Anda di halaman 1dari 21

Pemikiran Politik Sekularisme Ali Abd Al-Raziq

Dosen Pengampu:

H. Mutiara Fahmi, LC, MA

Disusun Oleh Kelompok 7:

Sulis Mai Fitri (200105042)

Firda Ningsih (200105053)

Putri Yusnianti (200105057)

Wirdayani (200105065)

Mata Kuliah:

Pemikiran Politik Islam Klasik dan Kontenporer

UNIVERSITAS UIN AR RANIRY BANDA ACEH

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGAR

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt yang telah memberikan rahmat dan
hidayah nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pemikiran
Politik Sekularisme Ali Abd Al-Raziq ” makalah ini diajukan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Pemikiran Politik Islam Klasik dan Kontenporer. kami
mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu yang telah mengajarkan
kami,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktu
nya.

Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi kesempurnaan makalah ini. kami berharap makalah ini
dapat menambah pengetahuan semua pihak, khususnya pelajar fakultas syaria’h dan
hukum.

Banda Aceh, 19 Februari 2023

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. I


DAFTAR ISI ............................................................................................................... II
PENDAHULUAN ........................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 1
BAB II ........................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 2
A. Biografi Ali Abdur Raziq ..................................................................................2
B. Pemikiran Ali Abdur Raziq Dalam Pandangan Sekulerisme ............................4
C. Dalil-dalil Ali Abdur Raziq Serta Bantahannya ..............................................12
BAB III ........................................................................................................................17
PENUTUP ...................................................................................................................17
Kesimpulan .......................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................18

II
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ali Abdur Raziq, seorang tokoh pembaharu Mesir yang pemikirannya tidak
lepas dari perkembangan keagamaan, dan sosial politik Umat Islam, khususnya Mesir.
Pemikirannya yang kontroversial dipengaruhi oleh sistem liberal Barat, di mana ia
pernah belajar. Kontroversi yang paling menonjol dari pemikirannya adalah dalam
bidang politik (pemerintahan). Inti dari gagasannya, pertama menolak sistem khilafah,
kedua, alasan perlunya umat Islam membentuk negara, adalah didasarkan pada akal
semata yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, bukan didasarkan pada agama.
Oleh karena itu, tidak ada sistem tunggal dalam negara Islam, apalagi memiliki
justifikasi normatif. Ketiga, pemerintahan dalam pandangan-nya adalah masalah
duniawi, bukan urusan agama. Ia berupaya untuk memisahkan urusan agama dengan
urusan politik. Salah seorang tokoh yang turut memainkan peranan penting dalam
pembaharuan Mesir adalah Ali Abdur Raziq. Pemikiran yang dikemukannya pada
masa itu dianggap baru dan maju. Mengingat pemikiran itu mempunyai pengaruh
yang luas di dunia Islam, maka untuk saat ini masih dianggap relevan. Selebihnya,
untuk sebagian kalangan ulama tradisional, justru pemikiran Ali Abdur Raziq masih
dianggap belum mempunyai tempat. Mengingat hal itu, kiranya masih layak
pemikiran Ali Abdur Raziq dikemukakan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana biografi tentang Ali Abdur Raziq ?


2. Apa sajakah pemikiran Ali Abdur Raziq dalam pandangan sekulerisme ?
3. Bagaimanakah dalil-dalil Ali Abdur Raziq serta bantahannya ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui biografi dari Ali Abdur Raziq.


2. Untuk mengetahui apa sajakah pemikiran dari Ali Abdur Raziq.
3. Untuk mengetahui dalil-dalil dari Ali Abdur Raziq.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Ali Abdur Raziq

Ali Abdur Raziq lahir dari keluarga Feodal Mesir pada tahun 1888 M, di
sebuah pedalaman al-Sha’id yang termasuk di dalam sebuah provinsi Menia dan
meninggal pada tahun 1966 M.1 Ayahnya bernama Hasan Abd al-Raziq Pasha, salah
seorang teman Muhammad Abduh.2 Oleh karena Ali Abd Raziq masih kecil, ia tidak
sempat secara langsung menjadi murid Abduh, dia adalah pengagum Abduh.

Pendidikan formal Ali Abd Raziq ditempuh di Universitas al-Azhar. Dalam


usia lebih kurang 10 tahun, Ali Abdur Raziq sudah mulai belajar di al-Azhar, pada
Syekh Ahmad Abu Khalwat, sahabat Muhammad Abduh.3 Ahmad Abu Khalwat,
seperti juga Muhammad Abduh, adalah murid Jamaluddin al-Afghani.4 Ia juga selama
beberapa tahun mengikuti kuliah di Universitas Mesir (sekarag Universitas Cairo).
Setelah memperoleh ijazah ‘alimiyyah dari al-Azhar pada tahun 1911, ia mulai
bertugas memberikan kuliah di Universitas tersebut pada tahun 1912.

Pada tahun 1913 ia berangkat ke Inggris untuk belajar di Universitas Oxford.


Di Universitas ini ia mempelajari ilmu ekonomi dan politik. Ketika belajar di Inggris

1
Munawir Sjadzali, Islam danTata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: UI Press, 1990,
hlm. 139.

2
Muhammad Abduh (1848-1905 M) nama aslinya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khayrillah. Ia
seorang pemikir besar islam, modernis, muallim, mufassir dan teolog yang tidak hanya dikenal di dunia
Islam, tetapi sampai ke Eropah. Ia memulai pendidikan dasar pada ayahnya sendiri dan pendidikan
selanjutnya secara berpindah-pindah dari satu tempat ketempat lainnya. Pendidikan Tinggi diselesaikan
di Universitas al-Azhar, pada tahun 1877 M dengan gelar ‘alimiyyah dan berhak mengajar di
Universitas tersebut. Lihat Charles C. Adams, Islam and Mordernisme in Egypt, (New York: Russel, &
Russel, 1933).

3
Ensiklopedia Islam, editor Nina M. Armando, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm.141.

4
Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M), seorang tokoh politik dan pembaharu Mesir, ia berasal dari
Afghanistan, pernah tinggal di India, Parsi dan Mesir. Ia belajar di kota suci Najaf dan Karbala
sehingga ada yang menyebutnya sebagai penganut Syi’ah. Ia menolak mengadakan pembaharuan di
negeri-negeri yang bermazhab sunni, terutama dalam bidang politik. Lihat Said Jamaluddin al-Afghani,
Pelopor Kebangkitan Muslim, (Djakarta:Bulan Bintang, 1970).

2
Ali Abd Raziq banyak membaca dan mempelajari teori-teori Barat, terutama teori-
teori politik sebagai bidang kajiannya, seperti teori politik Thomas Hobbes dan John
Locke.5 Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh selama belajar di Eropa
tampaknya berpengaruh besar terhadap pemikirannya, terutama rasionalitas dalam
berfikir dan kebebasan dalam berpendapat. Hal tersebut merupakan ciri khas dari
pengaruh peradaban Barat.

Pada tahun 1915, ia kembali ke negaranya, Mesir dan kemudian diangkat


menjadi hakim Mahkamah Syariah di al-Mansurah. Dalam kedudukannya sebagai
hakim itulah ia mengadakan penelitian yang hasilnya dibukukan dalam sebuah karya
tulis terkenal, berjudul al-Islam wa Usul al-Hukm: bahs fi al-Khilafah wa al-
Hukumah fi al-Islam (Islam dan prinsip pemerintah: Suatu Kajian Khilafah dan
Pemerintahan dalam Islam) diterbitkan pada tahun 1925. Inti dari buku ini adalah
menjelaskan tentang asal usul istilah Khilafah6. dalam Islam7. Buku yang ditulis Ali
Abdul Raziq tentang Islam dan dasar-dasar pemerintahan Islam, sedikit banyak
merupakan justifikasi atas dasar pemerintahan Islam, sedikit banyak merupakan
justifikasi atas revolusi Turki. Dengan membela pendekatan Majelis Nasional
terhadap pemisah otoritas agama dan politik dan sekulerisasi lembaga kekhalifahan.8
Ia berusaha untuk beragumen berdasarkan teks-teks Islam bahwa Muhammad tidak
bermaksud mendirikan sebuah Negara dan bahwa Islam tidak menetapkan sistem
politik tertentu.

5
Teori Hobbes menyatakan bahwa kekuasaan raja itu absolut, atau mutlak, dan tidak bertanggungjawab
kepada siapa pun. Tetapi hanya yang absolut itu didapatkan melalui kontrak sosial. Sementara teori
kontrak sosial John Locke adalah kontrak di antara raja dan rakyat, dengan adanya kontrak tersebut
lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik. Rakyat menyerahkan hak-hak mereka termasuk
kebebasan mereka kepada raja disertai sumpah setia untuk mematuhinya. Sebagai imbalan, raja
menjanjikan bimbingan dan perlindungan serta pengelolaan Negara sebaik-baiknya. Adapun kontrak
sosial versi Hobbes adalah suatu kontrak di antara sesama rakyat, dan raja tidak ikut serta bukan
merupakan suatu pihak daripada kontrak tersebut, dia tidak terikat oleh perjanjian itu.

6
Istilah khilafahtullah fi Ardl, muncul sejak kekuasaan Islam dikendalikan oleh Bani Umaiyyah
maupun Abbasyiah. Menurut Azyumardi Azra, penggunaaan istilah tersebut memiliki signifikansi
dengan upaya absolutisme kekuasaan. Sebab dengan demikian menunjukkan kekuasaan bani Umaiyyah
dan Bani Abbasyiah adalah kekuasaan yang sah, atau bahkan kekuasaan yang mutlak dan suci.

7
Ali Abdul Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm: Bahts Fi al-Khilafah wa al-Hukumah, terj. Afif
Muhammad, (Bandung: Pustaka al-Husna, 1985).

Antony Black, The History of Islamic Political Thouqht :From the Prophet to the Present, Terj
8

Abdullah Ali, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 569.

3
Garis politik Ali Abdur Raziq bertentangan dengan upaya merealisasikan
jabatan khalifah bagi raja Fuad di mesir ketika itu. Pertentangan itulah yang
merupakan peristiwa penting yang terjadi dalam hidupnya. Sehingga mengangkat
namanya menjadi terkenal terutama setelah bukunya al-Islam wa Usul al--Hukm
(Islam dasar-dasar pemerintahan) beredar.

B. Pemikiran Ali Abdur Raziq Dalam Pandangan Sekulerisme

Pandangan Muhammad Abduh bahwa dalam Islam tidak ada kekuasaan


keagamaan dan bahwa semua rakyat Mesir memikul tanggung jawab yang sama dan
mempunyai hak yang sama, baik dalam bidang politik, ekonomi dan di muka hukum
tanpa mempertimbangkan perbedaan agama dan keyakinan seperti yang reseptif dan
akomodatif terhadap peradapan Barat, mempengaruhi banyak orang. Maka di
kalangan sahabat, murid dan pengikut Abduh, berkembang kecenderungan ke arah
nasionalisme dan sekularisme9, khususnya cendikiawan muslim Mesir yang
mengenyam pendidikan Barat, di antaranya Ahmad Sayyid, Thaha Husein dan Ali
Abdur Raziq.

Program Sekulerisme Barat terutama ide penghapusan sistem kekhalifahan


dalam Islam, merupakan ide Ali Abdur Raziq yang spektakuler dalam sejarah
modernisme Mesir. Ia, seperti Thaha Husain juga mempunyai latar belakang
pendidikan Barat. Ia berhasil mencerna pemikiran mordern untuk memajukan rakyat
Mesir.

Tema sentral pemikiran Ali Abdur Raziq adalah masalah khalifah. Untuk
menjelaskan tanggapannya tentang khilafah, Ali Abdur Raziq menulis tiga buku yang
isinya berkaitan satu dengan lainnya. Buku pertama berjudul Khilafah dan tipologinya,
hukum kekhalifahan dan tinjauan sosiologis mengenai khilafah. Buku kedua berjudul
pemerintahan dan Islam, berisi tentang sistem pemerintahan periode Nabi, risalah
pemerintahan dan perbedaan risalah pemerintahan, serta perbedaan antara agama dan

9
Munawir Sjazali, Islam..., hlm. 139.

4
negara. Sedangkan buku yang ketiga berjudul Khilafah dan Pemerintahan dalam
Islam, isinya menjelaskan tentang asal-usul istilah Khilafah dalam islam.10

Dalam buku pertama, ia mengawali pembahasan dengan menjelaskan


pengertian khilafah. Menurutnya, yang dimaksud dengan khilafah adalah pengganti
orang lain baik karena absen-nya orang yang digantikan itu, karena meninggal dunia,
mau pun alasan-alasan lain. Karena yang diganti adalah Rasulullah maka istilah
khalifah disebut juga khalifah Rasulullah, bahkan dalam perkembangannya menjadi
khalifatullah fil ardl.

Sebagai pengganti Rasul, kedudukan khalifah dalam suatu kekuasaan sangat


tinggi. Kekuasaannya tidak sebatas pada ke-kuasaan dunia, tetapi juga dalam
masalah-masalah keagamaan. Kekuasaan khalifah tidak boleh ada yang menandingi,
dan selain khalifah tidak boleh ada seorang pun yang memegang kekuasaan untuk
mengatur kaum muslimin. Pandangan seperti dikemukakan di atas sudah menjadi
sesuatu yang umum di kalangan ulama (terutama di Mesir kala itu). Namun, Ali
Abdur Raziq mempersoalkan secara kritis tentang keberadaan khalifah. Ia
mempertanyakan darimana kedaulatan khalifah itu diperoleh, dan siapa yang
memberikan kewenangan.

Menurutnya, di kalangan ulama memberikan jawaban terhadap pertanyaan di


atas secara garis besar dapat dikelom-pokkan menjadi dua. Pertama, bahwa khalifah
mendapatkan kedaulatannya dari Tuhan dan kekuasaannya juga dari Tuhan. Hal ini
dapat dilihat dari sebutansebutan yang diberikan ke-pada khalifah, yaitu khalifatul fil
ardh, bahkan Abu Ja’far al-Mansur salah seorang khalifah daulah Abbasyiah
menyatakan dirinya sebagai sultanullah (inkarnasi kekuasaan Tuhan), di muka bumi.11
Kedua, bahwa khalifah mendapatkan kedaulatan dari tangan rakyat. Kedaulatan
rakyat inilah yang menjadi sum-ber kekuasaannya, dan mereka lah yang memilih
dirinya untuk menduduki jabatan khalifah.12Ali Abdur Raziq menilai bahwa

10
Ali Abdul Raziq, al-Islam

11
Suhardi, “Ali Abdur Raziq”, dalam Kordinat, Jurnal Komunikasi antar perguruan Tinggi Agama
Islam Swasta, Vol. III, No. 1, April 2002, hlm. 91.

12
Terhadap pemikiran Ali Abdul Raziq ini dikritik oleh Munawir Sjazali. Menurut Munawir apa yang
dipahami oleh Ali Abdul Raziq itu salah sebab Hobbes jutru menolak bahwa kekuasaan itu berasal dari
Tuhan. Memang menurut Hobbes, kekuasaan raja itu absolut dan tidak bertanggung jawab terhadap

5
pandangan seperti ini sama dengan teori yang dikemukakan Jhon Locke, sedangkan
teori yang pertama ada kemiripan yang dikemukakan oleh Thomas Hobbes.

Ali Abdur Raziq mengemukakan bahwa khilafah adalah satu pola


pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi dan mut-lak berada pada seorang kepala
negara/pemerintah dengan gelar khalifah, pengganti Nabi Muhammad, dengan
kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan umat/rakyat, baik kea-gamaan
maupun keduniaan, yang hukumnya wajib bagi umat untuk patuh dan taat sepenuhnya.
Ia tidak sependapat dengan kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa mendirikan
khilafah atau lembaga khilafah merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam, dan
karenanya maka berdosa kalau tidak dilaksanakan. Ali Abdur Raziq sama sekali tidak
menemukan dasar kuat yang mendukung kepercayaan wajibnya umat Islam mem-
punyai khalifah, baik dalam Alquran, Hadis, mau pun Ijmak. Ali Abdur Raziq
menganalisis, kewajiban mendirikan khilafah menurut sebagian ulama didasarkan
kepada dua hal. Pertama, ijmak para sahabat dan tabi’in, yang terjadi pada masa
kekhalifahan khulafaurasyidin, terutama pada Abu Bakar dan, Umar. Kedua, karena
fungsi seorang imam, sesuai dengan nas Alquran dan kepentingan umat, yaitu amar
ma’ruf nahi mungkar. Namun demikian, menurut Abdur Raziq, kedua alasan tersebut
tidak bisa dijadikan landasan normatif.

Abdur Raziq menilai, bahwa alasan yang dikemukakan para ulama itu
disebabkan mereka tidak menemukan dasar dalam Alquran. Dengan kata lain, dasar
ijmak dan fungsi amar ma’ruf yang dikemukakan itu hanyalah sebuah kompensasi
belaka, karena mereka tidak menemukan dasarnya dalam nas.

Ali Abdur Raziq menegaskan, bahwa dalam Alquran tidak ada satu pun ayat
yang mengatakan bahwa mendirikan sebuah khilafah atau imamah merupakan suatu
kewajiban. Ia menkritik Sayyid Ridha yang mendasarkan alasan tentang kewajiban
mendirikan khilafah kepada Alquran surat an-Nisa’ ayat 54. Menurut Ali, dasar yang
dijadikan oleh Rasyid Ridha sama sekali tidak mengandung petunjuk yang dapat

siapaun , tetapi haknya yang absolut itu didapatkannya melalui kontrak sosial. Hanya saja konsep
kontrak sosialnya berbeda dengan konsep Jhon Locke. Menurut Hobbes kontrak sosial terjadi antara
sesama rakyat, sedangkan raja tidak terlibat dalam kontak sosial itu, maka raja tidak bertanggung jawab
terhadap rakyat. Kekuasaannya menjadi absolut.

6
dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa syariat mengakui eksistensi khilafah
sebagai pengganti Nabi, dan menempatkan beliau di tengah-tengah kaum muslimin.

Kekurangjelian para ulama dalam menganalisis fenomena agama dan politik


menurut Ali Abdur Raziq, disebabkan mereka tidak memiliki ilmu politik yang
memadai. Mereka lebih cende-rung kepada ilmu-ilmu nahu, sharaf, dan sejenisnya. Di
sisi lain, para cendekiawan muslim dalam beberapa abad terjebak oleh pesona ilmu-
ilmu Yunani (filsafat), sehingga ilmu politik tidak berkembang. Dan menurutnya
ketika kekhalifahan berkuasa, mempelajari ilmu politik dilarang oleh khalifah, karena
akan mengganggu eksistensi status quo. Ali juga tidak setuju dengan bentuk khalifah
karena nyatanya, selama sistem kekhalifahan diberlakukan, yang terjadi adalah
kehancuran dan kebobrokan, sehingga selalu memunculkan oposisi dari kalangan
umat Islam sendiri. Hampir setiap khalifah meraih kekuasaan dan mempertahankan
kedudukannya dengan jalan kekerasan dan fisik.

Ali Abdur Raziq kemudian juga membantah alasan yang mengatakan


wajibnya khilafah karena signifikansi bagi upaya amar ma’ruf nahi mungkar. Ia
menolak argumen kelompok ini dengan ala-san: pertama, para sarjana politik berbeda
pendapat dalam hal bentuk negara. Kedua, Amar ma’ruf nahi mungkar adalah tugas
khalifah, sama halnya dengan tugas presiden, dengan de-mikian bentuk Negara tidak
harus sistem kekhalifahan. Ketiga, Syi’ar Allah dan ekpresi-ekpresi keagamaan sama
sekali tidak tergantung pada bentuk pemerintahan yang disebut khilafah.

Sementara pemikir Islam, termasuk Ridha, mendasarkan keyakinannya bahwa


mendirikan khilafah itu merupakan keharusan agama, atas dasar Alquran surat al-Nisa’
ayat 59 yang memerintahkan kepada orang-orang yang beriman agar taat kepada
Allah, dan ulil amri mereka. Abdur Raziq mengartikan ulil amri itu adalah tokoh-
tokoh umat Islam semasa hidup Nabi dan sesudahnya, di antaranya para khalifah, para
hakim, para komandan pasukan, dan bahkan para ulama atau ahli agama. Dengan kata
lain ayat tersebut tidak dapat dipergunakan untuk mendukung pendapat bahwa
mendirikan khilafah itu hukumnya wajib.13 Dari Hadis Nabi juga tidak ada ungkapan
yang mendukung pendapat itu. Memang nabi pernah menyatakan bahwa pemimpin
(umat Islam) itu agar dari suku Quraisy, bahwa barangsiapa telah berbai’at atau

13
Munawair Sadzali, Islam…, hlm. 141

7
menyatakan kesetiaan kepada pemimpin, hendaknya dia selalu mematuhinya. Tetapi
ucapan Nabi itu sama sekali tidak dapat diartikan mewajibkan umatnya mendirikan
khilafah.

Ali Abdur Raziq mengakui bahwa ijmak merupakan sumber ketiga hukum
Islam setelah Alquran dan Sunah. Tetapi menurutnya, pengangkatan penguasa sejak
Abu Bakar, khalifah pertama, sampai zaman dia sendiri tidak pernah dilakukan de-
ngan ijmak, yang berarti kesepakatan bulat antara umat Islam. Menurut
pangamatannya, hampir semua khalifah dari zaman ke zaman dinobatkan dan
dipertahankan dengan fisik dan senjata. Hanya Abu Bakar, Umar dan Ustman yang
tidak begitu.

Terhadap alasan wajib ada yang diangkat menjadi khalifah demi melindungi
kelestarian Islam dan kepentingan rakyat, menurut Ali Abdur Raziq memang benar
dalam hidup bermasyarakat tiap kelompok manusia memerlukan penguasa yang
mengatur dan melindungi mereka, lepas dari agama dan keyakinan mereka, apakah
Islam, Nasrani, Yahudi atau penganut agama lain, bahkan yang tidak beragama.
Penguasa itulah pemerintah, tetapi pemerintah tidak harus berbentuk khilafah,
melainkan dapat beraneka bentuk dan sifat, konstitusional, ke-kuasaan mutlak,
republik, diktator, dan sebagainya. Tegasnya, tiap bangsa harus mempunyai
pemerintahan, tetapi bentuk dan sifatnya tidak harus khilafah, boleh beraneka
ragam.14

Ali Abdur Raziq mengatakan, Islam tidak ada hubungannya sama sekali
dengan kekhalifahan, artinya sistem kekhalifahan dalam Islam sebenarnya tidak ada.
Sebab baik Alquran mau pun hadis tidak pernah secara langsung menyinggung
masalah ini, agama tidak menentukan pola suatu pemerintahan secara mutlak. Selama
ini sistem politik yang berjalan hanya didasari oleh kepentingan kekuasaan semata,

14
Pemerintahan adalah persoalan politik, dalam persoalan politik, kita seharusnya dipandu oleh akal
dan pengalaman. Semua fungsi politik tergantung kepada kita, rasio kita, keputusan-keputusannya, dan
prinsip-prinsip politisnya. Agama tidak memerintah maupun melarang (hal-hal semacam itu), agama
benar-benar menyerahkan kepada kita, sehingga tentang persoalan itu kita harus mengacu kepada
hukum akal, pengalaman berbagai Negara, dan kaidah-kaidah politik. Umat Islam mempunyai
kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan Negara sesuai dengan kondisi intelektual, sosial, dan
ekonomi.

8
bukan didasari oleh Islam, hanya saja pemerintahan itu menamakan diri sebagai
khalifah. sebagaimana yang dipahami kaum muslim pada umumnya.

Ali Abdur Raziq tidak mengakui keberadaan Nabi sebagai kepala Negara atau
pemimpin politik. Baginya, Nabi hanya lah seorang Rasul, sebagaimana rasul lain,
bukan raja atau kepala Negara.15 Nabi tidak diperintahkan membentuk Negara,
tugasnya hanyalah menyampaikan risalah Tuhan. Kalau pun Nabi dikatakan memiliki
kekuasaan, kekuasaannnya bersifat umum, mencakup soal dunia dan akhirat. Ali
Abdur Raziq berpenda-pat, bahwa Nabi memiliki kekuasaan (quwwah) khusus yang
memungkinkannya melaksanakan sebuah misi. Kekuasaan itu, bagaimana pun, hanya
khusus untuk Muhammad, dan yang paling penting--kekuasaan itu berbeda dari
kekuasaan politik seorang gubernur, raja atau sultan. Kekuasaan itu memang diper-
lukan nabi karena dalam posisinya itu beliau harus mempunyai kekuasaan yang lebih
besar dari kekuasaan seorang raja.16 Tatkala Nabi wafat kemudian diganti oleh Abu
Bakar, yang didalam sejarah Islam dikenal sebagai khalifah. Tugas Abu Bakar
sebenarnya sebagai kepala Negara bukan kepala urusan agama. Abu Bakar disebut
sebagai khalifah yang mengurus persoalan umat, begitu juga pengganti setelahnya,
baik Umar, Usman dan Ali, mereka sebagai khalifah.17

Untuk mendukung pendapatnya, ‘Ali Abdur Raziq mengemukakan bukti-bukti


sebagai berikut. Pertama, Nabi tidak pernah memberi petunjuk kepada kaum Muslim
mengenai tata cara bermusyawarah dan sistem pemerintahan. Kedua, Nabi tidak
pernah mencampuri persoalan politik bangsa Arab. Malah nabi tidak pernah
melakukan perubahan terhadap model pemerintahan, sistem administrasi maupun
pengadilan yang berlaku di lingkungan kabilah Arab. Ketiga, Nabi juga tidak pernah
mencampuri hal-hal berkaitan dengan urusan interaksi sosial dan ekonomi masyarakat.
Keempat, Nabi tidak pernah melaku-kan aktivitas kenegaraan, seperti memecat

15
Ali Abdul Raziq, al-Islam..., hlm. 42.

16
Ali Abdul Raziq, al-Islam..., hlm. 64.

17
Abdul Sani, Perkembangan Modern…, hlm. 76

9
seorang gubernur, merekrut seorang hakim, dan mengeluarkan peraturan tentang
sistem perdagangan, pertanian, dan industri.18

Ali Abdur Raziq menerima argumen kaum modernis, bah-wa norma sosial
syariat dapat diubah karena diambil dari kondi-si historis yang khusus sebuah
perkembangan yang lebih jauh. Kekhalifahan merupakan produk sejarah, sebuah
institusi manusiawi ketimbang ilahi, suatu bentuk temporer, dan karena nya, sebuah
jabatan yang sepenuhnya politis tanpa tujuan atau fungsi agama. Universalitas Islam
tidak terletak pada struktur politisnya, melainkan pada iman dan bimbingan agamanya.

Pendapat ‘Ali Abdul Raziq di atas menimbulkan kontoversi yang hebat di


kalangan ulama dan intelektual Mesir. Karena pendapatnya itu, al-Azhar
menanggalkan gelar ‘alim dari dirinya. Kontroversi tentang dirinya, disebabkan oleh
tesis-tesisnya yang membingungkan. Pertama, tesis utama dalam bukunya bahwa
khilafah tradisional tidak bersifat mandat dan tidak secara ketat berdasarkan syariah.
Dengan demikian umat Islam bebas mengambil bentuk-bentuk alternatif sistem
pemerintahan yang dirasakan cocok. Kedua, Bahwa Islam tidak menentukan norma-
norma politik apa pun. Umat Islam bebas memilih cara apa saja dalam mengelola
urusan-urusan keduniaan mereka.

Sebagai respon terhadap pemikiran Abdur Raziq tersebut, Muhammad Husain


Haykal menulis sebagai berikut: “pada masa ini, (yakni masa sesudah hijrah),
dimulailah perkembangan baru dalam kehidupan Muhammad saw. yang belum pernah
sekali pun dilalui oleh Nabi dan Rasul lainnya. Disini dimulailah perkembangan
politik yang diperlihatkan Nabi dengan brilian, penuh kemampuan dan kecakapan
sehingga membuat orang kagum dan menaruh hormat19.

Menurut Haykal, setelah hijrah ke Madinah, Nabi memulai babak baru, yakni
kehidupan politik dalam Islam. Secara implisit di dalamnya terkandung pengertian
bahwa di Madinah itulah dimulai kehidupan bernegara bagi umat Islam. Meskipun
tidak setuju dengan tesis Ali Abdur Raziq, Haykal tetap memuji metode berfikir
Abdur Raziq, dan memberikan dukungan atas keberaniaannya mengemukakan

18
Ali Abdul Raziq, al-Islam..., hlm. 64.

19
Musdah Mulia, Negara Islam…, hlm. 194.

10
pemikiran tersebut. Pujian yang diberikan Haykal didasarkan kepada pendiriannya
yang amat menghargai prinsip kebebasan berfikir dan kebebasan mengemukakan
pendapat.

Menyikapi masalah ketebelakangan umat Islam, Ali Abdur Raziq berbeda


dengan pemikir politik Mesir lain. Ia menegaskan, jika umat Islam ingin maju
hendaknya lembaga khilafah ditinggalkan karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan
zaman, soal corak atau bentuk sebuah negara adalah inspirasi perkem-bangan
kebutuhan umat, bukan persoalan agama. Jadi bersifat duniawi. Dari itu, segala
sesuatu yang bersifat duniawi adalah nisbi, diperlukan sesuai zaman, dan diperlukan
peran akal ma-nusia. Pendapat ini identik dengan pandangan Mustafa Kemal Attaturk
(1881-1938) yang menghapus sistem kekhalifahan. Menurut Ali, tindakan Mustafa
Kamal tidak bertentangan de-ngan Islam. Dari ide dan pemikiran Ali Abdur Raziq
nampaklah upaya pemisahan secara mutlak antara agama dengan negara, ia
bermaksud membedakan antara agama dan politik.

Pemikiran Ali Abdur Raziq mendapat kecaman dan bertentangan dengan


pemikir Mesir lainnya, seperti Rasyid Ridha (1865-1935) yang menyerukan bahwa
umat Islam dapat maju jika meniru cara pemerintahan Khulafa’ Rasyidin. Karenanya,
lembaga khilafah harus dipertahankan untuk menjamin persatuan dan keutuhan umat.
Jamaluddin al-Afghani (1839-1897), menggagaskan perlunya reformasi politik
melalui revolusi beru-pa gerakan politik yang bersifat perjuangan fisik. Demikian
pula Muhammad Abduh (1845-1905) juga menawarkan perlunya reformasi politik,
tetapi melalui evolusi, antara lain, melalui perbaikan di bidang pendidikan, termasuk
pendidikan politik.

Pandangan Ali Abdur Raziq yang menolak keyakinan sebagian besar umat
Islam yang menyatakan wajib mendirikan khilafah nampaknya lebih disebabkan oleh
situasi dan kondisi masyarakat modern. Konsep khilafah sudah tidak sesuai lagi
dengan kondisi umat Islam sekarang. Umat Islam dewasa ini sudah jauh berbeda
dengan kondisi pada masa khulafa al-rasyidin dan zaman pemerintahan Islam.

11
C. Dalil-dalil Ali Abdur Raziq Serta Bantahannya

Tepatnya April 1925, Syekh Ali Abd al-Raziq, seorang hakim Syar’iyyah di al-
Manshurah menerbitkan sebuah buku kontroversial yang menuntut dihapuskannya
kekhilafahan dan mengingkari eksistensinya dalam ajaran Islam. Penerbitan buku ini
mendapatkan reaksi yang luar biasa dari kalangan umat Islam di seluruh dunia. Judul
buku tersebut adalah al-Islam wa Ushul al-Hukm yang diterbitkan pada tahun 1925.

Ali Abdur Raziq mempunyai pemikiran yang ditantang banyak kalangan,


terutama para pemikir pembaharu Islam. Pemikirannya yang tertuang dalam buku
tersebut adalah tentang sekularisme, yaitu memisahkan antara agama dan negara. Dia
berpendapat bahwa agama tidak ada kaitannya sama sekali denga negara. Masalah
yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang dikemukakan
oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa Islam tidak
punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya kekhalifahan,
termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa al-Rasyidin bukanlah sistem
Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.20

Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada
dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut
kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak
ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk
sistem politik yang harus dibangun umat Islam.

Ali Abd al-Raziq bahkan lebih lanjut berargumen bahwa kata-kata seperti uli
al-amr(mereka yang berkuasa) dalam al-Qur’an (QS 4:26) yang diklaim oleh banyak
pemikir sebagai kekhalifahan atau imamah, tidak ada sangkut pautnya dengan
institusi ini dan tidak dimaksudkan untuk mendirikan kekuasaan kekhalifahan.
Dengan mengacu pada mufassir seperti Baidhawi dan Zamakhsyari, al-Raziq
menyatakan bahwa kata-kata ulil amri ditafsirkan sebagai “sahabat Nabi,” atau
“ulama’ Oleh karena itu ia membantah bahwa Nabi Muhammad saw. telah
membentuk negara Islam di Madinah. Nabi hanya Rasulullah, bukan raja ataupun

20
Dhiya ad-Din ar- Rais, Islam dan Khilafah, (Bandung:Pustaka, 1985), h. 37

12
pemimpin politik. Ia menyatakan21: “Muhammad merupakan utusan untuk misi
keagamaan yang penuh dengan keberagamaan, bersih dari kecenderungan pada sistem
kerajaan dan pemerintahan dan dia tidak memiliki pemerintahan, tidak juga
memerintah, dan bahwa ia tidak mendirikan sebuah kerajaan dalam pengertian politik
baik dari term tersebut ataupun yang semakna dengannya, karena ia hanyalah seorang
utusan sebagaimana pembawa risalah sebelumnya. Dia bukan seorang raja, atau
pendiri negara, dia tidak pernah berusaha untuk memiliki kekuasaan. Al-Raziq
membangun argumennya dengan banyak merujuk kepada teks-teks alQur’an maupun
Hadis. Salah satu teks yang menjadi rujukan adalah Q.S. al-‘Araf ayat 188:

‫َْ ي يَْ ي يُۛت نمَي ا يْ يَْ رنيۛ يَ يما يم س‬


َ‫ّ نِ ي‬ ‫نَ َي يًْعا سَ يَ ض ريۛا ا سنَ يما َ ايا يَ ل‬
‫لت يَْي يْ تُ يُِت ا ي يَْي تُ ا يَْيْ ي‬
‫يَ يَ ي‬ ‫ُت يْ س لَ ا ي يم نَُت نِْي يّْ ي‬

‫ّ ا يْ تَ ا ينَ ايَي اا ا سنَ َي نِّ ريۛ سََي ن‬


ࣖ ‫ِْ ريۛ نَّْي يْ مٍ ّيْي نمِت يَْي‬ ‫اْ ي‬

“Katakanlah aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak pula
menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku
mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan
aku tidak akan ditimpa memudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan
dan pembawa kabar gembira bagi orang-orang beriman.”22

Di sinilah Ali Abd al-Raziq bermaksud membedakan antara agama dan politik,
atau lebih tepatnya antara misi kenabian dan tindakan politik. Ia memberikan argumen
historis dan teologis cukup panjang dalam buku tersebut untuk menunjukkan bahwa
tindakan politik Nabi, misalnya melakukan perang, memungut pajak dan zakat dan
bahkan jihad, tidak berkaitan atau tidak mencerminkan fungsi Nabi sebagai utusan
Allah. Baginya, Islam adalah entitas keagamaan yang bertujuan membangun kesatuan
masyarakat yang diikat oleh keyakinan bersama, melalui dakwah agama.23

Dalam bukunya tersebut tersirat bahwa Ali Abd al-Raziq tidak bermaksud
mengatakan bahwa Islam sama sekali tidak perlu membentuk pemerintahan.
Sebaliknya, Islam tidak menolak perlunya suatu kekuasaan politik. Dalam al-Qur’an,

21
Ali Abdul Raziq, al-Islam..., hlm. 64.25 Musdah Mulia, Negara Islam…, hlm. 194.

22
Ibid

23
Ibid

13
menurutnya Tuhan menyatakan perlunya pembentukan suatu pemerintahan sebagai
sarana esensial bagi umat Islam dalam perjuangan mereka untuk melindungi agama
dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya. Tapi ini tidak berarti bahwa
pembentukan suatu pemerintahan menjadi ajaran pokok Islam. Ini jelas menunjukkan
bahwa Ali menerima keberadaan otoritas politik dalam umat Islam. Tapi ia jelas
menolak bahwa otoritas politik merupakan tuntutan syariah atau bentuk organisasi
politik yang wajib ada secara keagamaan. Bahkan bagi Ali Abd al-Raziq
pemerintahan kekhalifahan Islam merupakan fenomena historis murni yang pada
dasarnya bersifat sekuler.

Menanggapi buku Ali Abd Rariq al-Islam wa Ushul al-Hukm, Leonard Binder
(1988) dalam bukunya Islamic Liberalism : A Critique of Development Idiologies,
menyatakan bahwa titik sentral karakter tantangan intelektual yang dimunculkan oleh
Ali Abd. al-Raziq terhadap para Ulama tradisional al-Azhar dalam bukunya al Islam
wa Ushul al-Hukm, adalah perbedaan antara makna komunitas politik dan
pemerintahan.24 Dalam arti, apakah Umat Islam itu bisa dimaknai sebagai komunitas
politik atau komunitas religius saja dan apakah pemerintahan itu menjadi bagian dari
risalah kenabian. Tesis yang dilontarkan Ali Abd. al-Raziq yang secara tajam
menyatakan bahwa Umat Islam adalah komunitas religius saja dan risalah tidak
terkait dengan pemerintahan, diposisikan sebagai pemikiran liberal Mesir modern
yang terbaik, dan sebagai bahan perdebatan politik yang menarik. Buku itu, berikut
reaksi resmi terhadapnya banyak menarik perhatian pada tahun 1925 sewaktu
diterbitkannya untuk pertama kalinya. Banyak sejarahwan pemikiran Mesir yang
mengupasnya, terutama Albert Hourani dalam karyanya Arabic Thought in Liberal
Age, 1798-1939, dan Muhammad Imarah dalam al-Islam wa Ushul alHukm li Ali
Abd. al-Raziq.25usus kepada masalah kekhalifahan, dan Ali Abd. al-Raziq mengulang.

Dari sini pertanyaannya kemudian mengarah secara pendapatnya bahwa


kekhalifahan bukan rezim negara, bahwa lembaga ini tidak disyaratkan dalam Islam,
dan bahwa terlepas dari niat para khalifah tidaklah mungkin ada pengganti, atau

24
Leonard Binder, Islam Liberal : Kritik Terhadap IdeologiIdeologi Pembangunan, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2001),hlm. 120

25
Muhammad Imarah, al-Islam wa Ushul al-Hukm li Ali Abd. al-Raziq, (Beirut : ttp., 1972), hlm.85

14
khalifah yang mengantikan kedudukan Rasulullah, karena Rasul tidak pernah menjadi
raja, dan tidak pernah berusaha mendirikan sebuah negara ataupun pemerintahan. Dia
adalah pembawa pesan yang diutus oleh Allah, dan dia bukan pemimpin politik.”

Lebih lanjut al-Raziq menjelaskan, bahwa Rasul memang dapat menangani


persoalan-persoalan politik umatnya, namun menurut al-Raziq, Rasul tugas yang unik
yang tidak bisa didelegasikan kepada orang lain, karena berhubungan dengan potensi
kenabian yang hanya dimiliki olehnya par exellence. Sehingga pasca Rasul, tidak
akan ada lagi model kepemimpinan yang sama dengan model kepemimpinan Rasul.
Sehingga khalifah yang dimaknai sebagai kepemimpinan pengganti Rasul sungguh
tidak masuk akal. Urusan politik adalah urusan dunia yang tidak terkait langsung
dengan agama, bahka terpisah sama sekali dengan agama. Menurut al-Raziq, adalah
masuk akal jika dunia akan menganut satu agama dan bahwa semua umat manusia
dapat diatur dalam satu kesatuan agama. Namun, lanjut al-Raziq, kepenganutan
seluruh dunia pada satu pemerintahan dan dikelompokkan pada satu kesatuan politik
bersama akan bertentangan dengan sifat dasar manusia dan tidak terkait dengan
kehendak Tuhan.26 Karena hal itu merupakan tujuan duniawi, dan Tuhan telah
menyerahkan urusannya kepada manusia untuk memikirkannya.

Bahkan Ali Abd. al-Raziq membangun tesisnya yang fundamental, bahwa


Muhammad Rasulullah tidak mempunyai hak apa-apa atas umatnya selain hak risalah.
Kalau saja Rasulullah seorang raja, kata al-Raziq, tentunya dia juga mempunyai hak-
hak seorang raja atas umatnya. Dan melihat fenomena kekuasaan raja pasca wafatnya
Rasulullah, dengan tegas ia menyatakan : “Seorang raja tidak memiliki hak risalah,
keutamaannya bukan keutamaan risalah, keagungannya bukan keagungan risalah”.27
Al-Qur’an, kata al-Raziq, dengan gamblang menerangkan bahwa Muhammad tidak
lain hanya seorang rasul yang tidak ada rasul lain sesudahnya Ia juga menjelaskan
bahwa Muhammad tidak mempunyai tugas lain selain menyampaikan risalah Allah
kepada manusia. Dan ia tidak dibebani apa-apa selain agar menyampaikan risalah itu,

26
Abdel wahab el-Affendi, Masyarakat tak Bernegara : Kritik Teori Politik Islam, (Yogyakarta : LkiS,
1991), hlm. 8

27
Ibid., hlm. 193-193

15
dan ia tidak berkewajiban memaksa manusia agar menerima apa yang dia bawa.28
Dengan bersikukuh bahwa Rasulullah bukanlah pemimpin politik, dan bahwa khalifah
bukan penerus Rasulullah, al-Raziq mengingkari adanya peralihan legitimasi politik
dari Rasulullah kepada khalifah. Tampaknya dia berkeyakinan bahwa komunitas
beragama yang memiliki kesamaan keyakinan berkat misi dakwah Rasulullah tidak
memiliki dimensi politik. Kegigihannya mempertahankan pendapat bahwa
Muhammad bukan pemimpin politik tentunya nyaris tidak dapat diterima, baik dari
sudut pandang historis maupun tradisional.29

28
Makna inti yang hendak dieksplorasi Abd. Al-Razik untukmembangun argumen bahwa Rasulullah
bukan pemimpin politik, adalah makna yang menunjuk bahwa Rasul hanya pembawa kabar gembira.
Masih banyak ayat lain yang dikutip Abd. Al-Raziq, diantaranya : Q.S. Hud :12; al-Kahfi :110; al-Hajj :
49; al-Ra’d : 7; Shad :70; Fushshilat :6. Lihat Ali Abd. Al-Raziq, al-Islam wa Ushul al-Hukm … op.cit.,
hlm. 87-88

29
Sambil berpendapat demikian al-Raziq mengutip banyak ayat al-Qur’an yang mendukung
pandapatnya, diantaranya; Q.S.al-Maidah :92, 99; al-A’raf : 84; Yunus :2; an-Nahl :35,64,82; al-
Isra’ :105; Maryam :97; Thaha :1-3; an-Nur :54; al-Furqan :56; an-Naml :91-92; al-‘Ankabut :18; al-
Ahzab :45-46; Saba’ :28,46; Fathir :23-24; Shad :65; al-Ahqaf :9; al-Fath :8; al-Mulk :26; al-Jinn :20-
23. Lihat Ibid., hlm. 87-89 Muhammad Imarah, al-Islam wa Ushul al-Hukm … op.cit., hlm. 92

16
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Ali Abdul Raziq lahir dari keluarga Feodal Mesir pada tahun 1888 M, di
sebuah pedalaman al-Sha’id yang termasuk di dalam sebuah provinsi Menia dan
meninggal pada tahun 1966 M. Ayahnya bernama Hasan Abd al-Raziq Pasha, salah
seorang teman Muhammad Abduh.

Ali Abdul Raziq mengemukakan bahwa khilafah adalah satu pola


pemerintahan di mana kekuasaan tertinggi dan mut-lak berada pada seorang kepala
negara/pemerintah dengan ge-lar khalifah, pengganti Nabi Muhammad, dengan
kewenangan untuk mengatur kehidupan dan urusan umat/rakyat, baik kea-gamaan
maupun keduniaan, yang hukumnya wajib bagi umat untuk patuh dan taat sepenuhnya.
Ia tidak sependapat dengan kebanyakan ulama yang menyatakan bahwa mendirikan
khi-lafah atau lembaga khilafah merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam, dan
karenanya maka berdosa kalau tidak dilaksanakan.

Masalah yang paling mendasar dalam karya Abd al-Raziq sebagaimana yang
dikemukakan oleh Muhammad Diya al-Din Al-Rayis adalah pandangannya bahwa
Islam tidak punya sangkut paut dengan masalah kekhalifahan. Menurutnya
kekhalifahan, termasuk yang berada di bawah kekuasaan al-khulafa al-Rasyidin
bukanlah sistem Islam ataupun keagamaan, tapi sistem yang pada dasarnya duniawi.

Argumen pokok Ali ‘Abd al-Raziq adalah bahwa kekhalifahan tidak ada
dasarnya baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah. Keduanya tidak menyebut
kekhalifahan dalam pengertian seperti yang terjelma dalam sejarah. Lebih lanjut, tidak
ada penunjukkan yang jelas baik dalam al-Qur’an maupun Sunnah mengenai bentuk
sistem politik yang harus dibangun umat Islam.

17
DAFTAR PUSTAKA

Muji Mulia, Sejarah Sosial dan Pemikiran Politik Ali Abdul Raziq, Vol. X, Islam
Futura, No. 2, Februari 2011.

Ali Abdul Raziq, al-Islamwa al-Hukm: Baht fi al-Khilafah wa al-Hukmah, terj. Afif
Muham, Bandung: Pustaka al-Husna, 1985.

Ensiklopedia Islam, editor Nina M. Armando, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005.

Jumni Nelli, Pemikiran Politik Ali Abd Al-Raziq, Vol. 39, Jurnal Pemikiran Islam,
No. 1, Januari-Juni 2014.

18

Anda mungkin juga menyukai