Makalah Ini Disusun dan Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah
Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : Mu’inan Rafi’ ,SHI.,MSI
Disusun Oleh;
Kelompok 7
1
KATA PENGANTAR
Kami menyadari bahwa tulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan
banyak pihak dengan tulus membantu dan memberikan doa, saran, serta krtitik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapan segala bentuk saran serta bantuan bahkan kritik
yang membangun dari berbagai pihak. Akhirnya kami berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat guna perkembangan dunia pendidikan.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………...........
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………
BAB I……………………………………………………………………………….
BAB II………………………………………………………………………………
BAB III…………………………………………………………………………….
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….
DAFTAR
PUSTAKA……………………………………………………………….
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
dikerjakan dan ditinggalkan. Sedangkan hukum wadh’i adalah hukum yang
menjadikan sesuatu itu sebagai sebab adanya yang lain, atau syarat bagi
sesuatu yang lain atau sebagai penghalang bagi sesuatu yang lain. Perbuatan
baik adalah perbuatan yang dianggap baik menurut akal karena ada
manfaatnya, sedangkan perbuatan jelek adalah perbuatan yang dianggap jelek
oleh akal karena ada bahayanya. Adapun hukum-hukum Allah atas perbuatan
orang mukallaf ukurannya adalah menurut akal mereka sendiri, baik atau
jelek.
Hukum itu adakalanya berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam
bentuk tuntutan, pilihan atau berbentuk ketetapan, dan hukum yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk ketetapan dengan
hukum Wadh’i. Oleh sebab itu, dalam pembahasan ini kami akan membahas
mengenai hukum Wadh’I, macam-macam hukum wadh’i, perbedaan hukum
wadh’I dengan hukum taklifi, dan keterkaitanya hukum wadh’I dengan hukum
taklifi.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hukum wadh'i.
2. Untuk mengetahui macam-macam hukum wadh’i dan perbedaan
hukum Wadh’i.
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara hukum wadh’i dan hukum
taklifi.
4. Untuk menambah wawasan yang luas mengenai mata kuliah Ushul
fiqh.
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
mukallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, dengan kata lain
Hukum wadh’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain. Bisa
juga diartikan hukum wadh’i adalah hukum yang menjelaskan hukum
taklifi atau yang menjadi akibat dari pelaksanaan hukum taklifi.
B. uHukum Wadh’i
Pada dasarnya, Hukum wadh’i merupakan ilmu yang
mendefinisikan hukum Islam yaitu usul fikih. Dalam usul fikih, hukum
didefinisikan sebagai khitabullah al-muta’alliq bi af’ali al- mukallafin bil
iqtidha’ aw al-wadh (titah Tuhan yang berhubungan dengan perbuatan
orang-orang mukallaf baik tuntutan atau ketetapan). Kita dapat memahami
bahwa, titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku mukalaff dalam
bentuk tuntutan dan pemberian pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat
dinamakan hukum taklifi. Titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu
yang berkaitan dengan hukum- hukum taklifi dimanakan hukum wadh’i.
Definisi ini merupakan yang paling umum digunakan dalam Usul Fikih.
Hukum wadh’i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan
penetapan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain.
Sebagian ulama menambah cakupan hukum wadh’i dengan memasukkan
tema sah, batal, dan rusak (fasad). Akan tetapi, pembahasan mengenai sah,
batal, dan rusak tidak hanya termasuk hukum wadh’i melainkan juga
termasuk kedalam hukum Taklifi. Jadi dapat kita simpulkan bahwa hukum
wadh’i adalah hukum yang berkaitan dengan duahal, yaitu sebab yang
disebabkan. Seperti orang yang junub menyebabkan orang tersebutharus
mandi, dan adanya orang yang memiliki harta yang sudah mencapai Nisab
menyebabkan orang tersebut harus berzakat, demikian juga halnya yang
mampu untuk naikhaji, Firman Allah QS. Ali Imran: 97
هّٰلِل ٌ ۢ فِ ْي ِه ٰا ٰي
تَطَا َعMاس
ْ ت َم ِن ِ َّا ۗ َو ِ َعلَى النMًانَ ٰا ِمنMهٗ َكMMَت َّمقَا ُم اِب ْٰر ِه ْي َم ەۚ َو َم ْن َدخَ ل
ِ اس ِحجُّ ْالبَ ْي ٌ ت بَي ِّٰن
َاِلَ ْي ِه َسبِ ْياًل ۗ َو َم ْن َكفَ َر فَا ِ َّن هّٰللا َ َغنِ ٌّي َع ِن ْال ٰعلَ ِم ْين
Artinya :
7
“ Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam
Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di
antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah
haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan
perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka
ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
seluruh alam. “
2.2 Pembagian Hukum Wadh'i dan Perbedaan Hukum Wadh’i dan Hukum
Taklifi
A. Pembagian Hukum Wadh'i
8
Misalnya, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi
datangnya waktu shalat zuhur, masuknya bulan Ramadhan
menjadi sebab (alasan) bagi kewajiban melakukan puasa
Ramadhan, dan keadaan terdesak menjadi sebab bagi
bolehnya seseorang memakan sesuatu yang diharankan.
Sebab yang merupakan perbuatan mukalaf dan dalam batas
kemampuannya. Sebab ini dibagi dua :
a) Yang termasuk dalam hukum taklift, seperti menyaksikan
bulan menjadikan sebab wajib melaksanakan puasa (QS
Al-Baqarah [2]:185). Begitu juga keadaan sedang dalam
perjalanan menjadi sebab boleh tidak berpuasa di bulan
Ramadhan (QS Al-Baqarah [2]: 185)
b) Yang termasuk dalam hukum wadh'i, seperti perkawinan
menjadi sebabnya hak warisan antara suami istri dan
menjadi sebab haramnya mengawini mertua, dan lain
sebagainya.
2. Syarat
a. Pengertian Syarat
Menurut bahasa kata syarat berarti "sesuatu yang
menghendaki adanya sesuatu yang lain" atau "sebagai tanda".
Menurut istilah Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Abdul-Karim
Zaidan, syarat adalah:
“Sesuatu yang tergantung kepadanya ada sesuatu yang lain,
dan berada di luar dari hakikat sesuatu itu.”
Yang dimaksud dengan syarat adalah segala sesuatu yang
tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan
tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum.
Namun, dengan adanya sesuatu itu tidak mesti pula adanya
hukum. Misalnya, wajib zakat barang perdagangan apabila
usaha perdagangan itu sudah berjalan satu tahun bila syarat
berlakunya satu tahun itu belum terpenuhi, zakat itu belum
9
wajib. Namun, dengan adanya syarat-berjalan, satu tahun-itu
saja belumlah tentu wajib zakat, karena masih tergantung
kepada sampai atau tidaknya dagangan tersebut senisab.
b. Pembagian syarat
Ulama Ushuliyyin membagi syarat kepada beberapa
bagian:
1) Syarat hakiki (syar i).
yaitu segala pekerjaan yang diperintahkan sebelum
mengerjakan yang lain dan pekerjaan itu tidak diterima
(sah) bila pekerjaan yang pertama belum dilakukan.
Misalnya, wudhu menjadi syarat sahnya shalat, dan saksi
menjadi syarat sahnya nikah.
2) Syarat Ja’li
adalah syarat yang dibuat oleh yang bersangkutan untuk
terealisasinya perbuatan yang dimaksud atau syarat yang
datang dari kemauan orang muklaf itu sendiri. Misalnya,
seorang suami berkata kepada istrinya: "Jika engkau
memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu' ,
dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia
menjamin untuk membayarkan utang si pulan dengan
syarat si pulan itu tidak mampu membayar utangnya itu.”
3. Mani`
a. Pengertian Mani’
Kata mani’ secara etimologi berarti “penghalang dari
sesuatu”. Sedangkan yang dimaksud dengan Mani' adalah
segala sesuatu dengan adanya dapat meniadakan hukum atau
dapat membatalkan sebab hukum. Sebuah akad misalnya
dianggap sah bilamana telah mencukupi syarat-syaratnya dan
akad yang sah itu mempunyai akibat hukum selama tidak
terdapat padanya suatu penghalang (mani'). Misalnya, akad
10
perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan
rukunnya adalah sebagai sebab bagi waris mewarisi. Tetapi
masalah waris mewarisi itu bisa jadi terhalang disebabkan
suami misalnya telah membunuh istrinya. Tindakan
pembunuhan dalam contoh tersebut adalah mani (penghalang)
bagi hak suami untuk mewarisi istrinya. Dalam sebuah hadis
dijelaskan bahwa tidak ada waris mewarisi antara pembunuh
dan terbunuh.
b. Pembagian Mani’
1. Mani’ Al-Hukm,
Yaitu sesuatu yang ditetapkan syariat sebagi penghalang
bagi adanya hukum. Misalnya: Keadaan haid bagi wanita
ditetapkan Allah sebagai mani' bagi kecakapan wanita itu
untuk melakukan shalat, dan oleh karena itu shalat tidak
wajib dilakukannya waktu haid.
2. Mani’ Al-Sabab,
Yaitu sesuatu yang ditetapkan syari’at penghalang bagi
berfungsinya suatu sebab sehingga demikian sebab itu tidak
lagi mempunyai akibat hukum. Misalnya, seseorang yang
memiliki harta senisab wajib mengeluarkan zakatnya.
Namun, karena ia mempunyai utang yang jumlahnya sampai
mengurangi nisab zakat ia tidak wajib membayar zakat,
karena harta miliknya tidak cukup senisab lagi. Memiliki
harta senisab itu adalah menjadi sebab wajibnya zakat.
Namun, keadaannya mempunyai banyak utang tersebut
menjadikan penghalang sebab adanya hukum wajib zakat.
Dengan demikian, mani' dalam contoh ini adalah
menghalangi sebab hukum zakat.
11
1. Sah dan Batal
Secara harfiah, sah berarti "lepas tanggung jawab" atau "gugur
kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat".
Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang
diperintah syara'. Sebaliknya, batal dapat diartikan tidak melepaskan
tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban di dunia, dan di
akhirat tidak memperoleh pahala.
2. Azimah dan Rukhshah
a. Pengartian azimah
Yang dimaksud dengan azimah adalah peraturan-peraturan
Allah yang asli dan terdiri atas hukum-hukum yang berlaku
umum Artinya, hukum itu berlaku bagi setiap mukalaf dalam
semua keadaan dan waktu biasa (bukan karena darurat atau
pertimbangan lain) dan sebelum peraturan tersebut belum ada
peraturan lain yang mendahuluinya. Misalnya, bangkai, menurut
hukum asalnya-adalah haram dimakan oleh semua orang.
Ketentuan ini disebut juga dengan hukum pokok.
b. Pengertian Rukhshah
Yang dimaksud dengan rukhshah adalah peraturan-peraturan
yang tidak dilaksanakan karena adanya hal-hal yang
memberatkan dalam menjalankan azimah. Dengan kata lain,
rukhshah adalah pengecualian hukum-hukum pokok (azimah)
sebagaimana disebut sebelumnya.
12
tidak mengandung tuntutan atau memberi pilihan, hanya menerangkan
sebab atau halangan (mani') suatu hukum, sah, dan batal.
b. Dilihat dari sudut kemampuan mukalaf untuk memikulnya,
Hukum taklifi selalu dalam kesanggupan mukalaf, baik dalam
mengerjakan atau meninggalkannya. Sedangkan hukum wadh'i
kadang-kadang dapat dikerjakan (disanggupi) oleh mukalaf dan
kadang-kadang tidak. Hukum taklifi memnpunyai sanksi hukum,
sementara hukum wadh'i hanya mempunyai konsekuensi hukum.
13
Berdasarkan penjelasan diatas kita dapat memahami bahwa, pembagian
hukum Syariah menjadi dua hukum di atas, maka sangat memungkinkan ada
suatu perbuatan yang secara taklifi hukumnya haram, namun secara wadh’i
hukumnya sah. Sebab haram dan sah adalah dua “jenis” hukum yang berbeda
dan pada hakikatnya tidak terkait satu sama lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
a) Hukum wadh’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab bagi
adanya sesuatu yang lain atau sebagai syarat bagi sesuatu yang lain.
b) Hukum wadh’i adalah perintah Allah yang berkaitan dengan penetapan
sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi yang lain.
c) Hukum wadh’i dibagi menjadi 3 yaitu: sebab, syarat, mani’ namun
beberapa ulama menambahkan sah dan batal, azimah dan rukhshah
14
d) Perbedaan antara hukum takifli dan hukum wadh’i dibagi menjadi 2 yaitu:
dilihat dari sudut pengertiannya, dan dilihat dari sudut kemampuan
mukalaf untuk memikulnya.
e) Hukum taklifi terbagi menjadi 5 hukum, yaitu: wajib, mandub, haram,
makruh, dan mubah.
f) Hukum wadh’i juga dibedakan menjadi 5, yaitu: Sabab ()السبب, Syarath (
رطMMM)الش, Mani’(انعMMM)الم, shihhah (حةMMM الصdan buthlan ()البطالن, ‘Azimah
rukhshoh ()العزیمة الرخصة.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, M. (2014). ILMU FIQH DAN USHUL FIQH: Sebuah
Pengantar. Jl. Raya Leuwinanggung, No. 112 Kel. Leuwinanggung, Kec.
Tapos, Kota Depok 16956: PT RAJAGRAFINDO PERSADA.
Prof. Dr. Satria Effendi, M. Z. (2005). USHUL FIQH. Jl. Tambra Raya No. 23
Rawamangun Jakarta 13220: KENCANA PRENADA MEDIA GROUP.
15
rahman, A. (2016). Hakikat wahyu menurut perepektif para ulama. jurnal
Ulunnuha, 4-6.
16