleh
meneruskan perbuatan tersebut ataupun meninggalkannya.[3]

3
3. Haram : apa yang dutuntut syara’ untuk tidak melakukannya dengan tunutan
keras, atau denga kata lain dilarang melakukannya dan kalau dilakukan akan
mendapat siksa dan apabila ditinggal akan mendapatkan pahala.
Para ulama mahzab Hanafi membagi haram menjadi dua macam, yang dilihat
dari segi kekuatan dalil yang menetapkan, yaitu:
a. Haram yang ditentukan melalui dalil qath’i yaitu dari al-Qur’an,
sunnah mutawatir dan ijmak. Haram yang ditentukan sebagai kebalikan
dari fardhu.
b. Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis ahad dan qiyas,
haram yang seperti ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan
karahiyatut tahrim.
Para ulama mahzan Maliki membagi haram menjadi dua macam, yaitu:
a. Haram lizatihi yaitu haram semenjak semula, seperti zina, shalat tanpa
wudhu, perkawinan dengan wanita yang haram dinikahi dan memakan
bangkai. Semua itu diharamkan sejak semula karena mendatangkan
kerusakan.
b. Haram lighairi yaitu pada dasarnya perbutan tersebut boleh , dapat
dijadikan alasan (sebab) hukum dan mejadikan sumber perikatan,
karena itu shalat dengan pakaian dari hasil curian itu boleh, shalat sah
tetapi berdosa karena mencuri.[4]
4. Makruh : apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu
keras atau dengan kata lain apa yang tidak dikenakan hukuman bagi pelaku,
namun dicela.
5. Mubah : apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih
melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut, karena syara’ tidak
memerintahkan maupun melarangnya, ataupun perbuatan tersebut diperintah
namun ada tanda yang menunjukkan mubah.
Berdasarkan keterangan diatas mubah ada tiga macam, yaitu:
a. Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara
melakukan atau meninggalkannya.
b. Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan
memberi kelonggaran atau kemudahan bagi yang melakukannya
c. Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan melakukan atau
meninggalkannya.[5]

4
2.3.2 Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adaah sebab
untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang baginya. Hukum wadh’i terbagi
menjadi lima macam, yaitu : sebab, syarat, mani’, rukhsah dan azimah, sah dan batal.

1. Sebab : apa yang dijadikan syara’sebagai tanda atas musabab dan dihubungkan
adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya musabab karena tidak
adanya sebab.
2. Syarat : apa yang tergantung adanya hukum dan adaya hukum dengan adanya
syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada. Syarat yang
ditetapkan syara’ mungkin sebagai pelengkap sebab hukum.
Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang ditetapkan syara’yang dinamakan
“syarat syar’i” dan kadang ditetapkanoleh mukallaf sendiri yang dinamakan “syarat
ja’li”.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Syarat yang terkandung dalam kitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk membuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang
dalam tuntutan tidak untuk meperbuat.
2. Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang
memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan
zakat.
Syarat ja’li dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Syarat yag ditentukan untuk menempurnakan hikmah sesuatu perbuatan
hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum.
2. Syarat yang ditentukan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang
dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
3. Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan
hukum.
3. Mani’ : apa yang memasikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum
sekalipu menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya
mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya.

Para ulama mahzab Hanafi membagi mani’ menjadi lima macam, yaitu:

1. Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjualnya orang yang
merdeka.
2. Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi
orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi
penghalangsebab bagi orang yang mengikat perjanjian.
3. Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat.
4. Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah.
5. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti aib.[6]

5
4. Azimah dan rukhsah
 Azimah adalah hukum yang disyari’atkan Allah semenjak semula bersifat
umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan
pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
 Rukhsah adalah hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan
bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan.
Rukhsah ada empat macam, yaitu:
1. Rukhsah yang menjadi penecualian hukum umum dikarenakan terdapat
kesulitan dalam melaksanakan ketentuan hukum umum.
2. Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah
dalam firmanNya. (QS. Al-Baqaraah ayat 286)

               

             

                

        

Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan


kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan
ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya
Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami
tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.
Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak
sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap
kaum yang kafir."
3. Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keleluasan dalam ibadah
sehingga terdapat kemudahan dan orang yang dapat melaksanakan ibadah
lebih banyak.
4. Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul karena adanya
uzur dapat dijadikan alasan pengecualian dari hukum namun ketentuannya
hanya berlaku menurut keperluan.[7]
5. Akibat
Akibat termasuk juga kedalam pembahasan hukum wadh’i, hal-hal yang menjadi
akibat dari pelaksanaan hukum taklifi, dalam hubungannya dengan hukum wadh’i
yaitu:

6
1. Sah
Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban. Sah
yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya
sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan telah
terhindar dari semua mani’. Misalnya, shalat dhuhur dikatakan sah karena
telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ yaitu dilakukan
setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh orang yang telah
berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan berhadast.
2. Batal
Lafal batal diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan
tanggung jawab. Batal yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak
memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada
mani’ yang menghalanginya. Misalnya, shalat maghrib sebelum tergelincirnya
matahari, atau tidak berwudhu’, atau sudah keduanya, akan tetapi dilakukan
oleh wanita berhaidh. [8]

7
BAB III
KESIMPULAN

Syara’ berhubungan erat dengan perbuatan mukallaf baik yang berbentuk


tuntutan, ketetapan sesuatu sebagai sebab, syarat ataupun mani’. Hukum syara’ ada
dua macam yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i.

Hukum takifi ada lima macam diantaranya :

 Wajib : suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan


apabila di tinggalkan mendapatkan siksa
 Haram : perbuatan yang dilarang melakukannya dan kalau dilakukan akan
mendapat siksa dan apabila ditinggal akan mendapatkan pahala.
 Sunnah : sesuatu yang dituntut menurut syara’ untuk melakukannya namun
tuntutannya tidak begitu keras.
 Mubah : apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih
melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebu
 Makruh: apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu
keras.

Sedangkan hukum wadh’i dibagi menjadi lima macam, yaitu:

 Sebab : apa yang dijadikan syara’sebagai tanda atas musabab dan


dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya
musabab karena tidak adanya sebab.
 Syarat : apa yang tergantung adanya hukum dan adaya hukum dengan adanya
syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada.
 mani’ : apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum
sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena
adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya.
 rukhsah adalah hukum pengecualian dari ketentuan hukum umum, sedangkan
azimah adalah ketentuan hukum umum yang ditetapkan sejak semula.
 sah adalah segala perbuatan yang telah memenuhi syarat dan rukun serta
dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan syara’dan batal adalah
perbuatan yang kurang rukun atau syarat serta bertentangan dengan ketentuan
syara’.

8
DAFTAR PUSTAKA

[1] Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) hal. 89

[2] Rahmat Syafe’i, Ushul Fiqh, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,1999) hal.316

[3] Ibid, hal.92-96

[4] Ibid, hal 97-102

[5] Ibid, hal 102-106

[6] Ibid, hal.107-118.

[7] Ibid, hal.119 -122

[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008, hal. 363

Anda mungkin juga menyukai