2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul, PENGERTIAN DAN
PEMBAGIAN IBADAH : HUKUM HUKUM IBADAH (WAJIB, SUNNAR,
MAKHRUH, HARAM, MUBAH) ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah FIQIH Drs. M. Lutfi M.Ag.,.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang islam bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Drs. M. Lutfi M.Ag.. selaku dosen mata kuliah
FIQIH yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangunakan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.
Pemakalah
BAB I
PENDAHULUAN
1
Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Mesir: Darul Fikri al-Arabyu, 1958, hal. 4
ditunjuki dalil itu. Jadi secara bahasa, nash tersebut dapat dipahami
dengan jelas hukum dan kaidahnya sehingga dapat menghilangkan
kesamaran hal yang tidak dapat diketahui.
Dengannya, melalui metode tersebut maka dapat diambil
kesimpulan terhadap pembagian dan jenis hukum yang dapat di
terapkan dalam ushul fiqih sendiri. Hal tersebut diprktikan agar
kejelasan hukum-hukum perbuatan, ibadah serta ketetapan dalam
Islam dapat ditetapkan dengan jelas dan tidak transparan, dalam
artian setiap umat Islam dapat mengetahui tidap hukum yang ada
juga dapat mengaplikasikannya terhadap kehidupan sehari-hari.
1.3 Tujuan
PEMBAHASAN
Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab,
2
Zaiuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 1
3
Mardani, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, hal.
14
keberadaan hukum pada hakikatnya adalah untuk mengendalikan
atau mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Maka dapat dipastikan tujuan awal dari adanya hukum Islam adalah
untuk mengendalikan serta membatasi perilaku pada umatnya
menurut ketetapan yang ada.
Hal tersebut didukung oleh Qur’an Surah Ali Imran ayat 20 dimana
ayat tersebut mendukung perihal kebenaran yang terkandung dalam
hukum Islam, yakni:
ت َوجْ ِه َي هّٰلِل ِ َو َم ِن اتَّبَ َع ِن َۗوقُلْ لِّلَّ ِذي َْن ُ ك فَقُلْ اَ ْسلَ ْم َ فَا ِ ْن َح ۤاجُّ ْو
ب َوااْل ُ ِّم ٖيّ َن َءاَ ْسلَ ْمتُ ْم ۗ فَا ِ ْن اَ ْسلَ ُم ْوا فَقَ ِد ا ْهتَ َد ْوا ۚ َواِ ْنَ ْال ِك ٰتeاُ ْوتُوا
ص ْي ۢ ٌر بِ ْال ِعبَا ِد هّٰللا
ِ َك ْالبَ ٰل ُغ ۗ َو ُ ب َ فَاِنَّ َما َعلَ ْيeࣖ تَ َولَّ ْوا
Artinya:
Hukum Taklifi
Wajib bila dilihat dari segi ukuran/ kriterianya ada dua macam:
1) Wajib yang sudah ada ketentuan dari agama tentang
ukuran/kriterianya seperti zakat harta benda. Agama
telah menetapkan jenis-jenis harta benda yang terkena
zakat, nisab-nya (jumlah harta benda yang terkena
zakat), haul-nya (jatuh tempo mengeluarkan zakat)
dan juga kadarnya (berapa persen harta benda yang
perlu dizakatkan). Demikian pula tentang zakat fitrah.
2) Wajib yang tidak ditentukan agama tentang
ukuran/kriterianya, tetapi saja besarnya bantuan
keuangan itu tidak ditentukan oleh agama. diserahkan
kepada kemampuan seseorang dengan memperhatikan
pula situasi dan kondisinya. Misalnya memberikan
bantuan keuangan kepada orang yang sangat
memerlukan, adalah wajib bagi setiap orang yang
mampu. Hanya Jelaslah bahwa harta benda itu tidak
hanya wajib dizakati, melainkan juga wajib digunakan
untuk memberikan bantuan kepada sesama manusia
yang memerlukan, juga untuk kepentingan agama,
dan untuk kepentingan umum dan Negara.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw:
Sesungguhnya pada harta benda itu ada kewajiban
lain selain zakat
Wajib dilihat dari segi siapa yang wajib melakukan ada dua macam:
1) Wajib ‘aini ialah wajib yang ditujukkan kepada
setiap individu. Sehingga siapapun yang
meninggalkan kewajiban itu berdosa dan akan
mendapat hukuman. Misalnya kewajiban shalat,
puasa, zakat, dan kewajiban memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya.
2) Wajib kifai ialah wajib yang ditujukkan kepada
setiap masyarakat umum, tetapi jika sebagian anggota
masyarakat sudah ada yang mengerjakan kewajiban
itu maka gugurlah kewajiban itu bagi warga
masyarakat yang lainnya. Misalnya, melakukan shalat
jenazah, amar ma’ruf dan nahi munkar, belajar untuk
jadi ahli agama atau ahli pertanian, ahli kedokteran,
ahli teknik, dan ahli perang dan sebagainya semuanya
itu adalah fardu kifayah.
B. Haram dan Macamnya
Demikian pula jual beli pada waktu sudah ada adzan shalat
Jum’at adalah haram berdasarkan firman Allah dalam Al-
Qur’an Surah Al-Jumu’ah ayat 9:
Jual beli itu sendiri tidak dilarang, tetapi karena jual beli pada
waktu sudah ada adzan shalat Jum’at (setelah imam naik
mimbar dan muadzin telah membaca adzan pada hari Jum’at)
itu bisa menyebabkan orang ketinggalan shalat Jum’atnya.
ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ْسـَٔلُوْ ا ع َْن اَ ْشيَ ۤا َء اِ ْن تُ ْب َد لَ ُك ْم تَ ُسْؤ ُك ْم ۚ َواِ ْن تَ ْسـَٔلُوْ ا َع ْنهَا ِح ْينَ يُنَ َّز ُل
ْالقُرْ ٰانُ تُ ْب َد لَ ُك ْم ۗ َعفَا هّٰللا ُ َع ْنهَا َۗوهّٰللا ُ َغفُوْ ٌر َحلِ ْي ٌم
Artinya:
اِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا اُ ِه َّل بِ ٖه لِ َغي ِْر هّٰللا ِ ۚ فَ َم ِن اضْ طُ َّر
اغ َّواَل عَا ٍد فَٓاَل اِ ْث َم َعلَ ْي ِه ۗ اِ َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم
ٍ َ َغ ْي َر ب
Artinya:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang
siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya.
2) Tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadis yang jelas
menunjukkan keharamannya, dan hal ini sesuai dengan
kaidah Fiqhiyah yang dirumuskan oleh para ulama : Pada
dasarnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.
ب ِح ٌّل لَّ ُك ْم ۖ َوطَ َعا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَّهُ ْمَ ت َوطَ َعا ُم الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت ُ ۗ اَ ْليَوْ َم اُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّ ٰب
َ ت ِمنَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت
ب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم اِ َذٓا َ ْت َو ْال ُمح
ُ ص ٰن ِ ت ِمنَ ْال ُمْؤ ِم ٰن ُ ص ٰن َ َْۖو ْال ُمح
َْان َو َم ْن يَّ ْكفُر
ٍ ۗ ي اَ ْخد
ْٓ صنِ ْينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِح ْينَ َواَل ُمتَّ ِخ ِذ ِ ْٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن ُمح
َان فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهٗ ۖ َوه َُو فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة ِمنَ ْال ٰخ ِس ِر ْين
ِ ࣖ بِااْل ِ ْي َم
Artinya:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
ۚۛ ۖ سبِ ۡي ِل هّٰللا ِ َواَل ت ُۡلقُ ۡوا بِا َ ۡي ِد ۡي ُكمۡ اِلَى التَّ ۡهلُ َك ِة
َ َواَ ۡنفِقُ ۡوا فِ ۡى
هّٰللا
َسنِ ۡين ِ سنُ ۡوا ۛۚ اِنَّ َ يُ ِح ُّب ۡال ُم ۡح ِ َواَ ۡح
Artinya:
Menurut Jumhar, akad dibagi dua ialah: akad yang sah dan
akad yang tidak sah. Akad yang sah ialah akad yang
memenuhi semua rukun dan syarat sahnya. Sedangkan akad
yang tidak sah, ialah akad yang tidak atau belum memenuhi
semua rukun dan syarat sahya. Akad yang tidak sah menurut
Jumhar sama dengan ibadah yang tidak sah, artinya tidak
dibedakan antara akad yang bathil dan akad yang fasid, akibat
hukumnya sama saja, yakni tidak sah dan tidak mempunyai
akibat apa-apa. Atau dengan kata lain akad yang bathil atau
fasid itu berarti tidak ada akad.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Daftar Pustaka
Abdul Wahab Khalaf, 'Ilmu Ushuul al-Fiqhi, (Kairo: Maktabah al-Da'wah, 2009).
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiiz fii Ushuul al-Fiqhi, (Beirut: Muassasah al-Risalah
Nasyirun, 2012).
Imam Abu Ishaq Al-Syatiby, Al-Muwafaqat fii Ushuul al-Syarii'ah,(Beirut: Dar al-
Makrifah, 1975).
Rifa’I, Moh. Ilmu Fikih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978.