TAUFIK
i
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam saya sampaikan ke hadirat Allah Yang Maha Pemurah,
karena berkat kemurahanNya makalah sederhana ini dapat saya selesaikan sesuai
yang diharapkan. Dalam makalah ini membahas “Hukum Taklifi dan hukum Wadhi ”
Makalah ini dibuat dalam rangka memahamkan pembaca akan makna dari
perbedaan, dan diharapkan makalah ini dapat menambahkan semangat persatuan
bangsa, dan memberikan pemahaman akan indahnya hidup di dalam berbagai
perbedaan yang ada. Dan pada akhirnya saya meminta maaf yang sebesar-besarnya
bila terdapat kesalahan, baik dalam penulisan maupun penyampaian materi, yang
pada hakikatnya memeng kesalahan itu pasti diperbuat oleh manusia, sekalipun
manusia tersuci sepanjang masa Rasulullah SAW. Demikian makalah ini kami buat
semoga bermanfaat. Aamiin ya Rabbal‟alamin.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………………………ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………4
A. LATAR BELAKANG………………………………………………………………4
B. RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………4
A. HUKUM…………………………………………………………………………….5
KESIMPULAN………………………………………………………………………………18
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa
mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh.
Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang
berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara',
yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun
berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang
telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat,
sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini
yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.
Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara'
yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini
dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul
fiqh.
B. Rumusan Masalah
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. HUKUM
Hukum syara’menurut istilah ulama ahli Ushul Fiqih adalah khithob (doktrin) syar’i
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf;baik berupa tuntutan,pilihan atau
ketetapan.
Jadi,firman Allah:
.اوفوا باالعقود
“Penuhilah janji”
Firman Allah:
. اليسخر قو م من قوم
Firman Allah:
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah,maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dosanya,”(QS.al-Baqarah:229)
Adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan ganti rugi oleh suami dari
istri sebagai imbalan jatuhnya talak kepada istri sebagai tuntutan pilihan.
5
Adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan ketetapan pembunuhan
yang menghalangi perolehan harta waris.
Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fiqih adalah pengaruh yang
ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf),seperti
kewajiban,keharaman dan kebolehan.
.اوفوا باالعقود
“Penuhilah janji”
Maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji.Nash itu sendiri adalah hukum menurut
istilah ahli ushul,sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli
fiqih.
Firman Allah:
.وال تقربوالزنا
B. MACAM-MACAM HUKUM
Dari pengertian hukum syara’menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa
hukum itu tidak hanya satu macam.Karena hukum itu adakalanya berhubungan
dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan,pilihan atau berbentuk
ketetapan.Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan Hukum Taklifi,dan
hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan
Hukum Wadh’i.Dari sini ditetapkan bahwa hukum syara’ itu terbagi dua macam:
Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.[1]
1. HUKUM TAKLIFI
a. Pengertian
Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat atau
tidak berbuat ; menghendaki agar mukallaf memilih antara melakukannya atau
meninggalkannya.[2]
Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah
Swt:
Adapun contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah
firman Allah Swt:
7
“Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain.”(QS.al Hujurat:11)
وال تقربوالزنا.
“Dan apabila kamu bepergian dimuka bumi,maka tidaklah mengapa kamu mengqasar
shalat.”(QS.an Nisa:101)
8
1. Ijab (wajib)
Puasa itu wajib karena bentuk kalimat yang menuntut puasa itu pasti.[5]
Pembagian wajib
Wajib ‘ain;adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh masing-masing
mukallaf.Seperti shalat,zakat,haji dan sebagainya.
Wajib kifayah; adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh kelompok
mukallaf.Artinya,jika sebagian mukallaf sudah berbuat maka kewajiban itu sudah
ditunaikan dan gugurlah dosa dari mukallaf yang lain.Seperti shalat
jenazah,memadamkan kebakaran,menyelamatkan orang yang tenggelam dan
sebagainya.
9
c. Ditinjau dari ukurannya
Mukhayyar (pilihan);adalah salah satu diantara beberapa hal tertentu yang dituntut
oleh syar’i.Seperti salah satu bentuk denda tebusan.Allah Swt mewajibkan kepada
orang yang melanggar sumpah untuk memberi makan sepuluh orang miskin atau
memberi mereka pakaian atau memerdekakan budak.[6]
2. Mandub (sunnah)
Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat
memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya.
يايها الذين امنوا اذا تداينتم بدين الي اجل مسمي فاكتبوه.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”[7]
Perintah menuliskan utang adalah sunnah artinya tidak wajib,dengan alasan yang ada
pada ayat itu sendiri,yaitu firman Allah:
“Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanatnya….”
Dengan demikian,tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi
yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika
10
ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting.
Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.
Pembagian sunnah
3. Muharram (haram)
Haram adalah sesuatu yang menuntut mukallaf untuk tidak mengerjakan sesuatu yang
sudah menunjukkan kepastian mendapatkan dosa jika mengerjakannya.Seperti
firman Allah Swt:
Pembagian haram
a. Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram.Artinya hukum syara’ telah
mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan.Seperti zina,mencuri,shalat tanpa
bersuci dan sebagainya.
b. Haram karena sesuatu yang baru.Artinya suatu perbuatan itu pada mulanya
ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai suatu kewajiban namun bersamaan dengan
11
sesuatu yang baru yang menjadikannya haram.Seperti shalat dengan memakai baju
gasab,jual beli yang mengandung unsur menipu dan sebagainya.[9]
4. Makruh
Makruh adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa atau tidak pasti. Dan
seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu,tidak
dikenai hukuman.Misalnya hadis Nabi Muhammad Saw:
“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn
Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
5. Mubah
Mubah adalah sesuatu yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak
berbuat.Terkadang kebolehan berbuat (mubah) itu ditetapkan dengan nash
syara’.Seperti firman Allah:
2. HUKUM WADH’I
a. Pengertian
Hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi
sebab,penghalang atau syarat bagi sesuatu yang lain.Seperti firman Allah Swt yang
menetapkan kehendak mendirikan shalat sebagai sebab kewajiban wudhu:
ياايهاالذين امنوااذا قمتم الي الصالة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الي المرافق.
12
Hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi syarat bagi sesuatu yang lain
seperti firman Allah Swt yang menetapkan kemampuan mengadakan perjalanan ke
Baitullah sebagai syarat kewajiban haji:
Hukum yang menetapkan sesuatu sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain seperti
sabda Nabi Saw yang menetapkan pembunuhan oleh ahli waris yang mewariskan
sebagai penghalang pewarisnya:
1. Sebab
Sebab adalah sesuatu yang kepadanya bergantung suatu hukum.Sebab juga dapat
diartikan suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.Sebab
terkadang menjadi sebab pada Hukum Taklifi.Misalnya waktu yang menjadi sebab
kewajiban mendirikan shalat.Seperti firman Allah Swt:
2. Syarat
Syarat adalah sesuatu yang tampak dan sebagai tanda adanya hukum. Dalam arti lain
syarat adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum
syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang
artinya:
13
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
3. Mani’ (penghalang)
Halangan disini mempunyai arti sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum,
yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Misalnya ditemukan adanya perkawinan yang sah tetapi salah satunya terhalang
dalam mendapatkan hak waris yaitu adanya perbedaan agama antara pewaris dan ahli
waris atau ahli waris membunuh pewaris.[14]
Rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf
karena adanya uzur (halangan) dan alasan dalam keadaan tertentu atau
diperbolehkannya sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun larangan
tersebut masih berlaku. ‘Azimah adalah hukum yang telah disyariatkan Allah secara
umum sejak semula yang tidak terbatas pada keadaan tertentu ataupun pada
perorangan (mukallaf) tertentu.[15]
14
b. Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan kewajiban ketika terdapat uzur atau
kesulitan menunaikannya.Seperti firman Allah Swt:
“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka),maka (wajiblah ia berpuasa)sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain.”(QS.al Baqarah:184)
c. Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat
umum sebagai sahnya akad tersebut,hal itu berlaku dalam muamalah umat manusia
dan menjadi kebutuhan mereka.Seperti akad pesanan,ini adalah jual beli yang pada
saat akad barangnya tidak ada,tetapi telah berlaku di kalangan umat manusia dan
telah menjadi kebutuhan.Dikatakan dalam sebuah hadist Rasulullah Saw:
ورخص في السلم,نهي رسول هللا صلي عليه وسلم عن بيع االنسان ما ليس عنده.
“Rasulullah Saw melarang jual beli barang yang tidak ada padanya,tetapi Rasulullah
Saw memberikan keringanan pada akad salam (pesanan).”
d. Menghapus hukum-hukum yang telah diangkat oleh Allah dari kita.Dan hukum
tersebut termasuk beban yang berat atas umat sebelum kita.Seperti yang telah
digambarkan Allah Swt dalam firman-Nya:
ربنا وال تحمل علينا اصرا كما حملته علي الذين من قبلنا.
“Ya Tuhan kami,janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.”(QS.al
Baqarah:286)
Seperti tuntutan memotong bagian baju yang terkena najis,membunuh diri untuk
bertaubat dari maksiat,dilarang melaksanakan shalat selain di masjid dan membayar
zakat sebesar seperempat dari harta.Dimana hukum tersebut diterapkan pada umat
manusia sebelum kita.[16]
Sah menurut syara’ adalah perbuatan mukallaf yang memiliki pengaruh secara
syara’.Bila yang dilakukan mukallaf adalah wajib;seperti shalat,puasa,zakat dan
haji.Bila seorang mukallaf memenuhi rukun dan syaratnya,maka gugurlah
15
kewajibannya dan ia terbebas dari beban.Ia berhak mendapatkan pahala di akhirat dan
tidak berhak mendapat hukuman di dunia.
Tidak sah (batal) adalah tidak adanya pengaruh secara syara’.Bila seorang mukallaf
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh agama maka
hal tersebut menjadi tidak sah menurut syara’.Sesuatu itu tidak sah disebakan
cacatnya rukun atau tidak memenuhi syarat-syaratnya baik berupa ibadah,akad atau
pengelolaan.[17]
Ada beberapa perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i seperti yang
telah dijelakan oleh Prof Rahmat Syafi’i dalam bukunya yang berjudul Ilmu ushul
fiqh, yaitu:
4. Hukum taklifi ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan
berakal. Sedangkan hukum wadh’I ditujukan kepada seluruh manusia.[18]
16
BAB III
KESIMPULAN
17
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul
fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu wajib,sunnah, mubah, makruh dan haram.
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum wadh’i
yaitu sebab; syarat; mani’ (penghalang); rukhshah (keringanan)’ Azimah;serta sah
dan batal .
Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi merupakan
tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih
diantara keduanya.Sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan atau
pilihan diantara keduanya harus diukur sesuai kemampuan mukallaf.Sedangkan
hukum wadh’i tidak mengehendaki tuntutan atau pilihan yaitu hukum yang
ditetapkan sebagai sebab akibat,syarat atau penghalang.Artinya,jika seorang mukallaf
melakukannya maka ia akan menerima akibat atas apa yang telah ia lakukan.
DAFTAR PUSTAKA
18
[2] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.144,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka
Amani
[4] Khallaf Abdul Wahhab, 1994. Ilmu Ushul Fiqh: semarang. Dina Utama Semarang
[7] Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia
19
[16] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.167-174,2003,Ilmu Ushul
Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani
[18] http://s-hukum.blogspot.co.id/2014/12/ushul-fiqh-perbedaan-antara-
hukum.html,18/02/2016
20