Anda di halaman 1dari 12

KONSEP HUKUM WADH’I

Makalah

Ini diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ushul Fiqih

Dosen Pengampu

Dr. H. Syamsudin, M.Ag

Oleh

Al zahra Alifiana Putri (06010120004)

Nadia Fakhira (06010120013)

Trinanda Kurniawan Abdullah (06030120067)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena yang telah memberikan

rahmat dan hidayah-Nya serta sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir,

penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun khasanah kita yaitu Nabi Muhammad SAW

yang kita natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Sehingga dengan ini kami dapat menyelesaikan

makalah berjudul “Konsep Hukum Wadh’i” untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh

dengan tepat waktu. Penyusunan makalah ini ditujukan dengan maksud untuk menyelasaikan

tugas mata kuliah tersebut.

Kami berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat serta memberikan segala

pengaruh yang baik bagi para pembaca. Kami menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih

memiliki kekurangan dan kelemahan baik dari segi susunan maupun tata bahasanya. Tentunya

kami memohon maaf atas kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kami

mengharapkan kritik serta saran maupun masukan yang membangun dari berbagai pihak demi

kemajuan penerbitan makalah.

Surabaya, 22 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii

DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii

BAB I

PENDAHULUAN..........................................................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1

C. Tujuan Masalah....................................................................................................................1

BAB II

PEMBAHASAN.............................................................................................................................2

A. Pengertian Hukum Wadh’i...................................................................................................2

B. Pembagian Hukum Wadh’i...................................................................................................5

BAB III

PENUTUP......................................................................................................................................7

Kesimpulan..................................................................................................................................7
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-
pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal
perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. Pada dasarnya hukum syara’
ditetapkan Allah adalah sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata
diberikan tanpa terkecuali. Karena itu pada aslnya hukum itu ditujukan kepada semua
manusia mukallaf tanpa terkecuali. Disamping itu hukum Allah mengandung
pembatasan-pembatasan, perintah-perintah, dan larangan-larangan yang pada dasarnya
masih dalam batas-batas kemampuan mukallaf untuk melaksanakanya, kareana Allah
tidak memberati seseorang kecuali dalam batas kemampuanya.1
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi manusia pada era
perkembangan zaman, ushul fiqh muncul dengan beberapa hukum syara’ menjadi dua
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam makalah ini akan menjelaskan tentang
hukum wadh’I beserta macam-macamnya. Untuk memahami hal tersebut kami memiliki
beberapa penjelasan mengenai hukum wadh’i yang tersusun dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari hukum wadh’i ?
2. Apa pembagian hukum wadh’i ?

C. Tujuan Masalah
1.  Agar mengetahui pengertian hukum wadh’i  itu sendiri.
2. Agar mengetahui apa yang menjadi suatu sebab, syarat, penghalang, atau menjadikan
keringanan sebagai ganti dari hukum asal, dan sah atau tidak sah.

1
Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997). Cet 1. Hlm 320.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Wadh’i


Yang dimaksud dengan hukum Wadh’I  adalah titah Allah yang menjadikan sesuatu
sebagai sebab bagi adanya sesuatu yang lain, atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain
atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain atau juga sebagai penghalang (mani’) bagi
adanya sesuatu yang lain tersebut. 2
Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua
sebab (sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan hukum
yang tidak sah.
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut terdapat dua hal
yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab akibat, syarat, dan lain-
lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum wad’i adalah hukum yang
menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab (al-sabab), syarat (al-syarthu),
pencegah (al-mani’),atau menganggapnya sebagai sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau
batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah.
Jadi, Hukum wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal,sekaligus azimah dan
rukhsah.
B. Pembagian Hukum Wadh’i
Hukum wadh’i terbagi menjadi lima bagian, berdasarakan penelitian diperoleh
ketetapan, bahwasannya hukum wadh’i ada kalanya menghendaki untuk menjadi suatu
sebab, syarat, penghalang, atau menjadikan keringanan sebagai ganti dari hukum asal,
dan sah atau tidak sah.3
1. Sebab
a. Pengertian Sebab
Sebab menurut bahasa berarti sesuatu yang bisa menyampaikan seseorang
kepada sesuatu yang lain. Yang dimaksud dengan sebab disini adalah segala
2
Alaidin koto, Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011). Hlm.49.
3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005). Hlm. 141.
sesuatu yang dijadikan oleh syar’I sebagai alasan atas ada dan tidak adanya
hukum.4 Misalnya, Perbuatan zina menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera
100 kali, tergelincirnya matahari menjadi sebab wajibnya sholat dhuhur, dan
terbenamnya matahari menjadi sebab wajibnya shalat magrib. Apabila perzinaan
tidak dilakukan, maka hukuman dera tidak dikenakan. Apabila matahari belum
tergelincir, maka shalat dhuhur belum wajib. Dan apabila matahari belum
terbenam, maka shalat mahgrib belum wajib.5
b. Pembagian sebab
1)  Sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf.
Seperti dalam contoh tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajibnya
shalat, masuknya bulan ramadhan menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban
melakukan puasa ramadhan, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi
bolehnya sesorang memakan sesuatu yang diharamkan.
2) Sebab yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Seperti pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan
adanya qishas, perjalanan menjadi sebab bagi bolehya berbuka puasa di siang
hari ramadhan, dan akad transaksi jual beli  menjadi sebab bagi perpindahan
milik dari pihak penjual kepada pihak pembeli.
2. Syarat
a. Pengertian syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti sesuatu yang menghendaki adanya
sesuatu yang lain atau sebagai tanda. Namun yang dimaksud Syarat ialah sesuatu
yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum syara’ bergantung
kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum pun tidak ada, tetapi, adanya syarat
tidak mengharuskan adanya hukum syara’.6 Misalnya, wudhu adalah sebagai
syarat sahnya shalat dalam arti adanya shalat tergantung kepada adanya wudhu,
namun pelaksanaan wudhu itu sendiri bukan merupakan bagian sholat atau
Sholat tidak dapat dilaksanakan, tanpa berwudlu terlebuh dahulu. Akan tetapi
apabila seseorang berwudlu, ia tidak harus melaksanakan shalat.
4
Alaidin koto, op.cit. hlm. 49
5
Nasrun Haroen, USHUL FIQH 1, Cet.I, (Jakarta: Logos,1996), hlm.260
6
Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 313Rachmat Syafe’i, Ilmu
USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 313
b. Pembagian Syarat
1) Syarat Asy-Syar’iyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang
timbul padanya yang ditentukan oleh syara’. 7
Misalnya: akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri
namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang
saksi. Dengan demikian apabila akad atau tindakan hukum tidak akan
menimbulkan efekya kecuali apabila syarat-syaratnya telah terpenuhi.8
2) Syarat Al-Ja’liyyah
Ialah syarat yang menyempurnakan sebab dan menjadikan efeknya yang
timbul padanya yang ditentukan oleh mukallaf. 
Contohnya, seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya dengan
mengatakan: “ jika engkau mengulangi perkataan dusta itu, maka talakmu
jatuh satu”. Dengan demikian talak tidak akan menimbulkan efeknya kecuali
tidak terpenuhi syarat talak.
3. Mani’
a. Pengertian Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti penghalang dari sesuatu. Namun
secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh abdul karim zaidan,9
ْ ‫ب اَيْ ب‬
ُ‫ُطاَل نُه‬ َ َ‫ع َعلَى ُوجُوْ ِد ِه َع َد ُم ُو َجوْ ِدال ُح ْك َم َأوْ َع َد ُم ال َّسب‬ ِ ‫ب ال َّش‬
ُ ‫ار‬ َ َّ‫ما َرت‬
“sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan hukum
atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.”
Misalnya: hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan
timbulnya hubungan kewarisan (waris-mewarisi ). Apabila ayah wafat, istri dan
anak mendapatkan bagian warisan dari harta ayah atau suami yang wafat sesuai
dengan bagian masing-masing akan tetapi, hak mewarisi ini bisa terhalang apabila
anak atau istri yang membunuh suami atau ayah tersebut. Jadi, yang menghalangi

7
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet. I, (Semarang: Dina Utama, 1994) hlm. 173
8
Ibid, hlm. 173
9
Satria effendi, Ushul Fiqh. (Jakarta: Prenada Group, 2005). Hlm.64
ahli waris untuk mendapatkan warisan itu karena membunuh orang yang
mewarisi.10
b. Pembagian Mani’
1) Mani’ yang menghalangi adanya hukum
Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adanya hukum syara’,
ialah ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi
penghalang berlakunya hukum syara’ yang umum. 
Misalnya: hukum syara’ yang umum menyatakan wajib shalat bagi setiap
mukallaf, baik laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, syara’ juga menetapkan,
haid dan nifas merupakan penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban
meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan selama haid atau nifas.11
2) Mani’ yang menghalangi hubungan sebab
Yaitu ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi
penghalang bagi lahirnya musabbab/akibat hukum dari suatu sebab syara’
yang berlaku umum.
Misalnya:  jumlah harta yang telah mencapai kadar nishab dan telah
dimiliki selama satu tahun (haul) merupakan sebab bagi kewajiban
mengeluarkan zakat. Akan tetapi, ketetapan syara’ juga menyatakan bahwa
keadaan berhutang merupakan penghalang (mani’) bagi seseorang untuk
dikenakan kewajiban zakat.12
c. Hubungan antara sebab, syarat dan mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas, terlihat bahwa antara sebab,
syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’ ada bersamaan
dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukum disebabkan
keberadaan mani’. 
Misalnya, matahari telah tergelincir sebagai penyebab disebabakannya shalat
dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib berwudlu sebagai syarat sah shalat.
Tetapi jika wanita yang akan shalat itu sedang haid yang menjadi penghalang

10
Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 314
11
Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, Cet.II, (Jakarta: Amzah, 2011) hlm.74
12
Ibid, hlm.74
(mani’) maka hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita dalam keadan haid
tidak boleh melaksanakan shalat.13
4. Ash-Shihah
Secara bahasa Sah atau Shihah (‫ححة‬oo‫الص‬ ) atau shahih ( ‫حيح‬oo‫الص‬ ) lawan dari
( ‫المريضة‬ ) yang artinya sakit. Secara istilah, para ahli ushul fiqih merumuskan definisi
sah dengan:14
ِ َ‫ص َل ال َّسبَبُ َوت ََوفَّ َر ال َّشرْ طُ َوا ْنتَفَى ال َمانِ ُع ت ََرتَّب‬
‫ت‬ ْ ‫تَ َرتُّبُ ثَ ْم َرتِ ِه ْال َم‬
َ ‫ فَِإ َذا َح‬.‫طلُوْ بَ ِة ِم ْنهُ شَرْ عًا َعلَ ْي ِه‬
‫ْاآلثَا ُر ال َّشرْ ِعيْةةُ َعلَى الفِع ِْل‬
“ Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat
terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada
perbuatan itu.”
Maksudnya, sesuatu perbuatan dikatakan sah apabila terpenuhi sebab dan
syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang diinginkan
syara’ dari perbuatan itu berhasil dicapai. 
Misalnya: seseorang melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun, syarat, dan
sebab, serta orang yang shalat itu terhindar dari mani’ atau terhalang. Apabila shalat
dhuhur akan dilakdanakan, sebab wajibnya shalat itu telah ada yaitu matahari telah
tergelincir, orang yang akan shalat itu telah berwudlu, dan tidak ada mani’ dalam
mengerjakan shalat tersebut maka shalat yang dikerjakan tersebut sah.15
5. Al-Bathl
Secara etimologi batal yang dalam bahasa arabnya al-buthlan (‫البطالن‬  ) yang
berarti rusak dan gugur hukumnya. Secara terminologi menurut Mushthafa Ahmad al-
Zarqa’, yang mengatakan batal adalah :16
‫ع‬ ِ َ‫ف ال َّشرْ ِع ِّي ع َْن اِ ْعتَبَا َر ِه َوآث‬
ِ ْ‫ار ِه فِى نَظَ ِر ال ٍّشر‬ َ َّ‫ت ََج ُّز ُد الت‬
ِ ُّ‫صتر‬
“Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut pandangan
syara’.”
Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhui ketentuan
yang ditetapkan oleh syara’, sehingga apa yang dikehendaki syara’ dari perbuatan

13
Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, Cet.I, (Jakarta:Logos, 1996), hlm.269
14
Ibid, hlm.270
15
Ibid, hlm.271
16
Dikutip oleh Nasrun Haroen dari kitab al Makhal al-Fiqhi al-‘Am jilid I, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, hlm.687
tersebut lepas sama sekali (tidak tercapai). Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi
rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan dilaksanakan ketika ada
mani’ (penghalang). Perbuatan seperti itu dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl). 
Misalnya, dalam persoalan ibadah yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat
harus memenuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang seperti haid atau nifas
maka sholatnya tidak sah atau batal.
Sedangkan dalam bidang muamalah, misalnya dalam transaksi jual beli apabila
yang melakukannya adalah orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum
(seperti anak kecil atau orang gila) maka hukum jual beli tersebut tidak sah.
Dengan demikian baik dalam bidang ibadah maupun dalam bidang muamalah,
keabsahan suatu perbuatan ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun, syarat, dan
penyebab perbuatan itu, dan tidak mani’ untuk melaksanakan perbuatan itu. Tetapi
apabila perbuatan itu tidak memenuhi syarat, rukun, dan sebabnya belum ada, atau
ada mani’, maka perbuatan itu menjadi batal.17

BAB III

KESIMPULAN

Dari beberapa pembahasan yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk

17
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, Cet.I, (Jakarta:Logos, 1996), hlm.273
sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Adapun yang menjadi bagian dari
hukum wadh’i ada 5 yaitu, sebab, syarat, mani’, Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad, ‘Azimah
dan rukhsah.

a. Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan
mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya. Contoh: perbuatan zina
menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100 kali.
b. Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum
syara’ bergantung kepadanya
c. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan
hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.
d. As-shihah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada,
syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada
perbuatan itu, sedangkan bathl berarti rusak dan gugur hukumnya dan fasad yaitu
perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat)

Jadi jelaslah bahwa kita harus mengetahui dalil hukum yang harus kita lakukan dan menjadi
pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak menyalhi aturan yang sudah ditetapkan oleh
syara’.

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman Dahlan. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta: AMZAH

Effendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Group.

Karim, Syafe’i. 1997. Fiqih-Ushul fiqh, Bandung: CV Pustaka Setia.


Khallaf,  Abdul Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amani.

Koto, Alaidin. 2011. Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.

Nasrun Haroen. 1996. Ushul Fiqih I. Jakarta: Pustaka Setia.

Syafe’I, Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih, Cet.IV, Bandung: Pustaka Setia.

Syarifudin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1. Jakarta; Logos Wacana Ilmu

Wahhab Kallaf, Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama

Anda mungkin juga menyukai