Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

PRAKTIK PERNIKAHAN BEDA AGAMA


(Makalah Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Pendidikan
Agama Islam)

Dosen: Sun Choirul Ummah, M.S.I

Disusun Oleh :

1. Aprilia Ghifari N (14204244009)


2. Qurotu Aini Lutfi (14204244010)
3. Syarifah Asma (14204244011)
Kelas B

PENDIDIKAN BAHASA PRANCIS


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia bukan merupakan makhluk individu yang tidak mungkin
hidup sendiri tanpa orang lain, karena Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang
memang diciptakan untuk hidup saling berdampingan dengan orang lain atau
saling berpasangan.
Perkawinan merupakan sesuatu yang sacral, tidak dapat dipisahkan dari nilai-
nilai ajaran agama, dalam UU Perkawinan juga dikatakan bahwa pernikahan harus
atau wajib dilaksanakan sesuai ketentuan hokum agamanya dimana terdapat
beberapa ketentuan yang merupakan peraturan dalam memilih pasangan dan untuk
hidup bersama pasangan, baik itu peraturan agama, adat-istiadat maupun sosial
kemasyarakatan. Namun seiring dengan arus globalisasi dan mobilitas penduduk
yang tinggi banyak terjadi masalah yang bersangkutan dengan pernikahan, salah
satunya adalah pernikahan beda agama yang banyak diperdebatkan saat ini,
faktanya banyak kasus pernikahan beda agama yang berakhir di meja hijau, hal
inilah yang menjadi bukti bahwa manusia cenderung mengikuti nafsunya tanpa
memikirkan dampak yang dapat terjadi di masa yang akan datang.
Berdasarkan latar belakang diatas kami mencoba untuk mengkaji fenomena
pernikahan beda agama yang sedang marak saat ini dari sudut pandang Islam

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka kami menuliskan rumusan masalah
sebagai berikut :
1. Apakah pengertian dan makna pernikahan dalam Islam?
2. Apa sajakah ketentuan pernikahan dalam Islam?
3. Mengapa Islam melarang pernikahan beda agama?
4. Bagaimana Al-Qur`an dan hadist menyikapi pernikahan beda agama.

C. Tujuan
Tujuan yang ingin kami capai dari pengkajian ini sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian dan makna pernikahan dalam Islam.
2. Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan pernikahan dalam Islam.
3. Untuk mengetahui alasan mengapa Islam melarang pernikahan beda agama.
4. Untuk mengetahui ayat Al-Qur`an dan hadist dalam menyikapi pernikahan
beda agama.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Arti Pernikahan atau Perkawinan dalam Islam


Secara bahasa, nikah berasal dari akar kata bahasa Arab: nakaha - yankihu –
nikahan yang berarti “mengumpulkan”. Sedangkan secara syara’, nikah artinya
akad yang telah dikenal dan memenuhi rukun serta syarat untuk berkumpul (Ajat
S. dkk, 2013: 181).
Menurut Islam, pernikahan berasalah dari kata al-jam’u dan al-dhamu yang
artinya kumpul. Makna nikah juga (Zawâj) dapat diartikan dengan aqdu al-tazwîj
yang artinya akad nikah. Sedangkan menurut ahli fikih, nikah atau zawwaj adalah
akad yang secara keseluruhan di dalamnya mengandung kata inkah atau tazwij
(Tihami, 2009 : 7).
Pernikahan juga dapat diartikan sebagai suatu ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan yang disahkan melalui suatu lembaga yang
diakui oleh agama dan juga diakui oleh hukum seperti yang tercantum dalam
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan:
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dan menurut Kompilasi Hukum Islam: “ Perkawinan adalah akad yang
sangat kuat atau mitsaqan ghalidlon untuk menaati perintah Allah dan
melaksanakannya adalah ibadah” (Ajat S. dkk, 2013: 182)
Dengan demikian, pernikahan adalah suatu akad yang secara keseluruhan
aspeknya dikandung dalam kata nikah atau tazwîj dan merupakan ucapan
seremonial yang sakral (Tihami, 2009 : 7-8).
B. Ketentuan-Ketentuan Sahnya Pernikahan atau Perkawinan dalam Islam
Dalam ajaran agama Islam terdapat aturan-aturan yang wajib dipahami dan
dipatuhi oleh orang yang akan menikah, keluarga yang bersangkutan, dan juga
tata cara saat prosesi pernikahan berlangsung agar pernikahan yang dilaksanakan
dapat dikatakan sah secara agama ataupun secara hukum Negara. Tidak hanya itu,
dalam Al-Qur’an dan hadist telah disebutkan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan pernikahan, baik mengenai rukun dan syarat pernikahan dan lain
sebagainya.
Pernikahan yang merupakan sunnatullah pada dasarnya adalah mubah,
tergantung tingkat kemaslahatnya, oleh karena itu, merskipun pernikahan adalah
mubah, namun dasar hukum menikah dapat berubah menurut ahkâmal-khamsah
(hukum yang lima) menurut keadaan, yaitu wajib bagi orang yang telah mampu
yang akan menambah takwa, haram bagi orang yang tahu bahwa dirinya tidak
mampu tetapi tetap melaksakan pernikahan, sunnah bagi orang yang sudah
mampu tapi masih sangggup mengendalikan dirinya dari perbuatan haram, dan
mubah bagi orang yang tidak berhalangan untuk menikah dan dorongan untuk
nikah belum membahayakan dirinya (Tihami, 2009 : 11).
Selain itu terdapat pula rukun dan syarat sah pernikahan, rukun adalah
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah
(pekerjaan) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian ibadah itu, dalam hal ini
adalah pernikahan. Sedangkan syarat adalah sesuatu yang mesti ada yang
menentukan sah atau tidaknya suatu ibadah namun tidak termasuk dalam
rangkaian ibadah itu. Sedangkan kata sah berarti suatu pekerjaan yang memenuhi
rukun dan syarat (Tihami, 2009 : 12).
Rukun sah pernikahan antara lain ada calon pengantin laki-laki dan calon
pengantin perempuan, wali bagi perempuan, dua orang saksi laki-laki yang adil,
mahar, ijab dan kabul (akad nikah). Rukun-rukun nikah diatas harus dipenuhi
seluruhnya, karena apabila ada salah satu rukun yang tidak terpenuhi maka
pernikahan yang dilakukan tidak sah. Dari kelima rukun tersebut yang paling
utama adalah Ijab Kabul.
Sedangkan syarat sah perkawinan terdiri dari syarat sah bagi calon mempelai,
wali, saksi, dan juga Ijab Kabul. Berikut adalah syarat-syarat sah
perkawinan/pernikahan yang harus dipenuhi bagi calon mempelai yang akan
melangsungkan pernikahan, yaitu :
a. Mempelai Laki-Laki / Pria
1) Agama Islam
2) Tidak dalam paksaan
3) Pria / laki-laki normal
4) Tidak punya empat atau lebih istri
5) Tidak dalam ibadah ihram haji atau umroh
6) Bukan mahram calon istri
7) Yakin bahwa calon istri halal untuk dinikahi
8) Cakap hukum dan layak berumah tangga
9) Tidak ada halangan perkawinan
b. Mempelai Perempuan / Wanita
1) Beragama Islam
2) Wanita / perempuan normal (bukan bencong/lesbian)
3) Bukan mahram calon suami
4) Mengizinkan wali untuk menikahkannya
5) Tidak dalam masa iddah
6) Tidak sedang bersuami
7) Belum pernah li'an (berbuat zina)
8) Tidak dalam ibadah ihram haji atau umrah

Syarat yang harus dipenuhi oleh wali mempelai perempuan antara lain pria
beragama islam yang sudah dewasa, tanpa ada paksaan, sedang tidak ihram haji
dan umroh, tidak fasik, sehat rohani (tidak gila), sadar, dan tidak ada halangan
atas perwaliannya serta punya hak atas perwaliannya. Terdapat beberapa macam
wali nikah menurut Islam, antara lain wali mujbir (wali dari bapaknya sendiri atau
kakek dari bapak yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak
perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya), wali aqrab (wali
terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali), wali
ab’ad (wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jika wali
aqrab tidak ada), wali raja/hakim (wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh
pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut dengan sebab-sebab
tertentu).

Syarat sah bagi saksi dalam suatu prosesi pernikahan, yaitu pria / laki-laki,
berjumlah dua orang, sudah dewasa / baligh, mengerti maksud dari akad nikah,
dan hadir langsung pada acara akad nikah.

Sedangkan akad dalam pernikahan adalah pernyataan antara Ijab Kabul,


sedangkan Ijab Kabul terdiri dari dua kata, yaitu ijab yang bearti pernyataan
pertama untuk menunjukkan kemauan membentuk hubungan suami istri dari
pihak perempuan, dan Kabul yang bearti pernyataan kedua yang diucapkan oleh
pihak yang menggucapkan akad untuk menyatakan rasa ridha dan setuju.

Kata-kata dalam Ijab Kabul sendiri tidak boleh menggunkan kata-kata yang
samar atau tidak dimengerti secara jelas artinya, jumhur ulama berpendapat
bahwa Ijab Kabul boleh dengan tidak menggunakan bahasa arab jika salah
satumempelai tidak mengerti bahasa arab, namun wajib menggunakan bahasa
arab apabila keduanya memahami bahasa arab.

Syarat-syarat Ijab Kabul sendiri antar lain kedua mempelai sudah tamyîz,
dilaksanakan dalam satu majlis, ucapan Kabul tidak menyalahi ucapan Ijab, dan
pihak yang mengadakan akad harus mendengar ucapan masing-masing (Tihami,
2009 :79-88).
Maka dari uraian diatas dapat dikatakan jika akad nikah atau pernikahan yang
tidak dapat memenuhi syarat dan rukunnya menjadikan pernikahan tersebut tidak
sah menurut hukum.

Sebuah pernikahan tentu memiliki suatu tujuan tertentu, dalam Islam,


pernikahan merupakan tujuan syariat yang dibawa oleh Rassululah Saw, yaitu
penataan hal yang berkaitan dengan manusia dalam kehidupan duniawi dan
ukhrowi. Terdapat empat garis penataan tersebut, yaitu:

a. Rub’al-ibâdât (menata hubungan manusia sebagai makhluk dengan sang


Pencipta)
b. Rub’al-muâmalât (menata hubungan manusia dengan sesamanya untuk
memenuhi hajat hidupnya sehari-hari)
c. Rab’al-munâkahât (menata hubungan manusia dengan lingkungan
keluarga)
d. Rab’al-jinâyat (menata pengamanannya dalam suatu tertib pergaulan yang
menjamin ketentramannya) (Tihami dkk, 2008: 15)

Zakiyah Darajat dkk. Mengemukakan tentang lima tujuan dalam suatu


pernikahan, yaitu:

a. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram


atas dasar cinta dan kasih sayang.
b. Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayang.
c. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan
d. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
e. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal. (Tihami dkk, 2008: 15-16)
Perkawinan juga memiliki tujuan menata keluarga sebagai subjek untuk
membiasakan pengalaman-pengalaman ajaran agama. Karena dalam hal ini,
keluarga berfungsi sebagai pelaksana pendidikan paling dasar dan yang paling
menentukan. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw: “Tiada bayi yang
dilahirkan melainkan lahir diatas fitrah maka ayah dan ibundanya yang
menjadikan ia yahudi, Nasrani atau Majusi” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah).

Selain itu, pernikahan merupakan sebuah komitmen dengan membentuk


sebuah perjanjian (suci) antara seorang pria dan seorang wanita, yang memiliki
segi-segi perdata diantaranya adalah kesukarelaan, persetujuan kedua belah pihak,
kebebasan memilih, dan darurat (Tihami dkk, 2008: 16).

Selain memiliki tujuan, melakukan perkawinan atau pernikahan juga memiliki


hikmah tersendiri. Islam mengajarkan dan menganjurkan nikah karena akan
berpengaruh baik bagi pelaku, masyarakat serta seluruh umat manusia. Adapun
hikmah pernikahan adalah:

a. Nikah atau pernikahan merupakan jalan yang paling baik dan sesuai untuk
menyalurkan dan memuaskan naluri seks yang dapat menjadikan jiwa menjadi
tenang, mata terpelihara dari perbuatan haram yang dapat menghindarkan kita
dari perbuatan zina.
b. Adanya pernikahan merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia, serta
memelihara nasib yang oleh Islam sangat diperhatikan.
c. Akan menumbuhkan naluri kebapakan dan keibuan serta sifat-sifat baik,
seperti cinta dan sayang yang menyempurnakan kemanusiaan seseorang.
d. Menyadari tanggung jawab bersuami maupun beristri dan menanggung anak-
anak, menimbulkan sikap rajin, dan memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang. Juga dapat mendorong usaha untuk memanfaatkan hasil alam guna
kepentingan manusia.
e. Pembagian tugas akan menimbulkan rasa tanggungjawab antara suami dengan
istri
f. Perkawinan menambah tali persaudaraan, memperteguh kelanggengan rasa
cinta antara keluarga, dan memperkuat hubungan masyarakat (Tihami dkk,
2008: 19-20).

C. Pernikahan Beda Agama dalam Perspektif Islam


Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai masalah
perkawinan beda agama. Sebagian ulama membolehkan, tetapi tidak sedikit pula
yang mengharamkan. Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menyatakan
bahwa perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah, dan perkawinan
antara laki-laki muslim dengan wanita Ahlul Kitab (nasrani) adalah haram dan
tidak sah). Dalam hukum Islam, baik dari kandungan al-Qur’an maupun hadits
banyak menyebutkan masalah ini, dan secara tekstual terdapat ayat mengenai
perkawinan beda agama (muslim dengan non-muslim). Seperti dalam al-Qur’an
surat al-Baqarah: 221 yang melarang dengan jelas menikahi wanita-wanita
musyrik dan laki-laki musyrik sebelum mereka itu beriman.

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia
menarik hatimu”. (QS. al-Baqarah: 221).
Ayat tersebut menegaskan kepada para wali (orang tua) untuk tidak
menikahkan wanita Islam dengan laki-laki non-islam, dan keharamannya bersifat
mutlak, dengan begitu dapat ditegaskan jika salah satu syarat sahnya perkawinan
seorang wanita Islam adalah pasangannya harus Islam.
Dalam surat al-Mumtahanah: 10 yang berisi larangan perkawinan anatara
wanita muslim dengan laki-laki kafir.

Artinya: “…..mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka”. (QS. Al-Mumtahanah: 10)

Ketiga, terdapat dalam surat al-Maidah: 5, yang kandungan ayatnya berisi


ketentuan tentang diperbolehkan menikahi wanita-wanita ahli kitab, ayat tersebut
berbunyi :

Artinya : “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan


(sembelihan) orang-orang Ahli kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang Ahli kitab sebelum kamu…..” (QS.
Al-Maidah: 5)
Dari ayat tersebut memang jelas diperbolehkan bahwa laki-laki muslim
menikahi perempuan ahli kitab. Dan setelah turunnya ayat ini, banyak sebagian
sahabat yang menikahi wanita-wanita ahli kitab, seperti Usman bin Affan kawin
dengan Nailah binti Quraqashah al-Kalbiyah yang Nasrani, Thalhah bin
Ubaidillah dengan perempuan Yahudi di Damaskus, Huzaifah kawin dengan
perempuan Yahudi di Madyan, bahkan Rasulullah saw pun pernah menikahi
perempuan ahli kitab yaitu Nabi Maria Qibtiyah, perempuan Kristen Mesir dan
Sophia yang Yahudi.
Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan sebagai
berikut, “Yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi dan
Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun umat-umat lain
yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka mereka tidak termasuk dalam
kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali
untuk Israel dan dakwah mereka juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah
Bani israil.”
Namun pernikahan beda agama bukanlah hal baru dan sudah tidak asing
terdengar di telinga kita karena merupakan persoalan sejak zaman sahabat
Rasulullah hingga abad modern saat ini yang sering kali menjadi kontoversi atau
polemik dikalangan para pemuka agama ataupun masyarakat di Indonesia.
Berikut adalah perspektif mengenai pernikahan agama menurut beberapa agama
yang ada di Indonesia.
Menurut agama Kristen, Pada umumnya pernikahan beda agama tidak
dikehendaki di dalam Perjanjian Lama (PL). Gereja Kristen Indonesia (GKI)
menerima dan dapat melaksanakan pernikahan beda agama dengan syarat, jika
salah seorang calon mempelai yang bukan anggota gereja, ia harus bersedia
menyatakan secara tertulis dengan menggunakan formulir yang ditetapkan oleh
Majelis Sinode.
Menurut agama Katolik, pada prinsipnya melarang perkawinan antara
penganutnya dengan seorang yang bukan Katolik, kecuali dalam hal-hal tertentu
Uskup dapat memberikan dispensasi atau pengecualian.
Menurut agama Hindu, pendeta agama Hindu tidak akan mengesahkan
upacara pernikahan apabila salah satu pasangan bukan beragama Hindu. Jika
perkawinan ingin tetap dilaksanakan sesuai agama Hindu, mempelai yang bukan
pemeluk agama Hindu, harus mengikuti upacara khusus sebagai tanda menganut
agama Hindu.
Menurut agama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia
pernikahan beda agama diperbolehkan dengan syarat pengesahan perkawinannya
dilakukan menurut cara agama Budha yaitu calon yang non-Budha tidak
diharuskan masuk agama Budha terlebih dahulu, dan dalam proses pernikahanya
harus dengan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”.
Sedangkan menurut agama Konghucu, Li Yuan (upacara pemberkatan) secara
agama, tidak dapat dilakukan apabila salah satu pasangan calon menikah bukan
beragama Khonghucu.
Dan menurut Undang-Undang perkawinan di Indonesia, menurut UU No. 1
Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal pasal 2 ayat 1 dinyatakan:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama
dan kepercayaan itu”.
Maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya semua agama tidak mengijinkan
pernikahan dua insan yang berbeda agama. Bukan hanya dari segi hukum agama
itu sendiri, tapi juga mempertimbangkan tujuan pernikahan itu sendiri.
Yang menjadi persoalan pada saat ini adalah sebagian masyarakat Indonesia
masih ada yang beranggapan bahwa perkawinan antar agama masuk dalam
pengertian perkawinan campuran, padahal kedua hal tersebut adalah berbeda,
dimana pekawinan campuran adalah perkawinan dimana yang akan menikah
salah satunya berkebangsaan Indonesia dan yang satu berkebangsaan asing,
sedangkan perkawinan beda agama adalah perkawinan dimana kedua belah pihak
yang akan menikah berbeda keyakinan.
Banyak kasus pernikahan beda agama yang disorot dari kalangan selebriti,
seperti Ira Wibowo dengan Katon Bagaskara, Dewi Yull dengan Rae Sahetapy,
dan masih banyak lagi, dimana perkawinan mereka didasarkan hanya pada cinta
semata bukan pada satu akidah agama, yang sebagian besar dari mereka
perkawinanya sudah kandas di tengah jalan dan berakhir di meja hijau karena
memang jika suami-istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di
lingkungan keluarga seperti dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak,
pengaturan dan pembelajaran tata karma pada anak, pembelajaran tradisi
keagamaan pada anak, dan lain sebagainya, itulah salah atu alasan mengapa Islam
melarang pernikahan beda agama, karena Islam tidak serta merta melarang
sesuatu tanpa ada alasan yang kuat. Selain alasan tersebut, alasan lain mengapa
Islam melarang pernikahan beda agama adalah banyaknya kasus murtad karena
pernikahan beda agama, bentuk fitnah atau masfadat dari pernikahan beda agama
akan sangat mudah sekali muncul.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Pernikahan beda agama ditinjau dari perspektif agama Islam, ada


beberapa pendapat yang memperbolehkan tetapi sebagian besar ulama Islam
mengharamkan pelaksanaan pernikahan beda agama dengan beberapa alasan
dan dasar sumber-sumber hukum Islam mengenai perkawinan. Namun
bukan hanya dalam perspektif ajaran islam, ajaran agama lain juga pada
dasarnya tidak memperbolehkan pernikahan beda agama. Sehingga
penentuan boleh tidaknya perkawinan beda agama akan lebih baik, lebih
aman, dan tidak menimbulkan masalah apabila dikembalikan pada hokum
agama yang bersangkutan.

B. Saran

Sebagai seorang Muslim yang baik dan taat, hendaknya kita menjadikan
pernikahan sebagai salah satu upaya ibadah yang kita lakukan kepada Allah
SWT dan tidak menjadikannya sebagai alat pemuas nafsu sesaat saja. Selain
itu, kita juga harus menghindari segala hal yang dilarang oleh Allah SWT
dan menjadikan pernikan dengan latar belakang kepercayaan dan agama
yang berbeda sebagai suatu pilihan yang paling akhir yang akan diambil
karena masih banyak orang-orang muslim dan muslimah yang lebih layak
untuk menjadi pendamping hidup kita.
DAFTAR PUSTAKA

Ajat Sudrajat dkk. 2013. Din Al-Islam: Pendidikan Agama Islam untuk Perguruan
Tinggi Umum. Yoyakarta: UNY Press.

Asep Abdul. 2013. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Al-Qur`an. Diunduh
dari http://thwalisongo.blogspot.com/2013/09/nikah-beda-agama-vs-stabilitas-
rumah.html. Pada hari Kamis, 19 Maret 2015 pukul 10.00 WIB.

Firdaus, Edwin. 2013. Ini Alasan Kenapa Ratu Atut Lebih Cepat Ditahan. Diunduh
dari www.Tribunnews.com.html. Pada hari Kamis, 19 Maret 2015 pukul
08.00 WIB.
Hsh-kenispri. 2013. Pandangan Al-Kitab tentang Pernikahan. Diunduh dari
http://hsh-kenispri.blogspot.com/2013/05/pandangan-alkitab-tentang-
pernikahan.html. Pada hari Jumat 20 Maret 2015 pukul 13.00 WIB.

Kompas. 2014. Majelis Tinggi Khonghucu: Perbedaan Agama tak Jadi Penghalang
Perkawinan. Diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/24/15470501/Majelis.Tinggi.Khong
hucu.Perbedaan.Agama.Tak.Jadi.Penghalang.Perkawinan. Pada hari Senin, 15
Maret 2015 pukul 13.00 WIB.
Kompas. 2014. Parisada Hindu Dharma Indonesia Tolak Revisi UU Perkawinan.
Diunduh dari
http://nasional.kompas.com/read/2014/11/24/14411821/Parisada.Hindu.Dhar
ma.Indonesia.Tolak.Revisi.UU.Perkawinan?utm_campaign=related_left&utm
_medium=bp&utm_source=news. Pada hari Senin, 15 Maret 2015 pukul
13.20 WIB.
Kompasiana. 2013. Pernikahan dalam Perspektif Berbagai Agama. Diunduh dari
http://sosbud.kompasiana.com/2013/11/17/pernikahan-beda-agama-dalam-
perspektif-berbagai-agama-611672.html. Pada hari Kamis, 19 Maret 2015
pukul 10.57 WIB.

Tihami dkk. 2008. Fikih Munahakat: Kajian fikih Nikah Lengkap. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Wikipedia. 2015. Pernikahan Dalam Islam. Diunduh dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Pernikahan_dalam_Islam . Pada hari Kamis, 19
Maret 2015 pukul 07.01 WIB.

Zarkasih, Ahmad. 2014. Pernikahan Beda Agama Dalam Perspektif Islam. Diunduh
dari https://sepdhani.wordpress.com/2014/09/23/pernikahan-beda-agama-
dalam-perspektif-islam/. Pada hari Jumat, 20 Maret 2015 pukul 11.00 WIB.

Anda mungkin juga menyukai