Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FIQIH

Tentang
HUKUM TAKLIFI

Dosen Pengampu : Dr. Jhon Afrizal, S.H.I, M.A.


Disusun Oleh :
Desvi Syafrianis Putri (02370623545)

PROGRAM STUDI D3 ADMINISTRASI PERPAJAKAN


FAKULTAS EKONOMI DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN SYARIF KASIM RIAU

2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala atas karunia,
rahmat, dan nikmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah
yang berjudul Hukum Taklifi . Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Ushul Fiqh
Islam adalah agama yang menjadi penyempurna agama-agama lainsebelumnya. Dalam
islam tentu ada ketentuan-ketentuan atau syariat yang harusdijalankan oleh umat muslim
selaku pemeluk agama islam dalam hidup beragama.Seperti halnya dalam suatu negara
dimana untuk mengatur seluruh warga negaranya diperlukan suatu hukum atau aturan. Maka
dalam islam pun demikian, islam memiliki aturan atau hukumnya tersendiri atau yang
disebut dengan hukum syara’. Tentunya hukum ini bersumber dari Al- Qur’an, As -Sunah,
atau pun yang lainnya seperti ‘ ijma dan qiyas.
Hukum islam merupakan kalam Allah yang menyangkut perbuatan orangdewasa dan
berakal sehat. Lalu apa saja pembagian hukum dalam islam itu? Bagaimana tuntutan islam
dalam hal perintah untuk melakukan atau melarangsesuatu? Pertanyaan-pertanyaan inilah
yang akan menjadi fokus masalah yang penulis susun. Sejalan dengan itu, makalah ini
secara jelas juga akan membahasmengenai hal ihwal dalam hukum taklifi.

Jambi, Oktober 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ........................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................. 1
C. Tujuan ..................................................................................................................................... 1
D. Manfaat .................................................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3
A. Pengertian Hukum Taklifi ....................................................................................................... 3
B. Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi ................................................................................................. 4
C. Pembagian Hukum Taklifi ....................................................................................................... 6
BAB III PENUTUPAN................................................................................................................ 10
A. Kesimpulan........................................................................................................................... 10
B. Saran .................................................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam hidup bermasyarakat tentunya kita membutuhkan suatu aturan yang
mengikat agar kehidupan kita lebih teratur dan terarah.Begitupun dalam kehidupan
beragama, ada hukum yang dengan jelas dan tegas mengatur setiap perbuatan dan
bahkan mencakup semua hal yang kita lakukan agar kehidupan kita sebagai manusia
bisa lebih terarah.
Hukum-hukum dalam islam khususnya, bersumber dari Allah SWT. yang secara
langsung disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw. sebagai
tuntutan atau aturan yang bersifat mengikat dan memaksa dimana setiap pelanggar
akan dikenakan sanksi atau hukuman atas perbuatan apa yang ia langgar. Hukum itu
dibuat dengan tujuan untuk kebaikan manusia itu sendiri, karena Allah lebih
mengetahui apa yang baik dan apa yang buruk bagi hamba-Nya.
Dalam hukum Syara ’ terdapat dua macam hukum yakni hukum taklifu dan
hukum wadh’i. Hukum taklifi sendiri terbagi lagi menjadi wajib, sunah, haram,
makruh dan mubah. Hukum-hukum ini pastilah sudah tidak asing lagi, mengingat
hampir semua hal pasti dikenakan salah satu hukum dari hukum tersebut. Misalnya,
hukum melaksanakan shalat lima waktu adalah wajib, hukum shalat qabliyah dan
ba’diyah adalah sunah, hukum riba adalah haram, hukum mencium wewangian
ketika sedang melaksanakan puasa adalah makruh dan hukum makan atau minum
adalah mubah.Karena latar belakang inilah akhirnya penulis berkeinginan untuk
mengambil tema dalam makalah yang akan penulis susun, dengan judul Hukum
Taklifi.
B. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan hukum taklifi?
b. Apa saja bentuk-bentuk hukum taklifi?
c. Bagaimana pembagian hukum taklifi?
C. Tujuan
a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan hukum taklifi
b. Untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk hukum taklifi
c. Untuk mengetahui bagaimana pembagian hukum taklifi.

1
D. Manfaat
a. Manfaat bagi penulis dalam penulisan makalah ini adalah untukmenambah ilmu
pengetahuan dan wawasan mengenai hukum taklifi.
b. Manfaat bagi pembaca dalam penulisan makalah ini yaitu sebagai acuanatau
sarana untuk lebih megetahui tentang hukum taklifi dan sebagaisalah satu
referensi dalam sistematika penulisan makalah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Taklifi


Secara etimologi kata hukum (al-hukm) berarti “ mencegah” atau
“memutuskan”. Menurut terminologi Ushul Fiqh, hukum (al-hukm) berarti: Khitab
(kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukalaf, baik berupa Iqtidla
(perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan),
Takhyir (kebolehan bagi orang mukalaf untuk memilih antara melakukan dan tidak
melakukan), atau Wald (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
atau mani’ [penghalang]).
Hukum taklifi adalah hukum yang mengandung tuntutan (untuk dikerjakan
atau ditinggalkan oleh para mukallaf) atau yang mengandung pilihan antara yang
dikerjakan dan ditinggalkan. Dengan kata lain adalah yang dituntut melakukannya
atau tidak melakukannya atau dipersilahkan untuk memilih antara memperbuat dan
tidak memperbuat.
Adapun yang dimaksud dengan hukum taklifi adalah titah Allah yang
berhubungan dengan tuntutan dan pilihan berbuat, yang terperinci dalam hukum
wajib, Sunah (nadab), makruh, haram, dan mubah. Namun,sebenarnya mubah itu
tidak tepat dimasukan kepada hukum taklifi ataupun hukum wadh’i, tapi hukum
mubah itu lebih tepat dengan kelompoknya tersendiri dengan nama hukum
takhyiri.
Tidak termasuk hukum wadh’i karena mubah termasuk dalam perbuatan
mukallaff yang tidak berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Dan tidak termasuk
hukum taklifi karena pada mubah tidak ada tuntutan atau taklifi (beban) yang
menyebabkan adanya pahala atau dosa.
Sedangkan, pendapat yang lain menyatakan bahwa hukum taklifi adalah
firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan ataumeninggalkan sesuatu
atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Dinamakan hukum taklifi karena
tuntutan di sini langsung berkenaandengan perbuatan mukallaf yang
melaksanakannya.

3
B. Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi
Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk hukum
taklifi. Pertama, menurut Jumhur Ulama bentuk-bentuk hukum taklifi yaitu, nadb,
ijab, ibahah, karahan, dan tahrim. Kedua, menurut ulama Hanafiyyah yaitu terdiri
dari ijab, nadb, iftiradh, ibahah, karahah tanzihiyyah, karahah tahrimiyyah, dan
tahrim. Perbedaan pembagian hukum taklifi antara Jumhul Ulama Ushul Fiqh
dengan Hanafiyyah tersebut didasarkan dari sisi kekuatan dalil.
1. Bentuk Pertama (Menurut Jumhur Ulama Ushul Fiqh)
a. Ijab
Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh
ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya akan dikenakan sanksi. menurut para
ahli Ushul Fiqh melahirkan ijab , yaitu kewajiban mendirikan shalat dan membayar
zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan orang mukallaf, maka disebut dengan
wujub, sedangkan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan wajib. Wujub
merupakan akibat dari tuntutan tersebut dan wajib adalah perbuatan yang dituntut
oleh Allah.
b. Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat
memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorangtidak dilarang untuk
meninggalkannya. Orang yang meninngalkannyatidak akan mendapat hukuman.
Yang dituntut untuk dikerjakan itudisebut mandub atau sunnah , sedangkan akibat
dari tuntutan itu disebut nadb.
c. Ibahah
Yaitu tuntutan Allah yang bersifat fakulatif (tidak diwajibkan atau bersifat
pilihan), yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama.
Akibat dari tuntutan Allah ini disebut ibahah dan perbuatan yang boleh dipilih itu
disubut mubah .
d. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang
mengerjakan perbuatan yang dituntut itu tidak mendapat hukuman atau dosa. Akibat
dari tuntutan seperti ini disebut karahah yang merupakan kebalikan dari nadb.
Akibat dari tuntutan ini disebut karahah dan perbuatan yang dikenaituntutan ini
disebut makruh .
4
e. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengantuntutan yang
memaksa. akibat dari tuntutan ini disebut hurmah, dan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan yaitu membunuh jiwa seseorang disebut dengan haram
2. Bentuk Kedua (Menurut Ulama Hanafiyyah)
a. Iftiradh
Yaitu tuntutan Allah kepada mukallaf yang bersifat memaksa dengan
berdasarkan dalil yang qath’i. Misalnya, tuntutan untuk melaksanakanshalat dan
membayar zakat. Ayat dan hadits yang mengandungtuntutan tersebut sifatnya adalah
qath’i.
b. Ijab
Yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa kepada mukallaf
untukmelaksanakan suatu perbuatan tetapi melalui dalil yang bersifat zhanni (relatif
benar). Misalnya, membaca Al-Fatihah dalam shalat, ibadah kurban, dan lain
sebagainya. Menurut ulama Hanafiyaah, tuntutan ini bersifat ijab dan wajib
dilaksanakan, tetapi kewajibannyadisasarkan atas tuntutan dalil yang zhanni .
c. Nadb
Dalan hal ini ulama Hanafiyah sepakat dengan apa yang dikemukakanoleh
Jumhur Ulama Ushul Fiqh.
d. Ibahah
Maksudnya sama dengan ibahah yang dikemukakan oleh JumhurUlama Ushul
Fiqh.
e. Karahah Tanzihiyyah
Yaitu tuntutan Allah kepada mukllaf untuk meninggalkan suatu perbuatan
tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Pada dasarnya, karahah tanzihiyyah di
kalangan Hanafiyyah sama pengertiannya dengan karahah di kalangan Jumhur
Ulama Ushul Fiqh.
f. Karahah Tahrimiyyah
Yaitu tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan
cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni .Hukum ini sama dengan
haram yang dikemukakan oleh Jumhur Ulama Ushul Fiqh.
g. Tahrim
Yaitu tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan sesuatu secaramemaksa
dan disasarkan kepada dalil yang qath’i.
5
C. Pembagian Hukum Taklifi
1. Wajib
Para ulam Ushul Fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi
dari berbagai segi, antara lain:
a. Dilihat dari segi waktu.
1) Wajib al-muthlaq adalah sesuatu yang dituntut syari' untuk dilaksanakan
oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban
membayar kafarat sebagai hukuman bagi orang yang melanggar
sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan waktu,
lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan
saja.
2) Wajib al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang
mukallaf pada waktu-waktu tertentu, seperti shalat dan puasa Ramadhan.
Shalat wajib (Shubuh, Zhuhur, 'Ashar, Maghrib, dan 'Isya') harus
dikerjakan pada waktunya, demikian juga puasa Ramadhan. Waktu di
sini merupakan bagian dari kewajiban itu sendiri, sehingga apabila
belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada.
b. Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan.
1) Wajib al-muhaddad adalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya
oleh syara' dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib
dizakatkan dan jumlah raka'at dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak
boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.
2) Wajib ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara'
ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama dan
pemimpin umat untuk menentukannya. Misalnya, penentuan hukuman
dalam jarimah ta'zir (tindak pidana di luar hudud dan qishash) yang
diserahkan kepada para qadhi (hakim). Dalam penentuan hukuman ini,
para hakim harus berorientasi pada tercapainya tujuan syara' dalam
mensyari'atkan suatu hukuman dan bersifat adil.
c. Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban.
1) Wajib al-'aini adalah kewajiban yang ditujukan kepada setiap pribadi
orang mukallaf. Misalnya, kewajibab melaksanakan shalat bagi setiap
orang mukallaf.

6
2) Wajib al-kifa'i adalah kewajiban yang ditujukan kepada seluruh orang
mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari mereka,
maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak
mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya,
pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr ma'ruf nahi munkar, dan
menjawab salam ketika berkumpul bersama orang banyak.
Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah menjadi wajib al-'aini
apabila yang bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu
orang. Misalnya, menolong orang yang tenggelam di laut atau di sungai
merupakan wajib al-kifa'i, karena semua orang yang menyaksikannya
wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang
menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang, maka
waib al-kifa'i yang dikenakan kepada sejumlah orang itu berubah
menjadi wajib al-'aini bagi orang yang pandai berenang tersebut.
d. Dilihat dari segi kandungan perintah.
1) Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu yang
diperintahkan, seperti sholat, puasa, dan harga barang dalam jual beli.
Shalat dan puasa dikerjakan yang pada dirinya adalah wajib, dan harga
barang yang dibeli itu juga wajib ada dan wajib diserahkan.
2) Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih
orang mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surat al-Maidah:89,
mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas, memberi makan
fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan
budak.
2. Mandub
Para ulama Ushul Fiqh membagi mandub menjadi 3 macam, antara lain:
a. Sunnah al-Mu'akkadah (sunah yang sangat dianjurkan)
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat
celaan. Di antaranya adalah shalat-shalat sunah sebelum dan sesudah
mengerjakan shalat lima waktu (shalat fardu'), seperti shalat sunah dua
raka'at sebelum shubuh, dua raka'at sebelum dan setelah Zhuhur, dan
berkumur-kumur waktu berwudhu', adzan, berjama'ah.

7
b. Sunnah ghairu al-Mu'akkadah (sunah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila
ditinggalkan tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari syar'i, seperti
bersedekah, shalat sunnah dhuha dan puasa setiap hari Senin dan Kamis.
Pekerjaan seperti ini, menurut para ulama fiqh disyari'atkan, tetapi tidak
senantiasa dikerjakan Rasulullah SAW. Sunah seperti ini disebut juga dengan
istilah mushtahab atau nafilah.
c. Sunnah al-Za'idah (sunah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah
SAW, sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan apabila tidak dikerjakan
tidak berdosa dan tidak pula dicela. Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah
berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah SAW sebagai manusia biasa,
seperti cara tidur, cara makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti
ini dilakukan seorang muslim dengan niat mengikuti apa yang dilakukan
Rasulullah SAW, maka disebut sunah Za'idah.
3. Haram
a. Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syar'i
tentang keharamannya. Misalnya memakan bangkai, babi, berjudi, meminum
minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta anak yatim.
Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat (esensi) pekerjaan
itu sendiri. Akibatnya, apabila melakukan suat transaksi dengan sesuatu yang
haram li dzathihi ini, hukumnya menjadi batal, dan tidak ada akibat
hukumnya.
b. Haram li ghairihi
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyari'atkan, tetapi dibarengi oleh
sesuatu yang bersifat mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah
disebabkan adanya mudarat tersebut. Misalnya, melaksanakan shalat dengan
pakaian hasil ghashab (mengambil barang orang lain tanpa izin), melakukan
transaksi jual beli ketika suara adzan shalat Jum'at telah berkumandang,
pernikahan tahalal, puasa di Hari Raya Idul Fitri.
4. Makruh
Ulama hanafiyyah membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu:

8
a. Makruh Tanzil
Yaitu sesuatu yang dituntut Syar'i untuk ditinggalkan, tetapi dengan
tuntunan yang tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama hanafiyyah ini
sama dengan pengertian makruh di kalangan Jumhur Ulama. Misalnya,
memakan daging kuda yang dikemukakan di atas.
b. Makruh Tahrim
Yaitu tuntutan Syar'i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan
itu melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni.
Seperti larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki,
sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah SAW: "Keduanya ini (emas
dan sutera) haram bagi umatku yang laki=laki dan halal bagi wanita." (H.R.
Abu Daud, An-Nasai', Ibn Majah, dan Ahmad Ibn Hanbal).
5. Mubah
Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqh dilihat dari segi
keterkaitannya dengan mudarat dan manfaat, antara lain:
a. Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung
mudarat, seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
b. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya,
sedangkan perbuatan ini sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah
seperti ini di antaranya, melakukan sesuatu dalam keadaan darurat atau
terpaksa, seperti makan daging babi, karena tidak ada makanan lagi yang
mesti dimakan dan apabila daging babi itu tidak dimakan, maka
seseorang akan meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam kondisi seperti
ini makan daging babi untuk sekedar mempertahankan nyawa termasuk
mubah. Atau sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi
karena darurat, maka boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi
orang hamil, musafir dan ibu yang menyusui anaknya.
Sesuatu yang pada dasarnya bersifat mudarat dan tidak boleh dilakukan
menurut syara', tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu
menjadi mubah. Misalnya mengerjakan pekerjaan haram sebelum islam,
seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan mengawini dua orang wanita
yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari'at islam yang
mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan bahwa orang yang telah
melakukannya sebelum islam dimaafkan.
9
BAB III
PENUTUPAN

A. Kesimpulan
1. Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pegerjaan dari mukallaf,
atau menuntut untuk berbuat , atau memberikan pilihan kepadanya antara
melakukan dan meninggalkannya. Macam-macam hukum taklifi menurut
Jumhur ulama Ushul Fiqh:Ijab, Nadb, Ibahah, Karahah, Tahrim.
2. Pembagian Hukum Taklifi
a. Wajib
1) Dilihat dari segi waktu, yaitu wajib al-muthlaq dan wajib al-mu’aqqat.
2) Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, yaitu wajib al-muhaddad dan
wajib ghairu al-muhaddad.
3) Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, yaitu wajib al-‘aini dan
wajib al-kifa’i.
4) Dilihatdarisegikandunganperintah, yaituwajibal-mu’ayyandanwajib al-
mukhayyar.
b. Mandub
1) Sunah al-Mu’akkadah (sunah yang sangatdianjurkan).
2) Sunahghairu al-Mu’akkadah (sunahbiasa).
c. Haram
1) Haram li dzatihi.
2) Haram li ghairihi.
d. Makruh
1) Makruhtanzih.
2) Makruhtahrim.
e. Mubah.
B. Saran
Sejalan dengan simpulan di atas, penulis merumuskan saran sebagai berikut:
1. Ada baiknya kita sebagai umat islam seharusnya lebih paham danmengerti lebih
dalam mengenai hukum-hukum dalam islam,terutama mengenai hukum taklifi;
2. Terapkanlah berbagai bentuk atau macam dari hukum taklifi didalam kehidupan
agar kehidupan kita menjadi lebih teratur danterarah.

10
DAFTAR PUSTAKA

http://evendimuhtar.blogspot.com/2013/06/hukum-taklifi.html?m=1
Septiadi, Cepi dkk. 2014. Hukum Taklifi. (Universitas Siliwangi, 2014). Diakses dari
https://www.academia.edu/37451542/Hukum_Taklifi
Zikrullah, M dkk. Hukum Taklifi. (Universitas Islam Negri Ar-Raniri). Diakses dari
https://zikrullah21.blogspot.com/2016/04/makalah-hukum-taklifi.html?m=1
Abdul Hamid Hakim. Ushul Fiqih. (H. Sukanan, Terjemahan).

11

Anda mungkin juga menyukai