Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM SYARIAT: TAKLIFI DAN WAD’I

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul fiqih
Dosen pengampuh : A.Muwahid M., S.HI., MM

Disusun oleh:

Kelompok 3

Nadiya Safitri

Siti adillah rohwan

INSTITUT AGAMA ISLAM DEPOK


AL – KARIMIYAH
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, yang Maha Mengetahui dan Maha Melihat
hamba-hambanya. Alhamdulillah karena berkat rahmat dan karunia-Nya
kami dapat menyelesaikan tugas makalah Ushul fiqih. Adapun maksud dan
tujuan kami disini yaitu menyajikan beberapa hal yang menjadi materi dari
makalah kami. Makalah ini menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
untuk para pembacanya.

Kami menyadari bahwa didalam makalah kami ini masih banyak


kekurangan kami mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan
makalah kami agar lebih baik dan dapat berguna semaksimal mungkin.
Akhir kata kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu proses penyusunan dan penyempurnaan makalah ini.

Depok, 04 Oktober 2023


Penyusun

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ................................................................. Error! Bookmark not


defined.

BAB I ...................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ........................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah...................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2

BAB II .................................................................................................................... 3

A. pengertian Hukum Syariat ...................................................................... 3

B. Hukum taklifi ............................................................................................. 4

C. Hukum wad'i ............................................................................................. 5

BAB III ................................................................................................................. 11

A. Kesimpulan ...............................................................................................
11

B. Saran .........................................................................................................

12 DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

13
ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah Ushul fiqh secara umum dibagi kepada dua macam, yaitu kaidah yang disepakati
ulama (muttafaqun alaih) dan kaidah yang tidak disepakati ulama (mukhtalafun alaih).
Kaidah yang disepakati ulama terdiri dari ijma dan qiyas, sedangkan yang tidak
disepakati terdiri dari istihsan, maslahah al-mursalah, ‘urf, syar’u man qablana, istishab,
qaul sahabi dan seterusnya. Kaidah yang disepakati di sini berarti kaidah yang telah
diterima dan digunakan oleh kalangan mujtahid dari semua mazhab. Sedangkan kaidah
yang tidak disepakati berarti kaidah tersebut hanya diakui oleh sebahagian mujtahid dan
menggunakannya dalam kegiatan ijtihad mereka. Sedangkan mujtahid yang lain
menolaknya, karena menganggapnya salah.

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari’at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Qur’an dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber
lain yang diakui syari’at. Sebagaimana yang di katakanImam Ghazali, bahwa mengetahui
hukum syara’ merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh. Sasaran kedua di
siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan
orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum
syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari
segi hasil penggalian hukum syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan
perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan),
takhyir (pilihan), maupun berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan
Allah ialah sifat yang telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan
dengan orang-orang mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah,
batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada
makalah ini yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

1
Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka adapun rumusan masalah dalam makalah ini,
adalah sebagai berikut:

1. Apa itu hukum syariat ?

2. Apa itu hukum taklifi?

3. Apa itu hukum wad’i?

Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengertian hukum syariat.

2. Mengetahui hukum-hukum taklifi.

3. Mengetahui hukum -hukum wad’i .

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Syara’


Hukum syar’i atau hukum syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum”
dan kata “syara”. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum” yang secara etimologi
berarti “memutuskan”, “menetapkan”, dan menyelesaikan”. Kata “hukum” dan kata lain
yang berakar kepada kata itu terdapat dalam tempat pada ayat Al-Qur’an; tersebar dalam
beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Kata hukum itu sudah menjadi bahasa
baku dalam bahasa Indonesia.
Dalam memberikan arti secara definitif kepada kata “hukum” itu terdapat perbedaan
rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat
dikatakan bahwa hukum adalah: “Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia

2
yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan
mengikat untuk seluruh anggotanya”.

Kata “syara’” secara etimologis berarti: “jalan, jalan yang biasa dilalui air”. Maksudnya
adalah jalan yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Kata ini secara sederhana
berarti “ketentuan Allah”. Dalam Al-Qur’an terdapat 5 kali di sebutkan kata “syara’”
dalam arti ketentuan atau jalan yang harus ditempuh. Bila kata hukum dirangkaikan
dengan kata syara’ yaitu “hukum syara’” akan berarti: “Seperangkat peraturan
berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini
berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.

Pengetahuan tentang hukum syara’ merupakan hasil nyata dari pengetahuan tentang fiqh
dan ushul fiqh. Produk dari dua ilmu ini adalah penge tahuan tentang hukum syar‘i dalam
hal yang menyangkut tingkah laku manusia mukalaf.
Hanya saja kedua ilmu ini memandang dari arah yang berbede. Ilmu ushul fiqh
memandang dari segi dan ke arah metode pengenalannya dan sumber yang di gunakan
untuk itu; sedangkan ilmu fiqh memandang dari segi meru muskannya dengan perbuatan
dalam lingkup yang digariskan oleh ushul fiqh. Dengan demikian, terdapat perbedaan
antara ahli ushul fiqh dengan ahli fiqh dalam memberikan definisi terhadap “hukum
syara’”. Hukum syara’ menurut definisi ahli ushul ialah: “Khitab (titah) Allah yang
menyangkut tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tun tutan, pilihan berbuat atau tidak;
atau “dalam bentuk ketentuan-ketentuan”

B. Macam-Macam Hukum
Bertitik tolak dari definisi hukum syar‘i di atas, yaitu titah Allah yang menyangkut
perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan, maka hukum syara’ itu
terbagi dua:

• Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan, yang disebut hukum
taklifi.Penamaaan hukum syara’ dengan taklifi, karena titah di sini langsung
mengenai perbuatan orang yang sudah mukalaf.

• Titah Allah yang berbentuk wadh’i yang berbentuk ketentuan yang ditetapkan
Allah, tidak langsung mengatur perbuatan mukalaf, tetapi berkaitan dengan

3
perbuatan mukalaf itu, seperti tergelincirnya matahari menjadi sebab masuknya
waktu dzuhur.
Secara garis besar para Ulama ushul fiqh membagi hukum kepada dua macam,yaitu:

1. Hukum Taklifi

2. Hukum Wadh’i
Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan Allah dan
RasulNya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam bentuk
perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam
bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh’i adalah: ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur tentang sebab, syarat, mani’ (sesuatu yang menjadipenghalang kecakapan
untuk melakukan hukum taklifi).

C. Pengertian hukum taklifi


Hukum taklifi adalah hukum syar’i yang mengandung tuntutan ( untuk dikerjakan atau
ditinggalkan oleh para mukallaf ) atau yang mengandung pilihan antara yang dikerjakan
dan ditinggalkan.

Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian yaitu:


1. Wajib

• Pengertian Wajib,Wajib adalah suatu perbuatan yang di tuntut Allah SWT untuk di
lakukan secara tuntutan pasti yang di beri pahala bagi yamg melakukan dan di
ancam dengan dosa bagi yang meningggalkan.

• Pembagian Wajib
Bila dilihat dari sisi orang yang di bebani kewajiban hukum wajib di bagi menjadi dua :

a. Wajib ‘aini yaitu kewaiban yang di bebenkan kepada setiap orang yang sudah
berakal (mukallaf) tanpa kecuali. Kewajiban ini tidak bisa gugur kecuali di lakukan
sendiri, misalnya melakukan solat lima waktu.
b. Wajib kifayah yaitu kewajiban yang di berikan kepada seluruh mukallaf , namun
bilamana telah dilakukan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu sudah di anggap
terpenuhi. Wajib kifayah terkadang berubah menjadi wajib ‘aini , bilamana di suatu

4
negara tidak ada lagi orang yang mwmpu melaksanaakannya selain dirinya, contoh sholat
jenazah.
Bila dilihat dari sisi kandungan perintah, hukum wajib dibagi menjadi dua macam :
1. Wajib muayyan yaitu suatu kewajiban di mana orang yang menjadi obyeknya
adalah tertentu tanpa ada pilihan lain . seperti kewajiban sholat lima waktu , puasa
romadlon dan zakat.
2. Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban di mana yang menjadi obyeknya boleh
di pilih antara beberapa alternative seperti kewajiban membayar kaffarat (denda
melanggar) sumpah (QS 5:89)
Bila dilihat dari sisi waktu pelaksanaannya hukum wajib di bagi menjadi dua macam :
a. Wajib mutlaq adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya tidak di batasi dengan
waktu tertentu. seperti kewajiban membayar puasa romadlon yang tertinggal. b. Wajib
muaqqat adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya di batasi waktu tertentu.

2. Mandub

• Pengertian Mandub
Mandub secara lughowi adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Secara istilah,
sebagian ulama mendefinisikan mandub adalah sesuatu yang di beri pahala orang yang
melakukannya dan tidak di siksa orang yang meninggalkannya. Selain kata mandub , juga
digunakan lafadz lain yang artinya samadengan kata mandub, seperti sunnah, nafal,
tathawu’, mustahab, dan mustahsan.

• Pembagian Mandub
a) Sunnah muakkadah adalah sunnah yang sangat di anjurkan, yaitu perbuatan yang
biasa di lakukan oleh rasul dan jarang di tinggalkannya. Misalnya sholat sunnah sebelum
fajar dsb.
b) Sunnah ghairu muakkad adalah sunnah biasa, sesuatu yang di lakukan rasul,
namun bukan menjadi kebiasaannya.
c) Sunnah al zawaid yaitu mengikuti kebiasaan rasul sehari hari sebagai manusia,
seperti sopan santun, makan dan minum, dll.

3. Haram

• Pengertian Haram

5
Haram (‫( الحرام‬atau muharram (‫( المحرم‬secara lughowi berarti sesuatu yang lebih banyak
kerusakannya atau larangan, sesuatu yang dianut syari’(pembuat hukum) untuk tidak
melakukannya.

• Pembagian Haram
a) Al muharram li dzatihi sesuatu yang di haramkan oleh syariat karna esensinya
mengandung mudharat bagi kehidupan manusia, dan kemudharatan itu tidak bisa terpisah
dari dzatnya misalnya : larangan zina(QS,17:32), memakan bangkai(QS, 5:38), dan
mencuri(QS. 5:38),
b) Al muharram li ghairihi sesuatu yang di laramg bukan karna esensinya tapi karna
ada pwrtimbangan eksternal yang akan membawa kepada sesuatu yang di laang secara
esensial. Misalnya, larangan jua beli di waktu sholat jumat(QS, 62:9)

4. Makruh

• Pengertian Makruh
Makruh (‫( المكروه‬secara lughowi berrarti yang di benci semakna dengan (‫( القبه‬yang buruk,
secara istilah ada dua definisi. Dari segi esensinya makruh adalah sesuatu yang apabila
ditinggalkan mendapat pujian dan apabila dikerjakan pelakunya mendapat celaan.

• Pembagian Makruh
Menurut Hanafiyah makruh dibagi menjadi dua macam :
a) Makruh tahrim adalah sesuatu yang yang dilarang oleh syariat, tetapi dalil yang
dilarangnya bersifat dzanni, seperti larangan memakai sutera dan perhiasan.
b) Makruh tanzih adalah yang di anjurkan oleh syariat untuk menjalakannya,
misalnya memakan daging kuda.

5. Mubah

• Pengertian Mubah
Kata “Mubah” (‫( المباح‬berasal dari fi’il madhi “ma ba ha” dengan arti menjelaskan dan
“memberitahukan”. Kadang-kadang muncul dengan arti melepaskan” dan
mengizinkan.Dalam istilah hukum mubah berarti Sesuatu yng diberi kemungkinan oleh
pembuat hukum untuk memilih antara memperkuat dan meninggalkan. Ia boleh
melakukan atau tidak.

• Pembagian Mubah
6
Mubah dibagi menjadi tiga bagian :

a. Perbuatan yang di tetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’ dan manusia
diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan nya.

b. Perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada
perintah untuk melakukannya.

c. Perbutan yang sama sekali tidak ada keteranagan dari syara’ tentang kebolehan
atau ketidak bolehannya.

D. Pengertian Hukum Wadh’i


Dalam pengantar terdahulu disebutkan bahwa titah Allah yang berhubungan dengan
tingkah laku mukalaf dalam bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk berbuat atau
tidak berbuat dinamakan hukum taklifi. Titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu
yang berkaitan dengan hukum-hukum taklifi itu disebut hukum wadh‘i. Hukum wadh‘i
ini tidak harus berhubungan dengan tingkah laku manusia tetapi bisa berbentuk
ketentuan-ketentuan yang ada kaitannya dengan perbuatan mukalaf yang dinamakan
hukum taklifi, baik hubungan itu dalam bentuk sebab dan yang diberi sebab; atau syarat
dan yang diberi syarat atau penghalang dan yang dikenakan halangan.

Dengan demikian, hukum wadh‘i itu ada tiga macam, yaitu: sabab (sebab), syarat, dan
mani’.
Kelangsungan sesuatu hukum taklifi berkaitan dengan tiga hal tersebut.
Bila sesuatu perbuatan yang dituntut ada sebabnya, juga telah memenuhi syarat-syaratnya
dan telah terhindar dari segala mani’ (penghalang), maka perbuatan itu dinyatakan sudah
memenuhi ketentuan hukum.

• Ditinjau dari segi hasil sesuatu perbuatan hukum dalam hubungannya dengan tiga
hal di atas, para ahli memasukkan ke dalam hukum wadh‘i tiga hal lagi, yaitu:
shah, fâsid, dan bathal.
Hukum wadh’i sebagaimana telah di sebutkan dalam kitab Al-wadhih fii Usulil Fiqih,
yang di tulis oleh Muhammad Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya Allah SWT
dalam kitabnya, dengan menjadikan sebuah perintah, menjadi tanda atas perintah yang
lainnya.
7
Adapun menurut pendapat yang lainnya, hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan
dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara
syarat dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi
(mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.
Menurut Dr. Abdul Karim ibnu Ali An-namlah, bahwasannya hukum wadh’i adalah
sebagaimana Allah berfirman yang berhubungan dengan menjadikan sesuatu sebab
kepada sesuatu yang lainnya, syaratnya, larangannya, kemudahannya, hokum asal yang
telah ditetapkan oleh Syari’ (Allah).
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hokum tersebut terdapat dua hal yang
saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-
lain.Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wadh’i adalah hukum yang
menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu),
pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau
batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah.

Definisi ini adalah menurut Imam Amidi, Ghazali, dan Syathibi.Hukum wadh’i adalah
titah Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau
sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang bagi adanya sesuatu
yang lain tersebut.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwa hokum wadh’i adalah hukum yang berkaitan dengan
dua hal, yaitu sebab dan yang disebabi. Seperti contonya: orang yang junub menyebabkan
orang tersebut harus mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai
Nisab menyebabkan orang tersebut harus berzakat.

Adapun pembagian hukum wadh’i terbagi menjadi tiga macam yaitu;

• Sebab Syarat, dan Mani’ Penghalang. Namun sebagian ulama memasukkan sah dan
batal, azimah dan rukhshah.

1. Sebab
Sesuatu yang oleh Syar’i dijadikan indikasi adanya sesuatu yang lain yang menjadikan
akibatnya, sekaligus menhubungkan adanya akibat karena adanya sebab dan ketiadaan
8
sebab. Jadi sebab merupakan sesuatu yang nyata dan pasti yang dijadikan syar’i sebagai
pertanda dalam hukum syara’ mengenai akibatnya.Sesuatu yang jelas dan merupakan titik
tolak atau pangkal lahirnya hukum, sehingga dengan adanya sebab mengakibatkan tidak
adanya hukm.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

‫ِم ن هَم ا ِم ائََة َج لَد ة ۖ  َّو َل تَأ خذ ك م ِبِهَم ا َر أ َفة ف ِي ِد يِن‬‫اَلَّز ا ِنَية َو ا لَّز ا ن ِي َفا جِلد وا ك َّل َو ا ِح د‬

‫الِّٰل ا ِن ك نت م ت ؤِم ن وَن ِبا لِّٰل َو ا لَي و ِم ا ال ِخ ِر ۚ َو لَي شَهد َع َذ ا َب هَم ا َطآِئَف ة ِم َن ا ل م ؤِم ِن‬
‫ي َن‬

"Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus
kali, dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama (hukum) Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari
Kemudian; dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sebagian
orang-orang yang beriman."(QS. An-Nur 24: Ayat 2)

2.Syarat
Adalah sesuatu yang harus ada karena adanya hukum yang bergantung kepadanya.
Tidak adanya syarat mengakibatkan tidak ada hukum. Contohnya, berwudlu
merupakan syarat sahnya sholat. Firman Allah SWT :

‫ايـاَُّيَها اَّلِذ يَن ااَم ن ٰۤو ا ِاَذ ا ق مت م ِالَى الَّصالو ِة َفا غِس ل وا و ج وَهك م َو َا يِدَيك م ِالَى ا لَم َر ا ِفِق َو ا مَس‬
‫ح وا ِب ر ء وِس ك م َو َا ر جَلك م ِالَى‬
‫ا لـَك عَب يِن ۗ  َو ِا ن ك نت م جن ًبا َفا َّطَّه ر واۗ  َو ِا ن ك نت م َّم ر اضى ا َو َعالى َس َف ر ا َو َج آَء اََحد‬
‫ِم نك م ِم َن ا لَغ آِئِط ا َو الَم ست م الِن َس ا َٓء َفَل م تَِج د وا َم آًء َفتََيَّم م وا َص ِع يًدا َط يًِبا َفا مَس ح وا ِب و ج‬
‫وِهك م َو َا يِد ي ك م ِم نه ۗ َم ا يِر يد الّٰل ِلي َج عََل َع َل يك م ِم ن َح َر ج َّوالـِك ن ُّيِر يد‬
‫ِل يَط ِهَر ك م َو ِل يت َِّم ِن عَم ت َه َع َل يك م َلَع َّلك م ت َش ك ر وَن‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan sholat, maka
basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)
kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika
kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau
menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah
tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur."(QS. Al-Ma'idah 5: Ayat 6)
9
Tidak ada wudlu berarti tidak ada sholat, akan tetapi dengan adanya wudlu, tidak mesti
untuk sholat, karena seseorang melakukan wudlu itu untuk keperluan untuk mebaca
Al-Qur’an. Dengan demikian antara “ sebab” dan “syarat” memilikai persamaan dan
perbedaan adapun kesamaannya adalah tidak ada sebab, mengakibatkan tidak adanya
hukum. Sama halnya apabila tidak ada syarat, hukumpun tidak ada. Sementara itu,
perbedaanya ialah denga adanya sebab harus ada hukum. Akan tetapi, dengan adanya
syarat tidak harus adanya hukum.

3. Mani’ (pengahalang)
Adalah sesuatau yang karenanya menyebabkan tidak adanya hukum meskipun telah
ada dan syarat telah terpenuhi, akan tetapi apabila terdapat mani’ maka hukum yang
tadinya meskki berlaku menjadi tidak berlaku.Adakalanya mani’ itu dilakukan dan dalam
kesanggupan orang mukallaf seperti pembunuh yang dilakukan oleh seorang ahli waris
terhadap muwaris menjadi penghalang bagi keduanya untuk saling mewarisi, akan tetapi
ada kalanya di luar kesanggupan manusia, seperti haid bagi seorang wanita merupakan
penghalang terhadap syahnya sholat bagi wanita tersebut.

4. Shihah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ terpenuhinya sebab, syarat, dan
tidak ada mani’. Misalnya mengerjakan sholat dzuhur setelah tergelincir matahari
( sebab) dan telah berwudlu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang
mengerjakannya ( taiadak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam contoh ini, pekerjaan yang
dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu apabila sebab tidak ada dan syaratnya
tudak terpenuhi, maka sholat itu tidak sah sekalipun mani’nya tidak ada.

5. Bathil
Yaitu terlepasnyaa hukum syara’dari ketentuan yang di tetapkan dan tidak ada akibat
hukum yang di timbulkannya. Misalnya, memperjuakk belikan minuman keras. Akad ini
di pandang batal, karena minuman keras tidak bernilai harta dalam pandangan syara’.
Disamping batal, ulama’Hanafiyah juga mengemukakan hukum lain yang berdekatan
dengan batal, yaitu fasid. Yaitu menurut mereka, fasid adalah terjadinya suatau kerusakan
dalam unsur-unsur akad. Jumhur ulama’ ushul fiqh / mutakalimin berpendirian antara

10
batal dan fasid adalah dua istilah dengan pengertian yang sama yaitu sama-sama tidak
sah.

6. Azimah dan Rukhshah


Azimah adalah hukum –hukun yang disyari’atkan Allah kepada seluruh hamba-Nya sejak
semula. Artinya, belum ada hukum itu disyari’atkan Allah, sehingga sejak disyari’atkan
nya seluruh mukallaf wajib mengikutinya. Imam Al-baidhawi ( ahli Ushul fiqih
syafi’iyyah), mengatakan bahwa “Azimah” itu adalah hukum yang di tetapkan tidak
berbeda dengan dalil yang di tetapkan karena ada adzur.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kata hukum berasal dari bahasa Arab “hukum” yang secara etimologi berarti
“memutuskan”, “menetapkan”, dan menyelesaikan”.Kata “hukum” dan kata lain yang
berakar kepada kata itu terdapat dalam tempat pada ayat Al-Qur`an; tersebar dalam
beberapa surat yang mengandung arti tersebut.Dalam memberikan arti secara definitif
kepada kata “hukum” itu terdapat perbedaan rumusan yang begitu luas.
Meskipun demikian, dalam arti yang sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah:
“Seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh
satu negara atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya”.
Dalam Al-Qur`an terdapat 5 kali di sebutkan kata “syara`” dalam arti ketentuan atau jalan
yang harus ditempuh.
Bila kata hukum dirangkaikan dengan kata syara` yaitu “hukum syara`” akan berarti:
“Seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang
diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”.
Produk dari dua ilmu ini adalah penge tahuan tentang hukum syar`i dalam hal yang
menyangkut tingkah laku manusia mukalaf.
Hukum syara` menurut definisi ahli ushul ialah: “Khitab (titah) Allah yang menyangkut
tindak tanduk mukalaf dalam bentuk tun tutan, pilihan berbuat atau tidak; atau “dalam
bentuk ketentuan-ketentuan”
Macam-Macam Hukum Bertitik tolak dari definisi hukum syar`i di atas, yaitu titah Allah
yang menyangkut perbuatan mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan, maka
hukum syara` itu terbagi dua: • Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan, yang
disebut hukum taklifi.
Penamaaan hukum syara` dengan taklifi, karena titah di sini langsung mengenai
perbuatan orang yang sudah mukalaf.
Hukum Wadh`i Hukum taklifi menurut para ahli ushul fiqh adalah : ketentuan-ketentuan
Allah dan Rasul-Nya yang berhubungan langsung dengan perbuatan mukalaf,baik dalam
bentuk perintah, anjuran untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau
dalam bentuk memberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat.
Sedangkan yang dimaksud dengan hukum wadh`i adalah: ketentuan-ketentuan hukum
yang mengatur tentang sebab, syarat, mani` (sesuatu yang menjadipenghalang kecakapan
untuk melakukan hukum taklifi).

B. SARAN
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karenanya makalah ini masih perlu perbaikan dan penyempurnaan melalui kritikan
dan masukan bermanfaat dari para pembaca sekalian. Semoga makalah yang
sederhana ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Aamin
12
DAFTAR PUSTAKA

• Al-Qur’an Al-Karim
• Efendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
• Khalaf, Abdul Wahab. 1996. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Gema Risalah Perss.
• Koto, Alaidin. 2004. Ilmu Fiqih Dan Ushul Fiqih (Sebuah Pengantar).
Jakarta:Grasindo Persada

• Munadi. 2017. Pengantar Ushul Fiqh. Lhokseumawe: Unimal Press.


• Saputra, Irwansyah. 2018. Jurnal Syariah Hukum Islam: Perkembangan Ushul
Fiqh, Vol. 1,No. 1.

• Syarifuddin, Amir. 2011. Ushul Fiqh. Jilid 1. Jakarta: K E N C A N A - Prenada


Media Group

13
14 15

Anda mungkin juga menyukai