Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah SPPEI

“Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi (364-450H/974-1058M)”

Dosen Pengampu: Abdul Salam, S.H.I., M.A

Disusun oleh:

Ajik Saputra 222200425


Aldi Rohman 222200432
Darwoto 222200426
Mutamaroh 222200430
Nur Khayati 222200428
Papuk Diyah Sayekti 222200427
Siti Khasanah Khairunisa 222200429
Tia Atiyatul Masruroh 222200431

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ALMA ATA
YOGYAKARTA
2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr wb.
Alhamdulillah, puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah Ta’ala. atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang berjudul, “Pemikkiran
Ekonomi Al-Muwardi (364-450H/974-1058M)” dapat kami selesaikan dengan
baik. Kami berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca
tentang bagaimana sistem perekonomian pada masa Al-Muwardi dan apa saja
kebijakan-kebijakan yang dijalankan pada masa itu. Begitu pula atas limpahan
kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada kami sehingga
makalah ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni melalui buku,
kajian pustaka maupun melalui media internet.
Pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
orang yang memberi kami antusiasme dan motivasi untuk menetapkan dokumen
ini. Kepada orang tua kami yang selalu mendukung, dosen pengampu kami,
Bapak Abdul Salam S.H.I., M.A. dan teman-teman seperjuangan yang sudah
membantu. Harapan kami, informasi yang terkandung dalam makalah ini dapat
berguna bagi pembaca. Tidak ada yang sempurna di dunia, tetapi Allah SWT
Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kesalahan penulisan, atau
bahkan ketidakcocokan materi yang telah kami ajukan dalam makalah ini, kami
mohon maaf. Kami menerima kritik dan saran dari pembaca agar dapat membuat
makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.
Wassalamu’alaikum wr wb.

Yogyakarta, 5 Februari 2023

Kelompok 8

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................2
D. Metode Penulisan......................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Biografi al-Mawardi..................................................................................3
B. Karya al-Mawardi......................................................................................4
C. Pemikiran ekonomi ...................................................................................5
D. Kebijakan fiskal......................................................................................11
E. Mekanisme pasar.....................................................................................14
F. Pengakuan hak tanah...............................................................................18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................................................21
B. Saran........................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pemikiran ekonomi Islam tidak dapat dipisahkan dari perkembangan sejarah
Islam. Pemikiran ekonomi Islam diawali sejak Rasulullah SAW mengeluarkan
sejumlah kebijakan yang menyangkut berbagai hal yang berkaitan dengan
masalah Muamalah. Masalah Muamalah menjadi perhatian Rasulullah SAW
karena masalah ekonomi merupakan pilar penyangga keimanan seseorang.
Selanjutnya, kebijakan-kebijakan tersebut diikuti oleh para khulafa’ur Rasyidin
dalam memutuskan masalah-masalah ekonomi dan terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman.
Dalam tulisan ini mencoba mengungkapkan pemikiran ekonomi al-Mawardi
(364-450 H/ 974-1068 M) yang hidup pada masa kejayaan islam era dinasti
Abbasiyah. Ia adalah seorang ilmuwan terkemuka abad kesebelas masehi yang
dikenal seorang ulama yang produktif dan meninggalkan banyak karya ilmiah
yang diakui pada zamannya dan berpengaruh sehingga menjadi inspirasi para
pemikir muslim setelahnya.
Penempatan al-Mawardi hanya sebagai alhi hukum dan politik pada
kenyataannya tidak sepenuhnya tapat. Al- Mawardi merupakan pemikir yang
peduli dan brilian dalam berbicara ekonomi khususnya dalam kajian keuangan
public, peran negara dlam ekonomi dan ekonomi islam. Al- Mawardi
menampilkan pemikiran (mazhab) ekonomi jalan tengah antara kapitalisme dan
sosialisme dimana inti pemikiran ekonominya dibangun atas tiga prinsip.
Pertama, kepemilikan seseorang adalah bagian dari kebebasan yang bersifat alami
(min al-hirriyyat at-tabi’yyah). Kedua, kerja (al-amal) merupakan keniscayaan
bagi setiap individu sesuai dengan kemampuannya. Ketiga, setiap yang
membutuhkan orang lain atau masyarakat (hajat al-insan ila al-mujtama).
Tulisan ini akan menjelaskan pemikiran Al-Muwardi sebagai tokoh dalam
pemikiran perkembangan ekonomi islam. Dengan berbagai sumber-sumber
referensi, tulisan ini akan menjawab persoalan tersebut.

1
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi objek pembahasan makalah ini meliputi:
1. Bagaimana biografi imam al-Mawardi ?
2. Apa saja karya dari imam al- Mawardi ?
3. Bagaimana Kontribusi pemikiran ekonomi al-Mawardi dan Kebijakan Fiskal
dari Beliau ?
4. Bagaimana Pemikiran al-Mawardi tentang mekanisme pasar dan Pengakuan
hak tanah ?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, yang menjadi tujuan penulisan
makalah ini adalah :
1. Mengetahui latar belakang dan biografi al-Mawardi
2. Mengetahui apa saja karya yang dimiliki al-Mawardi
3. Menjabarkan apa saja hasil dari pemikiran imam al-Mawardi
4. Mengetahui bagaimana kebijakan fiskal pada masa al-Mawardi
5. Mengetahui tentang mekanisme pasar yang dipakai
6. Mengetahui apa saja yang menjadi pengakuan atas hak tanah

D. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini yaitu melalui buku, kajian pustaka dan
internet. Dimana sumber-sumber referensi yang cukup agar dapat menghasilkan
pemahaman yang lengkap.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI AL-MAWARDI
Nama lengkap Imam al Mawardi adalah Ali bin Muhammad bin Habib Al
Mawardi al-Basri, al syafii. Gelar al Mawardi diperolehnya dari para ahli taqabat
dan sejarah sebagai pengakuan kemampuannya dalam ilmu agama, Qodi al
Qudhat, al Basri dan Al syafi’i. Penamaan al Mawardi sekarang ini adalah
dikaitkan kepada hal tertentu yaitu air mawar (ma’ al-wardi) kepada bapak
kemudian kakeknya sebagai yang dikenal menjual air mawar. Gelar Qodi al
qudhat dikarenakan bahwa dia adalah seorang ketua Qadi yang berakhlakk mulia
dalam bidang fiqih. Saat tahun 429 H diterimalah gelar tersebut. Gelar yang
diberikan biasanya dikaitkan dengan daerah dimana orang tersebut berasal karena
al Mawardi terlahir yang bertempat di Kota Basrah maka dia diberi gelar al Basri.
Nama panggilan kesayangan dikalangan keluarganya adalah Abu Hassan.
Al-Mawardi menerima pendidikannya pertama di Basrah belajar ilmu
hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid as-Saimari seorang ahli hukum madzhab
Syafi’I yang terkenal. Kemudian pindah ke Baghdad utk melanjutkan pelajaran
hukum tata bahasa dan kesastraan dari Abdullah al-Bafi dan Syaikh Abdul Hamid
al Isfraini. Dalam waktu singkat ia telah menguasai dengan baik pelajaran
pelajaran Islam termasuk hadits dan fiqh seperti juga politik etika dan sastra. Dari
menjabat qadhi di berbagai tempat kemudian diangkat sebagai qadhi al-Quzat di
Ustuwa sebuah distrik di Nishabur. Kegiatan mengajar dan menulis tetap masih
dilakukan oleh al Mawardi meskipun masih aktif menjadi hakim agung. Al
Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali al khatib al Baghdadi dan Abu al izza Ahmad
bin Kadasy merupakan beberapa murid yang pernah belajar kepada Imam al
Mawardi1
Al-Mawardi tergolong sebagai penganut madzhab Syafi'i, namun dalam
bidang teologi ia juga mempunyai kecenderungan kepada pemikiran yang bersifat
1
Yadi Jamwari, Pemikiran Ekonomi Islam , Bandung : Remaja Rosdakarya, 2016 hal 172-173.

3
rasional. Hal tersebut sangat terlihat dari pertanyaan Ibn as-Salah yang
menyatakan bahwa dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan antara
ahli as-Sunnah dan Mu'tazilah, al-Mawardi ternyata lebih cenderung kepada
Mu'tazilah.
Karir al-Mawardi selanjutnya dicapai pada masa Khalifah al-Qaim (103-
1074). Pada waktu itu ia diserahi tugas sebagai duta diplomatik untuk melakukan
negosiasi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dengan para tokoh pemimpin
dari kalangan Bani Buwaihi Seljuk Iran2 Karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi
lahir dari al-Mawardi seperti, Tafsir al-Qur’an al-Karim, al-Amtsal wa al-Hikam,
alHawi al-Kabir, al-Iqna, al-Adab ad-Dunya wa ad Din, Siyasah al-Maliki,
Nasihat alMuluk, al-Ahkam ash-Sulthaniyyah, An-Nukat wa al-‘Uyun, dan
Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al-Maliki.

B. KARYA IMAM AL-MAWARDI


Pada prinsipnya, pemikiran ekonomi islam Imam al-Mawardi tercermin,
terdapat tiga buku hasil tulisannya, yaitu buku Adab ad-Dunya wa ad-Din, Al
Ahkam Sulthaniyah dan al-Hawi.

1. Buku Adab ad-Dunya wa ad-Din


Al-Mawardi menuliskan perihal perilaku ekonomi orang islam beserta mata
pencaharian utama dimasa itu, diantaranya adalah bidang pertanian, bidang
peternakan, bidang perdagangan dan bidang perindustrian.
2. Buku al-hawa
Imam al-Mawardi pada buku ini membahas secara terperinci tentang secara
detail perihal mudharabah (Kerjasama ekonomi) dalam pandangan berbagai
mazhab.
3. Buku al Ahkam Sulthaniyah
Sistem administrasi pemerintahan dan muamalah secara islami banyak
diuraikan oleh Imam Al-Mawardi, kemudian pentingnya hak dan
kewajiban pimpinan kepada rakyatnya, institusi negara, kebijakan fiskal
mengenai pendapatan dan pengeluaran, serta lembaga hibah.

2
Nata, Abuddin, 2001, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

4
Buku yang paling representative menjelaskan pemikiran ekonomi islam al-
Mawardi adalah al-Ahkam AsSulthaniyyah, Imam al-Mawardi secara detail
memaparkan hal tersebut dalam bab 11,12, dan 13 menguraikan sistem ekonomi
dan keuangan Negara yang tiap babnya nenguraikan perihal harta, sedekah,
ghanimah, harta jizyah dan Kharaj, selain itu juga mengenai pemberian lahan
kepada rakyat dibahas khusus pada Bab 17 dimana tanah sebagai salah satu
peralatan untuk berusaha. Menganalisa terhadap buku alAhkam As-Sulthaniyyah
dengan buku buku yang sejenis dimasa lampau menunjukan bahwa al-Mawardi
membahas permasalahan keuangan dengan pola yang terukur sehingga lebih
terstruktur dan sumbangsih terbesarnya al-Mawardi tertera mengenai pendapatnya
perihal pengenaan pajak lainnya dan diperbolehkannya negara melakukan
peminjaman publik / hutang pemerintah.

Selain ketiga buka diatas , al Mawardi pun menulis buku lain diantaranya
 Tafsir al-Qur’an al-Karim
 al-Amtsal wa al-Hikam
 al-Iqna
 Siyasah al-Maliki
 An-Nukat wa al-‘Uyun
 Nasihat al- Muluk
 Siyasah al-Wizarat wa as-Siyasah al Maliki

C. KONTRIBUSI PEMIKIRAN EKONOMI AL-MAWARDI


Pemikiran Ekonomi Al-Mawardi tersebar pada tiga buah karya tulisnya,
yaitu Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah.
Akan tetapi, para ahli ekonomi Islam sepakat bahwa al-Ahkam as-Sulthaniyyah
merupakan kitab yang paling komprehensif dalam merepresentasikan pokok
pokok pemikiran ekonomi al-Mawardi3 Buku ini ditulis al-Mawardi pada paruh
pertama abad ke-5 Hijriah. Akan tetapi, kitab al-ahkam as-sulthaniyyah ditulis
secara sistematik dan runtut dan bagian utama kitab ini membahas tentang
3
Karim, AdiwarmanAzwar, 2014, SejarahPemikiranEkonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press.

5
masalah perpajakan, persoalan pengelolaan tanah, wilayah pembelanjaan publik
dan masalah keuangan terkait lainnya.
Satu bab dalam kitab tersebut membahas masalah pemerintahan dan
prosedur administrasi, pengawasan pasar, sistem mata uang, pertanian dan
sebagainya. Pada aspek administrasi keuangan, al-Mawardi banyak mengambil
pandangan-pandangan Madzhab Hanafi dan Maliki serta Syafi’i sebagai madzhab
pegangannya.

Berikut ini beberapa pemikiran ekonomi al-Mawardi yang berkonstribusi terhadap


perkembangan ekonomi Islam antara lain :

1. Negara dan aktivitas ekonomi


Al-Mawardi menegaskan bahwa kepemimpinan negara (imamah)
merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara
agama dan mengatur dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia
merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namum berhubungan secara
simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian. Oleh
karenanya, pelembagaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan),
menurutnya adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ ulama Dengan
demikian, negara memiliki peran aktif demi teralisasinya tujuan material
dan spiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi penguasa dalam membantu
merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan
masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.
Tujuan utama negara telah ditetapkan oleh al-Qur’’an. Ayat-ayat suci
al-Qur’an menekankan kemudahan dan penghapusan kesulitan, menciptakan
kemakmuran, menumbuhkan rasa cinta dan kasih sayang, dan menjamin
terhapusnya moral korupsi, kelaparan, dan tekanan mental 4 Negara wajib
mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan
publik karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan
semacam itu. Dengan demikian, layanan publik merupakan kewajiban sosial

4
Azmi, Sabahuddin, 2005, Islamic Economics; Public Finance in Early Islamic Thought, Terj.
Widyawati, Menimbang Ekonomi Islam; Keuangan Publik, Konsep
Perpajakan dan Peran Bait al-Mal, Bandung: Nuansa.

6
(fardh kifayah) dan harus bersandar kepada kepentingan umum. Hal tersebut
penting karena menjadi tugas negara. Di samping itu, tugas-tugas negara
lainnya adalah sebagai berikut :

a. Melindungi agama
b. Menegakkan hukum dan stabilitas
c. Memelihara batas negara Islam,
d. Menyediakan iklim ekonomi yang kondusif
e. Menyediakan administrasi publik, peradilan, dan pelaksanaan hukum
Islam
f. Mengumpulkan pendapatan dari berbagai sumber yang tersedia serta
menaikkannya dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya,
dan
g. Membelanjakan dana-dana Baitul Maal untuk berbagai tujuan yang telah
menjadi kewajibannya.

2. Pinjaman publik
Pinjaman Publik untuk menutupi defisit dalam anggaran dibolehkan
dalam syari’ah karena Rasulullah SAW pernah melakukannya. Akan tetapi,
perinciannya tidak pernah diriwayatkan dalam literatur hadis atau hukum.
Hal inilah yang kemudian membuat Al-Mawardi, Al-Juwaini dan al-Ghazali
membahas syarat-syarat dan kondisi dibolehkannya pinjaman publik
tersebut. Al-Mawardi sepakat dengan pinjaman publik. Karena, menurutnya
ada pembedaan antara pembiayaan tugas-tugas perintah negara dan
pembiayaan kepentingan dan kesejahteraan umum masyarakat. Oleh karena
itu, pinjaman publik untuk pembiayaan semacam itu atas barang-barang dan
layanan yang telah dikontrak oleh negara menjadi keharusan.
Selain itu, ada kewajiban-kewajiban negara yang disebabkan oleh
prinsip penggajian tetap seperti gaji tentara dan biaya persenjataan.
Kewajiban-kewajiban ini tetap harus dilakukan terlepas apakah dananya ada
atau tidak. Jika terdapat dana yang tersebar di sana sini, negara dapat
menempuh jalan ke pinjaman publik untuk memenuhi kewajiban-

7
kewajibannya5 Dari sini dapat dipahami bahwa al-Mawardi
memperbolehkan pinjaman dengan syarat untuk memenuhi pembiayaan
negara yang telah ditetapkan. Sejauh kesejahteraan dan kemaslahatan
umum (masyarakat) tetap menjadi prioritas utama dalam pembelanjaan.

3. Perpajakan
Dalam masalah perpajakan, al-Mawardi mempunyai pandangan
sendiri yang sedikit berbeda dengan trend pendapat pada masa klasik.
Menurutnya, keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak
jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat
faktor dalam penilaian kharaj, antara lain:
a. Kesuburan tanah. Karena kesuburan tanah sedikit banyaknya
mempengaruhi jumlah produksi.
b. Jenis tanaman. Hal ini terjadi karena tanaman ada berbagai jenis dengan
variasi harga yang berbeda-beda.
c. Sistem irigasi. Tanaman yang menggunakan sistem irigasi manual tidak
dapat dikenai pajak yang sama dengan tanaman yang menggunakan
sistem irigasi alamiah.
d. Jarak antara tanah yang menjadi obyek kharaj dengan pasar. Hal ini
penting karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung
pada jarak tanah dari pasar.

4. Lembaga keuangan negara


Menurut al-Mawardi, dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap
warganya, negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Maal)
yang didirikan secara permanen. Agar pendapatan negara dari berbagai
sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai
dengan alokasinya masing-masing. Jika dana pada pos tertentu tidak
mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya, pemerintah
dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain. Untuk menjamin
pendistribusian harta baitul maal berjalan lancar dan tepat sasaran, negara

5
Azmi, Sabahuddin, 2005, Islamic Economics hlm 138

8
harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin6 Dewan Hisbah
(Wilayah al-Hisbah) adalah suatu kekuasaan atau wewenang untuk
menjalankan amal ma’ruf ketika yang ma’ruf itu mulai ditinggalkan orang
dan mencegah yang mungkar ketika mulai dikerjakan orang. Wilayah al-
Hisbah disebut juga suatu kekuasaan peradilan, yang memiliki wewenang
lebih luas dari dua peradilan lainnya, yakni wilayah al-qada’ (peradilan
biasa), dan wilayah al-mazalim (peradilan khusus kejahatan penguasa dan
keluarganya).
Adapun wewenang wilayah al-Hisbah adalah berkaitan dengan
pelanggaran esensi dan pelaksanaan ibadah maupun akidah. Pelanggaran
esensi dan pelaksanaan ibadah, seperti tidak melaksanakan shalat, puasa,
zakat, dam haji, termasuk juga permasalahan muamalah, seperti penipuan
dalam jual beli, misalnya mengurangi timbangan, penipuan kualitas barang,
pelanggaran susila, perjudian, sikap sewenang-wenang dalam
mempergunakan hak tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain.
Sedangkan pelanggaran dalam persoalan akidah mencakup antara lain sikap
mengagung-agungkan makhluk Allah melebihi keagungan Allah SWT,
melakukan perbuatan syirik, tahayul, khurafat, serta perbuatan-perbuatan
lain yang mengarah kepada syirik7
Sedangkan kelompok yang berhak (mustahik) atas harta baitul maal
ada dua. Pertama,, orang yang berhak atas harta baitulmaal karena harta
tersebut sebagai alat pemelihara dirinya. Hak dalam bentuk ini akan hilang
bila baitulmaal sedang kekosongan dana. Misalnya, seseorang yang dikenai
diat (denda) karena suatu pelanggaran hukum sedang ia atau keluarganya
tidak mampu membayarnya. Ia berhak mendapatkan harta baitulmaal
selama baitulmaal memiliki dana. Kedua, orang yang berhak atas harta
baitulmaal karena memang itu adalah haknya. Kelompok kedua ini terbagi
menjadi dua.
Pertama, orang yang berhak terhadap harta baitulmaal secara badal
(penggantian), seperti hak tentara yang berjuang di jalan Allah SWT, untuk

6
Karim, AdiwarmanAzwar, 2014, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press
7
IchtiarBaru Van Hoeve, 1996, EnsiklopediHukum Islam Volume 1, Jakarta: IchtiarBaru Van
Hoeve.

9
pembelian senjata dan perlengkapan negara lainnya, dan sebagainya. Dalam
hal ini, kendati kas baitulmaal sedang kosong, hak itu tidak gugur. Hak itu
akan dibayar ketika harta baitulmaal telah tersedia. Kedua, orang yang
berhak atas harta baitulmaal karena suatu kemaslahatan umum. Misalnya,
seseorang yang telah membantu memberi utang berupa makanan untuk para
pejuang muslim dalam suatu peperangan berhak menerima harta baitulmaal
dan baitulmaal wajib memberinya harta tersebut. Jika kas baitulmaal
sedang kosong, maka baitulmaal tidak wajib memberinya.

5. Konsep keaadilan
Keadilan dalam Islam mengandung suatu konsep yang bernilai tinggi.
Ia tidak identik dengan keadilan yang diciptakan manusia. Keadilan buatan
manusia dengan doktrin humanisme telah mengasingkan nilai-nilai
transendental dan terlalu mengagungkan manusia sebagai individu, sehingga
manusia menjadititik sentral. Sebaliknya, konsep keadilan dalam Islam
menempatkan manusia pada kedudukannya yang wajar baik sebagai
individu maupun sebagai suatu masyarakat. Manusia bukan merupakan titik
sentral, melainkan ia adalah hamba Allah yang nilainya ditentukan oleh
hubungannya dengan Allah dan dengan sesama manusia.
Dalam doktrin Islam hanya Allah SWT yang menempati posisisentral.
Karena itu, keadilan dalam humanisme Islam selalu bersifat teosentrik,
artinya bertumpu dan berpusat pada Allah Tuhan Yang Maha Besar dan
Maha Kuasa. Dengan demikian, keadilan dalam Islam memiliki kelebihan
yang tidak dijumpai dalam konsep-konsep keadilan versi manusia8 Menurut
al-Mawardi (1995: 100-119) keadilan terbagai menjadi tiga macam,
pertama, keadilan pada orang yang secara status berada di bawahnya,
misalnya pemimpin kepada rakyat. Kedua, keadilan kepada orang yang
secara status berada di atasnya, misalnya rakyat kepada pemimpinya, ketiga,
keadilan kepada orang yang secara status setingkat. Pentinnya keadilan ini,

8
Azhary, Muhammad Tahir, 2007, Negara Hukum; Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya
Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini,
Jakarta: Kencana

10
karena keadilan merupakan timbangan Allah yang diletakkan-Nya di
tengah-tengah mahluk-Nya dan ditempatkan bagi penentu kebenaran.

D. KEBIJAKAN FISKAL
Al Mawardi mengatakan bahwa peningkatan pendapatan yang besar tidak
mengintepretasikan terhadap keberhasilan keuangan apabila didalam
pengumpulannya terdapat ketidak adilan dan juga bila didalam memperolehnya
menggunakan berbagai cara yang curang. Keuangan secara islami bertujuan
menjadikan manusia mendapatkan kesejahteraan jasmani dan rohani di dunia dan
akherat.9

1. Faktor penerimaan
Terdapat 6 jenis penerimaan negara menurut al Mawardi yaitu ;
a. Zakat
Al Mawardi memandang bahwa berbagai macam zakat merupakan salah
satu instrumen dalam fiskal negara yang teramat penting dimana zakat bisa
membantu mengurangi pengeluaran negara yang juga kebijakan ekonomi
pemerintah dapat terpengaruh.

b. Fai’
Fai’ adalah harta orang musyrik yang diperoleh kaum muslimin secara
sukarela tanpa pertempuran dan tidak menggunakan kekuatan militer
Penerima jatah Fai’ telah ditentukan yaitu ;
1. Rosulullah semasa beliau hidup sebesar seperlimanya, semenjak beliau
meninggal jatahnya dipergunakan untuk kepentingan umat islam menurut
Imam Syafi’i.
2. Kerabat Rosulullah sebesar seperlima akan tetapi menurut Abu Hanifah
hak mereka atas jatah Fai’ telah gugur dan dipergunakan untuk
kepentingan umat islam
3. Golongan anak-anak yatim yang termasuk orang miskin sebesar
seperlima jatahnya.

9
Rahmawati, Lili. Kebijakan Fiskal dalam Islam, Jurnal al-Qānūn, tahun 2008

11
4. Orang-orang miskin, mereka adalah yang menerima jatah fai’ yang tidak
memiliki harta apapun didalam memenuhi keperluan hidup sehari-
harinya. Penerima zakat dan Fai’ yaitu orang miskin itu berbeda
manusianya tidak boleh sama. Adapun jatahnya adalah seperlima bagian
juga.
5. Kalangan ibnu sabil mendapat jatah seperlima, ibnu sabil yaitu kalangan
yang menerima bagaian fai’ yang tidak mempunyai kecukupan bekal
diperjalanannya. Penerima Fai’ tidak boleh sama denan penerima zakat,
keduanya mempunyai jatah penerima tersendiri.

c. Ghanimah
Ghanimah merupakan harta-harta kaum muslimin yang didapat dari
peperangan dari kaum musyrikin, memiliki aturan dan aturan yang lebih
umum karena ghanimah didalamnya terdiri dari harta-harta Fai’, artinya
ketentuan ghanimah mencakup lebih luas dari ketentuan fai’. Tawanan
perang, sandera, perampasan tanah dan harta itu pembahasannya pada
ghanimah

d. Jizyah
Jizyah dikenakan kepada setiap kaum kafir hal tersebut diwajibkan sebagai
suatu jasa perlindungan yang negera berikan dan dirasakan oleh mereka. Al-
Mawardi menjelaskan bahwa Jizyah tidak boleh dipungut dari kaum wanita,
anak-anak, orang gila dan budak tetapi dipungut dari kaum laki-laki yang
merdeka dan berakal.10 Perhitungan jizyah itu dibayar hanya satu kali dalam
satu tahun hitungan Hijriah.
e. Kharja
Kharaj adalah uang yang dikenakan atas tanah, Tanah yang termasuk
kategori kharaj, Pemikiran Imam Syafi’I dijadikan rujukan oleh al Mawardi
bahwa bila seorang muslim yang menggarap tanah kharajiah dengan
bercocok tanam maka kewajibannya adalah zakat tanamannya dan
kemudian sewa tanahnya, jadi bayar pajak tanahnya dan zakat tanamannya.

10
Al Mawardi , Ahkam Sulthaniyah, Jakarta: Qishi Press, 2020 Hal 253

12
f. Pinjaman
Al-Mawardi berpendapat bahwa pinjaman publik dibolehkan, sebabnya
menurut al Mawardi terdapat dua bagian dalam pembiayaan negara yaitu
tugas-tugas perintah kenegaraan kemudian pembiayaan kesejahteraan
masyarakat secara umum. Adanya kewajiban negara yang disebabkan
pengeluaran tetap seperti upah-upah tentara, hakim, pekerja negara serta
anggaran kelengkapan peralatan senjata. Kewajiban tersebut tetap harus
dibayar sepanjang waktu setiap saat. Jika tidak atau kurang dananya,
negara pada prinsipnya bisa melakukan peminjaman anggaran agar bisa
memenuhi biaya-biaya tersebut diatas Hal tersebut diatas bisa dimaknai
bahwa al Mawardi membolehkan pinjaman atau hutang dengan berbagai
persyaratan ketat dalam pembiayaan negara yang telah dibutuhkan dengna
catatan kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat adalah menjadi
penentu dalam pembelanjaan negara.

2. Faktor pengeluaran
Dalam sistem ekonomi islam versi al-Mawardi bahwa pemasukan harta
ke dalam kas negara adalah amanah , ada kekhususan tidak seperti model
konvensional terikat degan sumber penerimaannya dan ada yang tidak terikat.
Oleh karena itu pemerintah hanya diberi kewenangan sesuai dengan syariah
seperti zakat hanya diberikan kepada 8 asnaf sesuai yang tertulis pada al quran
pada surat at taubah ayat keenampuluh artinya
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha
Bijaksana (Qs, at-Taubah: 60).”
Begitu juga dengan ghanimah dan fai’ yang tertera pada al quran , untuk
ghanimah tercatat pada al qur’an surat al anfal ayat 41 artinya ;
Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat

13
Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu
beriman kepada Allah dan kepada apa yang kami turunkan kepada hamba
Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.
Dan Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu (Qs, Al Anfal ayat 41)
Dan fai’ tertera pada al quran surat Hasyir ayat 7 artinya ;
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya
(dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk
Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan
orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di
antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka
tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat
keras hukumannya (Qs Hasyir ayat 7).
Adapun pengeluaran tetap kepada orang-orang yang telah memberikan
waktu dan karyanya seperti pasukan tentara, hakim, pekerja kerajaan adaah hak
mereka hal itu tidak ditentukan dengan adanya dana atau harta yang ada di
baitul mal apabila tidak ada untuk memenuhinya maka wajib ada
pembayarannya sekalipun dengan opsi pinjaman dan bila negara melakukan
peminjaman maka tahun berikutnya pengeluaran negara bertambah yaitu
pembayaran pinjaman baik dibayar langsung semaunya atau Sebagian-
sebagian.

E. PEMIKIRAN AL-MAWARDI TENTANG MEKANISME PASAR


Hampir seluruh alhi ekonomi islam, termasuk al- Mawardi, berpandangan
banwa mekanisme pasar yang benar diajarkan Rasulullah adalah mekanisme pasar
bebas, tidak ada campur tangan siapapun termasuk pemerintah.11 Dalam masalah
tas’ir (penetapan harga) ini, al-Mawardi secara tegas termasuk ulama yang
mengharamkan. Alasan mendasar bagi al-Mawardi adalah pada dasarnya manusia
berkuasa atas harga mereka, maka tas’ir adalah pembatasan bagi mereka. Maka
posisi pemerintah (imam), dituntut untuk menjaga maslahat muslimin secara
kafah (maslahat al- kaffah). Memperhatikan maslahat pembeli dengan

11
Ayman Reda, “Islam and Markets” Review of social Economy, 2013, vol. 71, No. 1, hal 38

14
menentukan harga rendah tidaklah lebih utama dari memperhatikan maslahat
penjual dengan harga tinggi. Dan jika kedua perkara ini bertemu haruslah
diserahkan kepada ijtihad mereka masing-masing.
Selanjutnya, menurut al-Mawardi, mewajibkan pemilik barang untuk
menjual pada harga yang tidak ia inginkan adalah bertentangan dengan firman
Allah surat An-Nisa:29 yang menjelaskan prinsip ‘an taradin (sukarela). Namun,
pada prakteknya ternyata banyak dijumpai penyimpangan-penyimpangan di pasar.
Ketika adanya penimbunan maka al-Mawardi menyatakan bolehnya intervensi
pasar oleh pemerintah untuk melindungi masyarakat kecil dan mengembalikan
keseimbangan dengan catatan disetujui pihak produsen atau penjual.
Sejalan dengan pandangan al-Mawardi di atas, Ibn Taymiyyah membedakan
dua tipe pengaturan (regulasi) harga, yaitu regulasi harga yang tidak adil
diantaranya pengaturan yang termasuk kezaliman, dan regulasi yang adil dan
dibolehkan. Jika pengaturan/penetapan harga yang dilakukan pemerintah terdapat
unsur kezaliman (ketidakadilan) terhadap manusia dan bersifat memaksa tanpa
hak untuk menjual barang yang disukainya atau melarang mereka dari yang Allah
telah bolehkan, maka haram hukumnya. Namun, jika penetapan harga tersebut
mengandung keadilan antarmanusia untuk bertransaksi jual-beli dengan harga
standar yang normal dan melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan Allah
untuk mengambil tambahan atas harga normal maka hal ini diperbolehkan.12
Dalam kondisi normal, semua ulama sepakat akan haramnya melakukan
tas’ir, namun dalam kondisi ketidakadilan terdapat perbedaan pandangan ulama.
Imam Malik dan Sebagian syafiiyah memperbolehkan tas’ir dalam keadaan
ghala’. Kontroversi antar para ulama berkisar dua poin : pertama, jika terjadi
harga yang tinggi di pasaran dan seseorang berusaha menetapkan harga yang lebih
tinggi ketimbang harga sebenarnya, menurut mazhab maliki harus dihentikan.
Tetapi bila para penjual ingin menjual di bawah harga pasar, dua macam
pendapat: menurut syafi’i atau penganut Ahmad bin Hanbal mereka tetap
menentang berbagai campur tangan pemerintah. Kedua, adalah penetapan harga
maksimum pada kondisi normal, ini bertentangan dengan pendapat mayoritas
ulama.
12
Amalia, “Mekanisme Pasar dan Kebijakan Penetapan Harga Adil dalam Perfektif Ekonomi
Islam”, hal.17. vol 3 No 1, 2020

15
Bagi al-Māwardi, apabila kondisi harus adanya intervensi pemerintah dalam
penetapan harga, maka harus melihat kepentingan berbagai pihak dimana antara
produsen dan konsumen suka rela atas harga tersebut. Dan dalam kondisi ini,
perdagangan mereka sah. Bahkan ia berpandangan apabila pemerintahan sudah
menetapkan harga karena adanya kebutuhan maka penjual yang menyalahi harga
tersebut harus dikenakan ta’zīr. Ia mengemukakan, “Apabila kita mengatakan
penetapan harga boleh (jaiz), maka apabila Imam sudah menetapkan harga,
kemudian orang-orang menjual dengan harga tersebut dan menganggap baik, dan
sebaliknya jika mereka menyalahi harga yang sudah ditetapkan, apakah akad
mereka sah? pendapat yang benar, adalah akadnya sah dan dikenakan sanksi
(ta’zīr) bagi orang yang menyalahinya”
Dari uraian di atas, tampak bahwa al-Māwardi berbeda dengan pandangan
sistem pasar bebas yang bertumpu pada doktrin laissez-faires dengan paradigma
invisible hand. Doktrin ini mempunyai prinsip bahwa ekonomi dalam jangka
panjang akan selalu ada pada kondisi keseimbangan dan dengan sendirinya akan
terjadi equilibrium (keseimbangan pasar) tanpa ada campur tangan pemerintah
atau siapapun sama sekali. Pandangan ini sebetulnya telah banyak dikritik, bukan
saja oleh pakar ekonomi Islam tapi juga pakar ekonomi konvensional, karena
tidak akan menciptakan suasana pasar yang seimbang dan adil, terutama ketika
pasar terjadi distorsi.
Menurut al-Māwardi, dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, ḥisbah
dilaksanakan oleh muḥtasib. Selain muḥtasib, ḥisbah juga dilakukan oleh
mutaṭawwi‘ (relawan). Muḥtasib termasuk hakim yang menangani perkara
pelanggaran ketertiban umum dan kesusilaan. Wilāyat al-Ḥisbah disebut dengan
pengadilan di tempat (trial on the spot). Metode peradilannya juga tidak sama
dengan hakim biasa atau hakim luar biasa (qāḍi al-maẓālim). Al-Māwardi
membagi tugas ḥisbah menjadi dua tugas pokok, pertama amar ma‘rūf dan kedua
nahyi munkar. Amar ma‘rūf dibagi menjadi tiga kategori: pertama, yang berkaitan
dengan hak-hak Allah; kedua, yang berkaitan dengan hak-hak manusia; dan
ketiga, campuran antara hak Allah dan hak manusia. Demikian pula dengan nahyi
munkar juga dibagi menurut tiga kategori tersebut

16
Adapun fungsi dan implikasi lembaga hisbah dalam pengawasan
mekanisme pasar secara detail diulas oleh al-Māwardi dalam karynya al-Rutbah fī
Ṭalab al-Ḥisbah dan al-Aḥkām al-Ṣulṭaniyyah, yang penulis simpulkan sebagai
berikut:

1. Pengawasan terhadap kecukupan barang dan jasa di pasar. Ḥisbah melalui


muḥtasib-nya harus selalu mengontrol ketersediaan barang dan jasa yang
dibutuhkan masyarakat, misalnya kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan,
jasa kesehatan, jasa pendidikan, dan lain-lain). Dalam kasus terjadinya
kekurangan barang-barang ini muḥtasib juga memiliki otoritas untuk
menyediakan sendiri secara langsung.
2. Pengawasan terhadap industri. Dalam industri ini tugas muḥtasib adalah
pengawasan standar produk, ia juga mempunyai otoritas untuk menjatuhkan
sanksi terhadap perusahaan yang terbukti merugikan masyarakat atau negara.
Ia juga harus membantu memecahkan perselisihan antara majikan dengan
buruh, jika perlu menetapkan upah minimum.

3. Pengawasan atas jasa. Penipuan dan berbagai ketidakjujuran lainnya lebih


mudah terjadi di pasar jasa dari pada pasar barang. Muḥtasib memiliki
wewenang untuk mengawasi apakah para penjual jasa seperti dokter, dan
sebagainya telah melakukan tugasnya secara layak atau belum, pengawasan
atas jasa ini juga berlaku atas penjual jasa tingkatan bawah, seperti buruh
pabrik dan lain-lain.
4. Pengawasan atas perdagangan, Muḥtasib harus mengevaluasi pasar secara
umum dan berbagai praktek dagang yang berbeda-beda secara khusus. Ia harus
mengawasi timbangan dan ukuran, kualitas produk, menjamin pedagang dan
agennya tidak melakukan kecurangan dan praktik yang merugikan konsumen.

5. Perencanaan dan pengawasan kota dan pasar. Muḥtasib berfungsi sebagai


pejabat kota untuk menjamin pembangunan rumah atau toko-toko dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan hukum, sehingga memberikan keamanan bagi publik.

17
6. Pengawasan terhadap keseluruhan pasar. Muḥtasib harus menjamin segala
bentuk kebutuhan agar persaingan di pasar dapat berjalan dengan sehat dan
islami, misalnya menyediakan informasi yang transparan bagi para pelaku
pasar, menghapus berbagai restriksi untuk keluar dan masuk pasar, termasuk
membongkar berbagai praktek penimbunan (ikhtikār).
7. Pengawasan terhadap fasilitas umum. Sarana-sarana umum yang menunjuang
kehidupan masyarakat seperti jalan, trotoar dan bangunan ekonomi harus
dilindungi dan dipelihara.
8. Mengawasi praktek mal-bisnis seperti riba, penimbunan, percaloan, dan jual
beli terlarang seperti khamr.

Melihat fungsi institusi ḥisbah di atas, nampaknya al-Māwardi ingin


menegaskan bahwa pemerintah melalui lembaga ini, melakukan kontrol kondisi
sosial-ekonomi secara komprehensif atas mekanisme pasar yang berlaku di
masyarakat. Dengan demikian, pasar akan berjalan secara normal, sehingga
pemerintah tidak perlu melakukan intervensi terhadap harga yang berlaku di
pasar.

F. PENGAKUAN HAK TANAH


Salah satu faktor produksi yang dianggap penting sejak dahulu adalah tanah
oleh sebab itulah dalam agama islam bahwa tanah perlu diberikan perhatian
khusus. Manusia yang diberikan hak terhadap sebidang tanah maka manusia itu
dapat mengolah tanah tersebut sebaik-baiknya. Kepemilikan suatau bidang tanah
merupakan hak dan kewajibannya. Dimana hak kepemilikan pada tanah
mengakibatkan konsekuensi kewajiban penggunaannya dan begitu sebaliknya
aktivitas penggarapannya bisa menjadikan konsekuensi terhadap hak pemilikan
tanah.
Hak dan kewajiban terhadap tanah maka langkah iqtha yaitu seorang
pemimpin memberikan lahan atau bidang tanah milik negara kepada masyarakat
hal tersebut dinilai sesuai aturan apabila tanahnya dimanfaatkan dan tidak ada
yang memilikinya dan apabali ada yang memiliki terhadap tanah tersebut maka
tidak dibolehkan.
Terdapat dua jenis iqtha yaitu13 :
13
Al Mawardi , Ahkam Sulthaniyah, Jakarta: Qishi Press, 2020 Hal 330

18
1. Iqtha dengan statusnya adalah hak milik
Tanah yang menjadi iqtha dengan statusnya hak milik dibedakan menjadi tiga
jenis yaitu :
a. Lahan terbengkalai
Terbagi 2 yaitu:
 Lahan yang berstatus tidak terurus sejak lama, lahan yang tidak pernah
digarap serta tidak satupun orang memilikinya. Orang yang bisa dan
mampu menggarapnya dapat diberikan kepadanya bila pemimpin
berkenan untuk memberikannya dan itu adalah sah secara aturan negara.
 Lahan yang terbengkalai dan pernah diolah kemudian tidak diurus
sehingga menjadi lahan yang tidak menghasilkan. Bila lahan tersebut
sejak dahulu ada pemiliknya maka pemimpin haram meng iqtha kan
kepada orang lain karena yang berhak itu pemilik untuk menggarapnya
ataupun menjual lahannya secara bebas.

b. Lahan produktif
Lahan produktif dibedakan menjadi dua jenis lahan, yaitu ;
 Lahan produktif yang kejelasan pemiliknya sudah pasti, untuk lahan
seperti itu maka pemimpin tidak memiliki wewenang apapun.
 Lahan produktif yang belum pasti kepemilikannya, jenis lahan seperti ini
dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Lahan milik baitul mal yang diberikan dari pemimpin dimana berasal
dari hasil peperangan dan penaklukan kaum muslimin, baik diambil
dari hak seperlimanya maupun kerelaan kaum muslimin yang ikut dan
berhasil menaklukan daerah tersebut.

2. Lahan Kharaj, pemimpin tidak bisa meng iqtha kan untuk seseorang
karena lahan tersebut berstatus wakaf untuk itu biaya sewa dikenakan
untuk kharajnya, kemudian lahan produktif berupa hak milik dan
jizyah merupakan pajak yang diwajibkannya

19
3. Lahan produktif yang pemiliknya meninggal serta tidak mempunya
ahli waris yang jelas maka lahan jenis ini menjadi warisan bagi umat
islam dan dipindahkan status kepemilikinnya ke baitul mal.

c. Lahan pertambangan
Lahan pertambangan dengan status hak milik di iqtha kan maka
menjadi hak milik secara penuh , ia boleh menjual lahan tersebut dan boleh
memindah tangankan kepada ahli waris.

2. Iqtha dengan status sebagai hak pakai


Lahan pertambangan oleh pemimpin dapat di iqtha kan hanya sampai
status hak pakai, negara statusnya masih memiliki lahan tersebut., pengguna
dapat memanfaatkan lahan tersebut dan tidak seorangpun diperbolehkan
mengambil alih lahan tersebut darinya, apabila pemilik hak pakai lahan
tersebut tidak menggarap lagi lahan tersebut atau meninggalkannya begitu saja
maka status hak pakai terhadap lahan tersebut secara otomatis hilang dan lahan
tersebut menjadi milik negara.

20
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Konsep ekonomi islam dari berbagai karya tulis al Mawardi dilandaskan
sumber-sumber hukum Islam (al-Qur’an, al Hadits,ijtihad) dan kondisi sosial,
politik dan ekonomi pada Daulah Abbasiyah. Al Māwardi, pada awalnya beliau
terkenal sebagai fuquha dan juga ilmuwan politik, penulis mendapatkan bahwa
karya-karya al-Mawardi tentang konsep ekonomi islam yang menjadi fondasi kuat
tentang ekonomi, khususnya konsep penerimaan dan pengeluaran negara,
pengaturan pelaksanaan baitul mal, mekanisme pasar dan pengakuan hak tanah.
Dari paparan di atas dapat juga disimpulkan bahwa al-Mawardi merupakan
salah satu tokoh penting dalam pemikiran ekonomi Islam. Pemikirannya tentang
negara dan aktivitas ekonomi, konsep pinjaman publik, perpajakan, urgensi
lembaga keuangan negara (baitul maal), dan konsep keadilan masih sangat relevan
dalam konteks kekinian. Selain itu, Al-Mawardi juga memberikan pencerahan
kepada kita semua tentang relasi antara rakyat dan penguasa, hak dan kewajiban
yang melekat pada keduanya serta implikasi-implikasi logis dari ketidakpatuhan
menjalankan kontrak dari relasi yang dibuat tersebut.

B. SARAN
Meski penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,
akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena
itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan
sebagai bahan evaluasi untuk kedepannya. Sehingga bisa terus menghasilkan
makalah dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang. Dalam makalah ini

21
penulis berkeinginan memberikan saran kepada pembaca agar lebih mengetahui
bagaimana konsep pemikiran ekonomi pada masa al-Mawardi. Semoga dengan
makalah ini para pembaca dapat menambah cakrawala ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Yadi Jamwari, Pemikiran Ekonomi Islam , Bandung : Remaja Rosdakarya, 2016 hal
172-173.
Nata, Abuddin, 2001, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Karim, AdiwarmanAzwar, 2014, SejarahPemikiranEkonomi Islam, Jakarta:
Rajawali Press.
Azmi, Sabahuddin, 2005, Islamic Economics; Public Finance in Early Islamic
Thought, Terj. Widyawati, Menimbang Ekonomi Islam; Keuangan Publik,
Konsep Perpajakan dan Peran Bait al-Mal, Bandung: Nuansa.
IchtiarBaru Van Hoeve, 1996, EnsiklopediHukum Islam Volume 1, Jakarta:
IchtiarBaru Van Hoeve.
Azhary, Muhammad Tahir, 2007, Negara Hukum; Suatu Studi Tentang Prinsip-
Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode
Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Kencana
Ayman Reda, “Islam and Markets” Review of social Economy, 2013, vol. 71, No.
1, hal 38
Amalia, “Mekanisme Pasar dan Kebijakan Penetapan Harga Adil dalam Perfektif
Ekonomi Islam”, hal.17. vol 3 No 1, 2020
Al Mawardi , 2020 , Ahkam Sulthaniyah, Jakarta: Qishi Press.
https://id.wikipedia.org/wiki/Muhtasi

22
23

Anda mungkin juga menyukai