Anda di halaman 1dari 11

HUKUM WADH’I

MAKALAH

(USHUL FIQIH)

Di susun oleh :

Kelompok II

Fajrur refa Elhakim ( 101220060)

Hanif Wahid Anshori (101220077)

Fajriyah Hidayati Insani (101220059)

Program Studi Hukum Keluarga Islam

Fakultas Syariah

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah,Taufik dan Hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu
acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam memahami
HukumWadh’i

Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah


p e n g e t a h u a n d a n pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya
dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini untuk kedepannya
dapat lebih baik.

Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena pengalaman


yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat
membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................i

DAFTAR ISI.......................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ........................................................1


B. Rumusan Masalah ...................................................1
C. Tujuan.......................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Apa pengertian hukum wahd’i.................................2


B. Apa macam-macam hukum wahd’i..........................2

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...............................................................7

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Balakang

Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-


kaidah d a n pembahasan-pembahasan yang dapat membawa kepada
pengambilan hukum-hukum tentang amal perbuatan manusia dari dalil-dalil
yang terperinci. Padadasarnya hukum syara’ ditetapkan Allah adalah
sebagai rahmat Allah bagihamba-Nya. Rahmat Allah itu merata diberikan
tanpa terkecuali. Karena itupada aslnya hukum itu ditujukan kepada
semua manusia mukallaf tanpa terkecuali. Disamping itu hukum Allah
mengandung pembatasan-pembatasan,perintah-perintah, dan larangan-
larangan yang pada dasarnya masih dalambatas-batas kemampuan mukallaf
untuk melaksanakanya, kareana Allah tidakmemberati seseorang kecuali dalam
batas kemampuanya

Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi


manusiapada era perkembangan zaman, ushul fiqh muncul dengan beberapa
hukumsyara’ menjadi dua yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam makalah
iniakan menjelaskan tentang hukum wadh’I beserta macam-macamnya.
Untukmemahami hal tersebut kami memiliki beberapa penjelasan mengenai
hukumwadh’i yang tersusun dalam makalah ini

B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian hokum wahd’i
2. Apa macam-macam hukum wahd’i

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pengertian Hukum Wadh’i
2. Untuk mengetahui macam-macam hukum wahdi

BAB II
PEMBAHASAN

A.Pengertian Hukum Wadhi’i

 Wadh’i ialah buatan atau bikinan. Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT
yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau
penghalang dari sesuatu yang lain. Hukum wadh’i merupakan hukum yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab
atau mani’.

Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua sebab (sabab)
dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu’), antara hukum yang sah
dan hukum yang tidak sah. Ini disebut hukum wadh’i karena saling berhubungan
dan berkaitan.  

B. Macam-Macam Hukum Wadh’i

 Hukum wadh’i itu terbagi menjadi lima macam yaitu, sebab, syarat, mani’,
azimah dan rukhsah, sah dan batal.

1. Sebab
            Sebab dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis artinya
adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu tujuan”. Dari
kata inilah yang dinamakan “jalan” karena bisa menyampaikan seseorang kepada
tujuan. Secara terminologi sebab adalah sesuatu keberadaannya dijadikan  syari’
(pembuat hukum) sebagai pertanda keberadaan suatu hukum, dan ketiadaan sebab
sebagai pertanda tidak adanya hukum. Misalnya, Allah menjadikan perbuatan zina
sebagai sebab ditetapkannya hukuman, karena zina itu sendiri bukanlah penyebab
ditetapkannnya hukuman, tetapi penetapan hukuman itu adalah syari’. Semua
tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara tanda dan hukuman
nampak cocok itu disebut dengan “’illat”. Tetapi apabila hubungan keduanya
tidak cocok itu disebut sebab. Sebab secara garis besar ada dua macam, sebab
yang termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Sebab yang termasuk perbuatan mukallaf seperti tibanya waktu sholat dan
menimbulkan wajib shalat. Dan sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf
seperti pembunuhan secara sengaja merupakan sebab adanya hukum qishahs
(hukuman yang setimpal dengan perbuatan). Sebab dari segi objek dibagi menjadi
dua, yaitu;
a.          Sabab al-waqti, seperti tergelincirnya matahari sebagai pertanda wajibnya
                                   

shalat zhuhur, sebagaimana  yang difirmankan Allah dalam (QS. Al-Isra’: 78)

Dirikanlah shalat karena (telah) tergelincir matahari...

b.         Sabab al-ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamar,


                                   

sebagaimana sabra Rasulullah saw:

Setiap yang memabukkan itu adalah haram. (H.R. Muslim, Ahmad ibn Hanbal
dan Ashhab al-sunan).

2. Syarat
            Secara etimologi berarti ‘alamah (pertanda). Secara terminologi adalah apa
yang tergantung adanya hukum dengan adanya  syarat dan dengan tidak adanya
syarat mana hukum tidak ada. Syarat letaknya diluar hakikat sesuatu maka apabila
ia tidak  ada maka masyrut pun tidak ada tetapi tidak mesti adanya masyrut.  Akad
nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri, namun agar akad nikah itu
sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua
perjanjian dan tindakan baru dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak
apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Syarat-syarat dalam kegiatan hukum kadang-
kadang ditetapkan syara’ yang seperti ini dinamakan syarat syar’i dan kadang-
kadang ditetapkan oleh mukallaf sendiri yang dinamakan syarat ja’li. Contoh
syarat syar’i seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri oleh
dua orang saksi dan contoh syarat ja’li seperti jatuhnya talak apabila kedua belah
pihak mempunyai ikatan perkawinan.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:
         Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang
dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil, ialah
nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama
menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.
         Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang memiliki
harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:
         Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum
dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
          Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang
dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
         Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan
hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku
karena tidak ada seorang juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah.
Namun, kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.

3. Mani’
            Secara etimologi mani’ berarti berhenti dari sesuatu, dalam bahasa
indonesia “halangan”. Secara etimologi menurut ulama ushul fiqh yaitu sifat
zhahir yang dapat diukir yang keberadaannya menyebabkan tidak adanya hukum
atau ketiadaann sebab. Maksudnya, dengan adanya mani’ maka hukum menjadi
tidak ada, tetapi tidak mesti keberadaannya dan ketiadaannya adanya hukum.
Misalnya ada perbedaan agama contohnya,  apabila istri seorang musyrikb maka
ia tidak mendapatkan warisan dari suaminya, karena adanya mani’ yaitu
perbedaan agama.  Para ulama dari mazhab Hanafiyah membagi mani’ kepada
lima macam;
         Mani’ yang menyebabkan tidak berlakunya akad, seperti objek jual beli tidak ada.
         Mani’ yang menyebabkan akad tidak sempurrna bagi orang ketiga diluar akad,
seperti bay’ al-fudhuli. Jual beli sebenarnya telah sempurna dilakukan seseorang
atas nama orang lain, tetapi akad tersebut belum sempurna sebelum mendapatkan
persetujuan orang yang menjadi pemiliknya.
         Mani’ memulai hukum dalam jual beli. Sudah berlakunya akad bagi kedua pihak
tetapi adanya hak memilih mani’ terhadap pemilikkan barang bagi pihak pembeli.
         Mani’ untuk penyempurna hukum. Jual beli telah berlangsung, namun jual beli
tidak sempurna sebelum barang yang dibeli harus dilihat terlebih dahulu.
         Mani’yang menghalangi sifat mengikat suatu hukum, seperti adanya cacat dalam
barang yang  
dibeli. Setelah berlangsungnya akad jual beli, hak pembei telah tetap pada harta
tersebut, tetapi dengan adanya cacat pada barang itu, akad tersebut menjadi tidak
mengikat karena pembeli memiliki hak untuk membatalkan jual beli tersebut.

4. Azimah dan Rukhsah


            Secara etimologi azimah berarti tekad yang kuat. Menurut ulama fiqh
yaitu hukum yang diisyaratkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan
tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu pada satu keadaan atau kasus
tertentu dan bukan pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu.
Jadi azimah ini hukum sejak semula pensyari’atannya tidak berubah dan berlaku
untuk seluruh umat, tempat dan masa tanpa kecuali. Misalnya, shalat lima waktu
diwajibkan setiap orang, diwajibkan kepada semua keadaan asalkan mukallaf
dapat  melaksanakannya.
            Secara etimologi rukhsah yaitu kemudahan, kelapangan, dan kemurahan.
Secara terminologi, hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan
bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan. Ada empat
macam rukhsah;
         Rukhsah terhadap yang wajib, yaitu memakan bangkai bagi orang yang didalam
keadaan darurat. Hukum ini wajib menurut ujumhur ulama.
         Rukhsah bersifat mandub, seperti mengqasar sholat bagi musafir. Menurut
jumhur ulama fiqh, mengqasar shalat dalam perjalanan hukumnya mandub, tetapi
menurut hanafiyyah ini termasuk azimah.
         Rukhsah bersifat mubah, bagi para dokter boleh melihat aurat orang lain laki-laki
maupun wanita, ketika berlangsungnya pengobatan.
         Rukhsah bersifat makruh, apabila seseorang terpaksa mengatakan kalimat kufur
sedangkan dalam hatinya masih beriman, maka hukumnya bagi umat islam ini
haram. Karena ini sejenis ancaman untuk mengucapkannya.

5. Sah dan Batal


            Lafal “sah” dapat diartikan lepas dari tanggung jawab atau gugur
kewajiban dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat
dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’
dan perbuatan itu akan mendatangka pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal “batal”
yang dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak menggugurkan
kewajiban didunia dan diakhirat tidak memperoleh pahala. Secara umum bahwa
sah adalah perbuatan yang dilakukan mukallaf dengan memenuhi rukun dan
syaratnya, dengan tata cara yang ditetapkan syara’, tanpa ada halangan, dan tujuan
dari perbuatan yang ditentukan syara’ tercapai. Apabila perbuatan itu tidak
tercapai maka itu disebut bathil
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

      Hukum wadh’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Hukum wadh’i
ini terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani, rukhsah dan azimah,
sah dan batalnya.
DAFTAR PUSTAKA

Hukum Wadh'i | Kumpulan Makalahku (makalahirfan.blogspo.com)

Hukum wadhi.docx - MAKALAH Ushul Fiqh HUKUM WADH’I Disusun oleh :


Nanda Safariani (160440098) Minhatun naula (190440047) Riska Andriani
(190440059) Eva | Course Hero

Anda mungkin juga menyukai