Makalah
Ushul Fiqih
Dosen Pengampu
Oleh
2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya serta sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi terakhir,
penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun khasanah kita yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita natikan syafa’atnya di akhirat nanti. Sehingga dengan ini kami dapat menyelesaikan
makalah berjudul “Konsep Hukum Wadh’i” untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqh
dengan tepat waktu. Penyusunan makalah ini ditujukan dengan maksud untuk menyelasaikan
Kami berharap semoga dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat serta memberikan segala
pengaruh yang baik bagi para pembaca. Kami menyadari sepenuhnya jika makalah ini masih
memiliki kekurangan dan kelemahan baik dari segi susunan maupun tata bahasanya. Tentunya
kami memohon maaf atas kekurangan dalam penulisan makalah ini. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik serta saran maupun masukan yang membangun dari berbagai pihak demi
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN..........................................................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................................1
C. Tujuan Masalah....................................................................................................................1
BAB II
PEMBAHASAN.............................................................................................................................2
BAB III
PENUTUP......................................................................................................................................7
Kesimpulan..................................................................................................................................7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul Fiqih adalah ilmu pengetahuan dari hal kaidah-kaidah dan pembahasan-
pembahasan yang dapat membawa kepada pengambilan hukum-hukum tentang amal
perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci. Pada dasarnya hukum syara’
ditetapkan Allah adalah sebagai rahmat Allah bagi hamba-Nya. Rahmat Allah itu merata
diberikan tanpa terkecuali. Karena itu pada aslnya hukum itu ditujukan kepada semua
manusia mukallaf tanpa terkecuali. Disamping itu hukum Allah mengandung
pembatasan-pembatasan, perintah-perintah, dan larangan-larangan yang pada dasarnya
masih dalam batas-batas kemampuan mukallaf untuk melaksanakanya, kareana Allah
tidak memberati seseorang kecuali dalam batas kemampuanya.1
Melihat semakin kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi manusia pada era
perkembangan zaman, ushul fiqh muncul dengan beberapa hukum syara’ menjadi dua
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Dalam makalah ini akan menjelaskan tentang
hukum wadh’I beserta macam-macamnya. Untuk memahami hal tersebut kami memiliki
beberapa penjelasan mengenai hukum wadh’i yang tersusun dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari hukum wadh’i ?
2. Apa pembagian hukum wadh’i ?
C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui pengertian hukum wadh’i itu sendiri.
2. Agar mengetahui apa yang menjadi suatu sebab, syarat, penghalang, atau menjadikan
keringanan sebagai ganti dari hukum asal, dan sah atau tidak sah.
1
Amir Syarifudin. Ushul Fiqh Jilid 1. (Jakarta; Logos Wacana Ilmu. 1997). Cet 1. Hlm 320.
BAB II
PEMBAHASAN
7
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu USHUL FIQIH, Terj. Moh. Zuhri, cet. I, (Semarang: Dina Utama, 1994) hlm. 173
8
Ibid, hlm. 173
9
Satria effendi, Ushul Fiqh. (Jakarta: Prenada Group, 2005). Hlm.64
ahli waris untuk mendapatkan warisan itu karena membunuh orang yang
mewarisi.10
b. Pembagian Mani’
1) Mani’ yang menghalangi adanya hukum
Yang dimaksud dengan mani’ yang menghalangi adanya hukum syara’,
ialah ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi
penghalang berlakunya hukum syara’ yang umum.
Misalnya: hukum syara’ yang umum menyatakan wajib shalat bagi setiap
mukallaf, baik laki-laki maupun wanita. Akan tetapi, syara’ juga menetapkan,
haid dan nifas merupakan penghalang bagi wanita untuk dikenakan kewajiban
meng-qadha’ shalat yang tidak dilaksanakan selama haid atau nifas.11
2) Mani’ yang menghalangi hubungan sebab
Yaitu ketetapan asy-syar’i yang menegaskan bahwa sesuatu menjadi
penghalang bagi lahirnya musabbab/akibat hukum dari suatu sebab syara’
yang berlaku umum.
Misalnya: jumlah harta yang telah mencapai kadar nishab dan telah
dimiliki selama satu tahun (haul) merupakan sebab bagi kewajiban
mengeluarkan zakat. Akan tetapi, ketetapan syara’ juga menyatakan bahwa
keadaan berhutang merupakan penghalang (mani’) bagi seseorang untuk
dikenakan kewajiban zakat.12
c. Hubungan antara sebab, syarat dan mani’
Dari rumusan definisi dan penjelasan diatas, terlihat bahwa antara sebab,
syarat, dan halangan terdapat hubungan yang saling terkait. Mani’ ada bersamaan
dengan sebab dan syarat, dan berakibat tidak adanya hukum disebabkan
keberadaan mani’.
Misalnya, matahari telah tergelincir sebagai penyebab disebabakannya shalat
dhuhur dan seorang wanita mukallaf wajib berwudlu sebagai syarat sah shalat.
Tetapi jika wanita yang akan shalat itu sedang haid yang menjadi penghalang
10
Rachmat Syafe’i, Ilmu USHUL FIQIH, Cet.IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) hlm. 314
11
Abd. Rahman Dahlan, USHUL FIQH, Cet.II, (Jakarta: Amzah, 2011) hlm.74
12
Ibid, hlm.74
(mani’) maka hukumnya menjadi tidak ada, karena wanita dalam keadan haid
tidak boleh melaksanakan shalat.13
4. Ash-Shihah
Secara bahasa Sah atau Shihah (ححةooالص ) atau shahih ( حيحooالص ) lawan dari
( المريضة ) yang artinya sakit. Secara istilah, para ahli ushul fiqih merumuskan definisi
sah dengan:14
ِ َص َل ال َّسبَبُ َوت ََوفَّ َر ال َّشرْ طُ َوا ْنتَفَى ال َمانِ ُع ت ََرتَّب
ت ْ تَ َرتُّبُ ثَ ْم َرتِ ِه ْال َم
َ فَِإ َذا َح.طلُوْ بَ ِة ِم ْنهُ شَرْ عًا َعلَ ْي ِه
ْاآلثَا ُر ال َّشرْ ِعيْةةُ َعلَى الفِع ِْل
“ Tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada, syarat
terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada
perbuatan itu.”
Maksudnya, sesuatu perbuatan dikatakan sah apabila terpenuhi sebab dan
syaratnya, tidak ada halangan dalam melaksanakannya, serta apa yang diinginkan
syara’ dari perbuatan itu berhasil dicapai.
Misalnya: seseorang melaksanakan shalat dengan memenuhi rukun, syarat, dan
sebab, serta orang yang shalat itu terhindar dari mani’ atau terhalang. Apabila shalat
dhuhur akan dilakdanakan, sebab wajibnya shalat itu telah ada yaitu matahari telah
tergelincir, orang yang akan shalat itu telah berwudlu, dan tidak ada mani’ dalam
mengerjakan shalat tersebut maka shalat yang dikerjakan tersebut sah.15
5. Al-Bathl
Secara etimologi batal yang dalam bahasa arabnya al-buthlan (البطالن ) yang
berarti rusak dan gugur hukumnya. Secara terminologi menurut Mushthafa Ahmad al-
Zarqa’, yang mengatakan batal adalah :16
ع ِ َف ال َّشرْ ِع ِّي ع َْن اِ ْعتَبَا َر ِه َوآث
ِ ْار ِه فِى نَظَ ِر ال ٍّشر َ َّت ََج ُّز ُد الت
ِ ُّصتر
“Tindakan hukum yang bersifat syar’i terlepas dari sasarannya, menurut pandangan
syara’.”
Maksudnya, tindakan hukum yang bersifat syar’i tidak memenuhui ketentuan
yang ditetapkan oleh syara’, sehingga apa yang dikehendaki syara’ dari perbuatan
13
Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, Cet.I, (Jakarta:Logos, 1996), hlm.269
14
Ibid, hlm.270
15
Ibid, hlm.271
16
Dikutip oleh Nasrun Haroen dari kitab al Makhal al-Fiqhi al-‘Am jilid I, Mushthafa Ahmad al-Zarqa, hlm.687
tersebut lepas sama sekali (tidak tercapai). Misalnya suatu perbuatan tidak memenuhi
rukun atau tidak memenuhi syarat, atau suatu perbuatan dilaksanakan ketika ada
mani’ (penghalang). Perbuatan seperti itu dalam pandangan syara’ tidak sah (bathl).
Misalnya, dalam persoalan ibadah yaitu orang yang melaksanakan ibadah sholat
harus memenuhi rukun dan syaratnya, apabila ada penghalang seperti haid atau nifas
maka sholatnya tidak sah atau batal.
Sedangkan dalam bidang muamalah, misalnya dalam transaksi jual beli apabila
yang melakukannya adalah orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum
(seperti anak kecil atau orang gila) maka hukum jual beli tersebut tidak sah.
Dengan demikian baik dalam bidang ibadah maupun dalam bidang muamalah,
keabsahan suatu perbuatan ditentukan oleh terpenuhi atau tidaknya rukun, syarat, dan
penyebab perbuatan itu, dan tidak mani’ untuk melaksanakan perbuatan itu. Tetapi
apabila perbuatan itu tidak memenuhi syarat, rukun, dan sebabnya belum ada, atau
ada mani’, maka perbuatan itu menjadi batal.17
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa pembahasan yang telah dijelaskan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Hukum wadh’i adalah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk
17
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1, Cet.I, (Jakarta:Logos, 1996), hlm.273
sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu. Adapun yang menjadi bagian dari
hukum wadh’i ada 5 yaitu, sebab, syarat, mani’, Ash-Shihah, Al-Buthlan dan Al-Fasad, ‘Azimah
dan rukhsah.
a. Sebab adalah sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai tanda atas musababnya dan
mengkaitkan keberadaan musabab, dengan ketiadaannya. Contoh: perbuatan zina
menyebabkan seseorang dikenai hukuman dera 100 kali.
b. Syarat ialah sesuatu yang berada di luar hukum syara’, tetapi keberadaannya hukum
syara’ bergantung kepadanya
c. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan oleh syar’i keberadaannya menjadi ketiadaan
hukum atau ketiadaan sebab, maksudnya batalnya sebab itu.
d. As-shihah yaitu tercapainya sesuatu yang diharapkan secara syara’, apabila sebabnya ada,
syarat terpenuhi, halangan tidak ada, dan berhasil memenuhi kehendak syara’ pada
perbuatan itu, sedangkan bathl berarti rusak dan gugur hukumnya dan fasad yaitu
perubahan sesuatu dari keadaan yang semestinya (sehat)
Jadi jelaslah bahwa kita harus mengetahui dalil hukum yang harus kita lakukan dan menjadi
pedoman dalam melakukan sesuatu agar tidak menyalhi aturan yang sudah ditetapkan oleh
syara’.
DAFTAR PUSTAKA
Koto, Alaidin. 2011. Ilmu Fiqh Dan Ushul Fiqh. Jakarta: Rajawali Pers.
Wahhab Kallaf, Abdul. 1994. Ilmu Ushul Fiqih, Semarang: Dina Utama