Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

FIQIH SIYASAH
“Kepemimpinan Perempuan Dalam Islam”
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih
Dosen Pengampu: Ainun Yudhistira, S.H.I., M.H.I

Disusun Oleh :

1. Syahira Alfiatur Rahmi (223111009)


2. Mochamad Irsyad Kusyairi (223111021)
3. Bagus Ismail (223111033)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Fiqih
Siyasah” dengan tema kepemimpinan perempuan dalam Islam ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
dosen pengampu Ainun Yudhistira, S.H.I., M.H.I pada program studi Pendidikan
Agama Islam mata kuliah Fiqih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah pengetahuan bagi para pembaca dan juga bagi penyusun.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam menyusun tugas makalah Fiqih


Siyasah tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam ini masih terdapat
kekurangan, baik dari segi penyusunan bahasa dan aspek yang lainnya. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik atau saran dari Bapak selaku dosen maupun para
pembaca, agar kami bisa lebih baik lagi dalam membuat makalah.

Dengan ini, kami mempersembahkan tugas ini dengan penuh rasa terima kasih
dan semoga Allah SWT memberkahi tugas ini sehingga dapat memberikan manfaat
kepada kita semua, dan Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih
luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca sekalian dan dapat jadi
bahan rujukan untuk semua kalangan.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surakarta, 24 Oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………... i


KATA PENGANTAR ………………………………………………………… ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. iii
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ……………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………….. 2
C. Tujuan ………………………………………………………………. 2
BAB II Pembahasan
A. Pengertian Fiqih Siyasah …………………………………………… 3

B. Pengertian Kepemimpinan …………………………………………. 4

C. Peran Perempuan …………………………………………………… 6

D. Pandangan Islam Mengenai Kepemimpinan Perempuan ………….. 7

E. Perbedaan Pendapat Mengenai Kepemimpinan Perempuan ……….. 14

BAB III Penutup


A. Kesimpulan ………………………………………………………… 21

B. Saran ……………………………………………………………….. 21

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 23

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Fiqih Siyasah adalah ilmu yang mempelajari hal ihwal dan seluk beluk
pengaturan urusan umat dan negara dengan segala bentuk hukum, peraturan dan
kebijaksanaan yang dibuat oleh pemegang kekuasaan yang sejalan dengan dasar-
dasar ajaran dan ruh syariat untuk mewujudkan kemaslahatan umat.

Persoalan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting dan strategis,


karena sangat menentukan sebuah keluarga, masyarakat, dan bangsa. Oleh karena itu
masalah ini menarik untuk dikaji lagi menurut perspektif Alquran.

Sebagian besar masyarakat memandang bahwa seorang perempuan yang


menjadi pemimpin tidak layak karena mendahului kaum laki-laki, dan di lain pihak
juga banyak yang juga menentang karena permasalahan gender. Dalam realitas
masyarakat bahwa perempuan yang bergerak dalam politik masih kurang. Karena
banyak yang beranggapan bahwa seorang perempuan hanya mempunyai wewenang
untuk menjadi seorang istri dan mendidik anak-anaknya di rumah.

Pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan,


semata-mata bertujuan untuk mendarmabaktikan dirinya kepada-Nya. Islam datang
membawa ajaran yang egaliter, persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis
kelamin yang berbeda sehingga laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan. Dengan
demikian, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hal
kedudukan, harkat, martabat, kemampuan, dan kesempatan untuk berkarya.

Maka dalam hal ini kita harus memahami duduk persoalan kepemimpinan
perempuan di dalam ajaran Islam, yang didukung oleh fakta-fakta peradaban manusia

4
sejak dahulu hingga sekarang, dan tidak ada kitab fiqh yang mengatakan perempuan
tidak boleh menjadi pemimpin di dalam rumah tangga.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu fiqih siyasah?


2. Apa itu kepemimpinan?
3. Apakah peran perempuan?
4. Bagaimana pandangan Islam mengenai kepemimpinan perempuan?
5. Apa saja perbedaan pendapat mengenai kepemimpinan perempuan?

C. Tujuan

Dengan mempelajari Fiqih Siyasah dengan tema “Kepemimpinan Perempuan


Dalam Islam”, diharapkan kita mampu memahami kepemimpinan perempuan dalam
pandangan Islam, baik menurut para ulama maupun dari hadis atau ayat Alquran yang
ada.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Fiqih Siyasah

Istilah fiqih menurut bahasa adalah pengertian atau pemahaman dan


pengertian terhadap perkataan dan perbuatan manusia. Sementara menurut ulama-
ulama syara’ (hukum Islam) secara terminologi (istilah) fiqih adalah pengetahuan
tentang hukum-hukum yang sesuai dengan syara’ mengenai amal perbuatan yang
diperoleh dari dalil-dalilnya yang tafshil (terinci, yakni dalil-dalil atau hukum-hukum
khusus yang diambil dari dasar-dasarnya, Alquran dan Sunah). Dengan kata lain fiqih
adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum agama Islam.

Pengertian siyasah secara bahasa Al-siyasah berasal dari kata-kata: Saasa –


Yasuusu – Siyaasatan, yang artinya Mengatur, mengendalikan, mengurus, atau
membuat keputusan. Oleh karena itu, kata as-siyasah berarti pemerintahan,
pengambilan keputusan, pembuatan kebijakan, pengurusan, pengawasan,
perekayasaan, dan arti-arti lainnya.

Pengertian siyasah secara istilah menurut Ibn `Aqil sebagai mana dikutip Ibn
al-Qayyim mendefinisikan: “Siyasah adalah segala perbuatan yang membawa
manusia lebih dekat kepada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan,
sekalipun Rasulullah tidak menetapkannya dan Allah Swt. tidak me-nentukannya .1

Siyasah merupakan ilmu pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam


negeri dan luar negeri, yaitu politik dalam negeri dan politik luar negeri serta
kemasyarakatan, yakni mengatur kehidupan umum atas dasar keadilan dan istiqamah.

Dari beberapa pengertian di atas, baik secara bahasa maupun istilah, maka
dapat diketahui bahwa objek kajian siyasah meliputi aspek pengaturan hubungan
antara warga negara dengan warga negara, warga negara dengan lembaga negara,

1
Ibnu Qayyimal-Jauziyah, 1991. I`lâmal- Muwaqqi`în`anRabbal-`Âlamîn. Hal 54

6
lembaga negara dengan lembaga negara, baik yang bersifat internal suatu negara atau
yang bersifat eksternal suatu negara dalam berbagai bidang.

Berkenaan dengan luasnya objek kajian fikihh siyasah, maka dalam tahap
perkembangannya, dikenal beberapa pembidangan fikih siyasah yang berkenaan
dengan pola hubungan antar manusia yang menuntut pengaturan siyasah, dalam hal
ini siyasah dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Siyasah Dusturiyyah adalah siyasah yang mengatur hubungan warga negara

dengan lembaga negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara yang

lain dalam batas-batas administrasi suatu negara.

2. Siyasah Dauliyyah ialah siyassah yang mengatur antara warga negara dengan

lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan lembaga negara

dari negara lain.

3. Siyasah Maliyyah ialah siyasah yang mengatur tentang pemasukan, pengelolaan,

dan pengeluaran uang milik negara.

B. Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang-

orang atau kelompok dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan. 2 Jadi pengertian

kepemimpinan di atas menggambarkan setiap upaya seseorang atau perilaku

kelompok yang bertindak dalam suatu manajemen dalam upaya untuk mencapai suatu

tujuan. Kepemimpinan bisa berupa sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang

lain, pola-pola interaksi, hubungan kerja sama antar peran, kedudukan dari satu

2
Dawam Ainurrafiq, Ta’arifin Ahmad, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, (Jakarta: Listafariska Putra,
2004), Hal. 66-67

7
jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh. 3

Kepemimpinan bisa juga suatu aktivitas dalam mempengaruhi dan membimbing

suatu kelompok dengan segala relevansinya sehingga tercapailah tujuan kelompok

itu, tujuan tersebut merupakan tujuan yang telah disepakati bersama.

Kepemimpinan (leadership) di bagi tiga, yaitu: (1) Self Leadership; (2) Team

Leadership; dan (3) Organizational Leadership.4 Self Leadership yang dimaksud

adalah memimpin diri sendiri agar jangan sampai gagal menjalani hidup. Team

Leadership diartikan sebagai memimpin orang lain. Pemimpinnya dikenal dengan

istilah team leader (pemimpin kelompok) yang memahami apa yang menjadi

tanggung jawab kepemimpinannya, menyelami kondisi bawahannya, kesediaannya

untuk meleburkan diri dengan tuntutan dan konsekuensi dari tanggung jawab yang

dipikulnya, serta memiliki komitmen untuk membawa setiap bawahannya

mengeksplorasi kapasitas dirinya hingga menghasilkan prestasi tertinggi. Sedangkan

organizational leadership dilihat dalam konteks suatu organisasi yang dipimpin oleh

organizational leader (pemimpin organisasi) yang mampu memahami nafas bisnis

perusahaan yang dipimpinnya, membangun visi dan misi pengembangan bisnisnya,

kesediaan untuk melebur dengan tuntutan dan konsekuensi tanggung jawab sosial,

serta komitmen yang tinggi untuk menjadikan perusahaan yang dipimpinnya sebagai

pembawa berkah bagi komunitas baik di tingkat lokal, nasional, maupun

internasional.

3
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teori dan Permasalahannya, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2005), Hal. 17
4
Kadarusman D, 2012. Natural Intelligence Leadership: Cara Pandang Baru Terhadap Kecerdasan dan
Karakter Kepemimpinan, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012)

8
C. Peran Perempuan
Pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh perempuan sebagai makhluk
religius, individu, sosial dan budaya sebenarnya tidak berbeda dengan laki-laki.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan
tentang kemampuan dasar potensial dari kedua jenis laki-laki dan perempuan. 5 Akan
tentapi pada konteks pola dan gaya kepemimpinannya setiap orang pasti berbeda baik
laki-laki maupun perempuan Ada dua perbedaan kehidupan sosial yang nyata bagi
laki-laki dan perempuan, lingkungan masyarakat sebagai tempat pertama bagi laki-
laki, dan perempuanlah yang akrab dengan lingkungan rumah tangga hubungan di
antara keduanya adalah tidak langsung.
Penafsiran yang diberikan kepada biologis perempuan menyebabkan kerugian
mereka pada semua tingkat masyarakat bukan keadaan biologis mereka sendiri.
Perempuan di manapun umumnya kurang dikenal dan kurang berwenang dalam adat.
Penafsiran inilah yang mengikat mereka untuk hanya mengasuh anak-anak dan tetap
dalam lingkungan rumah tangga.
Adapun yang menyebabkan perempuan kurang berpartisipasi dalam arena
politik, yaitu :
1. Secara kultural dan diperkuat oleh interpretasi agama perempuan berada di posisi
subordinat terhadap laki-laki, masih dianggap sebagai mahluk yang berada di
bawah kepemimpinan laki-laki, sehingga dalam pengambilan keputusan, berkaitan
dengan kehidupan sosial, politik ekonomi maupun kehidupan pribadi itu sendiri
umumnya perempuan tidak memiliki hak suara apalagi hak untuk mengambil dan
menjalankan keputusan;
2. Akses perempuan terhadap ekonomi dan informasi sangat kecil.
3. Sejak dihancurkannya gerakan perempuan di masa orde baru, kemudian segera
disusul dengan doktrin pencitraan perempuan yang dipaksakan.
4. Rasa percaya diri yang kurang (Habibah, Menurut Tjokroaminoto dalam (Habibah,
2015)
5
Habibah, Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Gender. (Sosioreligius. Vol 1(1), 2015)

9
Penyebab rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan dan
cenderung menempati posisi terbelakang adalah sebagai berikut : 1) Adanya dikotomi
maskulin/feminin peranan manusia sebagai akibat dari determinasi biologis sering
kali mengakibatkan proses marginalisasi perempuan; 2) Adanya dikotomi peran
publik/peran domestik yang berakar dari sindrom bahwa “peran perempuan adalah di
rumah” pada gilirannya melestarikan pembagian antara fungsi produktif dan fungsi
reproduksi antara laki-laki dan perempuan; 3) Adanya konsep “beban kerja ganda”
yang melestarikan wawasan bahwa tugas perempuan terutama adalah di rumah
sebagai ibu rumah tangga, cenderung mengalami proses aktualisasi potensi
perempuan secara utuh; 4) Adanya sindrom subordinasi dan peran marginal
perempuan telah melestarikan wawasan bahwa peran dan fungsi perempuan dalam
masyarakat adalah bersifat sekunder.

D. Pandangan Islam Mengenai Kepemimpinan Perempuan


Kedudukan Perempuan sebagai Pemimpin dalam Islam :
1. Perempuan Boleh Menjadi Pemimpin
Berkaitan dengan nilai kesetaraan dan keadilan, Islam tidak mentolerir
adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi di antara umat manusia.
Berdasarkan surah alAhzab ayat 35:
Kِ َ‫ص ِد ٰق‬
‫ت‬ َّ ٰ ‫ص ِدقِينَ َوٱل‬ َّ ٰ ‫ت َوٱل‬ ِ َ‫ت َو ْٱل ٰقَنِتِينَ َو ْٱل ٰقَنِ ٰت‬
ِ َ‫ين َو ْٱل ُمْؤ ِم ٰن‬Kَ ِ‫ت َو ْٱل ُمْؤ ِمن‬ِ ‫ِإ َّن ْٱل ُم ْسلِ ِمينَ َو ْٱل ُم ْسلِ ٰ َم‬
َّٓ ٰ ‫صِئ ِمينَ َوٱل‬
ِ ‫صِئ ٰ َم‬
‫ت‬ َّٓ ٰ ‫ت َوٱل‬
Kِ َ‫َص ِّد ٰق‬
َ ‫ص ِّدقِينَ َو ْٱل ُمت‬ َ َ‫ت َو ْٱل ُمت‬ ِ ‫ت َو ْٱل ٰ َخ ِش ِعينَ َو ْٱل ٰ َخ ِش ٰ َع‬ ِ ‫صبِ ٰ َر‬َّ ٰ ‫صبِ ِرينَ َوٱل‬ َّ ٰ ‫َوٱل‬
ٰ ٰ
ِ ‫ت َأ َع َّد ٱهَّلل ُ لَهُم َّم ْغفِ َرةً َوَأجْ رًا ع‬
‫َظي ًما‬ ِ ‫ت َوٱل َّذ ِك ِرينَ ٱهَّلل َ َكثِيرًا َوٱل َّذ ِك ٰ َر‬ ِ َ‫م َو ْٱل ٰ َحفِ ٰظ‬Kُْ‫ُوجه‬ َ ‫َو ْٱل ٰ َحفِ ِظينَ فُر‬
Artinya : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya,
laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki
dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki
dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara

10
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah,
Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Dari ayat ini terlihat jelas bahwa Allah SWT. tidak membedakan antara
laki-laki dan perempuan. Siapa saja di antara mereka akan mendapat ganjaran
setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat. Tidak ada perbedaan ataupun
diskriminasi dalam hal ini.6
Mengenai boleh tidaknya perempuan jadi pemimpin, dapat dipahami
menurut Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim. Ketika
perempuan diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti
memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya
diperbolehkan. Karena itu seorang perempuan juga boleh menjadi pemimpin. 7
Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa MUI
Pusat belum pernah mengeluarkan fatwa tentang larangan perempuan menjadi
pemimpin. Kepemimpinan wanita baik di level pemimpin tingkat atas (imamat al
udhma) ataupun tingkat bawah. Sebab, persoalan kepemimpinan perempuan
termasuk masalah yang diperselisihkan di antara ulama. “Terjadi perbedaan
pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang.” Sekalipun kelak
dibahas di MUI, maka hasil akhirnya bisa dipastikan terjadi perbedaan.8
Ketua Umum DD, A. Muiz Kabri, mengungkapkan pada awalnya memang
menganggap seorang perempuan tidak bisa menjadi presiden. Tapi belakangan ini,
ia berpikir bisa saja seorang perempuan menjadi presiden. Karena bukan dia
sendiri yang mengurusi negara. Presiden mempunyai banyak staf-staf yang
membantu dalam mengurus permasalahan negara. 9

6
Ratna Batara Munti, Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga, (Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Gender,
1999), Hal. 38.
7
Imam Syawkani, Naiul Awtar, (Darul hadis, 1426 H / 2005 M), Hal. 592.
8
News Republika, MUI tak Pernah Larang Pemimpin Wanita, diakses dari
https://www.republika.co.id/berita/170321/mui-tak-pernah-larang-pemimpin-wanita, pada tanggal , 25 Oktober
2022.
9
Jamhari, Ismatu Ropi, Citra Perempuan dalam Islam, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 123.

11
Pendapat yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin negara juga
datang dari Ahmadiyah. Naib Amir Ahmadiyah Indonesia, H. Sayuti Azis,
memandang tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, karena dalam
pandangan Allah perbedaan itu terletak pada ketakwaan seseorang. Tidak ada
masalah jika perempuan menjadi pemimpin negara. Hal ini menurut Sayuti adalah
juga keputusan Ahmadiyah Pusat di London. Sebab, ketika terjadi pro-kontra
tentang boleh-tidaknya perempuan menjadi kepala negara, Ahmadiyah Indonesia
langsung meminta fatwa dari London. Ternyata, pimpinan di sana tidak
mempersoalkannya. Yang penting, calon presiden perempuan tadi memang benar-
benar mempunyai kemampuan dan memenuhi persyaratan.7 Selain itu sudah
cukup banyak pos penting yang pernah dan sedang dipegang oleh kaum
perempuan, seperti presiden, wakil presiden, menteri, hakim, anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Gubernur dan jabatan-jabatan penting lainnya.10
2. Perempuan Tidak Boleh Menjadi Pemimpin
Walaupun dalam sejarah dunia telah muncul banyak perempuan sebagai
presiden dan perdana menteri di berbagai negara di seluruh dunia, di samping ratu
di negara berbentuk kerajaan, sejumlah orang menganggap kurang cocok untuk
menduduki posisi jabatan kepemimpinan tertentu. Bahkan dalam masyarakat
tradisional, wanita masih ditolak menjadi pemimpin.11
Mayoritas ulama yaitu Imam Syafi‟i, Imam Malik dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa seorang pemimpin harus laki-laki begitu juga dengan presiden
haruslah laki-laki berdasarkan surah an-Nisa‟ ayat 34. Ditambah lagi dengan hadis
dari Abi Bakrah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, yang juga menjadi
alasan yang dijadikan dasar bagi fatwa yang melarang perempuan menjadi
pemimpin, yaitu ketika Nabi SAW. mendapatkan informasi bahwa bangsa Persia
menjadikan putri Kisra sebagai raja (ratu) mereka setelah Kisra meninggal dunia.

10
Djazimah Muqoddas, Kontroversi Hakim Perempuan pada Peradilan Islam di Negara-negara Muslim,
(Yogyakarta: LKIS, 2011), Hal. xix.
11
Wirawan, Kepemimpinan: Teori, Psikologi, Perilaku Organiasasi, Aplikasi dan Penelitian, (Jakarta: PT
Rajagrafindo Persada, 2013), Hal. 488.

12
Para ulama di semua negara Islam telah menerima hadis ini dan menjadikannya
dasar hukum bahwa seorang wanita tidak boleh menjadi pemimpin laki-laki dalam
wilayah kepemimpinan umum.12
Imam al-Baghawi mengatakan dalam kitab Syarhus-Sunnah bahwa seorang
perempuan tidak sah menjadi seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin itu
harus keluar untuk berjihad dan selalu berada pada urusan atau perkara orang-
orang Muslim. Sedangkan perempuan itu lemah serta tidak mampu melakukan
banyak urusan, karena perempuan itu kurang.13
Alasan lain yang melarang pencalonan wanita juga mengemukakan bahwa
wanita itu menghadapi kendala yang sudah merupakan tabiat atau pembawaan
mereka, seperti menstruasi setiap bulan beserta keluhan-keluhannya, mengandung
dengan segala penderitaannya, melahirkan dengan segala risikonya, menyusui
dengan segala bebannya, dan sebagai ibu dengan segala tugasnya. Semua itu
menjadikan mereka secara fisik, psikis, dan pemikiran tidak mampu mengemban
tugas sebagai anggota dewan yang bertugas membuat undang-undang dan
mengawasi pemerintah.14
Persoalannya adalah, hingga saat ini tak banyak perempuan yang mau dan
tertarik bergabung di dunia politik. Mereka beralasan karena image politik yang
kejam, penuh pertarungan kekuasaan, sering kali dihinggapi kasus korupsi, dan
sebagainya. Ini membuat sebagian besar perempuan memandang lemah diri dan
kemampuannya karena melihat konstelasi politik sebagai hal yang menakutkan.
Selain itu, image bahwa seorang pemimpin mesti tegar, berkuasa, kompetitif,
rasional, mampu “mematikan” musuhnya (maskulinitas), membuat perempuan dan
laki-laki menempatkan posisi ini memang pantasnya untuk laki-laki.15

12
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Hal. 96.
13
Abi Muhammad bin Mas‟ud al-Baghawi, Syarhus-Sunnah, (Darul Kitab, Amaliyah, 436-516 H), Hal. 322.
14
Yusuf Qardhawy, Fiqih Negara, (Jakarta: Robbani Press, 1999), Hal. 223.
15
Ira D. Aini, Milastri Muzakkar, Perempuan Pembelajar, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014), Hal.
104.

13
Syariat memberikan kesempatan kepada perempuan dalam kewenangan
yang nomor dua di atas. Dalam hal itu, ia memiliki kekuasaan seperti yang
dimiliki laki-laki, sebagaimana memiliki kekuasaan dalam mengatur kepentingan-
kepeningan khusus dirinya.16 Pendapat ini didasarkan pada surat At-Taubah : 71:
‫ُون ِب ْال َمعْ رُوفِ َو َي ْن َه ْو َن َع ِن ْال ُم ْن َك ِر‬ َ ‫ض ۚ َيْأ ُمر‬ ٍ ْ‫ض ُه ْم َأ ْولِ َيا ُء َبع‬ ُ ‫ون َو ْالمُْؤ ِم َن‬
ُ ْ‫ات َبع‬ َ ‫َو ْالمُْؤ ِم ُن‬
َ َ‫ُون هَّللا َ َو َرسُولَ ُه ۚ ُأو ٰل‬
‫ِئك َس َيرْ َح ُم ُه ُم هَّللا ُ ۗ ِإنَّ هَّللا َ َع ِزي ٌز‬ َ ‫الز َكا َة َويُطِ يع‬ َّ ‫ون‬ َ ‫صاَل َة َويُْؤ ُت‬َّ ‫ُون ال‬
َ ‫َو ُيقِيم‬
‫َحكِي ٌم‬
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kebaikan,
mencegah kemungkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat
kepada Allah dan rasul-Nya. Mereka itu akan di beri rahmat oleh Allah.
Sesungguhnya Allah itu maha perkasa lagi maha bijaksana." (QS. At Taubah:71)
Ayat di atas menunjukkan bahwa perempuan seperti laki-laki. Masing-
masing mereka boleh berpartisipasi dalam politik dan mengatur urusan
masyarakat, dan mempunyai hak dalam mengatur kepentingan umum. Hak-hak
politik ini mencakup :
a. Hak dalam mengungkapkan pendapat dalam pemilihan dan referendum dengan
berbagai cara.
b. Hak dalam pencalonan menjadi anggota lembaga perwakilan dan anggota
setempat.
c. Hak dalam pencalonan menjadi presiden dan hal-hal lain yang mengandung
persekutuan dan penyampaian pendapat yang berkaitan dengan politik. Islam
mengakui pentingnya peran kaum perempuan dalam kehidupan masyarakat dan
dampaknya dalam kehidupan politik.
Kepemimpinan Perempuan dalam Negara Allah SWT berfirman dalam
surat an-Naml ayat 23-24 yang berbunyi :
‫َظي ٌم‬ ْ َ‫دت ٱ ْم َرَأةً تَ ْملِ ُكهُ ْم َوُأوتِي‬
ِ ‫ت ِمن ُكلِّ َش ْى ٍء َولَهَا َعرْ شٌ ع‬ ُّ ‫ِإنِّى َو َج‬
16
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan, Menulusuri Hak Politik Dan Kekuasaan Gender Dalam Islam, Hal.
36-38

14
َ ‫ْطانُ َأعْ َمالَ ُه ْم َف‬
ِ ‫ص َّد ُه ْم َع ِن الس َِّب‬
‫يل‬ َ ‫ون هَّللا ِ َو َزي ََّن لَ ُه ُم ال َّشي‬ َ ‫َو َج ْد ُت َها َو َق ْو َم َها َيسْ ُج ُد‬
ِ ‫ون لِل َّش ْم‬
ِ ‫س مِنْ ُد‬
َ ‫َف ُه ْم اَل َي ْه َت ُد‬
‫ون‬
Artinya: Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah
mereka, dan Dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang
besar. Aku mendapati Dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan
syaitan telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan (buruk)
mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat
petunjuk.
Ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memuji kepemimpinan Ratu
Bilqis dan kebijaksanaannya. Pada prinsip siapa yang mampu maka dialah yang
wajar untuk memimpin. Walaupun pada dasarnya kepemimpinan Ratu Bilqis tidak
baik karena segala perbuatannya yang baik ditutupi oleh keimanannya yang
menyembah matahari. Pada ayat ini pula, dijelaskan kegagalan Ratu Bilqis dalam
masalah ketauhidan. Ratu Bilqis dan kaumnya tidak beriman kepada Allah SWT,
bahkan mereka menyembah matahari. Dalam membangun masyarakat yang baik
juga harus berlandaskan dengan keimanan yang kuat. Karena apabila tidak
berlandaskan dengan keimanan dan ketauhidan yang kuat maka akan berdampak
kepada pembangunan suatu negara itu sendiri.
Di hadits Rasulullah SAW bersabda:
ً‫م َولَوْ َأ ْم َرھُ ْم ا ْم َرَأة‬Kٌ ْ‫ لَ ْن یُ ْفلِ َح قَو‬.
(‫ عن أبي بكرة‬K‫)رواه الترمذي‬
Artinya: Tidak akan pernah beruntung (sukses) suatu kaum (bangsa), yang
menyerahkan segala urusannya (dipimpin) pada perempuan. (H.R at-Tirmidzi dari
Abu Bakar).
Meskipun banyak perbedaan penafsiran terhadap hadis ini, akan tetapi
apabila dipikir dengan logika bahwa suatu kepemimpinan dalam suatu negara
tidak sepantasnya perempuan, karena dari tugas dan tanggung jawabnya sangat
besar. Seorang kepala negara harus bisa memantau rakyatnya, dan memeriksa

15
kondisi rakyatnya. Bahwasanya Rasulullah SAW tidak pernah bisa tidur nyenyak
apabila belum memastikan masyarakatnya tidur dengan nyenyak. Bahkan hal
tersebut beliau lakukan sampai ajalnya datang. Karena itu Rasulullah SAW
mengingatkan bahwa pemimpin yang baik dan adil akan menjadi salah satu dari
tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dan perlindungan Allah SWT
dihari kiamat nanti.
Pemimpin kepala negara juga haruslah orang yang memiliki pengetahuan
yang luas dan kesehatan jasmani yang prima, agar dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik. Seperti yang telah tertulis di Al- Qur’an, Allah SWT berfirman dalam
surat Al-Baqarah ayat 247 yang berbunyi :

‫ك‬ ِ ‫ق بِ ْال ُم ْل‬


ُّ ‫ك َعلَ ْينَا َونَحْ نُ اَ َح‬ ُ ‫ث لَ ُك ْم طَالُوْ تَ َملِ ًكا ۗ قَالُ ْٓوا اَ ٰنّى يَ ُكوْ نُ لَهُ ْال ُم ْل‬ َ ‫َوقَا َل لَهُ ْم نَبِيُّهُ ْم اِ َّن هّٰللا َ قَ ْد بَ َع‬
‫ي‬Kْ ِ‫ِم ْنهُ َولَ ْم يُْؤ تَ َس َعةً ِّمنَ ْال َما ۗ ِل قَا َل اِ َّن هّٰللا َ اصْ طَ ٰفىهُ َعلَ ْي ُك ْم َوزَاد َٗه بَ ْسطَةً فِى ْال ِع ْل ِم َو ْال ِجس ِْم ۗ َوهّٰللا ُ يُْؤ ت‬
‫هّٰللا‬
‫س ٌع َعلِ ْي ٌم‬ِ ‫ُم ْلكَهٗ َم ْن يَّ َش ۤا ُء ۗ َو ُ َوا‬
Artinya: Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah
telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut
memerintah Kami, Padahal Kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan
daripadanya, sedang dia pun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi
(mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan
menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan
pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas
pemberian- Nya lagi Maha mengetahui.

E. Perbedaan Pendapat Mengenai Kepemimpinan Perempuan


1. Perbedaan Penafsiran Ayat Alquran
Pendapat yang tidak membolehkan kaum perempuan menjadi pemimpin
didasari oleh pemahaman tekstual terhadap ayat-ayat Alquran yang secara
substantif telah memosisikan kaum laki-laki menjadi pemimpin bagi kaum

16
perempuan. Kalangan fuqaha berpendapat demikian mengacu kepada QS. an-
Nisaa‟ ayat 34 yang berbunyi:
َ ُ‫وب َف َّض َل َّّٰلال‬
َ ‫ب ْع َض ُ ْهن ِ َسب ِء ب َّىا ُهى َى َعلَى ا ٌّل ال ِّر َجب ُل‬
ِ َ‫ق ِ ْهن‬
َ ‫ْهَىاِل َ ًْفَقُىا ِه ْي أ َ ِ َوب أ َعلَى‬
‫ب ْعض َوب‬
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka.” (Q.S. an-Nisaa: 34).
Karena pertimbangan begitu sentralnya jabatan ini, maka para ulama klasik
sepakat bahwa jabatan khalifah harus dipegang oleh lelaki berdasarkan surah an-
Nisa‟ ayat 34 tersebut. Abu Ya’la al-Fara’ menyebutkan salah satu persyaratan
kepala negara harus memenuhi persyaratan menjadi hakim yang salah satu
persyaratannya adalah lelaki.17
Sedangkan pendapat yang membolehkan pemimpin perempuan menjawab
argumen pada firman Allah SWT. surah An Nisaa‟ ayat 34 tersebut. Berdasarkan
asbab al- nuzulnya, ayat ini turun berkenaan dengan kasus istri Sa‟ad bin Rabi‟
yaitu Habibah binti Zaid bin Abi Zuhair, yang tidak taat kepada suaminya
(nusyuz). Lalu Sa‟ad menamparnya. Maka istri Sa‟ad bersama ayahnya datang
mengadu kepada Nabi Muhammad SAW. Ayahnya berkata, “Dia izinkan
menikahi puteriku, tetapi kemudian ia menamparnya.” Nabi Muhammad SAW.
bersabda,” suaminya mendapatkan hukum balas (qishas).” Ketika si wanita itu
ingin kembali pulang bersama ayahnya hendak melaksanakan qishash pada
suaminya.” Tiba-tiba Nabi SAW. bersabda: kembalilah, ini dia Jibril baru saja
datang padaku menurunkan ayat ini “Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum
perempuan.” (Q.S. An-Nisa‟: 34). Selanjutnya beliau bersabda, “kami
berkehendak akan suatu perkara, tetapi Allah SWT. berkehendak lain. Maka yang
dikehendaki Allah itulah yang lebih baik. Lalu beliau mencabut qishash.” 18Jadi,
17
Ali Muhanif, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), Hal. 132.
18
Al-Wahidi an-Nisaburi, Asbabun Nuzul; Sebab-sebab Turunnya Ayat–ayat al-Qur’an, (Surabaya: Amelia,

17
ayat tersebut turun sebab khusus, yaitu berkenaan dengan kasus tertentu, masalah
keluarga, dan tidak ada kaitan dengan keterlibatannya dengan kepemimpinan
perempuan dalam hal politik.
2. Perbedaan Penafsiran pada Hadist
Terdapat hadis sahih ahad yang dari segi substansi matan hadisnya
melarang perempuan sebagai kepala negara yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Ahmad, Tirmidzi, dan An-Nasa‟i dari Abu Bakrah r.a. lebih lengkapnya dapat
dilihat pada terjemahan redaksinya sebagai berikut: Menceritakan kepada kami
Usman bin alHaitsam, menceritakan kepada kita „Auf dari Hasan dari Abi Bakrah
ra, beliau berkata: Allah telah memberiku manfaat dengan kalimat yang aku
dengar dari Rasulullah SAW. pada Perang Jamal setelah aku menganggap bahwa
yang benar adalah pemilik unta (Aisyah ra) sehingga aku berperang di pihaknya.
Kalimat yang aku dengar tersebut adalah ketika ada kabar yang sampai kepada
Rasulullah SAW. bahwa penduduk Persia telah mengangkat anak perempuan
Kisra sebagai raja mereka maka Nabi SAW. bersabda :
ًّ َ ْ‫ي‬
ُ ‫ق ْفِل َل ْي‬
َ ‫هَر ُه ُن ا ْهَرأ َ ْىا أ َّ َول ْىٌم َح‬
“Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada
perempuan.” (HR. Bukhari, Tirmidzi, dan An-Nasa‟i).
Jadi, yang dimaksud oleh hadits ini menurut Yusuf Qardhawy adalah
larangan buat wanita untuk menjadi khalifah, pemimpin umum kaum muslim.
Imam al-Syawkani mengatakan berdasarkan hadis yang telah disebutkan
tersebut bahwa perempuan itu tidak ahli dalam hal pemerintahan dan tidak boleh
suatu kaum menjadikan mereka sebagai pemimpin. Ibnu Jarir pun mengatakan
bahwa pemikiran perempuan itu kurang dan tidak sempurna, terlebih lagi pada
urusan laki-laki. Mushoni juga mengambil hadis yang telah disebutkan, ia
mengatakan bahwa : jika dikatakan laki-laki dan laki-laki. Maka dapat dipahami
bahwa perempuan tidak termasuk dalam hal ini.

2014), Hal. 230-231.

18
Kelompok yang membolehkan pemimpin perempuan pun menanggapi
pada hadis Nabi Muhammad SAW., “Tidak akan berjaya suatu kaum kalau
menyerahkan urusan kepada perempuan.”
Asbab al-wurud (sebab turun) hadis tersebut bertalian dengan keputusan
Ratu Kisra, Penguasa Persia, yang mengangkat anak perempuannya menjadi ratu,
padahal waktu itu ia juga memiliki anak laki-laki, yang menurut cerita tidak
disukainya. Di samping itu, Nabi Muhammad tidak melarang perempuan menjadi
pemimpin. Ia hanya mengatakan tidak bahagia suatu kaum jika dipimpin oleh
perempuan. Apalagi kalau didasarkan pada pilihan like and dislike, sebagaimana
kisa Ratu Kisra tadi.
Menanggapi hadits tersebut, dari sudut metodologis, hadits itu dinyatakan
sahih, tetapi dari segi periwayatan tergolong hadits ahad. Hukum hadis-hadis ahad
tidak mendatangkan keyakinan (ilmul-yaqin), melainkan hanya mendatangkan
dengan kuat (zhann) saja. Oleh karena itu, tidak boleh bersandar pada hadis ahad
dalam hukum-hukum yang sangat penting. Terlebih lagi partisipasi perempuan
dalam hak-hak politik dianggap sebagai masalah yang memiliki landasan
konstitusional yang mencakup larangan dan kepentingan.
3. Berdasarkan Ijma
Pendapat yang tidak membolehkan pemimpin perempuan ini pun
didasarkan pada ijma untuk menguatkan pendapat tersebut dan mengatakan bahwa
hal itu sudah dipraktikkan pada beberapa masa. Atau setidaknya pada masa
Rasulullah SAW. dan masa Khulafaur Rasyidin yang berlaku tanpa kesertaan
perempuan dalam kehidupan politik negara. Kendati ada sejumlah besar kaum
perempuan yang terlibat di bidang budaya dan intelektual pada masa awal Islam,
seperti istri-istri Nabi Muhammad SAW., tetapi mereka tidak berpartisipasi dalam
masalah-masalah kenegaraan. Mereka pun tidak diminta untuk berpartisipasi
dalam masalah itu. 19

19
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan; Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, (Jakarta:
Amzah, 2008), Hal. 59.

19
Sedangkan, pendapat yang membolehkan pemimpin perempuan
memandang tidak demikian. Pada kenyataannya, hal itu tidaklah benar. Jelas-jelas
Rasulullah SAW. mengajak kaum perempuan bermusyawarah tentang berbagai
hal.
Setiap mujtahid mengemukakan pendapatnya yang jelas dan semua sepakat
terhadap ketentuan hukum dalam masalah tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat
dikatakan adanya ijma sharih ataupun sukuti yang melarang perempuan
menggunakan hak-hak politik.24
4. Berdasarkan Qiyas
Dalam bersandar pada qiyas, para pencetus pendapat yang tidak
membolehkan pemimpin perempuan ini melihat perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Oleh karena itu, memungkinkan dilakukan qiyas dalam hal itu. Di
antara contoh-contohnya adalah :
a. Tidak adanya perempuan untuk menjadi pemimpin bagi masyarakat umum
dalam sholat lima waktu, sholat Jum‟at, dan sholat Id.
b. Perempuan tidak mempunyai hak menentukan talak yang ditetapkan syariat
melekat pada laki-laki, bukan pada perempuan.
c. Perempuan tidak boleh bepergian sendiri tanpa disertai muhrimnya atau teman
yang dipercaya.
d. Perempuan tidak diwajibkan Shalat Jumat dalam jama‟ah. Sebab dalam hadis
disebutkan : “Shalat Jumat diwajibkan kepada setiap Muslim secara berjamaah
kecuali empat orang, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil, dan orang
sakit.”
Kelompok yang membolehkan pemimpin perempuan mengatakan,
mengingat bahwa perempuan tidak punya hak talak, tidak boleh ditegaskan dalam
ijma. Akan tetapi, dalam kaitannya dengan hukum yang ditegaskan dengan ijma,
para ulama berbeda pendapat apakah boleh diqiyaskan masalah lain padanya atau
tidak. Yang berkaitan dengan hukum syariat yang ditegaskan dengan teks
Alqur‟an, maka hukum-hukum ini semua hanya disebutkan dalam teks-teks yang

20
menetapkan prinsip-prinsip umum tanpa penjelasan terhadap hal-hal parsial.
Demikian pula halnya dalam pelaksanaan hukum-hukum konstitusional yang
berdiri sendiri. Ia bersumber pada aspek-aspek khusus (parsial) dan tidak dianggap
sebagai syariat yang umum. Pada gilirannya, tidak boleh menggunakan qiyas
dalam hal itu. Secara umum dapat dikatakan secara ringkas bahwa tidak boleh
menggunakan qiyas dalam hukum-hukum konstitusional. Sebab, hal itu termasuk
bidang-bidang yang hanya ditetapkan melalui ijtihad.20
5. Faktor Budaya
Masih dijumpainya praktik marginalisasi peran perempuan dalam
kehidupan sosial kita agaknya berakar pada masih dominannya budaya
patrilineal.27 Kondisi sosio-historis dan budaya pada masa sebelum dan awal
datangnya Islam menunjukkan adanya suatu hegemoni budaya patriarki, yang
mana kaum laki-laki lebih tinggi daripada kaum perempuan.28 Budaya patriarki
memosisikan perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pengasuhan,
pendidik dan penjaga moral. Sementara itu, peran laki-laki sebagai kepala
rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Perpanjangan dari
berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut maka, arena politik
yang sarat dengan peran pengambil kebijakan terkait erat dengan isu-isu
kekuasaan identik dengan dunia laki-laki. Apabila perempuan masuk ke
panggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas
bahkan arena politik dianggap dunia yang keras, sarat dengan persaingan
bahkan terkesan sangat ambisius.
Menghadapi nilai budaya patriarki, lengkap dengan pemahaman bias
gender tersebut tentunya tidak seperti membalikkan telapak tangan. Mengubah
cara pandang dan pola pikir (mind set) masyarakat yang telah mendarah daging
dan terpola pengkondisiannya pada benak pikirannya tidaklah mudah,
memerlukan kerja keras yang tentunya harus dimulai dari penyadaran diri

20
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan; Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, Jakarta:
Amzah, 2008), Hal. 70.

21
sendiri. Persoalannya adalah tidak banyak kaum perempuan berminat atau
tertarik pada dunia politik; diawali dari pola penempatan yang telah dikotak-
kotakkan dan stereotype, perempuan tepat dan pantasnya ada di ranah domestik,
sebaliknya laki-laki ada di ranah publik.
Belum lagi dunia politik di asumsikan sebagai dunia maskulin (keras,
kasar, rasional, kompetitif, menakutkan) sehingga pantasnya hanya dimiliki
laki-laki. Sementara ranah domestik berwatak feminin, lemah, lembut,
emosional, mengalah, nurut, halus, ramah; inilah fungsi dan tugas yang tepat
dan cocok bagi perempuan; dia di rumah mengurus dan membereskan
permasalahan di rumah tangga.
6. Mitos Kejadian Manusia
Di antara penyebab timpangnya hubungan laki-laki dan perempuan
yang berujung pada ketidakadilan terhadap perempuan ini antara lain mitos-
mitos yang disebarluaskan melalui nilai-nilai dan tafsirtafsir ajaran agama yang
keliru mengenai keunggulan kaum laki-laki. Sebaliknya, tentang perempuan
adalah mitos-mitos yang melemahkan kaum perempuan. Laki-laki selalu
digambarkan sebagai makhluk yang cerdas, kuat, tidak emosional. Sementara
perempuan adalah mahkluk yang lemah, bodoh, emosional dan tidak
mandiri.31
Ada pandangan dasar yang menyebabkan munculnya ketidaksetaraan
laki-laki dan perempuan berdasarkan cerita-cerita Israiliyat dalam agama
Yahudi dan Kristen. Pertama, perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang
rusuk Adam, sehingga ia dianggap bukanlah yang utama tanpa kehadiran
Adam. Keberadaan perempuan karenanya bersifat pelengkap dan dianggap ada
hanya karena laki-laki dan untuk lakilaki. Sebaliknya, laki-lakilah yang
dianggap sebagai ciptaan yang utama, karena ia diciptakan secara utuh, dan
bukan berasal dari manusia lain. Kedua, perempuan diyakini sebagai sumber
dari terusirnya manusia dari surga. Oleh sebab itu, selayaknyalah perempuan

22
dipandang dengan rasa benci, curiga dan jijik, bahkan lebih jauh sebagai
sumber malapetaka.

23
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan mengenai fiqih siyasah


kedudukan pemimpin perempuan dalam Islam, maka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1. Fiqih siyasah adalah bagian ilmu fiqih yang mengkhususkan diri pada bidang
muamalah dengan spesialisasi segala hal-ihwal dan seluk beluk tata pengaturan
negara dan pemerintahan.
2. Kepemimpinan adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang-orang
atau kelompok dengan maksud untuk mencapai suatu tujuan
3. Meskipun pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh perempuan sebagai makhluk
religius, individu, sosial dan budaya sebenarnya tidak berbeda dengan laki-laki,
tetapi perempuan kurang berpartisipasi dalam arena politik
4. Kedudukan pemimpin perempuan dalam Islam sampai saat ini masih menuai pro
dan kontra. Ada yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin, sebaliknya
ada juga yang tidak membolehkan. Akan tetapi mayoritas ulama lebih banyak
yang tidak membolehkan.
5. Perbedaan pendapat mengenai pemimpin perempuan tersebut muncul karena
beberapa faktor, baik karena faktor berbedanya penafsiran terhadap ayat al-Quran
dan Hadist, ijma‟ dan Qiyas, maupun karena budaya patriarki yang belum hilang
dari masyarakat, serta mitos-mitos kejadian manusia mengenai perempuan itu
sendiri.

B. Saran
Hendaknya perempuan meningkatkan partisipasinya dalam arena politik,
karena pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh perempuan sebagai makhluk
religius, individu, sosial dan budaya sebenarnya tidak berbeda dengan laki-laki,

24
meskipun kedudukan pemimpin perempuan dalam Islam saat ini masih menimbulkan
perdebatan antara pro dan kontra

25
DAFTAR PUSTAKA

Ali Muhanif, Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2003), h. 132
Batara Munti, Ratna. Perempuan Sebagai Kepala Rumah Tangga. (Jakarta: Lembaga
Kajian Agama dan Gender. 1999)
D. Aini, Ira, Milastri Muzakkar. Perempuan Pembelajar. (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo. 2014)
Dawam, Ainurrafiq & Ta’arifin, Ahmad, 2004. Manajemen Madrasah Berbasis
Pesantren. Jakarta: Listafariska Putra
Habibah. (2015). Kepemimpinan Perempuan Dalam Perspektif Gender. Sosioreligius.
Vol 1(1).
Ikhwan Fauzi, Perempuan dan Kekuasaan, Menulusuri Hak Politik Dan Kekuasaan
Gender Dalam Islam,
Jamhari, Ismatu Ropi. Citra Perempuan dalam Islam. (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama. 2003)
Kadarusman, D. 2012. Natural Intelligence Leadership: Cara Pandang Baru Terhadap
Kecerdasa dan Karakter Kepemimpinan. Jakarta: Raih Asa Sukses.
Muhammad, Abi bin Mas‟ud al-Baghawi. Syarhus-Sunnah. (Darul Kitab, Amaliyah.
436-516 H)
Muqoddas, Djazimah. Kontroversi Hakim Perempuan pada Peradilan Islam di
Negara-negara Muslim. (Yogyakarta : PT Lkis, 2011)
News Republika, MUI tak Pernah Larang Pemimpin Wanita, diakses dari
https://www.republika.co.id/berita/170321/mui-tak-pernah-larang-pemimpin-
wanita, pada tanggal, 25 Oktober 2022.
Qardhawy, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid 1&2. (Jakarta: Gema Insani Press.
1999)
Qardhawy, Yusuf. Fiqh Negara. (Jakarta: Robbani Press. 1997)

26
Syawkani, Imam. Naiul Awtar. (Darul hadis. 1426 H / 2005 M)
Wahjosumidjo. 2005. Kepemimpinan Kepala Sekolah, Tinjauan Teori dan
Permasalahannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Wirawan. Kepemimpinan : Teori, Psikologi, Perilaku Organiasasi, Aplikasi dan
Penelitian. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada. 2013)

27

Anda mungkin juga menyukai