Anda di halaman 1dari 13

Hukum Wadh‟i Dan Macam-Macamnya

Di susun oleh:

Kelompok 6
Doli Armanda
Ferza Andhika
Meiliana Diah Safitri
Suci Nur Cahya

STMIK KOMPUTAMA MAJENANG


ANGKATAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat tuhan yang maha esa. Atas segala rahmatnya kami
dapatmenyelesaikan tugas makalah ini hinggga selesai dengan tepat waktu. Tidak
lupa kami jugamengucapkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah
berkontribusi, baik denganmemberikan sumbangan secara materi maupun pikiran.

Harapan kami semoga makalah kami ini dapat menambah pengetahuan


dan wawasantentang bagaimana hakikat pendidikan kewarganegaraan dalam
mengembangkan kemampuanutuh sarjana atau profesional. Untuk kedepannya
kami berharap semua bisa mengkoreksi danmemperbaiki apa yang kurang dari
makalah kami baik itu kata pengantar, isi, dan cara penulisanmaupun
penyampainnya. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami,
kamiyakin masih banyak kekurangan dalam makalah kami, oleh karena itu kami
sangatmengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
makalah kami ini.

Akhir kata, kami sampaikan terimaksih kepada semua pihak yang telah
berperan sertadalam menyusun makalah ini dari awal sampai akhir.semoga Tuhan
selalu meridhai segala usahakami. Aamiin.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2
A. Pengertian Hukum Wadh’i............................................................................2
B. Macam-Macam Hukum Wadh’i...................................................................2
BAB III PENUTUP.................................................................................................9
A. Simpulan.......................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10
A.
PENDAHULUAN
B. Latar Belakang
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi manusia
pada era perkembangan zaman, Ushul Fiqh muncul dengan beberapa hukum
Syara’ yang berguna untuk menjawab berbagai masalah yang di hadapi manusia
pada perkembangan zaman.
Dalam pembagian hukum syara’, Ushul Fiqh membagi hukum syara’
menjadi dua, yaitu hukum taklif’i dan hukum wad’i.Dalam makalah ini akan
dijelaskan tentang hukum wadh’i beserta macam-macamnya.
Untuk memahami hal tersebut kami memiliki beberapa penjelasan
mengenai perkembangan manusia yang tersusun dalam makalah ini.
C. Rumusan Masalah
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain\

1. Apakah pengertian dari hukum wadh’i?

2.      Apa macam-macam hukum wadh’i?

1
D.
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Wadh’i


Hukum Wadh’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu
adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau
penghalang terhadap sesuatu.
Hukum wadh’i merupakan hokum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’.
Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal,
yakni antara dua sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat
dan disyarati (masyrut), antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi
(mamnu), antara hukum yang sah dan hukum yang tidak sah.
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut
terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan
sebab akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa
definisi hukum wad’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan
sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’),
atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal
(fasid), ‘azimah atau rukhshah.
Jadi, Hukum wadh’i adalah Hukum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah
dan batal, sekaligus azimah dan rukhsah.
B. Macam-Macam Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat,
mani, rukhsah dan azimah, sah dan batal.
1. Sebab (As-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara
etimologis, artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya
sampai pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai
sabab, karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang  kepada tujuan.

2
3

Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara


tanda dan ketentuan hukum nampak jelas tanda itu memang cocok
dijadikan sebab lahirnya hukum yang dinamakan ”illat”. Tetapi apabila
hubungan antara tanda dan ketentuan hukum kurang jelas dan kurang
cocok yang seperti ini dinamakan sebab.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya sebab
adalah sesuatu yang keberadaannya dijadikan Syari’ sebagai pertanda
keberadaan suatu hokum dan ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak
adanya hukum.
Sebab yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam,
sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari
perbuatan mukallaf.
Sebab yang berasal dari bukan perbuatan mukallaf seperti tibanya
waktu shalat dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang
menimbulkan wajib mengeluarkan zakat,timbul bulan awal Ramadhan
yang menyebabkan wajib puasa, syirik yang menyebabkan haram kawin,
sakit yang menyebabkan buka puasa pada bulan Ramadhan, keluarga yang
menjadi sebab lahirnya hak waris, perkawinan yang menjadi sebab
kebolehan talak dan balig yang menjadi sebab sahnya tindakan.
Sebab dari perbuatan mukallaf seperti pembunuhan berencana yang
menyebabkan lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.
Ditetapkan sebab tentunya akan melahirkan musabab, karena itu
tidak diterima akal kalau ditetapkan sebab tanpa melahirkan musabab.
Setiap ketentuan hukum syara’ bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan
kesejahteraan dan menyingkirkan manusia dari kerusakan, inilah yang
menjadi sebab utama lahirnya berbagai ketentuan hukum.
Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat
dibagi menjadi dua macam, yaitu:
a. Al-Sabab al waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang
dijadikan Syari’ sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah SWT
berfirman:
4

Artinya:
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra`:
78)
b. Sabab al- ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman
khamr, sebagaimana sabda Rasul:
Artinya:
“Setiap yang memabukkan itu adalah haram” (H.R Muslim, Ahmad
Ibnu Hambal dan Ashhab Al-Sunan)
2. Syarat
Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya
hukum dengan adanya syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum
tidak ada. Syarat letaknya di luar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada
maka masyrut  pun tidak ada tetapi tidak mesti dengan adanya ada
juga masyrut.
Syarat yang ditetapkan mungkin sebagai pelengkap sebab hukum
seperti pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad nikah
dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri, namun agar akad nikah itu
sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua
perjanjian dan tindakan baru dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak
apabila terpenuhi syarat-syaratnya.
Syarat-syarat dalam kegiatan hukum kadang-kadang ditetapkan
syara’ yang seperti ini dinamakan syarat syar’i dan kadang-kadang
ditetapkan oleh mukallaf sendiri yang dinamakan syarat ja’li. Contoh
syarat syar’i seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang
dihadiri oleh dua orang saksi dan contoh syarat ja’li seperti jatuhnya talak
apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan perkawinan.
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:
a. Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang
dalam bentuk tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam
shalat. Dan kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk tidak
memperbuatnya seperti akad nikah tahlil, ialah nikah yang dilakukan
5

sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama menikahi


kembali istrinya yang ditalak tiga.
b. Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang
memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib
mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:
a. Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu
perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan
hukum itu.
b. Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum
yang dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum
itu. 
c. Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah
perbuatan hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang
ibadah tidak berlaku karena tidak ada seorang juapun yang berhak
menetapkan syarat dalam ibadah. Namun, kalau terjadi dalam bidang
muamalah dapat diterima.
3. Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:
“ Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau
batal sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan
rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum
atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau
sebab hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang
membunuh itu adalah ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak
dapat dilaksanakan hukuman qisas sekalipun sebab lahirnya ketentuan
hukum seperti pembunuhan telah tercapai.
Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’ menjadi
5 macam:
6

a. Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang


yang merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang yang merdeka,
karena orang yang merdeka bukan termasuk barang yang boleh
diperjualbelikan sedang membeli menjadi sebab berpindahnya hak
mi,ik dan membeli menjadi sebab kebolehan menguasai dan
mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
b. Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum
bagi orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi
penghalang sebab bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti
menjual barang bukan miliknya, penjual yang seperti ini tidak sah
karena terdapat mani’ ialah barang yang dijuala adalah milik orang
lain. Namun apabila pemilik barang yang dijual menyetujui penjualan
itu, maka perjanjian itu menjadi sah.
c. Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat
dari pihak penjualan yang menghalangi pembelian mempergunakan
haknya terhadap barang yang diberinya selama masa khiyar syarat
berlaku. Umpamanya di A tidak boleh dan si B bahwa barang yang
dijualnya kepada si B tidak boleh dipergunakan selama tiga hari karena
si A masih pikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu dan kalau
pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum
syarat berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.
d. Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar
ru’yah. Khiyar ru’yah tidak menghalangi lahirnya hak milik, namun
hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum pembeli melihat
barang itu sudah berada ditangan pembeli. Kalau pembeli sudah
melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan pembelian selama
barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang ditetapkan
tetapi dalam hal barang yang dijual belikan tidak cocok dengan
persyaratan yang ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa
menunggu persetujuan penjual dan tanpa melalui peradilan.
7

e. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib. Si A sebagai


pembeli sesuatu barang yang memang belum tahu keadaan barang
yang dibelinya kemudian ternyata cacat, pembeli berhak memilih
antara meneruskan perjanjian atau mengembalikan barang yang
dibelinya. Hanya haknya mengembalikan barang itu sesudah mendapat
persetujuan dari penjual atau melalui peradilan dan lamanya hak
mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.
4. Azimah dan Rukhsah
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:
“ Hukum yang disyriatkan Allah semenjak semula bersifat umum
yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan
pula berlaku hanya kepada mukallaf tertentu”.
Jadi azimah merupakan hukum yang ditetapkan semenjak semula
tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan
bukan pula untuk tempat dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima
waktu diwajibkan setiap orang, diwajibkan pada semua keadaan asal saja
mukallaf dipandang cakap melakukannya.
Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:
“ hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi
mukhalaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan”.
Rukhsah seperti yang telah diuraikan diatas mempunyai empat macam:
a. Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan
terdapat kesulitan dalam melaksanakan ketentuan umum. Bentuk
rukhsah yang seperti ini seperti kebolehan utang piutang perjanjian
silm, diat yang dibebankan kepada seluruh anggota keluarga yang
membunuh.
b. Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang
diisyaratkan Allah dalam firman-Nya:
“. . .  Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami
beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-
orang sebelum kami. . .” (Q.S. Al Baqarah: 286)
8

c. Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam ibadah


sehingga terdapat kemudahan dan orang yang dapat melaksanakan
ibadah lebih banyak.
d. Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul ialah
hukum pengecualian dari ketentuan hukum umum.
5. Sah dan Batal
Lafal ‘sah’ dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur
kewajiban didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat
dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan
syara’ dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala diakhirat. Sebaliknya,
lafal ‘batal’ yang dapat diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak
menggugurkan kewajiban didunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala.
Secara umum bahwasanya  sah adalah perbuatan yang dilakukan
mukalaf dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang
yang di tetapkan syara’, tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan
yang ditentukan syara’ tercapai. Apabila perbuatan tersebut tidak tercapai
maka dianggap bathil.
C.
PENUTUP
A. Simpulan
Hukum Wadh’i ialah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu
adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap
sesuatu.

Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat,


mani’, rukhsah dan azimah, sah dan batal.

B.     Saran
Dengan riwayat yang diatas telah menunjukkan betapa pentingnya
mengetahui Pengertian hukum wadh’i dan macam-macamnya.Banyak hal
yang belum terselesaikan dalam makalah ini. Kami menyadari akan
keterbatasan dan kekurangan baik dalam penulisan, pemahaman, dan sumber
rujukan. 

9
DAFTAR PUSTAKA

Effendi Satria.  2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana Preda Media Group


Haroen Nasrun. 1996. Ushul Fiqih. Jakarta: Logos Publishing House
Hudari, Muhammad. 1965. Ushul Fiqh. Kairo: Maktabah Tijariyatil Kubra.
Karim Asyafi’i. 1997. Fiqih (Ushul Fiqh). Bandung: Pustaka Setia
Mughits Abdul. 1983. Ushul Fikih Bagi Pemula. Bandung: Al-Ma’rif
Umam Chaerul. 1998. Ushul Fiqih 1. Bandung: Pustaka Setia

10

Anda mungkin juga menyukai