Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PENGERTIAN DAN PEMBAGIAN IBADAH: HUKUM HUKUM IBADAH


(WAJIB, SUNNAR, MAKHRUH, HARAM, MUBAH)

(Diajukan Untuk Memenuhi Tigas Mata Kuliah Fiqih)

Dosen Pengajar: Drs. M. Lutfi M.Ag

DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 :

AZZAHRA ELVINA SARI 11220540000011

ALYSSA NAURA AZ ZAHRA 11220540000017

DAFFA ISFALANA 11220540000021

PROGAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul, PENGERTIAN DAN
PEMBAGIAN IBADAH : HUKUM HUKUM IBADAH (WAJIB, SUNNAR,
MAKHRUH, HARAM, MUBAH) ini tepat pada waktunya. Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata kuliah FIQIH Drs. M. Lutfi M.Ag.,.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang islam bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Drs. M. Lutfi M.Ag.. selaku dosen mata kuliah
FIQIH yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangunakan kami nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 11 Maret 2023

Pemakalah
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Al-Qur’an sebagai sumber utama petunjuk bagi umat Islam secara


garis besar mengandung perihal aqidah, akhlad dan syari’ah serta
hukum bagi keberlangsungan hidup manusia sehari-harinya. Pada
masa hidupnya, Rasulullah sebagai penafsir kalamullah dimana
beliau menjawab, meluruskan serta memberi petunjuk arahan akan
maksud serta interpretasi yang ada dalam Al-Qur’an melalaui
sunnah-sunnahnya. Namun pada masa setelahnya, dengan Islam
yang mulai menyebar di seluruh penjuru dunia dan wafatnya Rasul,
maka ketentuan petunjuk tersebut menjadi sulit untuk ditetapkan
serta menimbulkan berbagai perdebatan. Dengan urgensi tersbeut
maka dibuatlah hukum ketetapan dengan Al-Qur’an dan sunnah
sebagai pedomannya.
Maka para ulama mengemukakan sebuah ilmu ushul fiqih.
Abu Zahrah menjelaskan bahwa ilmu ushul fiqih adalah ilmu yang
menjelaskan kepada mujtahid tentang jalan-jalan yang harus
ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nash dan dari dalil-
dalil lain yang disandarkan kepada nash itu sendiri. Oleh karenanya
usuhul fiqih juga dikatakan sebagai kumpulan kaidah atau metode
yang menjelaskan kepada ahli hukum Islam tentang cara
mengeluarkan hukum dari dalil-dalil syara .1
Tujuan dari Ushul Fiqih adalah menerapkan kaidah terhadap
suatu perkara yang rinci untuk menghasilkan hukum syara’ yang

1
Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Mesir: Darul Fikri al-Arabyu, 1958, hal. 4
ditunjuki dalil itu. Jadi secara bahasa, nash tersebut dapat dipahami
dengan jelas hukum dan kaidahnya sehingga dapat menghilangkan
kesamaran hal yang tidak dapat diketahui.
Dengannya, melalui metode tersebut maka dapat diambil
kesimpulan terhadap pembagian dan jenis hukum yang dapat di
terapkan dalam ushul fiqih sendiri. Hal tersebut diprktikan agar
kejelasan hukum-hukum perbuatan, ibadah serta ketetapan dalam
Islam dapat ditetapkan dengan jelas dan tidak transparan, dalam
artian setiap umat Islam dapat mengetahui tidap hukum yang ada
juga dapat mengaplikasikannya terhadap kehidupan sehari-hari.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagimana pengertian Hukum dalam Islam?


2. Bagaiaman ciri-ciri Hukum dalam Islam?
3. Bagaimana pembagian Hukum dalam Islam?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui pengertian Hukum dalam Islam.

2. Mengetahui ciri-ciri Hukum dalam Islam.

3. Mengetahui pembagian Hukum dalam Islam.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum

Hukum merupakan peraturan-peraturan yang terdiri dari komponen


berupa ketentuan yang fungsinya sebagai suruhan dan larangan
dimana keduanya menimbulakn kewajiban atau hak umat manusia.
Sedangkan Muhammad Daud Ali menyebutkan kata hukum berasal
dari bahasa Arab yang bermakna norma, kaidah, aturan, tolak ukur,
pedoman yang digunakan untuk menilai atau melihat tingkah laku
manusia dengan lingkungan disekitarnya. Adapun menurut Al-
Fayumi dalam buku Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar
Hukum Islam di Indonesia, menyebutkan bahwa hukum bermakna
memutuskan, menetapkan dan menyelesaikan permasalahan.2

Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab,

yaitu َ ْ‫ َم َحك‬-‫َ ح ; ُك ُم ي‬hakama-yahkumu yang kemudian bentuk

mashdar-nya menjadi ‫ُ ماًْحك‬hukman. Lafadz ‫ ْم ُح;;كْ ُاَل‬al-hukmu


adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak ُ .ahkâm-al ‫ْاَ َل ْح َك;;ام‬
Berdasarkan akar kata ‫َ َمك َح‬ hakama tersebut kemudian muncul

kata ُ ْ ِ‫ح ْ َكمة َل ا‬ al-hikmah yang memiliki arti kebijaksanaan. Hal


ini dimaksudkan bahwa orang yang memahami hukum kemudian
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari maka dianggap
sebagai orang yang bijaksana. 3Arti lain yang muncul dari akar kata
tersebut adalah “kendali atau kekangan kuda”, yakni bahwa

2
Zaiuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal. 1
3
Mardani, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015, hal.
14
keberadaan hukum pada hakikatnya adalah untuk mengendalikan
atau mengekang seseorang dari hal-hal yang dilarang oleh agama.
Maka dapat dipastikan tujuan awal dari adanya hukum Islam adalah
untuk mengendalikan serta membatasi perilaku pada umatnya
menurut ketetapan yang ada.

Hal tersebut didukung oleh Qur’an Surah Ali Imran ayat 20 dimana
ayat tersebut mendukung perihal kebenaran yang terkandung dalam
hukum Islam, yakni:

‫ت َوجْ ِه َي هّٰلِل ِ َو َم ِن اتَّبَ َع ِن َۗوقُلْ لِّلَّ ِذي َْن‬ ُ ‫ك فَقُلْ اَ ْسلَ ْم‬ َ ‫فَا ِ ْن َح ۤاجُّ ْو‬
‫ب َوااْل ُ ِّم ٖيّ َن َءاَ ْسلَ ْمتُ ْم ۗ فَا ِ ْن اَ ْسلَ ُم ْوا فَقَ ِد ا ْهتَ َد ْوا ۚ َواِ ْن‬َ ‫ ْال ِك ٰت‬e‫اُ ْوتُوا‬
‫ص ْي ۢ ٌر بِ ْال ِعبَا ِد‬ ‫هّٰللا‬
ِ َ‫ك ْالبَ ٰل ُغ ۗ َو ُ ب‬ َ ‫ فَاِنَّ َما َعلَ ْي‬e‫ࣖ تَ َولَّ ْوا‬ 

Artinya:

Kemudian jika mereka membantah engkau (Muhammad) katakanlah,


“Aku berserah diri kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang
yang mengikutiku.” Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah
diberi Kitab dan kepada orang-orang buta huruf, ”Sudahkah kamu
masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, berarti mereka telah
mendapat petunjuk, tetapi jika mereka berpaling, maka kewajibanmu
hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat hamba-hamba-
Nya.
2.2 Ciri-Ciri Hukum Islam:

1. Wahyu sebagai sumber dasar umum (Bahwa semua produk


hukum dapat dikembalikan kepada wahyu Q/H).

2. Tidak hanya mengatur tingkah laku lahiriah manusia tetapi


juga tentang perkembangan rohani yang berkaitan erat
dengan iman / aqidah.

3. Mendahulukan kewajiban yang bersifat aktif daripada hak


yang bersifat pasif dan fakultatif.

4. Mempunyai balasan rangkap (Dunia Akhirat).

5. Dapat dibagi (1) Hukum Taklifi (2) Hukum Wadl’iy.

6. Mempunyai dua kata kunci (1) Syari’at (2) Fiqih

7. Mempunyai 2 bidang utama : (1) Ibadah dalam arti khusus


(Ibadah Khashshah yakni Ibadah Mahdlah), (2) Ibadah dalam
arti umum (Ibadah Ammah yakni Mu’amalah dalam arti yang
luas).

8. Mempunyai struktur yang berlapis (1) Nash (ayat Al-Qur’an),


(2) Hadis Rasulullah Saw. (3) Hasil Ijtihad yang berupa
Fiqih, Keputusan Hakim dan Fatwa.

9. Menurut At-Tahanuwi, kata-kata syari’at, din, dan millah


adalah muradif (sinonim), artinya mempunyai arti yang sama.
Menurut As-Sanhuri, perlu dibedakan din dengan fiqih,
semua peraturan perundang-undangan yang diambil dari Al-
Qur’an dan sunnah secara langsung (tanpa melalui ijtihad),
maka sumber/ dasar hukumnya adalah din. Sedangkan semua
peraturan perundang-undangan yang diambil dari sumber
hukum Islam lainnya seperti qiyas, maslahah, mursalah dan
sebagainya, maka sumber/ dasar hukumnya adalah fiqih.

2.3 Pembagian Hukum Islam

Hukum Islam atau hukum syara’ ialah ketentuan-ketentuan


yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik
ketetapan hukum itu berupa tuntutan mengerjakan
sesuatu,yang berarti perintah yang wajib dikerjakan, atau
tuntutan meninggalkan sesuatu, yang berarti larangan yang
haram dikerjakan, atau ketetapan hukum itu berupa hal yang
mubah (fakultatif), yang berarti boleh dikerjakan dan boleh
ditinggalkan, maupun ketetapan hukum yang menjadikan dua
hal berkaitan dan salah satu menjadi sebab atau rintangan
terhadap yang lain. Arti yang lain, Hukum Islam adalah
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dan
Rasul-Nya yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
manusia dengan manusia, dan manusia dengan benda.

Hukum Taklifi

Hukum Taklifi ialah hukum Syara’ yang mengandung


perintah yang wajib dikerjakan, seperti mengerjakan shalat,
menunaikan zakat, dan melaksanakan ibadah haji; atau
hokum syara’ yang mengandung larangan yang haram
dikerjakan, seperti makan harta anak yatim; atau hukum
syara’ yang memberi kebebasan memilih antara melakukan
atau tidak melakukan.
2.4 Macam-Macam Hukum Taklifi

Hukum taklifi meurut Jumhur (kebanyakan ulama) ada lima


macam ialah: wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.
tetapi menurut Jumhur, hukum wajib dan fardu adalah sama.
Kedua, hukum makruh yang menurut Hanafiyah perlu dibagi
makruh tahrim dan makruh tanzih, karena akibat hukumnya
berbeda. Mengerjakan makruh tahrim berdosa, sedangkan
mengerjakan makruh tanzih tidaklah berdosa. Menurut
Jumhur, makruh tahrim sama dengan haram. Karena akibat
hukumnya sama, maka tidak perlu melihat pada dasar
hukumnya (dalil Qath’i atau dalil Dzanni), sebagaimana yang
diperhatikan oleh Hanafiyah. Untuk lebih jelasnya, perlu
diterangkan macam-macam hukum taklifi tersebut:

A. Wajib dan macamnya:

Wajib menurut Jumhur, ialah sesuatu yang dituntut oleh


agama untuk dikerjakan, sehingga berdosalah bagi orang
yang meninggalkannya.

1) Meninggalkan sa’I antara Safa dan Marwa tidaklah


membatalkan haji, karena penetapan kewajiban sa’I adalah
berdasarkan dalil Dzanni.

2) Orang yang meninggalkan wajib, artinya kewajiban-


kewajiban agama yang ditetapkan berdasarkan dalil Dzanni
tidaklah sampai kafir. Misalnya kalau ulama Indonesia
melalui ijtihad musyawarah mencapai consensus bahwa umat
Islam Indonesia wajib menggunakan hak pilihnya dalam
pemilu, maka kewajiban menggunakan hak pilih dalam
pemilu bagi umat Islam Indonesia termasuk dalam kategori
wajib, bukan fardu.
Jika wajib itu dipandang dari segi waktu pelaksanaannya ada dua
macam:
1) Wajib Mutlak, artinya wajib yang tidak terkait
dengan waktu pelaksanaannya seperti meng-qadha
hari puasa Ramadhan yang ditinggalkan karena ada
halangan, misalnya sakit. Pendapat diatas adalah
menurut Abu Hanifah, sedangkan menurut Syari’i
meng-qadha puasa dibatasi dalam tahun puasa yang
bersangkutan, dan kalau orang meng-qadha puasa
pada tahun puasa berikutnya akan ada sanksinya,
yakni harus membayar fidyah di samping harus pula
meng-qadhanya.
2) Wajib Muaqqad, artinya wajib yang dibatasi waktu
pelaksanaannya, dan wajib ini ada dua macam.
Pertama wajib muwassa’, artinya wajib yang longgar
waktu pelaksanaannya, seperti mengerjakan shalat
fardhu lima waktu, bisa pada awal waktu sampai akhir
waktunya. Hanya saja mengerjakan shalat-shalat fardu
pada awal waktunya akan lebih besar pahalanya.
Kedua, wajib muhayyaq, artinya wajib yang waktu
pelaksanaannya dibatasi, seperti puasa Ramadhan
menjadi wajib karena datangnya bulan Ramadhan,
yang tidak bisa ditunda pelaksanaannya, serta puasa
yang dilakukan hanya untuk puasa Ramadhan saja,
tidak bisa untuk puasa-puasa lainnya. Karena itu, niat
puasa pada hari bulan Ramadhan itu tidak wajib
disertai dengan niat untuk bulan Ramadhan.
Wajib yang dipandang dari segi tertentu atau tidaknya kewajibannya
yang dituntut ada dua macam.

1) Wajib mu’ayyan, ialah kewajiban yang dituntut itu


hanya satu saja, tidak ada pilihan terhadap kewajiban
lainnya, seperti membayar utang dan menunaikan
zakat. Kebanyakan yang wajib itu termasuk dalam
kategori ini.
2) Wajib mukhayyar, ialah kewajiban yang dituntut itu
lebih dari satu, tetapi dalam melaksanakannya bisa
dipilih salah satu di antaranya. Seperti orang yang
pergi menunaikan ibadah haji boleh memilih di antara
tiga macam haji sebagai berikut: haji ifrad dengan
cara niat melakukan ibadah haji pada waktu mulai
ihram; haji tamattu’ dengan cara niat umrah dulu, dan
setelah tahallul kemudian niat haji pada bulan-bulan
haji, atau haji qiran dengan cara niat melakukan haji
dan umrah sekaligus.

Wajib bila dilihat dari segi ukuran/ kriterianya ada dua macam:
1) Wajib yang sudah ada ketentuan dari agama tentang
ukuran/kriterianya seperti zakat harta benda. Agama
telah menetapkan jenis-jenis harta benda yang terkena
zakat, nisab-nya (jumlah harta benda yang terkena
zakat), haul-nya (jatuh tempo mengeluarkan zakat)
dan juga kadarnya (berapa persen harta benda yang
perlu dizakatkan). Demikian pula tentang zakat fitrah.
2) Wajib yang tidak ditentukan agama tentang
ukuran/kriterianya, tetapi saja besarnya bantuan
keuangan itu tidak ditentukan oleh agama. diserahkan
kepada kemampuan seseorang dengan memperhatikan
pula situasi dan kondisinya. Misalnya memberikan
bantuan keuangan kepada orang yang sangat
memerlukan, adalah wajib bagi setiap orang yang
mampu. Hanya Jelaslah bahwa harta benda itu tidak
hanya wajib dizakati, melainkan juga wajib digunakan
untuk memberikan bantuan kepada sesama manusia
yang memerlukan, juga untuk kepentingan agama,
dan untuk kepentingan umum dan Negara.
Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw:
Sesungguhnya pada harta benda itu ada kewajiban
lain selain zakat

Wajib dilihat dari segi siapa yang wajib melakukan ada dua macam:
1) Wajib ‘aini ialah wajib yang ditujukkan kepada
setiap individu. Sehingga siapapun yang
meninggalkan kewajiban itu berdosa dan akan
mendapat hukuman. Misalnya kewajiban shalat,
puasa, zakat, dan kewajiban memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi haknya.
2) Wajib kifai ialah wajib yang ditujukkan kepada
setiap masyarakat umum, tetapi jika sebagian anggota
masyarakat sudah ada yang mengerjakan kewajiban
itu maka gugurlah kewajiban itu bagi warga
masyarakat yang lainnya. Misalnya, melakukan shalat
jenazah, amar ma’ruf dan nahi munkar, belajar untuk
jadi ahli agama atau ahli pertanian, ahli kedokteran,
ahli teknik, dan ahli perang dan sebagainya semuanya
itu adalah fardu kifayah.
B. Haram dan Macamnya

Haram ialah sesuatu yang dituntut oleh agama untuk


ditinggalkan dengan tuntutan yang pasti, baik dalilnya Qath’I
maupaun dalil Dzanni. Menurut pendapat Jumhur, haram ada
dua macam, yaitu :

1) Haram li dzatih, ialah sesuatu yang dilarang oleh agama


karena mengandung bahaya/ risiko, seperti makan bangkai,
minum-minuman keras, dan berbuat zina.

2) Haram li ghairih, ialah sesuatu yang dilarang oleh agama


karena faktor lain. Misalnya melihat aurat wanita yang bukan
istrinya, dilarang (haram), karena bisa mendorong orang
berbuat zina.

Demikian pula jual beli pada waktu sudah ada adzan shalat
Jum’at adalah haram berdasarkan firman Allah dalam Al-
Qur’an Surah Al-Jumu’ah ayat 9:

ۡ َ‫ص ٰلو ِة ِم ۡن يَّ ۡو ِم ۡال ُج ُم َع ِة ف‬ ۤ


‫اس َع ۡوا‬ َّ ‫ى لِل‬ َ ‫ٰيا َ ُّي َها الَّ ِذ ۡينَ ٰا َمنُ ۡۤوا اِ َذا نُ ۡو ِد‬
٩ َ‫اِ ٰلى ِذ ۡك ِر هّٰللا ِ َو َذ ُروا ۡالبَ ۡي َع ؕ ٰذ لِ ُكمۡ َخ ۡي ٌر لَّـ ُكمۡ اِ ۡن ُك ۡنتُمۡ ت َۡعلَ ُم ۡون‬
Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan


untukmenunaikan sembahyang pada hari Jum’at, maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkan
jual beli.

Jual beli itu sendiri tidak dilarang, tetapi karena jual beli pada
waktu sudah ada adzan shalat Jum’at (setelah imam naik
mimbar dan muadzin telah membaca adzan pada hari Jum’at)
itu bisa menyebabkan orang ketinggalan shalat Jum’atnya.

C. Makruh dan Macamnya:

Makruh menurut Jumhur, ialah sesuatu yang dituntut oleh


agama untuk ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak pasti/
wajib. Contoh makruh dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah
ayat 101 :

‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا اَل تَ ْسـَٔلُوْ ا ع َْن اَ ْشيَ ۤا َء اِ ْن تُ ْب َد لَ ُك ْم تَ ُسْؤ ُك ْم ۚ َواِ ْن تَ ْسـَٔلُوْ ا َع ْنهَا ِح ْينَ يُنَ َّز ُل‬
‫ ْالقُرْ ٰانُ تُ ْب َد لَ ُك ْم ۗ َعفَا هّٰللا ُ َع ْنهَا َۗوهّٰللا ُ َغفُوْ ٌر َحلِ ْي ٌم‬ 

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu tanyakan


(kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
niscaya menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan
diwaktu Al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan
diterangkan kepadamu

Menurut Hanafiyah, makruh ada dua macam, ialah :


a. Makruh tahrim, ialah sesuatu yang dituntut agama untuk
ditinggalkan dengan tuntutan yang pasti berdasarkan dalil
dzanni, seperti memakai sutra atau cincin emas bagi laki-
laki. Makruh tahrim lawan dari wajib menurut Hanafiyah.
b. Makruh tanzin, ialah sesuatu yang tuntut agama untuk
ditinggalkan dengan tuntutan yang tidak pasti. Makruh
tanzin adalah lawan dari mandub, dan pengertiannya sama
dengan pengertian makruh menurut Jumhur.
D. Mubah dan Dasar-Dasar Hukumnya:

Mubah sesuatu yang diperbolehkan oleh agama untuk orang


9\mukallaf antara mengerjakan dan meninggalkannya.
Artinya ia boleh memilih antara mengerjakan atau
meninggalkannya, seperti makan, minum, atau bermain-main
yang sehat. Asy-Syaukani memberi definisi, mubah sebagi
sesuatu yang tidak dipuji orang mengerjakan dan juga orang
yang meninggalkannya.

Dasar-dasar hukum untuk menetapkan suatu itu mubah ada 3


(tiga) macam, ialah :

1) Dinyatakan sendiri dalam nash, nahwa tidak berdosa


melakukan, seperti firman Allah dalam Al-Qur’an Surat
Al-Baqarah ayat 173 :

‫اِنَّ َما َح َّر َم َعلَ ْي ُك ُم ْال َم ْيتَةَ َوال َّد َم َولَحْ َم ْال ِخ ْن ِزي ِْر َو َمٓا اُ ِه َّل بِ ٖه لِ َغي ِْر هّٰللا ِ ۚ فَ َم ِن اضْ طُ َّر‬
‫اغ َّواَل عَا ٍد فَٓاَل اِ ْث َم َعلَ ْي ِه ۗ اِ َّن هّٰللا َ َغفُوْ ٌر َّر ِح ْي ٌم‬
ٍ َ‫ َغ ْي َر ب‬ 
Artinya:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika
disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang
siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia
tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya.
2) Tidak ada nash Al-Qur’an dan Hadis yang jelas
menunjukkan keharamannya, dan hal ini sesuai dengan
kaidah Fiqhiyah yang dirumuskan oleh para ulama : Pada
dasarnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.

3) Adanya nash yang jelas menunjukkan kebolehan ataupun


kehalalannya, seperti halal makanan yang baik-baik dan
makanan sembelihan yang disajikan oleh Ahlul Kitab
untuk umat Islam, berdasarkan firman Allah Surat A-
Maidah ayat 5:

‫ب ِح ٌّل لَّ ُك ْم ۖ َوطَ َعا ُم ُك ْم ِح ٌّل لَّهُ ْم‬َ ‫ت َوطَ َعا ُم الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬ ُ ۗ ‫اَ ْليَوْ َم اُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّ ٰب‬
َ ‫ت ِمنَ الَّ ِذ ْينَ اُوْ تُوا ْال ِك ٰت‬
‫ب ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم اِ َذٓا‬ َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ُ ‫ص ٰن‬ ِ ‫ت ِمنَ ْال ُمْؤ ِم ٰن‬ ُ ‫ص ٰن‬ َ ْ‫َۖو ْال ُمح‬
ْ‫َان َو َم ْن يَّ ْكفُر‬
ٍ ۗ ‫ي اَ ْخد‬
ْٓ ‫صنِ ْينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِح ْينَ َواَل ُمتَّ ِخ ِذ‬ ِ ْ‫ٰاتَ ْيتُ ُموْ ه َُّن اُجُوْ َره َُّن ُمح‬
َ‫ان فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهٗ ۖ َوه َُو فِى ااْل ٰ ِخ َر ِة ِمنَ ْال ٰخ ِس ِر ْين‬
ِ ‫ࣖ بِااْل ِ ْي َم‬ 
Artinya:
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan
(sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.

Menghadapi hal-hal yang mubah tidak berarti boleh


berbuat semaunya, baik melakukan atau
meninggalkannya, misalnya makan, minum, dan
berekreasi yang sehat diperbolehkan dengan memilih
jenis makanan, minuman, dan rekreasi yang disukai, dan
juga waktu apa saja yang disukai. Namun, tidak boleh
berlebih-lebihan, sehingga makanan, minuman, dan
rekreasinya menyita seluruh waktu, sebagaimana firman
Allah dalam surat Al-A’raf ayat 31:

ُّ‫ْرفُوْ ۚا اِنَّهٗ اَل يُ ِحب‬ ٰ


ِ ‫ٰيبَنِ ْٓي ا َد َم ُخ ُذوْ ا ِز ْينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُك ِّل َم ْس ِج ٍد َّو ُكلُوْ ا َوا ْش َربُوْ ا َواَل تُس‬
ِ ‫ْال ُمس‬
َ‫ْرفِ ْين‬
Artinya:

Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.

Sebaliknya orang pun tidak boleh tidak mau makan dan


minum, sehingga dapat membahayakan kesehatan dan
keselamatan jiwanya, sebagaimana firman Allah dalam Surat
Al-Baqarah ayat 195:

ۚۛ  ۖ ‫سبِ ۡي ِل هّٰللا ِ َواَل ت ُۡلقُ ۡوا بِا َ ۡي ِد ۡي ُكمۡ اِلَى التَّ ۡهلُ َك ِة‬
َ ‫َواَ ۡنفِقُ ۡوا فِ ۡى‬
‫هّٰللا‬
َ‫سنِ ۡين‬ ِ ‫سنُ ۡوا  ۛۚ اِنَّ َ يُ ِح ُّب ۡال ُم ۡح‬ ِ ‫َواَ ۡح‬
Artinya:

Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam


kebinasaan.

Menurut fuqaha, ibadah dibagi menjadi dua; sah dan tidak


sah. Ibadah yang sah ialah ibadah yang telah memenuhi
rukun dan syarat sahnya; sedangkan ibadah yang tidak sah
ialah ibadah yang tidak memenuhi semua rukun dan syarat
sahnya. Ibadah yang tidak sah masih menjadi tanggungan
orang yang bersangkutan, sehingga ia wajib mengulangi
(I’adah) ibadah itu pada waktunya, atau wajib mengqadhanya
diluar waktunya. Fuqaha sepakat, bahwa ibadah yang tidak
sah itu tidak perlu dibedakan antara yang batal dan yang
fasad (rusak).

Menurut Jumhar, akad dibagi dua ialah: akad yang sah dan
akad yang tidak sah. Akad yang sah ialah akad yang
memenuhi semua rukun dan syarat sahnya. Sedangkan akad
yang tidak sah, ialah akad yang tidak atau belum memenuhi
semua rukun dan syarat sahya. Akad yang tidak sah menurut
Jumhar sama dengan ibadah yang tidak sah, artinya tidak
dibedakan antara akad yang bathil dan akad yang fasid, akibat
hukumnya sama saja, yakni tidak sah dan tidak mempunyai
akibat apa-apa. Atau dengan kata lain akad yang bathil atau
fasid itu berarti tidak ada akad.

Menurut Hanafiyah, akad itu dibagi tiga ialah :

1. Akad yang sah (sahih), ialah akad yang memenuhi semua


rukun dan syarat-syarat yang berkaitan dengan hukumnya.

2. Akad yang batal (batil), ialah akad yang tidak memenuhi


rukun-rukunnya. Akad yang batal tidak mempunayi akibat
hukum. Karena tidak adanya sebab yang mengakibtakan
adanya hukum. Karena itu akad yang batal dipandang tidak
ada akad. Misalnya dua orang melakukan transaksi atau akad
jual beli batal, karena tidak memenuhi salah satu rukun
akadnya, yakni adanya barang yang diperjualbelikan.
3. Akad yang fasad (fasid) atau rusak, ialah akad yang tidak
memenuhi syarat-syarat yang menyempurnakan hukumnya.
Akad yang fasad dipandang sudah ada akadnya. Karena
sudah dipenuhi rukun-rukunnya, hanya yang belum dipenuhi
syarat- syaratnya yang menyempurnakan hukumnya.
Misalnya jual beli barang yang tidak diketahui keadaan (sifat,
ukurannya dan sebagainya) dipandang sudah terjadi jual beli.
Hanya saja jual beli ini fasid, tidak mempunyai akibat hukum,
sehingga tidak terjadi pemindahan hak milik atas barang dari
penjual kepada pembeli., dan tidak ada penyerahan harga
barang dari pembeli kepada penjual, serta masing-masing
pihak tidak diperbolehkan menggunakan harta benda pihak
lain. Karena itu, jual belinya harus di-fasakh (dibatalkan).

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemahaman yang dapat disimpulkan dari perumusan masalah serta


keseluruhan pembahasan, pada materi ini, setidaknya dapat
dikemukakan beberapa pokok pikiran yang dapat simpulkan sebagai
berikut yang juga merupakan jawaban atas rumusan masalah.

1. Hukum merupakan peraturan-peraturan yang terdiri dari komponen


berupa ketentuan yang fungsinya sebagai suruhan dan larangan
dimana keduanya menimbulakn kewajiban atau hak umat manusia.
Hukum Islam atau hukum syara’ ialah ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang berhubungan
dengan perbuatan orang mukallaf, baik ketetapan hukum itu berupa
tuntutan mengerjakan sesuatu,yang berarti perintah yang wajib
dikerjakan, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, yang berarti
larangan yang haram dikerjakan, atau ketetapan hukum itu berupa
hal yang mubah (fakultatif
2. Ciri-Ciri Hukum Islam yaitu 1. Wahyu sebagai sumber dasar
umum (Bahwa semua produk hukum dapat dikembalikan kepada
wahyu Q/H). 2.Tidak hanya mengatur tingkah laku lahiriah manusia
tetapi juga tentang perkembangan rohani yang berkaitan erat dengan
iman / aqidah.3. Mendahulukan kewajiban yang bersifat aktif
daripada hak yang bersifat pasif dan fakultatif.4. Mempunyai balasan
rangkap (Dunia Akhirat). 5. Dapat dibagi (1) Hukum Taklifi (2)
Hukum Wadl’iy. 6. Mempunyai dua kata kunci (1) Syari’at (2) Fiqih
7. Mempunyai 2 bidang utama : (1) Ibadah dalam arti khusus (Ibadah
Khashshah yakni Ibadah Mahdlah), (2) Ibadah dalam arti umum
(Ibadah Ammah yakni Mu’amalah dalam arti yang luas). 8.
Mempunyai struktur yang berlapis (1) Nash (ayat Al-Qur’an), (2)
Hadis Rasulullah Saw. (3) Hasil Ijtihad yang berupa Fiqih,
Keputusan Hakim dan Fatwa. 9 Menurut At-Tahanuwi, kata-kata
syari’at, din, dan millah adalah muradif (sinonim), artinya
mempunyai arti yang sama. Menurut As-Sanhuri, perlu dibedakan
din dengan fiqih, semua peraturan perundang-undangan yang diambil
dari Al-Qur’an dan sunnah secara langsung (tanpa melalui ijtihad),
maka sumber/ dasar hukumnya adalah din. Sedangkan semua
peraturan perundang-undangan yang diambil dari sumber hukum
Islam lainnya seperti qiyas, maslahah, mursalah dan sebagainya,
maka sumber/ dasar hukumnya adalah fiqih.
3. Hukum Taklifi ialah hukum Syara’ yang mengandung perintah yang
wajib dikerjakan, seperti mengerjakan shalat, menunaikan zakat, dan
melaksanakan ibadah haji; atau hokum syara’ yang mengandung
larangan yang haram dikerjakan, seperti makan harta anak yatim;
atau hukum syara’ yang memberi kebebasan memilih antara
melakukan atau tidak melakukan.
B. SARAN
Demikianlah makalah ini penulis susun untuk memenuhi salah satu
tugas mata kuliah FIQIH. Apabila dalam penulisan makalah ini
terdapat kekurangan, kami penulis meminta kepada pembaca
umumnya dan khususnya kepada bapak dosen mata kuliah FIQIH ini
untuk memberikan saran dan kritik yang membangun untuk makalah
ini Mudah-mudahan Allah SWT senantiasa memberkahi kita
semua.Amin ya Rabbal Alamin.

Daftar Pustaka

Al Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI.

Abdul Wahab Khalaf, 'Ilmu Ushuul al-Fiqhi, (Kairo: Maktabah al-Da'wah, 2009).

Muhammad Abu Zuhroh, Ushuul al-Fiqhi, (Darul alFikri al-'Arabiy, 1958).

Wahbah Zuhaili, Ushuul al-Fiqhi al-Islamiy, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).

Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiiz fii Ushuul al-Fiqhi, (Beirut: Muassasah al-Risalah
Nasyirun, 2012).

Muhammad Al-Khudry Bik, Ushuul al-Fiqhi, (Mesir: Al-Maktabah al-Khabariyah al-


Kubra, 1969).

Imam Abu Ishaq Al-Syatiby, Al-Muwafaqat fii Ushuul al-Syarii'ah,(Beirut: Dar al-
Makrifah, 1975).

Rifa’I, Moh. Ilmu Fikih Islam Lengkap. Semarang: PT Karya Toha Putra, 1978.

Anda mungkin juga menyukai