Oleh:
SUSIYATI
41182911210015
2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayahnya terutama
nikmat iman, kesehatan dan kesempatan sehingga penyusunan makalah ini dapat
diselesaikan.
Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas
mata kuliah Ushul Fiqih. Dalam penulisan makalah ini saya merasa banyak kekurangan-
kekurangan baik pada penulisan maupun materi, mengingat kemampuan yang saya miliki.
Untuk itu kritik dan saran sangat saya harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini.
Akhirnya saya sebagai penulis berdoa semoga Alloh SWT memberikan pahala yang
setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan ini sebagai ibadah, Aamiim Yaa
RobbalAlamiin
Susi yati
i
DAFTAR ISI
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Ketetapan Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan mukallaf seperti wajib,
sunnah, makruh, haram, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan atau mani’dan lain
sebagainya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum syara’ menurut istilah para ahli ushul adalah akibat dari kitab Allah itu pada
perbuatan mukallaf yang mengikat untuk semua umat islam, seperti wajib, haram dan
mubah.
Hukum syara’ dibagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum
Taklifi, yaitu hukum syara’ yang berhubugan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung
tuntutan dan kebolehan.Hukum Wadh’i, yaitu hukum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.[1]
2
2.3 Pembagian Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i
Menurut para ulama dikalangan mahzab Hanafi, mandub ada tiga macam,
yaitu:
Menurut para ulama mahzab Syafi’i membagi mandub mejadi dua macam,
yaitu:
3
3. Haram : apa yang dutuntut syara’ untuk tidak melakukannya dengan tunutan
keras, atau denga kata lain dilarang melakukannya dan kalau dilakukan akan
mendapat siksa dan apabila ditinggal akan mendapatkan pahala.
Para ulama mahzab Hanafi membagi haram menjadi dua macam, yang dilihat
dari segi kekuatan dalil yang menetapkan, yaitu:
a. Haram yang ditentukan melalui dalil qath’i yaitu dari al-Qur’an,
sunnah mutawatir dan ijmak. Haram yang ditentukan sebagai kebalikan
dari fardhu.
b. Haram yang ditetapkan melalui dalil zanni seperti hadis ahad dan qiyas,
haram yang seperti ini sebagai kebalikan wajib atau juga dinamakan
karahiyatut tahrim.
Para ulama mahzan Maliki membagi haram menjadi dua macam, yaitu:
a. Haram lizatihi yaitu haram semenjak semula, seperti zina, shalat tanpa
wudhu, perkawinan dengan wanita yang haram dinikahi dan memakan
bangkai. Semua itu diharamkan sejak semula karena mendatangkan
kerusakan.
b. Haram lighairi yaitu pada dasarnya perbutan tersebut boleh , dapat
dijadikan alasan (sebab) hukum dan mejadikan sumber perikatan,
karena itu shalat dengan pakaian dari hasil curian itu boleh, shalat sah
tetapi berdosa karena mencuri.[4]
4. Makruh : apa yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu
keras atau dengan kata lain apa yang tidak dikenakan hukuman bagi pelaku,
namun dicela.
5. Mubah : apa yang diberikan kebebasan kepada para mukallaf untuk memilih
melakukan atau meninggalkan perbuatan tersebut, karena syara’ tidak
memerintahkan maupun melarangnya, ataupun perbuatan tersebut diperintah
namun ada tanda yang menunjukkan mubah.
Berdasarkan keterangan diatas mubah ada tiga macam, yaitu:
a. Yang diterangkan syara’ tentang kebolehannya memilih antara
melakukan atau meninggalkannya.
b. Tidak diterangkan kebolehannya namun syara’ memberitahukan
memberi kelonggaran atau kemudahan bagi yang melakukannya
c. Tidak diterangkan sama sekali baik kebolehan melakukan atau
meninggalkannya.[5]
4
2.3.2 Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i yaitu hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adaah sebab
untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang baginya. Hukum wadh’i terbagi
menjadi lima macam, yaitu : sebab, syarat, mani’, rukhsah dan azimah, sah dan batal.
1. Sebab : apa yang dijadikan syara’sebagai tanda atas musabab dan dihubungkan
adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya musabab karena tidak
adanya sebab.
2. Syarat : apa yang tergantung adanya hukum dan adaya hukum dengan adanya
syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada. Syarat yang
ditetapkan syara’ mungkin sebagai pelengkap sebab hukum.
Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang ditetapkan syara’yang dinamakan
“syarat syar’i” dan kadang ditetapkanoleh mukallaf sendiri yang dinamakan “syarat
ja’li”.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:
1. Syarat yang terkandung dalam kitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk membuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang
dalam tuntutan tidak untuk meperbuat.
2. Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang
memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan
zakat.
Syarat ja’li dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Syarat yag ditentukan untuk menempurnakan hikmah sesuatu perbuatan
hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum.
2. Syarat yang ditentukan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang
dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
3. Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan
hukum.
3. Mani’ : apa yang memasikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum
sekalipu menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya
mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya.
Para ulama mahzab Hanafi membagi mani’ menjadi lima macam, yaitu:
1. Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjualnya orang yang
merdeka.
2. Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi
orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi
penghalangsebab bagi orang yang mengikat perjanjian.
3. Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat.
4. Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah.
5. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti aib.[6]
5
4. Azimah dan rukhsah
Azimah adalah hukum yang disyari’atkan Allah semenjak semula bersifat
umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan
pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
Rukhsah adalah hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan
bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan.
Rukhsah ada empat macam, yaitu:
1. Rukhsah yang menjadi penecualian hukum umum dikarenakan terdapat
kesulitan dalam melaksanakan ketentuan hukum umum.
2. Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah
dalam firmanNya. (QS. Al-Baqaraah ayat 286)
6
1. Sah
Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban. Sah
yaitu akibat hukum dari suatu perbuatan taklifi yang sudah berlaku padanya
sebab, sudah terpenuhi semua syarat syarat yang ditentukan, dan telah
terhindar dari semua mani’. Misalnya, shalat dhuhur dikatakan sah karena
telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ yaitu dilakukan
setelah tergelincirnya matahari, dan dilakukan oleh orang yang telah
berwudhu’ serta orang yang tidak dalam keadaan berhadast.
2. Batal
Lafal batal diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak menggugurkan
tanggung jawab. Batal yaitu akibat dari suatu perbuatan taklifi yang tidak
memenuhi sebab atau syarat, atau terpenuhi kedua duanya,akan tetapi ada
mani’ yang menghalanginya. Misalnya, shalat maghrib sebelum tergelincirnya
matahari, atau tidak berwudhu’, atau sudah keduanya, akan tetapi dilakukan
oleh wanita berhaidh. [8]
7
BAB III
KESIMPULAN
8
DAFTAR PUSTAKA
[1] Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2001) hal. 89
[8] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008, hal. 363