Anda di halaman 1dari 20

HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADHI

DI SUSUN OLEH KELOMPOK : VIII

ANJELITA NANDA AGUSTINA PUTRI SUTOMO

TAUFIK

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALU

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi wabarokatu.

Rasa syukur yang dalam saya sampaikan ke hadirat Allah Yang Maha Pemurah,
karena berkat kemurahanNya makalah sederhana ini dapat saya selesaikan sesuai
yang diharapkan. Dalam makalah ini membahas “Hukum Taklifi dan hukum Wadhi ”

Makalah ini dibuat dalam rangka memahamkan pembaca akan makna dari
perbedaan, dan diharapkan makalah ini dapat menambahkan semangat persatuan
bangsa, dan memberikan pemahaman akan indahnya hidup di dalam berbagai
perbedaan yang ada. Dan pada akhirnya saya meminta maaf yang sebesar-besarnya
bila terdapat kesalahan, baik dalam penulisan maupun penyampaian materi, yang
pada hakikatnya memeng kesalahan itu pasti diperbuat oleh manusia, sekalipun
manusia tersuci sepanjang masa Rasulullah SAW. Demikian makalah ini kami buat
semoga bermanfaat. Aamiin ya Rabbal‟alamin.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarokatu.

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………ii

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..iii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………4

A. LATAR BELAKANG………………………………………………………………4

B. RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………4

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………………5

A. HUKUM…………………………………………………………………………….5

B. MACAM MACAM HUKUM………………………………………………………7

C. PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DAN HUKUM WADHI……………………...16

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….18

KESIMPULAN………………………………………………………………………………18

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari
ketentuan hukum syari'at, baik hukum syari'at yang tercantum di dalam Quran dan
Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada
sumber lain yang diakui syari'at.Sebagaimana yang di katakan imam Ghazali, bahwa
mengetahui hukum syara' merupakan buah (inti) dari ilmu Fiqh dan Ushul fiqh.
Sasaran kedua di siplin ilmu ini memang mengetahui hukum syara' yang
berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf. Meskipun dengan tinjauan yang
berbeda. Ushul fiqh meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-
sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara',
yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf,
baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan), maupun
berupa wadhi (sebab akibat), yang di maksud dengan ketetapan Allah ialah sifat yang
telah di berikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan orang-orang
mukallaf. Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunnah, mubah, sah, batal, syarat,
sebab, halangan (mani')dan ungkapan lain yang akan kami jelaskan pada makalah ini
yang kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu Ushul fiqh.

Maka, lewat makalah ini kami akan mencoba membahas tentang hukum syara'
yang berhubungan dengan hukum taklifi dan hukum wadhi. Semoga makalah ini
dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul
fiqh.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yag di maksud dengan hukum sya’i?

2. Apa yang dimaksud dengan hukum taklifi?

3. Apa yang dimaksud dengan hukum wad’i?

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. HUKUM

Hukum syara’menurut istilah ulama ahli Ushul Fiqih adalah khithob (doktrin) syar’i
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf;baik berupa tuntutan,pilihan atau
ketetapan.

Jadi,firman Allah:

.‫اوفوا باالعقود‬

“Penuhilah janji”

Adalah doktrin syar’i (Allah) yang berhubungan dengan menepati janji


dengan tuntutan melaksanakan.

Firman Allah:

. ‫اليسخر قو م من قوم‬

“Jangan suatu kaum mengolokkan kaum yang lain,”(QS.al-Hujurat:11)

Adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan mengolok-olok dengan


tuntutan meninggalkan.

Firman Allah:

.‫فان حفتم ان اليقيماحدودهللا فالجناح عليهما فيما افتد ت به‬

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah,maka tidak ada dosa atas keduanya bayaran yang diberikan oleh istri
untuk menebus dosanya,”(QS.al-Baqarah:229)

Adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan ganti rugi oleh suami dari
istri sebagai imbalan jatuhnya talak kepada istri sebagai tuntutan pilihan.

Dan sabda Nabi SAW:

.‫ال يرث القا تل‬

“Orang yang membunuh tidak mendapat bagian waris,”

5
Adalah doktrin syar’i yang berhubungan dengan ketetapan pembunuhan
yang menghalangi perolehan harta waris.

Nash yang keluar dari syar’i yang menunjukkan tuntutan,pilihan atau


ketetapan itulah yang disebut hukum syara’ menurut istilah ahli ushul.Hal ini sesuai
dengan istilah para ahli hukum saat ini;mereka menghendaki bahwa hukum adalah
nash yang keluar dari para hakim.Oleh karena itu mereka mengatakan : Bunyi
hukumnya begini.Mereka juga mengatakan : Pengadilan telah menjelaskan suatu
hukum menurut bunyi hukum.

Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fiqih adalah pengaruh yang
ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf),seperti
kewajiban,keharaman dan kebolehan.

Jadi Firman Allah:

.‫اوفوا باالعقود‬

“Penuhilah janji”

Maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji.Nash itu sendiri adalah hukum menurut
istilah ahli ushul,sedangkan kewajiban memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli
fiqih.

Firman Allah:

.‫وال تقربوالزنا‬

“Jangan kamu mendekati zina”

Adalah hukum menurut istilah ahli ushul,sedangkan keharaman mendekati


zina adalah hukum menurut istilah ahli fiqih.

Tidak boleh disalahkan orang yang salah paham dalam memahami


pengertian hukum syara’ menurut ahli ushul yaitu doktrin syar’i yang berhubungan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf,bahwa hukum syara’ itu khusus pada
nash.Karena nash itulah doktrin syar’i dan hukum itu tidak mencakup dalil-dalil
syara’ yang lain;seperti qiyas,ijma atau lainnya.

Tetapi,semua dalil-dalil syara’ selain nash,ketika diterapkan pada


nashnya,maka hakikatnya adalah doktrin dari syar’i,hanya saja secara tidak
langsung.Sehingga semua dalil syara’ yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
6
baik;berupa tuntutan,pilihan atau ketetapan adalah hukum syara’ dalam istilah ahli
ushul.

B. MACAM-MACAM HUKUM

Dari pengertian hukum syara’menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa
hukum itu tidak hanya satu macam.Karena hukum itu adakalanya berhubungan
dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan,pilihan atau berbentuk
ketetapan.Para ahli ushul memberi istilah pada hukum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan dengan Hukum Taklifi,dan
hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan
Hukum Wadh’i.Dari sini ditetapkan bahwa hukum syara’ itu terbagi dua macam:
Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i.[1]

1. HUKUM TAKLIFI

a. Pengertian

Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat atau
tidak berbuat ; menghendaki agar mukallaf memilih antara melakukannya atau
meninggalkannya.[2]

Contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah
Swt:

‫خذ من اموالهم صدقة‬.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.”(QS.at Taubah:109)

‫و هلل علي الناس حج البيت‬.

“Mengerjakan haji ke baitullah adalah kewajiban manusia terhadap Allah.”(QS.Ali


Imran:97)

‫يا ايها الذ ين امنوا اوفوا بالعقود‬.

“Hai orang-orang yang beriman,penuhilah akad-akad itu.”(QS.Al Maidah:1)

Adapun contoh hukum yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah
firman Allah Swt:

‫ اليسخر قوم من قوم‬.

7
“Janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain.”(QS.al Hujurat:11)

‫وال تقربوالزنا‬.

“Dan janganlah kamu mendekati zina.”(QS.al Israa’:32)

‫حرمت عليكم الميتة والد م و لحم الحنزير‬.

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,darah dan daging babi.”(QS.al Maidah:3)

Sedangkan contoh hukum yang menghendaki agar mukallaf memilih antara


berbuat dan meninggalkan adalah firman Allah Swt:

‫واذا حللتم فا صطادوا‬.

“Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji,maka kamu boleh


berburu.”(QS.al Maidah:2)

‫فاذاقضيت ا لصالة فانتشروا في االرض‬.

“Apabila telah diturunkan sembahyang maka bertebaranlah kamu di muka


bumi.”(QS.al Jumu’ah:10)

‫واذا ضربتم في االرض فليس عليكم جناح ان تقصروا من الصلوة‬.

“Dan apabila kamu bepergian dimuka bumi,maka tidaklah mengapa kamu mengqasar
shalat.”(QS.an Nisa:101)

Hukum-hukum seperti contoh tersebut disebut Hukum Taklifi karena


mengandung paksaan kepada mukallaf untuk berbuat,tidak berbuat dan memilih
antara berbuat atau tidak.Alasan pemberian nama itu sudah jelas dalam hal tuntutan
kepada mukallaf untuk berbuat atau tidak berbuat.Sedangkan untuk bentuk
pilihan,pemberian nama itu tidak jelas,karena dalam hal ini tidak ada paksaan.Oleh
karena itu Ulama Ushul mengatakan,”Pemberian nama Hukum Taklifi adalah secara
“Taghlib”,yakni mengatakan salah satu diantara dua atau beberapa hal.[3]

b. Macam-Macam Hukum Taklifi

Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin ada


lima macam, yaitu Ijab (wajib), Nadb (sunnah), Ibahah (boleh), Karahah (makruh)
dan Tahrim (haram).[4]

8
1. Ijab (wajib)

Wajib menurut syara’ adalah tuntutan syar’i yang menuntut mukallaf


untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan.Kewajiban tuntutan
tersebut telah ditunjukkan oleh adanya siksa jika meninggalkannya.

Contoh firman Allah:

‫كتب عليكم الصيام‬.

“Diwajibkan atas kamu berpuasa.”(QS,al Baqarah:183)

Puasa itu wajib karena bentuk kalimat yang menuntut puasa itu pasti.[5]

Pembagian wajib

Wajib ditinjau dari beberapa aspek terbagi menjadi empat:

a. Ditinjau dari waktu pelaksanannya

Muaqqat (Dibatasi waktu);seperti shalat lima waktu.

Mutlaq (Tidak dibatasi waktu);seperti denda wajib atas orang yang


bersumpah,pelaksanaan denda ini tidak ditentukan waktunya.Namun ia tetap wajib
untuk membayar denda ketika ia menghendakinya.

b. Ditinjau dari tuntutan menunaikannya

Wajib ‘ain;adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh masing-masing
mukallaf.Seperti shalat,zakat,haji dan sebagainya.

Wajib kifayah; adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan oleh kelompok
mukallaf.Artinya,jika sebagian mukallaf sudah berbuat maka kewajiban itu sudah
ditunaikan dan gugurlah dosa dari mukallaf yang lain.Seperti shalat
jenazah,memadamkan kebakaran,menyelamatkan orang yang tenggelam dan
sebagainya.

9
c. Ditinjau dari ukurannya

Muhadddad (Yang dibatasi);adalah kewajiban yang telah ditentukan ukurannya oleh


syar’i.Seperti zakat,shalat lima waktu dan hutang piutang.

Ghairu muhaddad (Yang tidak dibatasi);adalah kewajiban yang tidak ditentukan


ukurannya oleh syar’i,tetapi mukallaf dituntut melakukan kewajiban tersebut.Seperti
infaq di jalan Allah,tolong menolong dalam kebaikan dan sebagainya.

d. Ditinjau dari sifatnya

Muayyan (Tertentu);adalah sesuatu yang dituntut oleh syar’i dengan


sendirinya,seperti shalat,puasa,harga sesuatu yang dibeli,mengembalikan barang yang
dighasab dan sebagainya.

Mukhayyar (pilihan);adalah salah satu diantara beberapa hal tertentu yang dituntut
oleh syar’i.Seperti salah satu bentuk denda tebusan.Allah Swt mewajibkan kepada
orang yang melanggar sumpah untuk memberi makan sepuluh orang miskin atau
memberi mereka pakaian atau memerdekakan budak.[6]

2. Mandub (sunnah)

Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat
memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya.

Contoh firman Allah:

‫يايها الذين امنوا اذا تداينتم بدين الي اجل مسمي فاكتبوه‬.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”[7]

Perintah menuliskan utang adalah sunnah artinya tidak wajib,dengan alasan yang ada
pada ayat itu sendiri,yaitu firman Allah:

‫فان امن بعضكم بعضا فاليؤد الذي اؤتمن امانته‬.

“Akan tetapi, apabila sebagian kamu mempercai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanatnya….”

Dengan demikian,tuntutan perintah dalam ayat itu, berubah menjadi nadb. Indikasi
yang membawa perubahan ini adalah kelanjutan ayat, yaitu Allah menyatakan jika

10
ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utang tersebut tidak begitu penting.
Tuntutan Allah seperti disebut dalam Nadb.

Pembagian sunnah

a. Sunnah yang tuntutan mengerjakannya secara menguatkan.Orang yang


meninggalkan sunnah ini tidak mendapat siksa melainkan celaan.Yaitu perbuatan
yang dianggap oleh syara’ sebagai penyempurna kewajiban seperti,berjamaah shalat
lima waktu.

b. Sunnah yang dianjurkan oleh syara’,pelakunya mendapatkan pahala dan yang


meninggalkannya tidak mendapat siksa atau celaan.Seperti,bersedekah kepada fakir
atau puasa hari senin kamis dan sebagainya.

c. Sunnah tambahan,artinya dianggap sebagai pelengkap bagi mukallaf.Seperti


selalu menerapkan sunnah-sunnah Rasul SAW dalam kehidupan sehari-hari.[8]

3. Muharram (haram)

Haram adalah sesuatu yang menuntut mukallaf untuk tidak mengerjakan sesuatu yang
sudah menunjukkan kepastian mendapatkan dosa jika mengerjakannya.Seperti
firman Allah Swt:

‫انما الخمروالميسر واالنصاب واالزالم رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه‬.

“Sesungguhnya (meminum) khamr,berjudi,(berkorban untuk) berhala dan mengundi


nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan
setan.”(QS.al Maidah:90)

Pembagian haram

a. Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram.Artinya hukum syara’ telah
mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan.Seperti zina,mencuri,shalat tanpa
bersuci dan sebagainya.

b. Haram karena sesuatu yang baru.Artinya suatu perbuatan itu pada mulanya
ditetapkan oleh hukum syara’ sebagai suatu kewajiban namun bersamaan dengan

11
sesuatu yang baru yang menjadikannya haram.Seperti shalat dengan memakai baju
gasab,jual beli yang mengandung unsur menipu dan sebagainya.[9]

4. Makruh

Makruh adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu
diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa atau tidak pasti. Dan
seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu,tidak
dikenai hukuman.Misalnya hadis Nabi Muhammad Saw:

“Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn
Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).

5. Mubah

Mubah adalah sesuatu yang mengandung pilihan antara berbuat atau tidak
berbuat.Terkadang kebolehan berbuat (mubah) itu ditetapkan dengan nash
syara’.Seperti firman Allah:

‫واذا حللتم فا صطادوا‬.

“Dan apabila kamu telah menyelesaikan haji maka bolehlah berburu.”(QS.al


Maidah:2)[10]

2. HUKUM WADH’I

a. Pengertian

Hukum wadh’i adalah hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi
sebab,penghalang atau syarat bagi sesuatu yang lain.Seperti firman Allah Swt yang
menetapkan kehendak mendirikan shalat sebagai sebab kewajiban wudhu:

‫ياايهاالذين امنوااذا قمتم الي الصالة فاغسلوا وجوهكم وايديكم الي المرافق‬.

“Hai orang-orang yang beriman,apabila kamu hendak mengerjakan shalat,maka


basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku.”(QS. al Maidah:6)

12
Hukum yang ditetapkan pada sesuatu yang menjadi syarat bagi sesuatu yang lain
seperti firman Allah Swt yang menetapkan kemampuan mengadakan perjalanan ke
Baitullah sebagai syarat kewajiban haji:

‫وهلل علي الناس حج البيت من استطاع اليه سبيال‬.

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah,yaitu (bagi) orang-orang


yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah.”(QS. Ali Imran:97)

Hukum yang menetapkan sesuatu sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain seperti
sabda Nabi Saw yang menetapkan pembunuhan oleh ahli waris yang mewariskan
sebagai penghalang pewarisnya:

‫ال يرس القاتل‬.

“Pembunuh tidak berhak mendapat waris.” [11]

b.Macam-Macam Hukum Wadh’i

Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima.Berdasarkan penelitian,telah


ditetapkan bahwa Hukum Wadh’i adakalanya menjadikan sesuatu sebagai
sebab,syarat,penghalang atau menjadikan adanya keringanan sebagai ganti dari
hukum asaldan sah atau tidak sah.

1. Sebab

Sebab adalah sesuatu yang kepadanya bergantung suatu hukum.Sebab juga dapat
diartikan suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum.Sebab
terkadang menjadi sebab pada Hukum Taklifi.Misalnya waktu yang menjadi sebab
kewajiban mendirikan shalat.Seperti firman Allah Swt:

‫اقم الصلوة لدلوك االشمس‬.

“dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.”(QS. Al Israa’:78)[12]

2. Syarat

Syarat adalah sesuatu yang tampak dan sebagai tanda adanya hukum. Dalam arti lain
syarat adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’ tetapi keberadaan hukum
syara bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6 yang
artinya:

13
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”

Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya


perwalian atas dirinya.[13]

3. Mani’ (penghalang)

Halangan disini mempunyai arti sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum,
yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak ada sebab.
Misalnya ditemukan adanya perkawinan yang sah tetapi salah satunya terhalang
dalam mendapatkan hak waris yaitu adanya perbedaan agama antara pewaris dan ahli
waris atau ahli waris membunuh pewaris.[14]

4. Rukhshah dan ‘Azimah

Rukhshah adalah keringanan hukum yang telah disyariatkan oleh Allah atas mukallaf
karena adanya uzur (halangan) dan alasan dalam keadaan tertentu atau
diperbolehkannya sesuatu yang dilarang dengan suatu alasan, meskipun larangan
tersebut masih berlaku. ‘Azimah adalah hukum yang telah disyariatkan Allah secara
umum sejak semula yang tidak terbatas pada keadaan tertentu ataupun pada
perorangan (mukallaf) tertentu.[15]

Macam-macam Rukhshah antara lain:

a. Diperbolehkannya suatu larangan ketika keadaan darurat atau karena


kebutuhan.Seperti seseorang yang menahan lapar atau dahaga yang amat sangat,yang
memaksa ia untuk memakan bangkai atau arak.Allah Swt berfirman:

‫وقد فصل لكم ما حرم عليكم اال ما اضطررتم‬.

“...padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang


diharamkan-Nya ataasmu,kecuali apa yang terpaksakan memakannya.”(QS.al
An’am:119)

‫فمن اضطر غير باغ وال عاد فال اثم عليه‬.

“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya),sedang ia tidak


menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,maka tidak ada dosa
baginya.”(QS.alBaqarah:173)

14
b. Kebolehan seorang mukallaf meninggalkan kewajiban ketika terdapat uzur atau
kesulitan menunaikannya.Seperti firman Allah Swt:

‫فمن كان منكم مريضا او علي سفر فعدة من ايام اخر‬.

“Maka jika diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka),maka (wajiblah ia berpuasa)sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-
hari yang lain.”(QS.al Baqarah:184)

c. Sahnya sebagian akad yang bersifat pengecualian yang tidak memenuhi syarat
umum sebagai sahnya akad tersebut,hal itu berlaku dalam muamalah umat manusia
dan menjadi kebutuhan mereka.Seperti akad pesanan,ini adalah jual beli yang pada
saat akad barangnya tidak ada,tetapi telah berlaku di kalangan umat manusia dan
telah menjadi kebutuhan.Dikatakan dalam sebuah hadist Rasulullah Saw:

‫ورخص في السلم‬,‫نهي رسول هللا صلي عليه وسلم عن بيع االنسان ما ليس عنده‬.

“Rasulullah Saw melarang jual beli barang yang tidak ada padanya,tetapi Rasulullah
Saw memberikan keringanan pada akad salam (pesanan).”

d. Menghapus hukum-hukum yang telah diangkat oleh Allah dari kita.Dan hukum
tersebut termasuk beban yang berat atas umat sebelum kita.Seperti yang telah
digambarkan Allah Swt dalam firman-Nya:

‫ربنا وال تحمل علينا اصرا كما حملته علي الذين من قبلنا‬.

“Ya Tuhan kami,janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami.”(QS.al
Baqarah:286)

Seperti tuntutan memotong bagian baju yang terkena najis,membunuh diri untuk
bertaubat dari maksiat,dilarang melaksanakan shalat selain di masjid dan membayar
zakat sebesar seperempat dari harta.Dimana hukum tersebut diterapkan pada umat
manusia sebelum kita.[16]

5. Sah dan Batal

Sah menurut syara’ adalah perbuatan mukallaf yang memiliki pengaruh secara
syara’.Bila yang dilakukan mukallaf adalah wajib;seperti shalat,puasa,zakat dan
haji.Bila seorang mukallaf memenuhi rukun dan syaratnya,maka gugurlah
15
kewajibannya dan ia terbebas dari beban.Ia berhak mendapatkan pahala di akhirat dan
tidak berhak mendapat hukuman di dunia.

Tidak sah (batal) adalah tidak adanya pengaruh secara syara’.Bila seorang mukallaf
melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang disyariatkan oleh agama maka
hal tersebut menjadi tidak sah menurut syara’.Sesuatu itu tidak sah disebakan
cacatnya rukun atau tidak memenuhi syarat-syaratnya baik berupa ibadah,akad atau
pengelolaan.[17]

C. PERBEDAAN HUKUM TAKLIFI DENGAN HUKUM WADH’I

Ada beberapa perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i seperti yang
telah dijelakan oleh Prof Rahmat Syafi’i dalam bukunya yang berjudul Ilmu ushul
fiqh, yaitu:

1. Dalam hukum taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan,


atau memilih antara melakukan dan meninggalkan. Dalam hukum wadh’i hal ini
tidak ada, melainkan hanya mengandung keterkaitan antara dua persoalan, sehingga
salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang atau syarat.

2. Hukum taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan,


dilaksanakan atau memilih. Sedangkan hukum wadh’i tidak bermaksud untuk
langsung dikerjakan oleh mukallaf. Hukum wadh’I ditentukan syari’ agar dapat
dilaksanakan hukum taklifi. Contohnya: zakat hukumnya wajib, akan tetapi
kewajiban ini tidak bisa dilaksanakan apabila hartanya tidak mencapai nisab dan
belum sampai tahun (haul)

3. Hukum taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melaksanakan


atau meninggalkannya karena dalam hukum taklifi tidak boleh ada kesulitan dan
kesempitan ( haraj ) yang tidak sanggup dipikul oleh mukallaf. Dalam hukum wadh’i
hal ini tidak dipersoalkan.

4. Hukum taklifi ditujukan kepada mukallaf, yaitu orang yang sudah baligh dan
berakal. Sedangkan hukum wadh’I ditujukan kepada seluruh manusia.[18]

16
BAB III

KESIMPULAN

Hukum syara adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang


tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat untuk semua
umat yang beragama Islam. Hukum syara terbagi menjadi dua macam yaitu hukum
taklifi dan hukum wadh’i.

17
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf, atau
menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan dan
meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul
fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu wajib,sunnah, mubah, makruh dan haram.

Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum wadh’i
yaitu sebab; syarat; mani’ (penghalang); rukhshah (keringanan)’ Azimah;serta sah
dan batal .

Ada perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi merupakan
tuntutan langsung bagi mukallaf untuk melaksanakan, meninggalkan atau memilih
diantara keduanya.Sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan dan tidak dikerjakan atau
pilihan diantara keduanya harus diukur sesuai kemampuan mukallaf.Sedangkan
hukum wadh’i tidak mengehendaki tuntutan atau pilihan yaitu hukum yang
ditetapkan sebagai sebab akibat,syarat atau penghalang.Artinya,jika seorang mukallaf
melakukannya maka ia akan menerima akibat atas apa yang telah ia lakukan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.138,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

18
[2] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.144,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka
Amani

[3] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.139-140,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

[4] Khallaf Abdul Wahhab, 1994. Ilmu Ushul Fiqh: semarang. Dina Utama Semarang

[5] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.145,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

[6] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.146-152,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

[7] Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : Pustaka Setia

[8] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.154,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

[9] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.156,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

[10] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.158,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

[11] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.142,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

[12] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.162-163,2003,Ilmu Ushul


Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani

[13] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.164-165,2003,Ilmu Ushul


Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani

[14] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.166,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

[15] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.167,2003,Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta,Pustaka


Amani

19
[16] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.167-174,2003,Ilmu Ushul
Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani

[17] Prof.Dr.Abdul Wahab Khallaf,hal.175-176,2003,Ilmu Ushul


Fiqih,Jakarta,Pustaka Amani

[18] http://s-hukum.blogspot.co.id/2014/12/ushul-fiqh-perbedaan-antara-
hukum.html,18/02/2016

20

Anda mungkin juga menyukai