Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

ISLAM DAN KETATANEGARAAN

Disusun oleh:
Harisma Zaini Ahmad (24040121130040)
Hisna Saniyya Oktaviani (24040121130088)
Indah Tasya Widya (24040121140092)
Nindya Firgyane Lestari (24040121120002)
Rizaldy Firstky Aminul Wahib (24040118130098)

DEPARTEMEN FISIKA KELAS B


FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu dipanjatkan kehadirat Allah SWT, yang melimpahkan rahmat,
taufiq, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Islam dan Ketatanegaraan dengan baik dan tepat waktu.

Makalah ini disusun berdasarkan tugas yang telah diberikan oleh yang terhormat
Ibu Islamiyati, S.Ag. M.Si. M.H. selaku dosen pengampu mata kuliah Pendidikan
Agama Islam kami di Universitas Diponegoro. Selain itu, makalah ini juga disusun
untuk memenuhi nilai tugas kami pada mata kuliah Pendidikan Agama Islam.

Dengan disusunnya makalah ini diharapkan mahasiswa Universitas Diponegoro


Fakultas Sains dan Matematika jurusan Fisika dapat mengetahui mengenai Islam dan
Ketatanegaraan. Sehingga mahasiswa yang beragama Islam dapat memahami
bagaimana hubungan antara Islam dan Ketatanegaraan dan dapat menjalankannya
sesuai ajaran Islam.

Kami menyadari bahwa hasil penyusunan makalah ini masih terdapat


banyakkelemahan, karena itu kritik dan saran konstruktif sangat diperlukan demi
perbaikan di kemudian hari. Semoga ini merupakan hasil yang dapat memberikan
manfaat bagi kita semua.

Semarang, November 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................................3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan...................................................................................................5
1.4 Metode Penulisan..................................................................................................6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Islam........................................................................................................7
2.2 Definisi Politik.......................................................................................................8
2.3 Islam dan Ketatanegaraan (Politik).......................................................................9
2.4 Tujuan Politik dalam Islam..................................................................................10
2.5 Prinsip Dasar Politik dalam Islam.......................................................................11
2.6 Konsep Bentuk Negara Islam..............................................................................14
2.7 Partai Islam Sebagai Wujud Demokrasi Politik..................................................19
2.8 Peran Kyai dalam Politik.....................................................................................19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................21
3.2 Saran....................................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................22

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Adakah sistem ketatanegaraan menurut islam? Pertanyaan ini barangkali
menarik untuk dikemukakan, karena hingga saat ini dikalangan umat Islam sendiri
terdapat banyak perspektif terkait pandangan tentang konsep ketatanegaraan
(politik) dan kedudukan negara dalam Islam
Realitas sejarah Islam menunjukkan bahwa dalam rangka pengembangan
dakwah diperlukan suatu sistem negara yang memudahkan proses berdakwah.
Ketika nabi masih berdomisili di Mekkah (611-622) misalnya, tidak banyak yang
dapat diperbuat di bidang politik dan menyulitkan posisinya sebagai utusan Allah
untuk menyebarkan ajaran yang di perintahkan-Nya karena kekuatan politik.
didominasi oleh kaum Aristokrat Quraisy yang memusuhi nabi. Tetapi setelah
beliau hijrah ke Madinah (622-632), dimana nabi telah mempunyai komunitas
yang berikrar setia untuk selalu hidup bersama dengan menggunakan suatu prinsip
yang telah disepakati bersama berupa Piagam Madinah, nabi mendapatkan
kemudahan untuk berdakwah.
Pada kehidupan nabi periode Madinah ini oleh banyak pakar muslim
dianggap sebagai kehidupan yang bernegara. Penilaian ini didasarkan pada
kenyataan yang dapat dijadikan sebagai argumen bahwa ketika itu terwujud
sebuah negara, baik itu wilayah, masyarakat, maupun penguasa. Demikian juga
penilaian terhadap nabi yang pada itu bertindak bukan hanya sebagai Rasulullah
semata, tetapi juga sebagai kepala negara yang mengatur sebuah hukum serta
memutuskanya, mengirim dan menerima utusan, serta memimpin peperangan.
Namun selanjutnya yang menjadi persoalan adalah nabi tidak meninggalkan
suatu ketetapan atau sunnah yang mengatur penyelenggaraan negara tersebut,
misalnya bagaimana sistem pengangkatan kepala negara. Karena ketidak jelasan
inilah bisa terlihat banyak praktek dari sistem kenegaraan dalam sejarah Islam
yang selalu berubah-ubah. Dalam masa empat al-Khulafa al-Rasyidin saja banyak
dijumpai dalam menentukan kebijakan suatu negara relatif bervariasi, terutama
yang lebih nampak adalah masalah menentukan sistem suksesi. Abu Bakar

4
misalnya, dalam pengangkatannya sebagai Khalifah ditentukan melalui pemilihan
dalam satu pertemuan yang berlangsung pada hari kedua sepeninggalan Rasul.
Adapun penyelenggaraan negara di masa Bani Umayyah jauh lebih
menyimpang dari praktek pada masa nabi Muhammad. Pada masa ini hampir
tidak ada lagi bentuk musyawarah di praktekkan, terutama dalam rangka suksesi.
Tradisi musyawarah al-Khulafa al-Rasyidin dalam menentukan sistem suksesi
tidak lagi diberlakukan pada masa Bani Umayyah. Mereka menentukan pemimpin
melalui penunjukan terhadap anak dan keturunannya.

1.2 Rumusan Masalah


Penyusunan beberapa masalah yang akan dibahas pada makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah tersebut antara lain adalah
sebagai berikut.
1.2.1 Apa definisi dari Islam?
1.2.2 Apa definisi dari Politik/ketatanegaraan?
1.2.3 Bagaimana hubungan Islam dan ketatanegaraan?
1.2.4 Apa saja tujuan politik dalam Islam?
1.2.5 Bagaimana prinsip politik dalam Islam?
1.2.6 Apa saja konsep bentuk negara Islam?
1.2.7 Bagaimana peran partai politik Islam di Indonesia?
1.2.8 Bagaimana peran kyai dalam politik?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dalam penyusunan
makalah ini sebagai berikut:
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari Islam.
1.3.2 Untuk mengetahui apa definisi dari Politik/ketatanegaraan.
1.3.3 Untuk mengetahui bagaimana hubungan Islam dan ketatanegaraan.
1.3.4 Untuk mengetahui apa saja tujuan politik dalam Islam.
1.3.5 Untuk mengetahui bagaimana prinsip politik dalam Islam.
1.3.6 Untuk mengetahui apa saja konsep bentuk negara Islam.
1.3.7 Untuk mengetahui bagaimana peran partai politik Islam di Indonesia.

5
1.3.8 Untuk mengetahui bagaimana peran kyai dalam politik.

1.4 Metode Penulisan


Metode penulisan yang dipakai untuk menyusun makalah ini menggunakan
metode tinjauan dari beberapa sumber yang berkompeten dan terpercaya dalam
permasalahan mengenai agama Islam.

6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definsi Islam

Islam merupakan salah satu agama yang hidup di Indonesia, karena negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
mempercayai adanya Tuhan yang menciptakan manusia dan alam semesta.
Kepercayaan terhadap Tuhan telah dijelaskan dalam dasar negara Indonesia yakni
Pancasila Sila I yang menerangkan bahwa negara Indonesia berdasarkan ke-
Tuhanan yang Maha Esa, dan UUD NKRI 1945 Pasal 29 Ayat (1) dan (2) yang
menerangkan bahwa negara telah memberikan perlindungan bagi umat beragama
untuk beribadah dan melaksanakan ajaran agamanya sesuai dengan keyakinan
masing-masing, termasuk orang Islam melaksanakan ajaran Islam.
Ajaran Islam merupakan segala aturan yang bersumber pada kepercayaan
orang Islam terhadap wahyu Allah, yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits. Orang Islam
(muslim) yang telah berjanji atau bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah
dan Muhammad SAW adalah Rasullullah, berarti hatinya telah mantap dan teguh
untuk menerima dan melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupannya.
Ajaran Islam bersifat universal, pemberlakuannya ditujukan untuk seluruh
manusia, tanpa membedakan tempat, agama, suku, negara, dan gender. Ajaran
Islam pemberlakuannya sepanjang jaman, mengatur masa lalu, masa kini dan
masa yang akan datang. Masa lalu berupa sejarah penciptaan manusia, alam
semesta, kehidupan Nabi dan Rasul serta umatnya ketika diperintah
menyampaikan risalah tauhid yang bertujuan supaya menjadi ibrah atau pelajaran
umat selanjutnya dalam menyelesaikan permasalahan umat.
Ajaran Islam pada masa sekarang, berupa aturan untuk menjawab
permasalahan umat Islam atau hukum Islam di jaman sekarang, di mana aturannya
belum dijelaskan secara terperinci dalam Nash (Al-Qur’an dan Al-Hadits), seperti;
merokok, narkoba, bayi tabung, eutanasia, transgender, dan lainnya. Penyelesaian
yang pertama adalah dengan mencari asas atau prinsip yang terdapat dalam Nash,
kemudian dilihat dalam kitab fiqh yang diimplementasikan dalam ijtihad para
ulama.

7
2.2 Definisi Politik

Politik dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah (mengatur), ajaran
yang membicarakan politik disebut fiqh siyasah, artinya aspek ajaran Islam yang
mengatur kekuasaan dan pemerintahan, meliputi cara bertindak suatu negara
dalam menghadapi dan menangani masalah. Dalam bahasa Indonesia siyasah
dipahami sebagai siasat atau strategi guna menyelesaikan masalah yang menimpa
negara, faktor kedaulatan rakyat dijadikan kekuatan untuk mempersatukan rakyat
guna menyelesaikan problem kenegaraan. Secara operasional kekuasaan
dilakukan bersama-sama antara kehendak rakyat dengan kecerdasan penguasa
dalam strategi menjadikan kehidupan negara yang lebih baik. Sifat otoriter dan
diktator sangat dihindari karena tidak mencerminkan asas demokrasi. Arti politik
menurut bahasa, berasal dari kata Poli artinya banyak, dan tik artinya taktik/ cara.
Politik berarti banyak cara/strategi untuk menyelesaikan permasalahan
negara/pemerintahan, bisa diartikan juga kebijakan negara dalam mengatur
pemerintahan. Politik jika dikaitkan dengan ajaran Islam, disebut politik Islam,
yakni metode pembuatan kebijakan dalam menyelesaikan permasalahan nagara
berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam, misalnya: jujur, tepat janji, amanah rakyat,
adil, tidak menjelekkan yang lain, keteladanan, amar ma’ruf nahi munkar, tidak
money politik dan lainnya.
Dengan demikian politik merupakan asosiasi manusia dalam rangka
mencari kebaikan bersama. Politik Islam merupakan penentuan atau perumusan
kebijakan dalam rangka pengamalan ajaran Islam di segala aspek kehidupan,
sehingga tercipta suasana damai, baik, teratur dan tertib serta harmonis dalam
hubungan manusia di kehidupan sosial. Politik yang berdasarkan ajaran Islam
adalah politik yang sesuai dengan dasar atau landasan Islam, yakni Al-Qur’an, Al-
Hadits dan Ijtihad yang berasal dari para ulama yang ma’ruf. Ajan Islam tentang
politik selalu didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam Nash, misalnya;
politik yang jujur, amanah, merakyat, tidak korupsi, adil, tidak politik uang, tidak
ada ancaman, tidak menjelekkan satu dengan yang lain, tepat janji, selalu berbuat
atau berbicara yang penuh hikmah, dan lainnya. Politik yang artinya upaya untuk
meraih kekuasaan atau kepemimpinan, selalu berhubungan dengan
ketatanegaraan, termasuk perbuatan mulia, karena terkandung ajaran dakwah

8
untuk menyebarkan kebaikan dan menolak keburukan (amar ma’ruf nahi
munkar).
2.3 Islam dan Ketatanegaraan (Politik)
Menyangkut hubungan antara Islam dan politik menjelaskan bahwa politik
merupakan faktor utama pemikiran umat Islam. Alasannya yaitu:

1. Adanya keyakinan teologis bahwa Islam adalah agama universal,


maksudnya Islam adalah ajaran yang serba meliputi atau ajaran
multidimensional yang mencakup seluruh aspek kehidupan, baik bersifat
religius spiritual maupun bersifat sosial kemasyarakatan termasuk
berpolitik. Penekanannya tertuju pada aspek keteladanan tentang
kebaikan dan moralitas penguasa, melalui penghayatan etnis Islami yang
tercermin dalam perilaku keseharian serta melalui kebijakan kekuasaan
yang berdasarkan niai-nilai Islam.
2. Adanya hubungan realitas historis seperti yang terjadi sepanjang sejarah
kehidupan Nabi. Menurut Eric Fromm, ia mengatakan bahwa risalah
yang dibawa Nabi selain bercorak spiritual, juga mengandung dimensi
sosial politik. Maka pada waktu itu Nabi Muhammad disamping
berkapasitas sebagai pemuka agama, beliau juga berkedudukan sebagai
kepala negara, panglima pasukan, hakim agung dan pembentuk hukum.

Di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad, Islam di jazirah Arab yang


beribukota di Madinah semakin memperlihatkan keberhasilannya dari sebuah
keimaman (Negara) dan sebuah sistem sosial politik. Tentunya Nabi menjalankan
sistem politik negara Islam atas petunjuk Allah lewat risalah Al-Qur’an yang
mengandung nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti persamaan, musyawarah,
keadilan dan kemerdekaan. Tidak kalah pentingnya, Nabi juga mengembangkan
kepemimpinan moral dalam kehidupan politiknya. Hal ini menjadikan politik di
zaman Nabi berfungsi sebagai kendaraan moral yang efektif.

Dari pernyataan di atas, muncul metode pendekatan politik Islam yaitu


metode formalistik dan metode substantivistik. Metode pendekatan formalistik
merupakan pendekatan pemahaman politik yang berkecenderungan menginginkan
ajaran Islamsebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Agama digunakan

9
sebagai problem solver terhadap permasalahan negara. Pendekatan ini
berkeinginan menampilkan wajah Islam secara utuh, artinya lebih mengutamakan
struktur politik daripada mekanisme politik, seperti ditunjukkan oleh konsep
Negara Islam dan partai Islam.

Sedangkan metode pendekatan substantivistik artinya pendekatan yang


berpendapat bahwa Islam tidak seharusnya menampilkan diri dalam bentuknya
yang eksklusif dan simbolik, tetapi Islam harus mengintegrasikan kegiatannya
dalam menghadapi persoalan negara secara menyeluruh. Pendekatan ini lebih
mengutamakan aspek etika dan moralitas politik yang dibentuk melalui ajaran-
ajaran agama. Jadi yang terpenting adalah substansi makna iman dan peribadatan
serta ketaatan daripada formalitas dan simbol.

Walaupun beberapa pendekatan di atas menunjukkan penekanan


pemahaman yang berlainan tetapi masih dalam satu semangat untuk
menumbuhkan sistem pemikiran politik di Indonesia yang berjiwa demokrasi.

2.4 Tujuan Politik dalam Islam

Ajaran Islam banyak mengajarkan umatnya berpolitik, tujuan politik


menurut ajaran Islam, antara lain;
1. Untuk menjadikan negara lebih baik, karena negara bisa membuat
kebijakan terkait persoalan bangsa, seperti: korupsi, kemiskinan,
pendidikan, budaya, agama, NARKOBA, dan lainnya.
2. Untuk menyelesaikan permasalahan negara melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat, karena politik merupakan strategi untuk
menyelesaikan permasalahan negara.
3. Untuk membentuk masyarakat madani, masyarakat yang sejahtera lahir
dan batin, berketuhanan, berkeadilan, berperadaban dan berkebudayaan
yang sesuai dengan ajaran Islam
4. Untuk membuat kebijakan negara yang amanah rakyat, sesuai dengan
aspirasi/keinginan dan kebutuhan rakyat, serta mampu melepaskan
penderitaan dan ketidaknyamanan masyarakat.

10
5. Untuk mempertahan ajaran Islam, karena politik merupakan negara
dalam penentuan kebijakan termasuk melindungi rakyat dalam
mengamalkan ajaran agamanya, sehingga ajaran agama Islam dapat
dipertahankan umatnya.
6. Untuk melindungi HAM, biasanya perlindungan HAM mengarah pada
perlindungan hukum termasuk memberikan kepastian hukum supaya
negara dapat memberikan hak pada warga negara, ditetapkannya aturan
perundangundangan merupakan wujud perlindungan HAM, baik hak
hidup, pendidikan, bekerja, berketurunan, beragama, maupun hak
lainnya.
7. Untuk menjaga orang Islam supaya aman dan nyaman dalam
melaksanakan ajaran agamanya secara baik dan benar, sehingga selamat
di dunia dan akhirat
8. Untuk menjadikan ajaran Islam sebagai salah satu alat mewujudkan
tujuan pembangunan nasional, yakni membentuk pemerintahan Indonesia
yang makmur, adil dan beradab, mencerdaskan kehidupan bangsa,
melindungi segenap bangsa Indonesia dan mewujudkan ketertiban dan
kedamaian dunia.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan politik Islam
secara menyeluruh adalah untuk mendukung tujuan negara, yakni membentuk
memashlahatan dan menolak kemadharatan dengan mengusung aspek
kemanusian, keadilan dan persamaan di hadapan Allah. Hal ini dilakukan supaya
manusia menjadi insan yang beriman dan bertaqwa, serta negara yang
berketuhanan dan menjunjung tinggi ajaran agama.

2.5 Prinsip Dasar Politik dalam Islam

Ajaran Islam menjelaskan tentang dasar prinsip politik Islam sebagai cara
penyelesaian permasalahan negara, antara lain;
1. Musyawarah untuk menyelesaikan permasalahan negara
2. Pembahasan bersama
3. Tujuan bersama (visi dan misi sama)
4. Keputusan bersama

11
5. Al-‘Adalah/Keadilan
6. Al-Musawwah/persamaan
7. Al-Hurriyah/kemerdekaan
8. Al-Ukhuwah/persaudaraan
9. Al-Tasamuh/toleransi

Prinsip dasar politik Islam telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits,
yakni:

1. Surat Asy-Syura Ayat 48, artinya; “Dan (bagi) orang-orang yang


menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang
urusan mereka diputuskan dengan musyawarah antara mereka; dan
mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang kami berikan kepada
mereka” (Q.S. Asy-Syura; 42). Ayat tersebut menjelaskan tentang cara
penyelesaian permaslahan negara dengan prinsip musyawarah.
2. Cara penyelesaian sengketa melalui perdamaian artinya dilaksanakan
dengan baik dan benar, menggunakan asas musyawarah, perdamaian,
menghargai perbedaan, persamaan dan persaudaraan. Hal ini dijelaskan
dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat Ayat 9, artinya; “Dan jika ada dua
golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah
antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu berbuat aniaya
terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah, jika
golongan itu, jika golongan itu (kembali kepada perintah Allah), maka
damaikanlah keduanya dengan adil dan berlaku adillah, sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil” (Q.S. Al-Hujurat;9).
Ayat tersebut menjelaskan tentang prinsip penyelesaian masalah atau
sengketa melalui upaya damai, karena damai menjadikan negara aman
dan nyaman, sehingga bisa mengembangkan pembangunan
3. Al-Qur’an juga menjelaskan penyelesaian sengketa yang tidak dapat
diselesaikan dengan musyawarah untuk perdamaian, yakni melalui upaya
tahkim. Tahkim adalah penyelesaian sengketa dengan meminta bantuan
pihak ketiga (hakam) untuk menyelesaian sengketa. Ayat ini menjelaskan

12
tentang pentingnya lembaga negara yang bertugas membuat kebijakan
untuk menyelesaikan permasalahan negara secara adil dengan
mengusung kebersamaan dalam menetapkan dan mencapai tujuan. Hal
ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa’ Ayat 35, artinya; “Dan
jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya, maka
kirimkan seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan juru damai dari
keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberikan taufik kepada suami
isteri itu, Allah Maha Mengetahui dan Maha Teliti” (Q.S. An-
Nisa’;35).3 Ayat di atas menjelaskan tentang prinsip penyelesaian
sengketa melalui pengangkatan juru damai (tahkim) dalam penyelesaian
masalah. Walaupun ketiga ayat di atas turun dalam konteks penyelesaian
suatu kasus, namun bisa diambil kesimpulan umum bahwa penyelesaian
sengketa dapat dilakukan melalui musyawarah dan pengangkatan tahkim
atau mediator. Dalil di atas merupakan teks ayat-ayat Al-Quran telah
memberikan metode atau cara penyelesaian sengketa secara umum,
termasuk penyelesaian negara.
4. Hadist Nabi yang menjelaskan tentang penyelesaian segala urusan
masalah sehingga tercapai tujuan negara melalui perjanjian atau
kesepakatan yang diperbolehkan dalam Islam dijelaskan dalam hadist
yang artinya; “Rasulullah bersabda, perjanjian di antara orang-orang
muslim itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal” (HR alTarmizi, Ibnu Majah, al-Hakim dan
Ibn Hiban). Hadist ini menjelaskan tentang penyelesaian sengketa
melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan yang halal atau
dibolehkan dalam ajaran agama. Halal di sini maksudnya mengerjakan
perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama dan memberikan
kemanfaatan pada semua serta tidak merugikan bagi semua.
5. Hadist Nabi yang mengajarkan tentang perdamaian adalah “Hadist dari
Ibrahim bin Musa mengabarkan kepada kami, menceritakan kepada
kami Jarir, dari Atha’ bin Saib dari ayahnya dari `Abdullah bin Amru
berkata: “Berkata Rasuluklah Saw.: “Sembahlah Tuhan yang pengasih

13
dan sebarkanlah perdamaian, dan berilah makan, maka engkau akan
masuk surga” ( H.R. AtTirmidzi). Hadits ini menjelaskan tentang
menjaga perdamaian, melalui upaya penyelesaian permasalahan negara
demi mewujudkan perdamaian, prinsip perdamaian harus dijaga.
6. Hadits yang sama mengajarkan tentang perdamaian adalah Hadits yang
berasal Abdullah bin al-Harits dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa
dari Nafi’ dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah berkata:
“Sebarkanlah perdamaian, dan berilah makan (kepada yang
memerlukan), dan jadilah kalian semua saling bersaudara, sebagaimana
Allah Azza wa Jalla memerintah kalian semua” (HR. Ahmad). Hadits ini
mengajarkan kepada semua manusia supaya menyebarkan perdamaian
dan membina persaudaraan, termasuk persaudaran karena satu bahasa,
negara dan tanah air Indonesia, melalui upaya menghindari permasalahan
bangsa.

2.6 Konsep Bentuk Negara Islam

Semenjak Nabi Muhammad Hijrah ke Kota Madinah al-Munawwarah, Nabi


Muhammad SAW membuat piagam Madinah. Piagam Madinah menurut banyak
ahli Ulama merupakan awal dari berdirinya Negara Islam Madinah yang memiliki
pemerintahan dengan kepala pemerintahan adalah Rasulullah SAW. Menurut
Muhammad Husain Haikal, tidak ada satu pun konsep mengenai negara dalam
Islam yang disepakati oleh semua sepanjang sejarah. Islam hanya memberikan
instrument etis, namun tidak memberikan rincian detilnya bagaimana bentuk suatu
negara dan bagaimana proses mengelola kelembagaannya. Hal ini menyebabkan
adanya lima konsep bentuk negara Islam sepanjang sejarah sebagai berikut:

1. Teokrasi
Negara Teokrasi adalah sebuah negara yang kedaulatannya berada Tuhan
yakni Allah SWT. Konsep Teokrasi ini diterapkan di negara Madinah pada
masa Nabi Muhammad SAW. Sebagaimana diketahui, Nabi Muhammad SAW

14
mendapatkan tuntunan dan bimbingan melalui wahyu Allah SWT. Konsep ini
hanya berlaku di zaman hidup Nabi Muhammad SAW karena tidak ada lagi
yang menerima wahyu dari Allah SWT setelah Nabi Muhammad wafat.
Negara Madinah berdiri di atas Piagam Madinah yang mengatur
hubungan antara berbagai komunitas suku yang tinggal di Madinah. Hal ini
serupa dengan konstitusi federal atau serikat. Federalisme ini kemudian
menjadi satu padu ketika para suku-suku Arab banyak yang memeluk agama
Islam atas inisiatif kepala suku atas ajaran dakwah Nabi Muhammad SAW
maupun karena pengaruh kuat negara Madinah. Pada umumnya, Nabi tidak
meminta pimpinan suku yang sudah masuk Islam untuk turun dari jabatannya
dan mereka tetap berada di posisi sebelumnya. Untuk suku yang tidak masuk
ke agama Islam dapat diberikan perjanjian damai atau membayar Jizyah.

2. Kekhilafahan Khulafaur Rasyidin


Ketika nabi Muhammad SAW wafat, urusan pemerintahan negara
Madinah beralih ke Khulafaur Rasyidin. Khulafaur Rasyidin merupakan
kekhalifahan yang melanjutkan pemerintahan pasca wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Kekhalifahan ini dipimpin oleh seorang khalifah yang
merupakan sahabat Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah SAW sebelum wafat tidak meninggalkan wasiat kepada
seseorang pun untuk meneruskan kepemimpinannya. Pada masa itu ada
sekelompok orang berpendapat bahwa Abu Bakar merupakan seseorang yang
berhak meneruskan kepemimpinan Nabi Muhammad SAW.
Kelompok lain sempat berbeda pendapat, kemudian mereka
mengusulkan nama-nama lain yang menurutnya lebih pantas meneruskan
kepemimpinan Rasulullah SAW. Dengan semangat Ukhuwah Islamiyah, maka
Abu Bakar terpilih menjadi orang yang pertama kali menjadi Khulafaur
Rasyidin. Dikarenakan Abu Bakar juga termasuk salah seorang sahabat Nabi
Muhammad SAW yang pertama memeluk agama Islam atau disebut
Assabiqunal Awwalun. Masa kekhalifahan ini terus berlanjut hingga pada masa
Ali bin Abi Thalib.

15
Dikarenakan para sahabat tidak lagi menerima wahyu secara langsung
dari Allah SWT, maka konsep Teokrasi pada masa ini telah berakhir.
Pemilihan Khalifah dari satu ke yang lainnya dilakukan secara demokrasi
dimana beberapa pemikir politik dalam Islam akan berpendapat untuk
menentukan khalifah selanjutnya.
Banyak ahli politik Islam menyebutkan bentuk negara di masa Khulafaur
Rasyidin merupakan bentuk negara Islam terbaik pasca wafatnya nabi
Muhammad SAW. Masa ini dimulai dari kekhalifahan Abu Bakar Ar-Rasyid
pada tahun 632 Masehi hingga berakhir pada kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
di tahun 660 Masehi. Pada masa ini, negara Islam melakukan ekspansi yang
masif.
Menurut Ibn Arabi, seorang ahli Fiqh dari kalangan Mazhab Maliki
menyatakan “Sebelum masa kita sekarang ini, yakni masa di awal-awal
perkembangan Islam, para umara ialah para ulama sekaligus sedangkan rakyat
ialah para tentaranya. Lalu struktur sosial ini pada tahap selanjutnya
mengalami perubahan. Para komandan militer (yang sebelumnya juga pakar
agama namun sekarang tidak) membentuk kelompok sosial tersendiri dan para
umara juga membentuk kelompok sosialnya secara tersendiri.
Di masa ini, negara Islam cenderung dicirikan dengan milterisme. Para
pemuka agama adalah panglima tentara yang pemimpinnya (khalifah) disebut
dengan Amirul Mukminin. Amirul mukminin sendiri dalam struktur negara
khilafah ini bisa disebut juga sebagai komandan atau panglima besar atau
jenderalnya kaum beriman. Dengan posisi politik seperti di atas, maka politik
tidak mungkin dimainkan. Semua kegiatan politik ditujukan untuk kepentigan
agama dan kemaslahatan umat.

3. Monarki Absolut
Wafatnya khalifah Ali bin Abi Thalib menyisakan banyak permasalahan
di saat itu. Banyak perpecahan politik yang terjadi hingga kemudian Muawiyah
yang berasal dari Bani Umayyah mendirikan Kerajaan Bani Umayyah di
Damaskus. Muawiyah merupakan pemimpin Islam pertama yang menjadi
pionir yang mengubah bentuk pemerintahan negara Islam menjadi bentuk

16
Monarki Absolut. Sesuai dengan bentuk monarki, kekuasaan kepala negara
bersifat absolut dan diturunkan secara turun-temurun, tidak lagi secara
demokratis. Dinasti Umayyah berlangsung dari 661 Masehi hingga 750
Masehi. Disamping kepemimpinan khalifah Bani Umayyah dan bentuk
negaranya yang kontroversial saat itu, namun Bani Umayyah berhasil
menyebarkan agama Islam hingga ekspansi ke dataran Spanyol (Cordoba).
Ketika dinasti Bani Umayyah runtuh pada 750 Masehi, konsep ini
dilanjutkan pada kekhalifahan Bani Abbasiyah. Bani Abbasiyah berpusat di
Baghdad, Irak dan berdiri sejak 750 Masehi hingga 1258 Masehi. Pada masa
ini terkenal dengan kemajuan ilmu pengetahuan dimana banyak ilmuwan
muslim yang dibayar untuk menerjemahkan teks-teks dari bahasa lain. Namun
Dinasti Abbasiyah harus berakhir ketika orang Mongolia datang untuk
menginvasi dinasti Abbasiyah. Bentuk Monarki Absolut ini masih diteruskan
oleh negara selanjutnya yang terbentuk yaitu Turki Utsmani, Dinasti Mamluk,
Moghul, maupun Dinasti Fathimiyyah.
Selain kekhalifahan di Timur Tengah, kerajaan-kerajaan Islam yang
berdiri di Indonesia juga menerapkan konsep Monarki Absolut. Beberapa
contoh dari kesultanan Islam di Indonesia yang menggunakan Monarki Absolut
adalah Kesultanan Aceh, Kesultanan Malaka, Kesultanan Demak, dan
Kesultanan Gowa. Ketika pemimpin negaranya wafat, maka kepemimpinan
negara dilanjutkan oleh anak atau sanak saudara dari sultan sebelumnya.
Masih terdapat beberapa negara Islam dengan konsep Monarki Absolut
di masa modern ini seperti Saudi Arabia, Oman, Uni Emirat Arab, dan Brunei
Darussalam

4. Monarki Konstitusional
Pengaruh Barat pada abad ke-19 mulai memasuki dunia Islam khususnya
dalam bidang politik. Para pemikir Islam mulai membuka wacana baru
terutama dalam paham konstitusi dan republik. Sebagai akibatnya kemudian
muncul gerakan konstitusionalisme dalam gerakan Islam. Di antara para
pemikir tersebut terdapat nama Rifa’ah Badawi, Jamaludin Al-Afghani dan
Khayr Al-Din At-Tunisi. Dari para pemikir-pemikir tersebutlah kemudian

17
disusunlah konstitusi pertama di dunia Islam yang diumumkan di Tunisia pada
tahun 1861, menyusul kemudian di Turki pada tahun 1876. Pada pertengahan
abad ke 20 boleh dibilang hampir seluruh dunia Islam sudah mempunyai
konstitusi. Dengan demikian, terjadi perubahan penting di dunia Islam, yaitu
perubahan bentuk pemerintahan dari monarki absolut menjadi monarki
konstitusional.
Bentuk Monarki Konstitusional tetap dipimpin oleh seorang
Raja/Khalifah/Sultan. Khalifah atau sultan bertindak sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan dipimpin oleh seorang Perdana Menteri. Menurut
Abdullah Hehamahua dalam Buku Membedah Keberagaman Umat Islam
Indonesia: Menuju Masyarakat Madani (2016), ada dua proses yang
melatarbelakangi terbentuknya monarki konstitusional, yakni:
1) Konstitusi sebagai penyaluran aspirasi masyarakat Artinya konstitusi
yang dibuat menjadi cara bagi masyarakat untuk menyampaikan kritik atau
aspirasi kepada pemerintah. Konstitusi ini diusulkan sendiri oleh pemimpin
negara karena takut dikudeta masyarakat.
2) Konstitusi muncul sebagai bentuk revolusi Artinya konstitusi ini
muncul dari rakyat sebagai bentuk revolusi terhadap raja. Contohnya adalah
Inggris dengan Bill of Rights.
Masih terdapat beberapa negara Islam Monarki Konstitusional di masa
modern ini seperti Malaysia dan Bahrain.

5. Republik
Kesultanan Turki Utsmani yang tergabung dalam aliansi sentral bersama
Jerman, Austria-Hungaria, dan Bulgaria mengalami kekalahan. Kekalahan
dalam perang dunia pertama ini menyebabkan kondisi yang tidak stabil di
Turki Utsmani saat itu. Kemudian terjadilah perubahan penting ketika
Musthafa Kemal Attaturk berhasil menstabilkan kondisi di Turki lalu
kemudian menghapus dinasti Turki Utsmani dan melahirkan Republik Turki
pada tahun 1923 Masehi.
Dalam pengertian dasar, sebuah republik adalah sebuah negara di mana
tampuk pemerintahan hasilnya bercabang dari rakyat, bukan dari prinsip

18
keturunan bangsawan dan sering dipimpin atau dikepalai oleh seorang
presiden. Republik umumnya berdiri dari konsep demokrasi dimana rakyat
dapat secara langsung memilih pemimpin negaranya sendiri. Konsep Republik
ini umumnya dianggap berasal dari anti-monarkisme. Konsep dari negara
Republik ini kemudian banyak diadopsi oleh negara-negara mayoritas Muslim
yang terbentuk setelahnya, seperti contohnya: Indonesia, Iran, Irak, Mesir, dan
Pakistan.

2.7 Partai Islam Sebagai Wujud Demokrasi Politik

Pembicaraan tentang islam dan politik terdapat dua aspek yang pengaruhnya
sangat dominan:
1. Rumusan keagamaan sebagai titik tolak pemikiran politik yang bersifat
normative subyektif
2. Realitas masyarakat sebagai titik tolak pemikiran politik yang bersifat
empirik obyektif
• Latar belakang partai politik islam lahir karena:
1. Secara historis sosiologis umat islam di Indonesia mencapai kedudukan
mayoritas sehingga menjadi pilar tangguh dalam membentuk,
memelihara, dan menegakkan kedaulatan negara
2. Sebagai wujud demokrasi Pancasila yang memberikan hak berpolitik
kepada warga negara termasuk umat islam guna menyalurkan ide
politiknya
3. Sebagai konsekuensi rendahnya tingkat partisipasi organisasi politik
islam dalam proses politik di Indonesia

2.8 Peran Kyai dalam Politik

Memasuki era reformasi politik Islam yang ditandai dengan munculnya


partai politik Islam, para Kyai Kembali tampil di panggung politik. Dalam
kedudukannya tersebut kyai menjadi sumber moral dan panutan dalam kehidupan
muslim, baik dalam aspek keagamaan, sosial, maupun politik. Sedangkan di

19
parpol Islam peran Kyai diharapkan dapat membimbing visi dan misi perjuangan
partai yang berlandaskan etika dan moral untuk menuju kepada penciptaan
kehidupan yang demokratis.
Pada masyarakat yang berpendidikan maju (modern), Sebagian besar
mereka menggunakan hak inisiatif sendiri secara rasional, artinya mereka
mendudukkan peran kyai sebagai uswah (keteladanan) dalam berpolitik. Tugas
Kyai dalam berpolitik adalah :
1. Menanamkan pemahaman Islam yang utuh pada umat, karena itu dalam
berpolitik tidak menggunakan kepentingan sesaat tetapi dapat
memperjuangkan nilai-nilai Islam yang dikerucutkan pada penegakkan
etika dan moral berpolitik
2. Membangun politik umat
3. Menjadi politisi Islam yang kosisten dalam memperjuangkan syari’at
Islam
4. Senantiasa menyerukan persatuan dan kesatuan umat.

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengertian Agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW. Pengertian politik, di dalam bahasa Arab politik dikenal
dengan istilah siyasah artinya mengatur. Politik merupakan asosiasi manusia
dalam rangka mencari kebaikan bersama. Tujuan politik Islam secara menyeluruh
adalah untuk mendukung tujuan negara, yakni membentuk memashlahatan dan
menolak kemadharatan dengan mengusung aspek kemanusian, keadilan dan
persamaan di hadapan Allah. Adapun prinsip dasar politik dalam Islam yaitu:
Musyawarah untuk mencapai keputusan bersama, keadilan, persamaan,
kemerdekaan, persaudaraan dan toleransi. Sepanjang sejarah Islam, ada lima
konsep bentuk negara yaitu: Teokrasi, khilafah, monarki konstitusional, monarki
absolut dan republik. Kemudian, para kyai dalam politik di Indonesia memiliki
beberapa peran sebagai berikut: Menanamkan pemahaman Islam yang utuh pada
umat, membangun politik umat, menjadi politisi yang konsisten memperjuangkan
syari’at Islam dan senantiasa menyerukan persatuan dan kesatuan umat.
3.2 Saran
Dalam membuat makalah hubungan agama islam dan fisika ini tentunya
masih banyak kekurangan karena penyusun masih dalam tahap pembelajaran
sehingga kritik dan saran dari pembaca sangat dibutuhkan untuk makalah yang
lebih baik kedepannya.

21
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah. 2019. Negara Islam Pertama, di Madinah?. https://pts.com.my/berita/negara-


islam-pertama-di-madinah diakses pada 3 November 2021.
Aziz, Abdul. 2018. Negara Dakwah: Struktur Negara Madinah pada Zaman Nabi
Muhammad. https://bincangsyariah.com/khazanah/struktur-negara-madinah-
zaman-nabi-muhammad/ diakses pada 3 November 2021.
Aziz, Abdul. 2018. Struktur Negara Khalifah dan Negara Kerajaan.
https://bincangsyariah.com/khazanah/struktur-kekhilafahan-dan-kerajaan/ diakses
pada 3 November 2021.
British Monarchist League. 2014. Constitutional Monarchy.
http://www.monarchist.org.uk/constitutional-monarchy.html diakses pada 3
November 2021.
Encyclopaedia Britannica
Hays, Jeffrey. 2008. Sultans and Royalty in Indonesia.
https://factsanddetails.com/indonesia/Government_Military_Crime/sub6_5a/entry
-4058.html diakses pada 3 November 2021.
Islamiyati. 2020. Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum Edisi Revisi 1.
Semarang: Pustaka Magister.

Longley, Robert. 2021. What is an Absolute Monarchy? Definition and Examples.


https://www.thoughtco.com/absolute-monarchy-definition-and-examples-5111327
diakses pada 3 November 2021.
Mimbar. 2017. Konsep Negara Dalam Islam : Sebuah Perspektif Sejarah.
https://mimbar.co.id/konsep-negara-dalam-islam-sebuah-perspektif-sejarah/
diakses pada 3 November 2021.

22

Anda mungkin juga menyukai