Disusun Oleh :
Saskia Tasauf (042001051)
Nur Fajar (042001057)
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap zaman memiliki sejarah yang berbeda, pemikiran-pemikiran yang berbeda dan
tokoh-tokoh yang berbeda pula. Islam yang di klaim sebagai agama yang komprehensif,
baik dari kalangan intern maupun ekstren-bahkan orientalis sekalipun juga mempunyai
cerita tersendiri dalam sejarah ke-tata negaraannya. Bermula sejak Nabi telah memiliki
konsep dasar bernegara, terbukti dengan adanya penyebutan dalam sejarah yaitu adanya
negara Madinah, yang dianggap merupakan Praktek bernegara pertama yang dilakukan
Nabi. Dengan konsep di dalamnya antara lain nilai-nilai hak azazi manusia (HAM), serta
penanaman sikap tenggang rasa antar sesama umat beragama. Karena pada saat itu umat
Yahudi juga berdampingan dengan umat Islam di Madinah. Dalam Al-Qur’an sendiri
tidak ditemukan adanya petunjuk eksplisit pada ayat-ayatnya mengenai tata cara
bernegara dalam islam, melainkan hanya melalui penyebutan prinsip-prinsip dasar dalam
kehidupan sehari-hari.
Pada fase setelah wafatnya Nabi, dunia percaturan politik dan tata negara mengalami
berbagai perubahan, seperti pada masa Khalifah al-‘Arba’ah, sistem negara pola khalifah,
namun setelah terjadinya pengkudetaan di masa Ali, sistem kenegaraan berubah menjadi
monarkhi atau kerajaan yang dimasa-masa selanjutnya kekuasaan selalu diserahkan
kepada putra mahkota. Dimulai dengan pemegangan tampuk kekuasaan Muawiyah bin
Abi Sufyan dengan putra mahkotanya Yazid.
Adanya ungkapan setiap zaman pasti memiliki pemikir yang disebut sebagai anak zaman,
dan dari setiap pemikir tersebut pasti akan menghasilkan berbagai konsepsi yang
berbeda-beda, bukan tidak mungkin kita yang ada pada saat ini, suatu saat nanti akan
menjadi tokoh terkemuka dalam dunia perpolitikan islam, seperti halnya Al-Afghani,
Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha, dimana dengan pemikiran-pemikiran mereka
dapat membentuk pemikiran “Ontentik Islamiyyah” yang mampu menjawab segala
permasalahan yang terjadi pada masyarakat kita. Berikut ini akan disajikan oleh penulis
terkait dengan Pemikiran Praktik Politik dalam Islam .
1
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana Latar historis munculnya pemikiran dan praktik politik islam ?
2. Siapa saja Tokoh-tokoh pemikir islam ?
3. Bagaimana Implikasi pemikiran politik islam bagi dunia islam ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan dalam makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui Latar historis munculnya pemikiran dan praktik politik islam
2. Untuk mengetahui Tokoh-tokoh pemikir islam
3. Untuk mengetahui Implikasi pemikiran politik islam bagi dunia islam
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Disinilah terlihat salah satu potret perpolitikan yang telah dipraktekkan sahabat Nabi
(Abu Bakar As-Shiddiq) dengan teori politik islam dengan asas-asas ketauhidan.
Mengedapankan prinsip yang berkesadaran dan kesederhanaan dalam misi politik kekuasaan
yang akan dijalankan sebagai pelanjut risalah Nabi, membawa misi penyebaran islam. System,
teori politik dan demokrasi tidak hanya dipotretkan dalam pembentukan system pembentukan
kekhalifahan sebagaimana awalnya Abu Bakar menjadi khalifah pertama, namun setelah
kepemimpinan empat Khalifah berlalu, umat islam mengalami polemik dan dinamika system
politik islam.
Setelah mengalami banyak polemik dan dinamika system politik di kalangan masyarakat
umat islam, seiring perkembangan zaman maka munculnya para pemikir dan cendekiawan
handal yang menerangkan berbagai aspek, salah satunya aspek politik guna mencapai landasan
tatanan bernegara yang ideal guna memenuhi kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat umat
islam.
1. Jamaluddin Al-Afghani
2. Muhammad Abduh
6
Dalam politik, Abduh dipandang lebih moderat ketimbang Afghani. Bagi
Abduh, organisasi politik bukanlah persoalan yang ditetapkan oleh ajaran Islam,
melainkan oleh situasi dan waktu tertentu, melalui musyawarah dalam komunitas.
Dengan demikian, ide pembaharuan Abduh sesungguhnya lebih menekankan
kebebasan dalam menentukan, termasuk apakah negara berbentuk khalifah atau
berbentuk negara dengan demokratisasi seperti yang telah terjadi di dunia Barat.
Dengan sikap tersebut bukan berarti Abduh menghendaki copy-paste sistem kedua
model negara di atas. Karena jika hal tersebut terjadi menurut Abduh, maka
sesungguhnya kaum muslimin keluar-masuk taqlid. Kemudian yang terpenting bagi
Abduh seperti yang dikemukakan oleh Abdul Athi adalah, memberikan kebebasan
politik dan kebebasan berorganisasi kepada umat. Kebebasan inilah yang kemudian
disebut Abduh sebagai kebebasan Insyaniah dalam menetapkan pilihannya. Dengan
kebebasan tersebut diharapkan umat melakukannya dengan penuh kesadaran,
sehingga apa yang diharapkannya dapat digapai. Kesadaran yang demikian akan
hadir tentunya setelah umat mampu bangkit dan keluar dari kungkungan dogmatisme
agama, atau dalam bahasa Abduh, melalui reformulasi Islam seperti yang telah
disinggung sebelumnya.
Politik dan pembaharuan yang Abduh tempuh memang sangat moderat,
karena Abduh lebih menekankan pada kesadaran pembaharuan umat dari dalam diri
umat itu sendiri. Dan karena itu, Abduh tidak menghendaki jalan konfrontatif seperti
yang pernah dilakukan gurunya Afghani. Walaupun pada masa awal Abduh juga
disinyalir terlibat dalam revolusi Urabi 1882. Dengan demikian gerakan politik
Abduh dipandang sebagai gerakan yang evolutif bukan gerakan revolusioner.
3. Rasyid Ridha
a) Biografi Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan di Qalmun wilayah pemerintahan
Tarablus Syam pada tahun 1282-1354 H/1865-1935 M. Dia adalah Muhammad
Rasyid Ibn Ali Ridha Ibn Muhammad Syamsuddin Ibn Muhammad Bahauddin Ibn
Manla Ali Khalifah, Keluarganya dari keturunan yang terhormat berhijrah dari
Baghdad dan menetap di Qalmun. Kelahirannya tepat pada 27 Jumad al-Tsani tahun
1282 H/ 18 Oktober tahun 1865 M. dan Dia adalah seorang bangsawan Arab yang
mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali ibn Abi
Thalib dan Fatimah putri Rasulullah saw. Ridha dibesarkan ditengah keluarga
terpandang. Kakeknya, Sayyid Syaikh Ahmad adalah seorang ulama yang terkenal
wara’ dan disegani oleh masyarakat. Demikian juga ayahnya Sayyid Ali Ridha,
adalah ulama yang dihormati.
7
Semasa kecilnya, Ridha sudah belajar ilmu agama disekolah keagamaan
negeri di Tarablus kemudian melanjutkan di Beirut. Dia mempelajari ilmu
keagamaan serta sastra arab dengan metode mirip dengan metode al-Azhar pada
waktu itu. Setelah melalui masa pengasuhan dalam lingkungan keluarga sendiri,
maka pada usianya yang ketujuh tahun, Muhammad Rasyid Ridha dimasukkan orang
tuanya kesebuah lembaga pendidikan dasar yang disebut Kuttab yang ada di desanya.
Disinilah Rasyid Ridha mulai membaca Al-Quran, menulis dan berhitung. Beberapa
tahun kemudian, setelah menamatkan pelajarannya di lembaga pendidikan dasar itu.
Muhammad Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di Madrasah Ibtidaiyah al-
Rusdiyah di kota Tripoli. Pada tahun 1882, Dia meneruskan pelajaran di Madrasah
al-Wataniyah al-Islamiyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini,
selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan disamping itu
pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Pada tahun
1898 Muhammad Rasyid Ridha hijrah ke Mesir.
Di umurnya kedua puluh delapan (1310 H/1892 M) terjadi perubahan
besar dalam orientasi pemikirannya. Hal tersebut terjadi setelah Dia membaca
beberapa lembaran majalah Al-Urwah al-Wutsqa koleksi ayahnya yang diterbitkan di
Paris (1301 H/1884 M) oleh Jamaluddin al-Afghani. Kemudian Dia mulai mencari
dan menyempurnakan lembaran-lembaran tersebut untuk menjadi sebuah eksemplar
ke-delapan belas yang sempurna. Lembaran-lembaran tersebut ditemukan di
perpustakaan gurunya Husin Al-Jisr yang kemudian Dia salin kembali dan Dia tekuni
dalam mempelajarinya baik dari segi metode, pemikiran maupun tujuan-tujuannya.
Hal ini menimbulkan perubahan pada bentuk pemikiran dan model keIslamanya
dalam usahanya memperbaiki keadaan kaum muslimin.
b) Pembaharuan bidang politik dan sosial kemasyarakatan Rasyid Ridha
Sistem politik Islam menurut Rasyid Ridha adalah tauhid, risalah, dan
Khalifah, Prinsip tauhid akan menolak konsep kedaulatan hukum dari manusia, baik
secara individual maupun lainnya. Menurut Ridha, satu-satunya yang berdaulat
hanyalah Allah semata. Risalah merupakan perantara manusia dengan Tuhannya
melalui Rasul dan AL-Qur’an yang menjadi sumber hukum abadi. Oleh karena itu,
risalah harus menjadi dasar politik Islam.
Semua umat bersatu di bawah satu keyakinan, satu sistem moral dan satu
sistem pendidikan serta tunduk pada satu sistem hukum. Hukum dan undang-undang
tidak dapat dijalankan tanpa kekuasaan pemerintah, Negara yang dianjurkan Rasyid
Ridha ialah negara dalam bentuk kekhalifahan. Sebab Rasyid Ridha memiliki
program pelaksanaan yaitu menghidupkan kembali sistem kekhalifahan di dalam
8
zaman modern, karena bentuk pemerintahan seperti ini akan membawa kesatuan
umat Islam.
Untuk mewujudkan kesatuan umat itu ia pada mulanya meletakkan
harapan pada kerajaan Utsmani, tetapi harapan itu hilang setelah Mustafa Kamal
berkuasa di Istambul dan kemudian menghapus sistem pemerintahan Khalifah dan
berubah menjadi Republik.
Menurut Rasyid Ridha, calon khalifah tidak hanya terdiri dari ulama atau
ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid, tetapi juga dari pemuka-pemuka
masyarakat dari berbagai bidang termasuk bidang perdagangan, perindustrian dan
sebagainya. Syarat bagi calon khalifah yaitu harus berilmu dan mampu berijtihad.
berilmu disini dalam arti menguasai pengetahuan agama dan bahasa Arab, sehingga
mampu memahami secara tepat maksud-maksud Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta
teladan-teladan yang diwariskan oleh para pendahulu (salaf) yang saleh, dan yang
sudah mencapai tingkat mampu berijtihad secara betul. Untuk mempersiapkan calon-
calon khalifah yang memenuhi syarat-syarat tersebut, Rasyid Ridha mengusulkan
pendirian suatu lembaga pendidikan tinggi keagamaan untuk mendidik dan mencetak
calon-calon khalifah, Dalam lembaga pendidikan ini, diajarkan berbagai cabang ilmu
agama Islam, sejarah, ilmu kemasyarakatan dan ajaran-ajaran agama lainnya.
Kemudian khalifah dipilih dari antara para lulusan dan lembaga tersebut yaitu
mereka yang telah memperlihatkan keunggulan dalam penguasaan ilmu dan
kemampuan berijtihad. pemilihan itu dilakukan dengan bebas dan oleh rekan-rekan
sesama lulusan lembaga itu, untuk kemudian dikukuhkan melalui baiat oleh Ahl-al-
Halli wa al-Aqli (orang yang berhak memilih khalifah/para ahli ilmu khususnya
keagamaan dan mengerti permasalahan umat) dari seluruh dunia Islam.
Untuk melaksanakan “proyek” menghidupkan kembali lembaga
kekhalifahan itu, Rasyid Ridha mengusulkan diselenggarakannya suatu muktamar
raya Islam di Kairo, Mesir, yang dihadiri oleh wakil-wakil dari semua negara Islam
dan seluruh umat Islam. Dengan menambahkan bahwa Mesir adalah satu-satunya
negara yang layak menjadi penyelenggara pertemuan akbar Islam seperti itu, tanpa
memberikan uraian lebih lanjut tentang alasannya. Muktamar tersebut berlangsung
pada tahun 1926 M, tetapi muktamar tersebut berakhir dengan kegagalan karena
banyak dan kuatnya pertentangan di antara para peserta muktamar dan akhirnya tidak
dapat tercapai kesepakatan. Peserta kemudian terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu
kelopok pertama, yang ingin mempertahankan kepemimpinan Sultan Abdul Majid
(Turki) yang sudah dilucuti oleh mustafa Kemal dari segala kekuasaan dan
menghendaki jabatan khalifah dikembalikan kepadanya; kelompok kedua, yang
mendesak agar mengakui kekhalifahan Syarif Husein, yang pada tahun 1916
9
memberontak terhadap Turki dan menyatakan dirinya sebagai khalifah; sedangkan
kelompok ketiga, yang terdiri dari ulama-ulama Mesir berusaha keras agar muktamar
memutuskan Raja Fuad dari Mesir sebagai khalifah.
Tentang Nasionalisme yang sedang menggejala pada masa itu, Rasyid
Ridha berpendapat bahwa faham Nasionalisme itu bertentangan dengan persaudaraan
Islam. Oleh karena itu, ia tidak setuju dengan faham Nasionalisme yang dibawa oleh
Mustafa Kemal di Mesir maupun Turki. Menurutnya persaudaraan Islam tidak
mengenal batas baik ras, bangsa, bahasa dan tanah air.
Rasyid Ridha yang pada awalnya memang bukan pemikir politik,
pemikiran politiknya berawal dari reaksi terhadap persoalan-persoalan umat Islam
yang mengalami kemunduran total dalam segala aspek kehidupan pada waktu itu.
Adapun implikasi pemikiran dan praktik politik bagi dunia islam, yaitu :
1) Dengan adanya pemikiran dan praktik politik islam, berpengaruh pada terciptanya
suatu tatanan masyarakat yang teratur dan baik, dalam pembuatan suatu keputusan
serta kebijaksaan oleh negara yang berlandaskan syariat islam.
2) Dengan adanya pemikiran dan praktik politik islam, berpengaruh pada tumbuh dan
berkembangnya kerajaan-kerajaan islam.
3) Munculnya partai-partai politik islam
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Latar historis munculnya pemikiran dan praktek politik dapat dilihat sejak era
Nabi Muhammad, Pada satu sisi, Nabi bertugas sebagai seorang pemimpin
tertinggi keagamaan, dan pada waktu yang bersamaan Nabi juga berhasil
mempraktikkan pemerintahan dan ketatanegaraan dengan membangun komunitas
politik di Madinah.
b. Untuk mengatasi polemik serta dinamika politik dikalangan masyarakat umat
islam, seeiring perkembangan zaman maka munculnya para Tokoh-tokoh pemikir
politik islam. Adapun beberapa tokoh pemikir islam, yaitu; 1) Jamaluddin Al-
Afghani, 2) Muhammad Abduh, 3) Rasyid Ridha.
c. implikasi pemikiran dan praktik politik bagi dunia islam, yaitu :
1. Dengan adanya pemikiran dan praktik politik islam, berpengaruh dalam
menciptakan suatu tatanan masyarakat yang teratur dan baik, dalam
pembuatan suatu keputusan serta kebijaksaan oleh negara
2. Dengan adanya pemikiran dan praktik politik islam, berpengaruh pada
tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan islam.
3. Munculnya partai-partai politik islam
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun mengenai Pemikiran dan Praktik
Politik dalam Islam, dan kami sangat menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan
maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan sangat
kami harapkan. Dan semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan kita dan
bermanfaat. Amin.
11
DAFTAR PUSTAKA
Fadli, Yusuf. (2018, Juni). Pemikiran Politik Islam Klasik (Studi Awal Atas Perspektif
Kalangan Sunni). Diakses pada 20 Oktober 2022 melalui
https://www.researchgate.net/publication/327024161_Pemikiran_Politik_Islam_
Klasik_Studi_Awal_Atas_Perspektif_Kalangan_Sunni .
Sanusi, Anwar, M. Ag. (2021). Pemikiran Politik Islam. Cirebon : CV. ELSI PRO
12