Salah satu fase dalam hidup yang lazimnya dijalani seorang muslim adalah menemukan
pasangan hidup dan melangsungkan pernikahan. Jika sudah mampu dan matang secara
emosional, dengan menikah seseorang dapat menyempurnakan separuh agamanya. Dari
mahligai rumah tangga, berbagai hal yang dikategorikan sebagai dosa, jika dilakukan dengan
suami atau istri dicatat sebagai ibadah di sisi Allah SWT. Hal ini tergambar dalam hadits
yang diriwayatkan Anas bin Malik bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Siapa yang diberi
karunia oleh Allah seorang istri yang salihah, berarti Allah telah menolongnya untuk
menyempurnakan setengah agamanya. Karena itu, bertakwalah kepada Allah setengah
sisanya” (H.R. Baihaqi).
Pada dasarnya hukum menikah adalah sunah. Artinya, siapa yang mengerjakannya
mendapatkan pahala, namun tidak berdosa jika meninggalkannya. Hal ini berdasarkan
imbauan dari Nabi Muhammad SAW “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian
berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah karena nikah itu lebih menundukkan pandangan,
dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia puasa, karena puasa itu dapat membentengi dirinya,” (H.R. Bukhari dan
Muslim).
Berdasarkan konteks dan keadaan yang dialami seorang muslim, hukum sunah tadi dapat
berubah menjadi makruh. Misalnya, sesorang ada keinginan menikah, tetapi ia tidak memiliki
kemampuan untuk menafkahi keluarganya. Di sisi lain hukum sunah dapat menjadi wajib jika
seseorang sudah memiliki kelapangan harta dan mampu memberikan hak dan kewajiban
dalam rumah tangga. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan muslim jatuh ke dalam dosa
dan perzinahan. Dalam kondisi ini, maka seorang muslim lebih utama untuk menikah dan
hukumnya menjadi wajib.
Syarat pernikahan dalam Islam yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut. Wanita yang
akan dinikahi adalah halal baginya dan bukan haram untuk sementara maupun selamanya.
Akad harus dihadiri oleh minimal dua orang saksi di mana mereka harus baligh dan berakal
dan mendengar ucapan ijab qabul secara jelas. Adanya wali yang memiliki kekuasaan untuk
menikahkan seorang perempuan di bawah perwaliannya. Calon suami harus laki-laki,
beragama Islam, mampu (fisik dan psikologis), dan memiliki kerelaan diri untuk menikah.
Rukun ibadah nikah menurut 4 imam madzhab fiqih Mazhab Hanafi Imam Abu Hanifah,
Zufar, Al-Sya'bi dan Al-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang wanita melakukan akad
nikah untuk dirinya tanpa wali, dengan laki-laki yang kufah, maka hukumnya boleh. Rukun
nikah menurut Mazhab Hanafi ada tiga, yaitu: Shighat atau akad, Dua pihak yang berakad,
Saksi Adapun mahar dan wali bukan rukun nikah dan bukan syarat. Menurut Mazhab
Malikiyah bahwa rukun nikah ada lima yaitu : Wali dari wanita, Shidaq atau mahar,
Mempelai laki-laki tidak sedang ihram, Mempelai wanita tidak sedang ihram atau tidak
sedang dalam iddah, Shighat (ijab dan qabul) Adapun saksi tidak termasuk rukun menurut
mazhab ini. Sedangkan Dalam Mazhab Syafi'i yang pengikutnya mayoritas muslim
Indonesia, rukun pernikahan terdiri dari lima, yaitu: Mempelai laki-laki, Mempelai wanita ,
Wali , Dua orang saksi , Shighat (ijab dan qabul). Dan yang terakhir menurut madzhab
Hambali, tertentu suami istri,kemauan sendiri, adanya wali dan saksi. Tidak ada sighat dan
dan mahar menurut imam Hambali.