Anda di halaman 1dari 15

PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

REVIVALISME/FUNDAMENTALISME BESERTA DENGAN PARA


TOKOHNYA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran Politik
Islam

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

HADI WAHYUDI HARAHAP 0203202022

M.RAFLY PARINDURI 0203201922

DOSEN PENGAMPU :

Prof. Dr.Ansari

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya dan tidak lupa pula sholawat serta salam kami
panjatkan kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW yang telah membawa
umatnya dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang
seperti saat ini. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen
pengampu mata kuliah Pemikiran Politik Islam serta teman-teman yang
telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini,sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “ PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
REVIVALISME/FUNDAMENTALISME BESERTA PARA TOKOHNYA” kami
menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini, sehingga
kami senantiasa terbuka untuk menerima saran dan kritik pembaca demi
penyempurnaan makalah berikutnya. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Medan, 24 November 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................

DAFTAR ISI ..................................................................................................

BAB I .............................................................................................................

PENDAHULUAN ..........................................................................................

A. LATAR BELAKANG ..........................................................................


B. RUMUSAN MASALAH .....................................................................
C. TUJUAN MASALAH ........................................................................

BAB II ............................................................................................................

PEMBAHASAN ............................................................................................

1.1. Pengertian Revivalisme dan Fundamentalisme .........................


1.2. Pemikiran Politik Ibnu Sina ...........................................................
1.3. Pemikiran Politik Al – Farabi .......................................................
1.4. Pemikiran Politik Al- Ghazali .........................................................
1.5. Pemikiran Politik Al – Mawardi ....................................................
1.6. Pemikiran Politik Ibnu Kholdun .....................................................
1.7. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah ...................................................
1.8. Pengaruh Pemikiran Islam dalam Teori Politik ..........................

BAB III ...........................................................................................................

PENUTUP .....................................................................................................

A. KESIMPULAN ...................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Revivalisme dan fundamentalisme adalah metode berfikir di dalam
Islam yang secara konsepsional mengakaji lebih jauh tentang
bagaimana perumusan hukum dalam satu persoalan dengan
membandingkan sesuatu yang ada pada masa sebelum nya dengan
apa yang ada lada masa saat ini. Untuk di tarik kesimpulan tentang
apa jawaban dari problem yang di hadapi. Dalam pemikiran politik
Islam hal ini bertujuan melihat bagaimana Islam mengatur hal-hal
yang bersifat politis,dengan mengambil inti sari apa yang terjadi di
masa lampau untuk di jadikan sebagai acuan pemikiran dalam
memperbaiki sistem pemerintahan atau sistim politik yang sesuai
dengan standariaasi Islam yaitu,menjadikan keadilan sebagai tujuan.
Adapun hal-hal yang berkaitan tentang pemikiran politik Islam yang
sudah banyak di kemukakan oleh para cendikiawan muslim pada
masa sebelum nya,akan menjadi topik pembahasan utama dalam
makalah ini. Sehingga kita mampu mengkaji lebih jauh tentang
pemikiran politik Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Itu Revavilisme dan Fundamentalisme?


2. Bagaimana Pemikiran Para Tokoh Tentang Politik Islam?
3. Bagaimna Pengaruh Politik Islam Dalam Teori Politik?

C. Tujuan Masalah

1. Untuk memahami Revavilisme dan Fundamentalisme.


2. Untuk mengetahui bagaimana Pemikiran Para Tokoh Tentang
Politik Islam.
3. Untuk mengetahui pengaruh politik islam dalam teori politik.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Pengertian Revavilisme Dan Fundamentalisme


Dari sudut bahasa revivalisme berasal dari revival yang berarti
“ penghidupkan kembali dan kebangkitan kembali (Peter Salim, 1996:
1655). Peletakan kata neo” (baru) kepada “ revivalis” (“ kebangkitan
kembali” ) mengisyaratkan bahwa revivalisme kontemporer mempunyai
kontinuitas dengan revivalisme dimasa lampau (Azra, 1999:46). Fazlur
Rachman (1919-1998) seorang pemikir Islam kontemporer, ketika
mempetakan perkembangan pemikiran pembaharuan dalam Islam
membagi kepada beberapa bentuk tipologi: pertama, revivalis
pramodernis, muncul pada abad ke-18 dan 19 di Arabia, India dan
Pakistan. Kedua, modernis klasik yang muncul pada pertengahan abad
ke-19 dan awal abad ke-20 di bawah pengaruh ide ide barat. Ketiga,
revivalisme pasca modernis, yang kemunculannya merupakan reaksi
dari gerakan sebelumnya. Keempat, neo modernis (Amir, 1999: 15-16).
Spektrum gerakan revivalisme Islam sangat luas, mencakup
gerakan-gerakan yang sekedar antusiasme keIslaman sampai kepada
fundamentalisme yang bisa berujung pada militanisme dan radikalisme.
Lebih tegas lagi, revivalisme dapat mengejawantahkan diri secara
sederhana dalam bentuk intensifikasi penghayatan dan pengamalan
Islam yang sering bersifat individual dan pembentukan kelompok atau
gerakan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan kembali Islam
dengan caracara damai, sampai kepada gerakan fundamental isme
yang ingin membangun sistem sosial budaya, politik dan ekonomi yang
mereka pandang lebih Islami (Azra, 1999:47).
Revivalisme pasca modernis menurut Azra dapat disebut revivalisme
kontemporer (Neo Revivalisme). Jadi neo revivalisme adalah gerakan
pemikiran Islam kontemporer yang berusaha mengembalikan
pemahaman dan pengamalan Islam secara murni baik dalam bemtuk
wacana maupun dalam bentuk praktek.
Latar Belakang dan Ciri-Ciri Revivalisme.
Keberadaan neo revivalisme adalah merupakan kelanjutan dari
revivalisme pra modernisme, sekalipun permasalahannya tidak persis
sama, revivalisme pra
modernisme muncul murni masalah internal umat Islam. Sementara
kemunculan neorevivalisme Islam secara sosiologis bahkan jauh lebih
komplek dibandingkan revivalisme pra modernisme. Selain disebabkan
faktor internal umat muslimin sendiri, juga faktor ekstemal, persisnya
tantangan Barat ( Az.ra 1999: 47 ).Gerakan revivalisme dapat
diidentifikasi melalui ciri umum yang dimiliki oleh kedua tipologi
revivalisme yaitu, revivalisme pra modernisme dan pasca modernisme.
Ciri umum pertama bahwa gerakan-gerakan revivalisme menyerukan
kembali kepada Islam yang “ mumi” - yang “ orisinal” . Kedua,
gerakan revivalisme pada umumnya menghimbau penerapan dan
pengembangan Ijtihad khususnya dalam masalah-masalah yang
berkaitan dengan hukum dan menolak taqlid. Selain memiliki kedua ciri
umum tersebut diatas gerakan gerakan revivalisme juga memiliki dua
karakter. Pertama, keharusan melakukan “ hijrah” dari.wilayah yang
didominasi tidak hanya oleh orang-orang kafir dan musyrik, tetapi juga
oleh muslim lain yang tidak sejalan dengan pandangan gerakan
revivalisme bersangkutan . Kedua, diantara gerakan revivalisme
mempunyai kepercayaan yang kuat kepada kepemimpinan tunggal,
apakah dalam bentuk amir atau imam.
Fundamentalisme Islam diartikan sebagai gerakan umat Muslim
konservatif yang berniat mengembalikan nilai fundamental agama dan
hidup mirip seperti gaya hidup nabi Muhammad dan para sahabat Nabi.
Kaum fundamentalis Islam menggunakan "tafsiran harfiah dan
orisinalis" terhadap sumber-sumber primer Islam (Al-Quran dan Sunnah),
untuk menyingkirkan (apa yang mereka anggap) pengaruh-pengaruh
non-Islam yang "merusak" dari setiap bagian dari kehidupan mereka dan
memandang "fundamentalisme Islam" sebagai istilah ejekan yang
dipakai oleh orang luar untuk kebangkitan Islam dan kegiatan Islamis.
1.2. Pemikiran Politik Ibnu Sina
Karakter kenabian yang dimaksud yakni seorang pemimpin haruslah
memiliki karakter seperti orang yang berilmu, cerdas, dan paham
tentang agama. karenanya pemimpin adalah ikon bagi masyarakatnya
untuk menciptakan masyarakat yang terpelajar dan beradab. Pentingnya
gejala karakter kenabian bagi seorang pemimpin adalah hal yang
dibangun oleh Ibnu Sina dalam 3 karakter kenabian yang khas yakni:
1) Intelek yang aktif.
Dalam dimensi intelektual nabi menciptakan nilai moral baru dan
mempengaruhi sejarah. Dalam hal ini nabi juga memiliki
wawasan yang menciptakan keyakinan diri dan kecakapan dalam
pengetahuannya sehingga mampu membuat orang percaya dan
mampu pula menyelesaikan misinya ke seluruh dunia. Intelekual
yang aktif inilah yang dimaksud Ibnu Sina agar tertanam dalam
diri pemimpim, tentunya agar bisa mencipaka tujuan negara dan
masyarakat dibawahnya.
2) Imajinasi yang masuk akal.
Seorang nabi harus memiliki imajinasi yang kuat dan hidup,
demikian pula dengan kekuatan fisiknya, sehingga mampu
memengaruhi bukan hanya pikiran tetapi juga segala materi pada
umumnya. Menurut Ibnu Sina fungsi dari imajinasi kenabian
berupa suatu hal yang melambangkan dan menghidupkan
pemikiran, keinginan, dan keterbatasan psikologi. Pelambangan
dan pemberian sugesti ini berlaku pada jiwa dan akal nabi,
sehingga menimbulkan imajinasi yang kuat danhidup, dan
membuatnya benar-benar melihat apa yang ia rasakan atau
pikirkan. Maka karakter pemimpin yang dapat diambil dalam
karakter kenabian ini yakni sifat pemimpin yang harus memiliki
imajinasi yang kuat dan tingi walau tidak bisa melampaui kualitas
imajinasi nabi, namun kekuatan imajinasi ini dapat memengaruhi
masyarakat untuk taat dan tertib terhadap hal-hal yang sudah
disepakati atau diperintahkan oleh pemimpin.
Keajaiban-Keajaiban yang dimaksud adalah prediksi peristiwa masa
depan tentang hal tertentu. Pemimpin harus bisa memprediksi tentang
hal apa yang akan terjadi di masa depan. Tentunya prediksi ini dilandasi
oleh hal yang terjadi saat ini. Untuk itu, pemimpin harus selalu
memperbaiki peristiwa yang terjadi untuk mencapai suatu peristiwa
masa depan yang memunculkan kebahagaiaan dalam masyarakat.
maksud memperbaiki yaitu mampu membuat kehidupan dalam
masyarakat dan negara selalu baik sehingga memunculkan masa depan
yang baik pula. Pemikiran politik Ibnu Sina yang lain bahwa politik
adalah akhlak. Akhlak sebagai pembatas hasrat manusia untuk
memilah tindakan yang sesuai dengan norma agama. Jika akhlak
ditekankan pada setiap individu dalam kehidupan bersosial, tentunya
akan terjalin hubungan yang baik antar sesama individu. Sehingga dapat
menjangkau komunikasi yang baik antara masyarakat umum dan
pemilik kekuasaan/pemerintahan. Namun, seringkali kita temui
praktik-praktik politik yang terjadi di pemerintahan menyimpang dari
ajaran islam sehingga terlihat bahwa politik diperuntukkan bagi mereka
yang memiliki kuasa dan materi yang banyak.

1.3. Pemikiran Politik Al – Farabi


Al-Farabi dilahirkan pada masa pemerintahan khalifah Mu’ tamid
(870-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan khalifah Muti’ .
Ia hidup di tengah-tengah kondisi politik Islam yang paling kacau dan
tidak ditemukan stabilitas politik di dalamnya. Putra-putra raja dan
penguasa lama (Persia dan Turki), berusaha merebut kembali wilayah
dan kekayaan nenek moyangnya. Selain itu,sekelompok kaum Zenj juga
melakukan pemberontakan terhadap khalifah saat itu, hingga berhasil
menguasai daerah sekitar Basrah. Saat itu pula lah, kewibawaan
khalifah telah jatuh, khalifah tidak lebih hanyalah sebuah simbol
belaka.Sebelumnya,pemerintahan dinasti Abbasiyah pernah mengalami
masa kejayaan. Namun semenjak kekuasaan dipegang oleh
orang-orang dari Turki, Persi, Daila, dan Seljuk, pemerintah Islam pun
mulai melemah. Hal ini dikarenakan peraturan-peraturan dalam
pemerintahan tidak lagi berfungsi dengan baik, sehingga kekacauan pun
terjadi dimana-mana. Peristiwa terjadi sejak khalifah al-Mu’ tashim
Billah naik tahta. Kekacauan berlangsung sampai dengan masa
pemerintahan al-Mu’ tamid. Kemudian pemerintahan pindah ke tangan
al-Mu’ tadid, lalu pindah ke al-Muktafi billah (anak al-Mu’ tamid),
kemudian pindah lagi ke tangan saudaranya, al-Muqtadir, dan direbut
oleh al-Ghalib billah Ibn Abdullah. Sampai kemudian direbut kembali
oleh para pengikut setia al-Muqtadir dan diserahkan kembali
kepadanya. Pada masa pemerintahan al-Muqtadir inilah kekacauan dan
instabilitas politik semakin memuncak. Pemikiran politik Al-Farabi
banyak dipengaruhi oleh situasi dan kondisi pemerintahan saat itu.
Dalam situasi politik seperti itu, muncullah karya Al-Farabi yang
monumental yaitu kitab Ara’ Ahl Madinah al-Fadhilah. Di dalam karya
tersebut, Al-Farabi membahas permasalahan hubungan antara teologi
dan politik yang pada saat itu jarang dibicarakan seseorang.Pada masa
pemerintahan Nashr II, Al-Farabi meninggalkan negeri Samaniyyah,
menuju barat seperti Baghdad. Dimana, saat itu Baghdad merupakan
wilayah yang memiliki akses-akses yang tidak didapatkan di wilayah
Timur.
Setelah kepergian Al-Farabi, Samaniyyah mulai berkembang. Hal ini
ditandai dengan dibangunnya perpustakaan-perpustakaan sebagai
pusat keilmuan. Puncaknya, zaman keemasan Samaniyyah berlangsung
pada pemerintahan Nashr IV. Pada masa ini, Bukhara sebagai ibukota
pemerintahan terkenal sebagai pusat ilmu dan
kesusastraan.Perpustakaan di Istana Samaniyyah di Bukhara terkenal di
seluruh Imperium.

1.4. Pemikiran Politik Al – Ghazali


Nama lengkap Al-Ghazali adalah Zain D ī nAb ū Hamîd Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Ghazali al-Th ū s ī al-Sh ā fi' ī .
Ia dilahirkan di desa Ghazalan di Thûs Khorasan, sekarang dekat
Masyhad, tahun 450 H (1058 M), dan meninggal pada tahun 505 H
(1111 M). Ia dikenal luas sebagai faqih , kalam (teolog), filsuf dan sufi .
Ayahnya, Muhammad, adalah seorang pemintal wol dan pedagang kain;
Nama keluarga Al-Ghazali sering dikaitkan dengan kata gazal yang
berarti memintal wol. Beliau mempunyai saudara laki-laki bernama
AbûFutûh Ahmad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Tûsî
Al-Ghazali atau lebih dikenal dengan Majduddin. Al-Ghazali hidup di
masa ketika banyak gerakan keagamaan dan politik menentang Dunia
Islam. Tiga tahun sebelum ia lahir, kekuasaan Dinasti Bûyiyah (
Buwaihiyyah ) Syiah pada Kekhalifahan Sunni di Bagdad berakhir. Saat
itu, bangsa Turki Seljuk di bawah pimpinan Thugrul Beg memasuki kota
dan berhasil menyingkirkan rezim Bûyiyah. Thugrul Beg, yang dikenal
sebagai orang yang menyatakan dirinya sebagai Sulthan Nishapur ,
memerintah sebagian besar Kekaisaran Abbasiyah. Terjadi pergeseran
politik dan perubahan dominasi Syiah ke kekuasaan Sunni. Pada masa
Al-Ghazali, pemerintahan pusat hanyalah sebuah cita-cita.
Negara-negara kecil di wilayah tersebut memerintah sendiri, di
antaranya adalah negara-kota di Madinah Nabi (saat itu ibu kota negara
bagian di Yunani). Pembayaran upeti mendorong hubungan
persahabatan khalifah dengan negara-negara kecil. Khalifah Abbasiyah
cukup puas dengan pengakuan nominal dari masing-masing provinsi
dengan pembayaran upeti. Namun kekhalifahan tidak berhasil
meyakinkan para Sulthan yang menguasai wilayah untuk tunduk pada
pemerintah pusat (Nasution 1985:70). Al-Ghazali menyaksikan puncak
kekuasaan semasa hidupnya hingga kemunduran tajam Dinasti Seljuk,
menyusul pembunuhan Malik Shah (Sjadzali 1991:73-74). Pada masa
pemerintahan Seljuk, Al-Ghazali tumbuh dan berkembang dengan
pemikiran keagamaannya. Ia mendapat angin segar dan rasa hormat
yang tinggi dari penguasa Seljuk karena adanya kesamaan dua mazhab,
yaitu Syafi'iyah dalam ilmu fikih dan Asy'ariyah dalam bidang teologi.
Gambaran di atas menunjukkan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang
idealis dalam hampir seluruh aspek kehidupan. Ia menguasai banyak
disiplin ilmu dan juga dikenal sebagai ilmuwan politik yang memegang
pandangan dan teori pengaruh negara yang signifikan. Ia juga menulis
beberapa karya lainnya, seperti al-Musta al-Zhahiriyya (Sanggahan
terhadap aliran politik ilegal Bathiniyyah) atau lebih dikenal dengan kitab
Fadha'ih al-Bathiniyya (Keburukan Doktrin Bathiniyya), Sulûk
al-Sulthânah (Bagaimana untuk Memerintah) dan al-Tibr al-Masbuk
(Permata Sudah Diukir) yang di Eropa dikenal dengan nama 'Buku
Panduan Politik Etis', dan kitab-kitab lain yang umumnya berbicara
tentang moral negara menekankan bahwa negara adalah tujuan Islam.
Sebagaimana disebutkan di atas, Al-Ghazali hidup pada masa yang
ditandai dengan ketegangan intelektual antara filsafat dan kalam ,
ketegangan politik dan agama antara Sunni dan Syi'ah dan ketegangan
politik praktis pada masa Dinasti Abbasiyah, banyak sekali peristiwa
yang sangat berpengaruh dalam kehidupan pribadinya. . Arena politik
Islam tidak stabil karena khalifah hanyalah sebuah simbol, bisa
dikatakan hanya sekedar boneka, dan bukannya memerintah
pemerintahan Muslim yang terpusat. Lebih tepatnya khalifah hanya
bersifat keagamaan saja, karena kekuasaan politik dan pemerintahan
sesungguhnya ada di Bani Seljuk (Sjadzali 1991:72). Selain itu, di luar
kendali Dunia Islam di Bani Seljuk , Kekhalifahan Abbasiyah terpecah
menjadi beberapa pemerintahan kecil, dipimpin oleh para penguasanya,
meskipun mereka masih secara resmi mengakui khalifah sebagai
kepala negara (Abdul Karim 2007:164; Sjadzali 1991:71). Semakin
banyak masyarakat yang merasa kuat terhadap pemerintahan yang
otonom dibandingkan dengan pemerintahan yang terpusat, semakin
lemah posisi Khalifah (Karim 2007:164). Apalagi legitimasi politik
Khalifah sudah beralih ke tangan Sulthan . Pada masa Al-Ghazali,
Khalifah Bani Abbas berada di bawah pengaruh Sulthan Bani Seljuk yaitu
Sulthan Barkiyaruq. Sulthan berkuasa setelah ia menggulingkan
pamannya, Sulthan Tutusy bin 'Alb' Arsal ā n (Badawi nd: 9; Hitti
1970:479; Sjadzali 1991:72). Munawir Sjadzali mendukung faktor politik
di balik kepergian Al-Ghazali. Menurutnya, hijrahnya Al-Ghazali ke
Damaskus dilatarbelakangi dua hal: pembunuhan Perdana Menteri
Nizam al-Muluk dan pembunuhan Tutusy Sulthan bin 'Alb' Arsalan oleh
keponakannya, Barkiyaruq. Dugaan tersebut diperkuat dengan
kembalinya Al-Ghazali ke Bagdad. Ia dibujuk oleh Menteri Fakhr al-Muluk
putra Nizam al-Muluk karena Barkiyuruq Sulthan telah meninggal dunia.
Al-Ghazali meninggalkan Bagdad karena masalah politik yang meliputi
ancaman keamanan dari Bāthiniyyah . Teror ini disebabkan oleh
dukungan Kekhalifahan Fathimiyyah di Mesir untuk melemahkan
Kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad. Selain itu, gejolak batin terkait
dengan usaha akademisnya juga menjadi faktor penting. Selama
mundur dari Bagdad, fokusnya beralih dari filsafat ke yurisprudensi (
fiqh ) dan tasawuf. Hal ini juga ditandai dengan lahirnya ' Ihy ā ' 'Ul ū m al-
D ī n , kitab tentang tasawuf dan fiqh pada masa pengasingannya
(Al-Ghazali nd:13; Sjadzali 1991:73) dan juga al-Munqidzmin al-D}al ā l
setelah dia kembali dari pengasingan ke Bagdad.

1.5. Pemikiran Politik Al – Mawardi


Situasi politik di dunia Islam pada masa hidupnya al-Mawardi, sama
jeleknya dengan masa hidupnya al-Farabi, bahkan lebih kalut. Tetapi
pendekatan Mawardi tidak sama dengan Farabi. Kalau sebagai reaksi
terhadap situasi politik pada zamannya Farabi mengembangkan teori
politik yang serba sempurna yang demikian sempurna sehingga tidak
mungkin dapat dilaksanakan oleh dan untuk umat manusia yang bukan
malaikat, maka Mawardi tidak demikian halnya. Dia mendasarkan teori
politiknya atas kenyataan yang ada dan kemudian secara realistik
menawarkan saran-saran perbaikan atau formasi, misalnya dengan
mempertahankan status quo. Dia menekankan bahwa khalifah harus
tetap berbangsa Arab dari suku Quraisy dan begitu juga dengan
pembantu khalifah lainnya.Upaya Mawardi mempertahankan etnis
Quraisy, secara kontekstual interpretatif dapat dikatakan, bahwa hak
kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada
kemampuan dan kewibawaannya. Maka mengutamakan etnis Quraisy
memang bukan ajaran dasar agama Islam yang dibawa Rasulullah,
karena itu hadist-hadist yang mengutamakan etnis Quraisy harus
dipahami sebagai ajaran yang bersifat temporal.Kedalaman ilmu dan
ketinggian akhlak Imam Mawardi telah membuat ia terkenal
sebagaiseorang panutan yang disegani dan berwibawa dikalangannya,
baik oleh masyarakat umum, maupun oleh pihak pemerintah. Oleh
sebab itu beberapa kali dia ditunjuk sebagai hakim kerajaan di Baghdad,
dalam pemerintahan Abbasiyah. Dan pada masa al-Qadir berkuasa (381
H/991 M – 423 H/1031 M) karir al-Mawardi meningkat setelah ia
menetap kembali di Baghdad, yaitu menjadi hakim agung (qâdi al-qudât),
penasehat raja atau khalifah di bidang agama (hukum Islam) dan
pemerintahan.

1.6. Pemikiran Politik Ibnu Khaldun


Dalam hal kepemimpinan, Ibn Khaldun tidak menggunakan
pendekatan keagamaan, tetapi lebih menekankan pada pendekatan
sosial dan budaya. Ia menolak menghubungkan soal kepemimpinan
dengan syari’ ah,karena menurutnya bahwa eksistensi manusia itu
dapat saja ada tanpa kepemimpinan agama. Di satu pihak, dalam
kenyataanya agama jarang menjadi sentral pemikiran manusia, di pihak
lain, negara-negara yang tidak beragama Islam jumlahnya jauh lebih
banyak. Hal ini berangkat dari fenomena kehidupan pada masanya, di
mana orang-orang Majusi adalah mereka yang tidak menganut agama
Samawi pada umumnya dan mereka tidak memiliki kitab suci yang
diturunkan dari Allah, tetapi mereka memiliki Negara yang besar dan
meninggalkan sejarah yang membanggakan. Dengan demikian, bahwa
kepemimpinan dalam kehidupan masyarakat itu tidak mesti
berdasarkan agama yang diturunkan oleh Allah, tetapi merupakan suatu
kemestian hidup, manusia bermasyarakat, terlepas dari kenyataan
apakah mereka menganut agama samawi atau bukan. Hal ini juga
berangkat dari fenomena bangsa Eropa yang pada abad ke 14
melakukan sentralisasi kekuasaan pada tangan raja-raja tanpa adanya
campur tangan gereja,yang kemudian negara-negara tersebut menjadi
cikal bakal Negara nasional yang kuat yang kemudian menjadi cirri
bentuk Negara di Eropa. Dalam pandangan Ibn Khaldun, wahyu Allah
bukanlah merupakan kodrat dan tidak diperlukan dalam organisasi
politik pada sebuah Negara. Kekuasaan politik tetap ada meskipun
tanpa hukum-hukum Allah. Penyataan tersebut merupakan bentuk
penolakan terhadap pendapat Ibn Sina dan al- Farabi yang mengatakan
bahwa wahyu dan hukum bersifat kodrati dan diperlukan bagi organisasi
politik.Ketika berbicara tentang kepemimpinan seorang pemimpin
dalam kemasyarakatan, Ibn Khaldun mengatakan hal itu dapat
ditegakkan dengan salah satu dari dua cara; yakni solidaritas dan factor
endogen sang pemimpin.Agama dan politik bila beriringan akan
memberikan kontribusi yang besar dalam menciptakan integritas social.
Sebaliknya, bila tidak beriringan maka kekuatannya akan sirna, karna
almulk ditimbulkan oleh superioritas yang timbul karna solidaritas dan
pertolongan Allah untuk menegakkan agama.Motivasi agama untuk
mencapai kemenangan itu menyebabkan teratasinya segala
perselisihan, sehingga terhindar dari perpecahan. Hal ini merupakan
realitas social yang merupakan sifat kodrati manusia yang mutlak
diperlukan bagi eksistensi bangsa.18 Dari sini terlihat adanya suatu
sikap yang controversial pada Ibn Khaldun, tetapi pada dasarnya, Ibn
Khaldun tidak memihak agama dalam pengertian sempit, tetapi menuju
agama dalam arti yang lebih luas yaitu sunnatullah.

1.7. Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah


Teori Ibn Taimiyah tentang pemerintahan merupakan contoh kritik yang
dapat dikatakan meremehkan teori khilafah. Dasar pijakan kritiknya
adalah penolakan terhadap pandangan yang menyebutkan bahwa
kekhalifahan tidak mempunyai dasar konstitusional dari
Al-qur'an.Al-qur'an memang menjelaskan menjelaskan kebutuhan
terhadap pemerintahan dan kekuasaan,tetapi tidak memaparkan secara
rinci keputusan kostitusional pemerintahan Islam secara rinci.jadi,di
dalam Al-qur'an dan hadist tidak terdapat aturan terperinci yang
mengatur bagaimana Islam dalam politik dan pemerintahan. Dengan
penolakan tersebut, Ibn Taimiyah ingin menawarkan sebuah alternatif
pemikiran. Bahwa persoalan pokok dalam teori pemikiran politik Islam
bukanlah lembaga khilafah, tetapi pada hukum syariat. Meskipun
khilafah dikatakan berpijak pada syariat, namun perkembangan sejarah
lembaga tersebut satusatunya organisasi politik yang diterima dalam
Islam justru menghantarkannya pada legitimasi tertentu yang tidak lagi
sejalan dengan ajaran dalam Islam, negara memiliki peranan penting
(instrumental) untuk meraih tujuan-tujuan syariat, sebagaimana
terungkap dalam Al-qur'an dan as-sunnah.Ibnu Taimiyah menghendaki
terwujudnya pemerintahan yang menitikberatkan pada asas konstitusi
dan hubungan perjanjian melalui proses pemilihan pemimpin.

1.8. Pengaruh Pemikiran Politik Islam Dalam Teori


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai