Dosen Pengampu:
Wirdayani (200105065)
Mata Kuliah:
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan
hidayah nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pemikiran
Politik Sekularisme Ali Abd Al-Raziq ” makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pemikiran Politik Islam Klasik dan Kontenporer. kami
mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu yang telah mengajarkan
kami,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktu
nya.
Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. kami berharap makalah ini
dapat menambah pengetahuan semua pihak, khususnya pelajar fakultas syaria’h dan
hukum.
I
DAFTAR ISI
II
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ali Abdur Raziq, seorang tokoh pembaharu Mesir yang pemikirannya tidak
lepas dari perkembangan keagamaan, dan sosial politik Umat Islam, khususnya Mesir.
Pemikirannya yang kontroversial dipengaruhi oleh sistem liberal Barat, di mana ia
pernah belajar. Kontroversi yang paling menonjol dari pemikirannya adalah dalam
bidang politik (pemerintahan). Inti dari gagasannya, pertama menolak sistem khilafah,
kedua, alasan perlunya umat Islam membentuk negara, adalah didasarkan pada akal
semata yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, bukan didasarkan pada agama.
Oleh karena itu, tidak ada sistem tunggal dalam negara Islam, apalagi memiliki
justifikasi normatif. Ketiga, pemerintahan dalam pandangan-nya adalah masalah
duniawi, bukan urusan agama. Ia berupaya untuk memisahkan urusan agama dengan
urusan politik. Salah seorang tokoh yang turut memainkan peranan penting dalam
pembaharuan Mesir adalah Ali Abdur Raziq. Pemikiran yang dikemukannya pada
masa itu dianggap baru dan maju. Mengingat pemikiran itu mempunyai pengaruh
yang luas di dunia Islam, maka untuk saat ini masih dianggap relevan. Selebihnya,
untuk sebagian kalangan ulama tradisional, justru pemikiran Ali Abdur Raziq masih
dianggap belum mempunyai tempat. Mengingat hal itu, kiranya masih layak
pemikiran Ali Abdur Raziq dikemukakan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Ali Abdur Raziq lahir dari keluarga Feodal Mesir pada tahun 1888 M, di
sebuah pedalaman al-Sha’id yang termasuk di dalam sebuah provinsi Menia dan
meninggal pada tahun 1966 M.1 Ayahnya bernama Hasan Abd al-Raziq Pasha, salah
seorang teman Muhammad Abduh.2 Oleh karena Ali Abd Raziq masih kecil, ia tidak
sempat secara langsung menjadi murid Abduh, dia adalah pengagum Abduh.
1
Munawir Sjadzali, Islam danTata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990,
hlm. 139.
2
Muhammad Abduh (1848-1905 M) nama aslinya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khayrillah. Ia
seorang pemikir besar islam, modernis, muallim, mufassir dan teolog yang tidak hanya dikenal di dunia
Islam, tetapi sampai ke Eropah. Ia memulai pendidikan dasar pada ayahnya sendiri dan pendidikan
selanjutnya secara berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lainnya. Pendidikan Tinggi diselesaikan
di Universitas al-Azhar, pada tahun 1877 M dengan gelar ‘alimiyyah dan berhak mengajar di
Universitas tersebut. Lihat Charles C. Adams, Islam and Mordernisme in Egypt, (New York: Russel, &
Russel, 1933).
3
Ensiklopedia Islam, editor Nina M. Armando, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm.141.
4
Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M), seorang tokoh politik dan pembaharu Mesir, ia berasal dari
Afghanistan, pernah tinggal di India, Parsi dan Mesir. Ia belajar di kota suci Najaf dan Karbala
sehingga ada yang menyebutnya sebagai penganut Syi’ah. Ia menolak mengadakan pembaharuan di
negeri-negeri yang bermazhab sunni, terutama dalam bidang politik. Lihat Said Jamaluddin al-Afghani,
Pelopor Kebangkitan Muslim, (Djakarta:Bulan Bintang, 1970).
2
Ali Abd Raziq banyak membaca dan mempelajari teori-teori Barat, terutama teori-
teori politik sebagai bidang kajiannya, seperti teori politik Thomas Hobbes dan John
Locke.5 Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama belajar di Eropa
tampaknya berpengaruh besar terhadap pemikirannya, terutama rasionalitas dalam
berfikir dan kebebasan dalam berpendapat. Hal tersebut merupakan ciri khas dari
pengaruh peradaban Barat.
5
Teori Hobbes menyatakan bahwa kekuasaan raja itu absolut, atau mutlak, dan tidak bertanggungjawab
kepada siapa pun. Tetapi hanya yang absolut itu didapatkan melalui kontrak sosial. Sementara teori
kontrak sosial John Locke adalah kontrak di antara raja dan rakyat, dengan adanya kontrak tersebut
lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik. Rakyat menyerahkan hak-hak mereka termasuk
kebebasan mereka kepada raja disertai sumpah setia untuk mematuhinya. Sebagai imbalan, raja
menjanjikan bimbingan dan perlindungan serta pengelolaan Negara sebaik-baiknya. Adapun kontrak
sosial versi Hobbes adalah suatu kontrak di antara sesama rakyat, dan raja tidak ikut serta bukan
merupakan suatu pihak daripada kontrak tersebut, dia tidak terikat oleh perjanjian itu.
6
Istilah khilafahtullah fi Ardl, muncul sejak kekuasaan Islam dikendalikan oleh Bani Umaiyyah
maupun Abbasyiah. Menurut Azyumardi Azra, penggunaaan istilah tersebut memiliki signifikansi
dengan upaya absolutisme kekuasaan. Sebab dengan demikian menunjukkan kekuasaan bani Umaiyyah
dan Bani Abbasyiah adalah kekuasaan yang sah, atau bahkan kekuasaan yang mutlak dan suci.
7
Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bahts Fi al-Khilafah wa al-Hukumah, terj. Afif
Muhammad, (Bandung: Pustaka al-Husna, 1985).
Antony Black, The History of Islamic Political Thouqht :From the Prophet to the Present, Terj
8
3
Garis politik Ali Abdur Raziq bertentangan dengan upaya merealisasikan
jabatan khalifah bagi raja Fuad di mesir ketika itu. Pertentangan itulah yang
merupakan peristiwa penting yang terjadi dalam hidupnya. Sehingga mengangkat
namanya menjadi terkenal terutama setelah bukunya al-Islam wa Usul al--Hukm
(Islam dasar-dasar pemerintahan) beredar.
Tema sentral pemikiran Ali Abdur Raziq adalah masalah khalifah. Untuk
menjelaskan tanggapannya tentang khilafah, Ali Abdur Raziq menulis tiga buku yang
isinya berkaitan satu dengan lainnya. Buku pertama berjudul Khilafah dan tipologinya,
hukum kekhalifahan dan tinjauan sosiologis mengenai khilafah. Buku kedua berjudul
pemerintahan dan Islam, berisi tentang sistem pemerintahan periode Nabi, risalah
pemerintahan dan perbedaan risalah pemerintahan, serta perbedaan antara agama dan
9
Munawir Sjazali, Islam..., hlm. 139.
4
negara. Sedangkan buku yang ketiga berjudul Khilafah dan Pemerintahan dalam
Islam, isinya menjelaskan tentang asal-usul istilah Khilafah dalam islam.10
10
Ali Abdul Raziq, al-Islam
11
Suhardi, “Ali Abdur Raziq”, dalam Kordinat, Jurnal Komunikasi antar perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta, Vol. III, No. 1, April 2002, hlm. 91.
12
Terhadap pemikiran Ali Abdul Raziq ini dikritik oleh Munawir Sjazali. Menurut Munawir apa yang
dipahami oleh Ali Abdul Raziq itu salah sebab Hobbes jutru menolak bahwa kekuasaan itu berasal dari
Tuhan. Memang menurut Hobbes, kekuasaan raja itu absolut dan tidak bertanggung jawab terhadap
5
pandangan seperti ini sama dengan teori yang dikemukakan Jhon Locke, sedangkan
teori yang pertama ada kemiripan yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes.
Abdur Raziq menilai, bahwa alasan yang dikemukakan para ulama itu
disebabkan mereka tidak menemukan dasar dalam Alquran. Dengan kata lain, dasar
ijmak dan fungsi amar ma’ruf yang dikemukakan itu hanyalah sebuah kompensasi
belaka, karena mereka tidak menemukan dasarnya dalam nas.
Ali Abdur Raziq menegaskan, bahwa dalam Alquran tidak ada satu pun ayat
yang mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah atau imamah merupakan suatu
kewajiban. Ia menkritik Sayyid Ridha yang mendasarkan alasan tentang kewajiban
mendirikan khilafah kepada Alquran surat an-Nisa’ ayat 54. Menurut Ali, dasar yang
dijadikan oleh Rasyid Ridha sama sekali tidak mengandung petunjuk yang dapat
siapaun , tetapi haknya yang absolut itu didapatkannya melalui kontrak sosial. Hanya saja konsep
kontrak sosialnya berbeda dengan konsep Jhon Locke. Menurut Hobbes kontrak sosial terjadi antara
sesama rakyat, sedangkan raja tidak terlibat dalam kontak sosial itu, maka raja tidak bertanggung jawab
terhadap rakyat. Kekuasaannya menjadi absolut.
6
dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa syariat mengakui eksistensi khilafah
sebagai pengganti Nabi, dan menempatkan beliau di tengah-tengah kaum muslimin.
13
Munawair Sadzali, Islam…, hlm. 141
7
menyatakan kesetiaan kepada pemimpin, hendaknya dia selalu mematuhinya. Tetapi
ucapan Nabi itu sama sekali tidak dapat diartikan mewajibkan umatnya mendirikan
khilafah.
Ali Abdur Raziq mengakui bahwa ijmak merupakan sumber ketiga hukum
Islam setelah Alquran dan Sunah. Tetapi menurutnya, pengangkatan penguasa sejak
Abu Bakar, khalifah pertama, sampai zaman dia sendiri tidak pernah dilakukan de-
ngan ijmak, yang berarti kesepakatan bulat antara umat Islam. Menurut
pangamatannya, hampir semua khalifah dari zaman ke zaman dinobatkan dan
dipertahankan dengan fisik dan senjata. Hanya Abu Bakar, Umar dan Ustman yang
tidak begitu.
Terhadap alasan wajib ada yang diangkat menjadi khalifah demi melindungi
kelestarian Islam dan kepentingan rakyat, menurut Ali Abdur Raziq memang benar
dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa yang
mengatur dan melindungi mereka, lepas dari agama dan keyakinan mereka, apakah
Islam, Nasrani, Yahudi atau penganut agama lain, bahkan yang tidak beragama.
Penguasa itulah pemerintah, tetapi pemerintah tidak harus berbentuk khilafah,
melainkan dapat beraneka bentuk dan sifat, konstitusional, ke-kuasaan mutlak,
republik, diktator, dan sebagainya. Tegasnya, tiap bangsa harus mempunyai
pemerintahan, tetapi bentuk dan sifatnya tidak harus khilafah, boleh beraneka
ragam.14
Ali Abdur Raziq mengatakan, Islam tidak ada hubungannya sama sekali
dengan kekhalifahan, artinya sistem kekhalifahan dalam Islam sebenarnya tidak ada.
Sebab baik Alquran mau pun hadis tidak pernah secara langsung menyinggung
masalah ini, agama tidak menentukan pola suatu pemerintahan secara mutlak. Selama
ini sistem politik yang berjalan hanya didasari oleh kepentingan kekuasaan semata,
14
Pemerintahan adalah persoalan politik, dalam persoalan politik, kita seharusnya dipandu oleh akal
dan pengalaman. Semua fungsi politik tergantung kepada kita, rasio kita, keputusan-keputusannya, dan
prinsip-prinsip politisnya. Agama tidak memerintah maupun melarang (hal-hal semacam itu), agama
benar-benar menyerahkan kepada kita, sehingga tentang persoalan itu kita harus mengacu kepada
hukum akal, pengalaman berbagai Negara, dan kaidah-kaidah politik. Umat Islam mempunyai
kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan Negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan
ekonomi.
8
bukan didasari oleh Islam, hanya saja pemerintahan itu menamakan diri sebagai
khalifah. sebagaimana yang dipahami kaum muslim pada umumnya.
Ali Abdur Raziq tidak mengakui keberadaan Nabi sebagai kepala Negara atau
pemimpin politik. Baginya, Nabi hanya lah seorang Rasul, sebagaimana rasul lain,
bukan raja atau kepala Negara.15 Nabi tidak diperintahkan membentuk Negara,
tugasnya hanyalah menyampaikan risalah Tuhan. Kalau pun Nabi dikatakan memiliki
kekuasaan, kekuasaannnya bersifat umum, mencakup soal dunia dan akhirat. Ali
Abdur Raziq berpenda-pat, bahwa Nabi memiliki kekuasaan (quwwah) khusus yang
memungkinkannya melaksanakan sebuah misi. Kekuasaan itu, bagaimana pun, hanya
khusus untuk Muhammad, dan yang paling penting--kekuasaan itu berbeda dari
kekuasaan politik seorang gubernur, raja atau sultan. Kekuasaan itu memang diper-
lukan nabi karena dalam posisinya itu beliau harus mempunyai kekuasaan yang lebih
besar dari kekuasaan seorang raja.16 Tatkala Nabi wafat kemudian diganti oleh Abu
Bakar, yang didalam sejarah Islam dikenal sebagai khalifah. Tugas Abu Bakar
sebenarnya sebagai kepala Negara bukan kepala urusan agama. Abu Bakar disebut
sebagai khalifah yang mengurus persoalan umat, begitu juga pengganti setelahnya,
baik Umar, Usman dan Ali, mereka sebagai khalifah.17
15
Ali Abdul Raziq, al-Islam..., hlm. 42.
16
Ali Abdul Raziq, al-Islam..., hlm. 64.
17
Abdul Sani, Perkembangan Modern…, hlm. 76
9
seorang gubernur, merekrut seorang hakim, dan mengeluarkan peraturan tentang
sistem perdagangan, pertanian, dan industri.18
Ali Abdur Raziq menerima argumen kaum modernis, bah-wa norma sosial
syariat dapat diubah karena diambil dari kondi-si historis yang khusus sebuah
perkembangan yang lebih jauh. Kekhalifahan merupakan produk sejarah, sebuah
institusi manusiawi ketimbang ilahi, suatu bentuk temporer, dan karena nya, sebuah
jabatan yang sepenuhnya politis tanpa tujuan atau fungsi agama. Universalitas Islam
tidak terletak pada struktur politisnya, melainkan pada iman dan bimbingan agamanya.
Menurut Haykal, setelah hijrah ke Madinah, Nabi memulai babak baru, yakni
kehidupan politik dalam Islam. Secara implisit di dalamnya terkandung pengertian
bahwa di Madinah itulah dimulai kehidupan bernegara bagi umat Islam. Meskipun
tidak setuju dengan tesis Ali Abdur Raziq, Haykal tetap memuji metode berfikir
Abdur Raziq, dan memberikan dukungan atas keberaniaannya mengemukakan
18
Ali Abdul Raziq, al-Islam..., hlm. 64.
19
Musdah Mulia, Negara Islam…, hlm. 194.
10
pemikiran tersebut. Pujian yang diberikan Haykal didasarkan kepada pendiriannya
yang amat menghargai prinsip kebebasan berfikir dan kebebasan mengemukakan
pendapat.
Pandangan Ali Abdur Raziq yang menolak keyakinan sebagian besar umat
Islam yang menyatakan wajib mendirikan khilafah nampaknya lebih disebabkan oleh
situasi dan kondisi masyarakat modern. Konsep khilafah sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi umat Islam sekarang. Umat Islam dewasa ini sudah jauh berbeda
dengan kondisi pada masa khulafa al-rasyidin dan zaman pemerintahan Islam.
11
C. Dalil-dalil Ali Abdur Raziq Serta Bantahannya
Tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-
Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya
kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini
mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul
buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm yang diterbitkan pada tahun 1925.
Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada
dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut
kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak
ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk
sistem politik yang harus dibangun umat Islam.
Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli
al-amr(mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4:26) yang diklaim oleh banyak
pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan
institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan.
Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, al-Raziq
menyatakan bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau
“ulama’ Oleh karena itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad saw. telah
membentuk negara Islam di Madinah. Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun
20
Dhiya ad-Din ar- Rais, Islam dan Khilafah, (Bandung:Pustaka, 1985), h. 37
12
pemimpin politik. Ia menyatakan21: “Muhammad merupakan utusan untuk misi
keagamaan yang penuh dengan keberagamaan, bersih dari kecenderungan pada sistem
kerajaan dan pemerintahan dan dia tidak memiliki pemerintahan, tidak juga
memerintah, dan bahwa ia tidak mendirikan sebuah kerajaan dalam pengertian politik
baik dari term tersebut ataupun yang semakna dengannya, karena ia hanyalah seorang
utusan sebagaimana pembawa risalah sebelumnya. Dia bukan seorang raja, atau
pendiri negara, dia tidak pernah berusaha untuk memiliki kekuasaan. Al-Raziq
membangun argumennya dengan banyak merujuk kepada teks-teks alQur’an maupun
Hadis. Salah satu teks yang menjadi rujukan adalah Q.S. al-‘Araf ayat 188:
“Katakanlah aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan
aku tidak akan ditimpa memudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan
dan pembawa kabar gembira bagi orang-orang beriman.”22
Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik,
atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen
historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa
tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan
bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan
Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan
masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.23
Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud
mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan.
Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an,
21
Ali Abdul Raziq, al-Islam..., hlm. 64.25 Musdah Mulia, Negara Islam…, hlm. 194.
22
Ibid
23
Ibid
13
menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai
sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama
dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa
pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan
bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas
menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi
politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq
pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada
dasarnya bersifat sekuler.
Menanggapi buku Ali Abd Rariq al-Islam wa Ushul al-Hukm, Leonard Binder
(1988) dalam bukunya Islamic Liberalism : A Critique of Development Idiologies,
menyatakan bahwa titik sentral karakter tantangan intelektual yang dimunculkan oleh
Ali Abd. al-Raziq terhadap para Ulama tradisional al-Azhar dalam bukunya al Islam
wa Ushul al-Hukm, adalah perbedaan antara makna komunitas politik dan
pemerintahan.24 Dalam arti, apakah Umat Islam itu bisa dimaknai sebagai komunitas
politik atau komunitas religius saja dan apakah pemerintahan itu menjadi bagian dari
risalah kenabian. Tesis yang dilontarkan Ali Abd. al-Raziq yang secara tajam
menyatakan bahwa Umat Islam adalah komunitas religius saja dan risalah tidak
terkait dengan pemerintahan, diposisikan sebagai pemikiran liberal Mesir modern
yang terbaik, dan sebagai bahan perdebatan politik yang menarik. Buku itu, berikut
reaksi resmi terhadapnya banyak menarik perhatian pada tahun 1925 sewaktu
diterbitkannya untuk pertama kalinya. Banyak sejarahwan pemikiran Mesir yang
mengupasnya, terutama Albert Hourani dalam karyanya Arabic Thought in Liberal
Age, 1798-1939, dan Muhammad Imarah dalam al-Islam wa Ushul alHukm li Ali
Abd. al-Raziq.25usus kepada masalah kekhalifahan, dan Ali Abd. al-Raziq mengulang.
24
Leonard Binder, Islam Liberal : Kritik Terhadap IdeologiIdeologi Pembangunan, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2001),hlm. 120
25
Muhammad Imarah, al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd. al-Raziq, (Beirut : ttp., 1972), hlm.85
14
khalifah yang mengantikan kedudukan Rasulullah, karena Rasul tidak pernah menjadi
raja, dan tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan. Dia
adalah pembawa pesan yang diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik.”
26
Abdel wahab el-Affendi, Masyarakat tak Bernegara : Kritik Teori Politik Islam, (Yogyakarta : LkiS,
1991), hlm. 8
27
Ibid., hlm. 193-193
15
dan ia tidak berkewajiban memaksa manusia agar menerima apa yang dia bawa.28
Dengan bersikukuh bahwa Rasulullah bukanlah pemimpin politik, dan bahwa khalifah
bukan penerus Rasulullah, al-Raziq mengingkari adanya peralihan legitimasi politik
dari Rasulullah kepada khalifah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas
beragama yang memiliki kesamaan keyakinan berkat misi dakwah Rasulullah tidak
memiliki dimensi politik. Kegigihannya mempertahankan pendapat bahwa
Muhammad bukan pemimpin politik tentunya nyaris tidak dapat diterima, baik dari
sudut pandang historis maupun tradisional.29
28
Makna inti yang hendak dieksplorasi Abd. Al-Razik untukmembangun argumen bahwa Rasulullah
bukan pemimpin politik, adalah makna yang menunjuk bahwa Rasul hanya pembawa kabar gembira.
Masih banyak ayat lain yang dikutip Abd. Al-Raziq, diantaranya : Q.S. Hud :12; al-Kahfi :110; al-Hajj :
49; al-Ra’d : 7; Shad :70; Fushshilat :6. Lihat Ali Abd. Al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm … op.cit.,
hlm. 87-88
29
Sambil berpendapat demikian al-Raziq mengutip banyak ayat al-Qur’an yang mendukung
pandapatnya, diantaranya; Q.S.al-Maidah :92, 99; al-A’raf : 84; Yunus :2; an-Nahl :35,64,82; al-
Isra’ :105; Maryam :97; Thaha :1-3; an-Nur :54; al-Furqan :56; an-Naml :91-92; al-‘Ankabut :18; al-
Ahzab :45-46; Saba’ :28,46; Fathir :23-24; Shad :65; al-Ahqaf :9; al-Fath :8; al-Mulk :26; al-Jinn :20-
23. Lihat Ibid., hlm. 87-89 Muhammad Imarah, al-Islam wa Ushul al-Hukm … op.cit., hlm. 92
16
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ali Abdul Raziq lahir dari keluarga Feodal Mesir pada tahun 1888 M, di
sebuah pedalaman al-Sha’id yang termasuk di dalam sebuah provinsi Menia dan
meninggal pada tahun 1966 M. Ayahnya bernama Hasan Abd al-Raziq Pasha, salah
seorang teman Muhammad Abduh.
Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa
Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya
kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa al-Rasyidin
bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.
Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada
dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut
kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak
ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk
sistem politik yang harus dibangun umat Islam.
17
DAFTAR PUSTAKA
Muji Mulia, Sejarah Sosial dan Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq, Vol. X, Islam
Futura, No. 2, Februari 2011.
Ali Abdul Raziq, al-Islamwa al-Hukm: Baht fi al-Khilafah wa al-Hukmah, terj. Afif
Muham, Bandung: Pustaka al-Husna, 1985.
Ensiklopedia Islam, editor Nina M. Armando, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.
Jumni Nelli, Pemikiran Politik Ali Abd Al-Raziq, Vol. 39, Jurnal Pemikiran Islam,
No. 1, Januari-Juni 2014.
18