Di Susun Oleh :
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU
METRO LAMPUNG
1444 H/ 2022 M
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat menyelesaikan makalah pada
mata kuliah Masail Fiqhiyah Al-Hadits.
Dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat
keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis masih sangat
jauh dari sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya
laporan observasi ini dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada
Dosen, apabila ini masih belum mencapai sempurna kami sangat berharap atas
kritik dan saran-saran nya yang sifatnya membangun tentunya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................i
KATA PENGANTAR......................................................................................ii
DAFTAR ISI....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................3
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Perumusan Masalah
1
Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Paramadina:
Jakarta, 2001, hlm. 22
1
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut
1. Sejauh mana wacana kepemimpinan wanita dewasa ini?
2. Mengapa wanita tidak boleh menjadi pemimpin?
3. Mengapa wanita boleh menjadi pemimpin?
4. Bagaimana kepemimpinan wanita Perspektif Islam?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kepemimpinan
Dari sisi bahasa kepemimpinan adalah leadership yang berasal dari kata
leader. Kata leader muncul pada tahun 1300-an. Sedangkan kata leadership
muncul kemudian yaitu sekitar tahun 1700-an.2
Dilingkunan masyarakat, dalam organisasi formal maupun nonformal
selalu ada orang yang dianggap lebih dari yang lain. Seseorang yang memiliki
kemampuan lebih kemudian ditunjuk atau diangkat sebagai orang yang
dipercayakan untuk mengatur orang lainnya. Biasanya orang seperti itu
disebut pemimpin atau manajer. Dari kata pemimpin itulah kemudian muncul
istilah kepemimpinan setelah melalui proses panjang.
Masalah kepemimpinan sama tuanya dengan sejarah manusia itu
sendiri. Kepemimpinan dibutuhkan karena adanya keterbatasan dan kelebihan
dari masing-masin manusia. Defenisi tentang kepemimpinan bervariasi
sebanyak orang yang mencoba mendefenisikan konsep kepemimpinan.
Beberapa defenisi yang dianggap cukup mewakili adalah;
1. Kepemimpinan adalah perilaku dari yang memimpin aktivitas-aktivitas
suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared
goal)”.
2. Kepemimpinan adalah “pengaruh antar pribadi, yang dijalankan dalam
suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah
pencapain satu atau beberapa tujuan tertentu.”3
Kebanyakan defenisi tentang kepemimpinan mencerminkan asumsi
bahwa kepemimpinan menyangkut sebuah proses pengaruh social yang dalam
hal ini pengaruh yang sengaja dijalankan oleh sesorang terhadap orang lain
untuk menstuktur aktvitas-aktivitas serta hubungan-hubungan sebuah
2
Veithzal Revai, Kepemimpinan Dan Perilaku Organisasi (Edisi Kedua), Rajagrafindo
Persada, Jakarta 2007, hlm.9
3
Gari Yukl , Leadership In Organization (alih Bahasa Oleh Jusuf Udaya, Kepemimpinan
Dalam Organisasi), Prenhallindo, Jakarta, 2008, hlm. 2
3
kelompok atau organisasi. Berbagai defenisi yang ditawarkan terlihat tidak
berisi hal-hal selain itu.4
Kepemimpinan secara umum meliputi proses mempangaruhi dalam
menentukan tujuan oraganisasi, memotifasi prilaku pengikut untuk mencapai
tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budaya.
Kepemimpinan terkadang dipahami sebagai kekuatan untuk menggerakkan
dan mempengaruhi orang. Kepemimpinan juga dikatakan sebagai proses
mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada hubungannya
dengan pekerjaan para anggota kelompok. Oleh karena itu, kepemimpinan
pada hakekatnya adalah;
1. Proses mempengaruhi atau memberi contoh dari pemimpin kepada
pengikut.
2. Seni mempengaruhi dan mengarahkan orang dengan cara kepatuhan,
kepercayaan, kehormatan, dan kerja sama.
3. Kemampuan untuk mempengaruhi, memberi ispirasi mengarahkan
tindakan sesorang atau kelompok.
Al-Qur’an adalah kitab suci agama islam yang akan selalu kompatibel
dalam ruang dan waktu. Itu terbukti bahwa al-Qur’an masih dijadikan
pedoman hidup manusia untuk menjalankan fungsi khalifatan fil ‘ardl dengan
penuh kesadaran dan keikhlasan, baik bagi ummat terdahulu, saat ini dan yang
akan datang.Al-Qur’an sebgaai pedoman harus mampu dipahami setiap
kandungan-kandungan ayat-ayatnya dan tentunya harus selaras dan serasi
dengan konteks yang ada. Oleh karena itu diperlukan kontekstualisasi
penafsiran-penafsiran tentang ayat-ayat yang berhubungan langsung dengan
kehidupan umat manusia, baik dari segi social, agama dan Negara.
Berkaitan dengan aspek kenegaraan – termasuk di dalamnya
kepeimpinan-, penafsiran al-Qur’an yang timpang dalam menafsirkan
kepemimpinan menimbulkan konsep dan pandangan social tradisional
masyarakat akan hal tersebut bahwa kaum laki-laki lebih diungulkan
(superior) daripada perempuan (inferior). Perempuan dianggap lemah
4
Djazimah Muqaddas. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam DI Negara-
negara Muslim. LKiS: Yogyakarta. 2011, hlm. v
4
kemampuannya (subordinat), sehingga tidak layak untuk mengisi ruang
public. Di wilayah public, terutama dalam politik, perempuan mengalami
diskriminasi ruang lingkup bergerak, mereka hanya terkekang dalam wilayah
domistik (rumah tangga) dengan berbagai tugasnya yang tradisional. 5 Mbah
Sahal Mahfudz mengatakan bahwa kesejajaran laki-laki dan perempuan sangat
lemah. Penilaian bisa terhadap perempuan ini pada dasarnya berasal dari tiga
asumsi kuat dalam beragama. Pertama, asumsi dogmatis dan eksplisit yang
menempatkan perempuan sebagai pelengkap kehidupan laki-laki. Kedua,
dogma bahwa bakat moral etik perempuan lebih rendah dari laki-laki. Ketiga,
pandangan materialistic, idiologi masyarakat Mekkah pra-Islam yang
memandang rendah peran perempuan dalam proses produksi.6
Superioritas laki-laki dalam hal kepemimpinan berdasarkan atas
penafsiran al-Qur’an surat an-nisa ayat 34 yang redaksinya “الرجال قوامون على
اءWWW”النس. Banyak pendapat atau bahkan penafsir yang mengartikan lafaz
‘Qawwamun’ sebagai pemimpin. Kepemimpinan tersebut menurut Muhamad
Abduh yaitu kepemipinan untuk memimpin yang dipimpin sesuai dengan
kehendak dan kemauan sang pemimpin, namun yang dipimpin tidak serta
merta menerima perlakuakn pemimpin secara paksa tanpa ada kemauan selain
kehendak sang pemimpin.7 Seorang mufassir terkenal Indonesia, Quraisy
Shihab, mengungkapkan bahwa orang yang melaksanakan tugas atau apa yang
diharapkan darinya disebut dengan qa’im. Kalau ia melaksanakan tugas
tersebut dengan sesempurna mungkin, berkesinambungan, dan berulang-ulang
maka ia dinamai qawwam.8 Perlu digarisbawahi bahwa ayat ini dalam konteks
keluarga. Keistimewaan qawwamah/kepemimpinan suami atas istri tidak
menjadikan suami bertindak sewenang-wenang dalam menentukan segala
sesuatu. Bukanlah musyawarah juga merupakan ajaran al-Qur’an dalam
menyelesaikan permasalah termasuk juga didalamnya keluarga?. jadi bisa
5
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender..
LKiS: Yogyakarta. 2012, hlm.xiii
6
Djazimah Muqaddas. Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam DI Negara-
negara Muslim.hlm. 203
7
Quraisy Shihab. Perempuan. Lentera Hati: Jakarta. 2009, hlm. 367
8
Nasarudin Umar. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. Paramadina:
Jakarta. 2001, hlm. 248-249
5
disimpulkan kepemimpinan suami atas istri disebabkan; Pertama, suami
memiliki keistimewaan dalam kepemimpinan yang lebih sesuai untuk
menjalankan tugasnya. Kedua, karena suami telah menafkahkan sebagian
harta mereka. Jika alasan kedua di atas tidak ada dalam diri suami artinya
kemampuan melakukan kepimpinan dan memberi nafkah, bisa saja
kepemimpinan keluarga beralih kepada istri.
Islam telah menerangkan akan kebebasan hak bagi setiap hambanya.
Baik laki-laki dan perempuan sama-sama mendapatkan hak dan keadilan. Ini
sesuai dengan firman allah;
َ ت ٱ ۡل ِج َّن َوٱِإۡل
نس ِإاَّل لِيَ ۡعبُدُو ِن ُ َو َما َخلَ ۡق
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”
ۖ
ج َرهُم َ Wُر َأ ۡو ُأنثَ ٰى َوهW
Wۡ َج ِزيَنَّهُمۡ َأWۡ ة َولَنWٗ Wَو ٗة طَيِّبWٰ Wَن فَلَنُ ۡحيِيَنَّهُۥ َحيٞ ؤ ِمWۡ و ُمW ٍ لِ ٗحا ِّمن َذ َكWص َ ٰ َلWَم ۡن َع ِم
ْ ُبَِأ ۡح َس ِن َما َكان
َوا يَ ۡع َملُون
“Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan
kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan”
Dari dua ayat diatas, Nampak bahwa tidak ada pengkhususan terhadap
laki-laki dalam menjalankan kehidupan di dunia ini. Tujuan hidup dari
keduanya tidak lain adalah beribadah kepada allah. Baik laki-laki dan
perempuan sama-sama memiliki potensi untuk tampil baik di depan Allah
dengan segala amal ibadahnya, sehingga akan mendapatkan perhargaan atas
pencapaian diri sebagai hamba yang ideal (muttaqin).9
Kalau melihat sejarah kepemimpinan perempuan bukan hanya terjadi
pada zaman rasul saja. Melainkan sejak zaman nabi sulaiman sudah ada
pemimpin perempuan yang dianggap berhasil dalam menjalankan tugasnya
sebagai kepala Negara Saba’, yaitu ratu bilqis atau ratu sheba. Ia berhasil
memimpin Negara yang terletak di Negara Yaman tersebut dengan kekuasaan
9
Nasarudin Umar. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, hlm. 249
6
yang tinggi dan singgasana yang megah, sampai-sampai al-Qur’an
mengabadikan kisahnya dalam surat al-Naml ayat 23
يم ِ ِإيِّن وج ْدت امرَأًة مَتْلِ ُكهم وُأوتِيت ِمن ُك ِّل َشي ٍء وهَل ا عر
ٌ ش َعظ
ٌ َْ َ َ ْ ْ ْ َ َ ُْ َْ ُ َ َ
“Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah
mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang
besar”
Ketika masa khalifah, istri nabi, Aisyah RA. pernah menjadi pimpinan
rombongan saat terjadinya pertikaian dengan sayyidina Ali bin Abi Thalib,
permaisuri al-Malik al-Shalih al-Ayyubi (1206-1249 M) menjadi ratu Mesir
setelah suaminya meninggal dan anaknya terbunuh. Kemudian menikah
dengan perdana menterinya dan pendiri dinasti Mamalik dan menyerahkan
kekuasaan kepada suaminya.10 Dan banyak lagi pemimpin perempuan yang
berkecimpung dalam kepemimpinan dan politik.
10
Quraisy Shihab. Perempuan. hlm.384
11
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender.hlm. xi
12
Siti Muri’ah. Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir. RaSAIL: Semarang.
2011, Hlm. 201
7
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagaian
mereka menjadi penolong bagi sebagiann yang lain. Mereka menyuruh
(berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar”
Ayat ini menjelaskan pentingnya kerja sama antara laki-laki dan
perempuan, untuk saling tolong menolong baik dalam rangka kepentingan
pekerjaan maupun untuk kepentingan ibadah. Di samping itu dari ayat ini juga
dapat dipahami bahwa untuk mencapai kebikkan dan prestasi yang
diharapkan diperlukan rasa berbagi tanggung jawab. Dalam konteks laki-laki
dan perempuan, maka keberhasilan perempuan (istri) baik dalam bekerja
maupun beribadah juga menjadi bagian dan tanggung jawab laki-laki
(suami).Begitu juga sebaliknya keberhasilan laki-laki (suami) juga merupakan
bagian dan tanggung jawab perempuan (istri).13
Terdapat juga hadis yang mendukung ayat di atas yang diriwayatkan
ibnu Umar; “Semua kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin betanggung
jawab atas kepemimpinannya.Penguasa adalah pemimpin, lelaki (suami)
adalah pemimpin di rumah tangganya, perempuan (istri) adalah pemimpin di
rumah suaminya dan terhadap anak-anaknya.Semua kamu adalah pemimpin
dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas kepemimpinannya” (HR.
Bukhari dan Muslim melalui Abdullah Ibnu Umar Ra.)
Dari hadis di atas tersirat sebuah tuntutan atas kaum perempuan untuk
terus belajar dan mengasah diri sehingga dapat mempengaruhi lelaki dengan
argumentasi yang logis dan ilmiah.Jika kedua hal itu bisa diraih, maka
perempuan telah memiliki “dua senjata” yang sangat ampuh.Pertama,
perasaan halus yang dapat menyentuh kalbu, dan kedua argumentasi yang
menyentuh nalar.Oleh karena itu perempuan mampu memimpin bukan hanya
dalam keluarga tapi juga dalam masyarakat luas.14
Pada perinsipnya islam tidak membatasi hak perempuan dalam
mengurus seluruh kepentingan public. Hanya saja perlu disesuaikan dengan
13
Quraisy Shihab. Perempuan. Hlm. 372
14
Ali Jumu’ah. Fatawa al-Baiti al-Muslim. Daar al-Imam as-Syatibi: Qahirah. Hlm. 399;
Abdul Halim Mahmud. Fatawa al-Imam ‘Abdul Halim Mahmud. Daar al-Ma’arif: Qahirah. Cet.
ke-5. Juz 2. 2002, Hlm. 189
8
kemampuan (tugas pokok keluarga) dan kehormatan perempuan itu sendiri. 15
Setidaknya terdapat tiga bidang masalah yang menjadi halangan terciptanya
relasi jender yang lebih adil, yaitu berkaitan dengan teologi, budaya dan
politik.
Dalam menjelaskan masalah kepemimpinan wanita dalam lingkup
public, perlu kiranya dikemukakan beberapa hal:
1. Perempuan menjabat sebagai hakim, merupakan buah dari fiqh, bukan
hokum syariat dari Allah. Jadi al-Qur’an dan hadits tidak mengatur hal
tersebut.
2. Ijtihad ulama fiqh klasik yang membicarakan masalah perempuan menjadi
hakim sangat beragam dalam banyak madzhab. Tidak ada ijma’ ulama
dalam masalah ini.
3. Berlangsungnya adat istiadat pada masa lalu terhadap ketidakbolehan
perempuan menjadi hakim, bukan berarti perempuan haram menjadi
hakim.
4. Perbedaan pendapat para ulama ahli fiqh tentang bolehnya perempuan
menjadi hakim tidak didukunh oleh teks agama, oleh karena itu mereka
meng-qiyas-kan kebolehan perempuan menjadi pemimpin dengan jabatan
hakim, dan jabatan hakim termasuk wilayah al-imamah al-‘uzma, yaitu al-
khilafah al-‘ammah bagi umat Islam.
5. Laki-laki menjadi hakim bukan satu-satunya syarat yang masih
diperselisihkan oleh para ulama fiqh. Mereka juga berselisih tentang syarat
seorang hakim yang harus menguasai empat hal, al-Qur’an, hadits, ijma’,
dan qiyas. Oleh karena tidak adanya ijma’, sebagaimana tidak adanya teks
yang melarang, maka ini masuk dalam masalah ijtihadi.
6. Jabatan hakim dan jabatan politik lainnya berubah dari kepemimpinan
individu ke pemimpinan bersifat kolektif.16
15
Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar. El-
Kahfi: Jakarta. 2012, Hlm. 110
16
Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar. Hlm.
108
9
Kepemimpinan laki-laki atas perempuan sejatinya bukan merupakan
kelebihan atau keagungan laki-laki atas perempuan.Kepemimpinan tersebut
harus dipahami sabagai bentuk tanggung jawab laki-laki terhadap perempuan.
Karena itu, kepemimpinan yang dimaksud bukanlah kepemimpinan bersifat
otoriter dan semena-mena, akan tetapi untuk menegakkan agama Allah.
17
Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar. Hlm.
108
18
Quraisy Shihab. Perempuan. Hlm 369
19
Kholid Hidayatullah. Kontekstualisasi Ayat-Ayat Jender Dalam Tafsir Al-Manar. Hlm.
108
10
masyarakat dan agama. Karena “biasanya” perempuan tidak bisa menghadapi
tanggung jawab yang besar seperti hakim dan kepala Negara.20
11
Ketiga penafsir di atas secara umum mengatakan bahwa kata kunci
dalam kepemimpian laki-laki atas perempuan adalah kelebihan fisik dan
akalnya, dengan penegasan redaksi ‘bima faddlala Allahu ba’dlahum ‘ala
ba’dl’ serta kewajiban member nafkah untuk memenuhi kebutuhan istri dan
rumah tangganya.
25
Ibnu Asyur, At-Thahir, At-tahrir Wa At-Tanwir, Dar Suhnun, Tunis, Juz 1, hlm. 251
12
Artinya: Dia (Allah) berfirman, “Sesungguhnya Aku menjadikan
engkau sebagai pemimpin bagi seluruh manusia.” Dia (Ibrahim) berkata, “Dan
(juga) dari anak cucuku?” Allah berfirman, “(Benar, tetapi) janji-Ku tidak
berlaku bagi orang-orang zalim.”
Ayat ini berkenaan dengan kehendak Allah yang menjadikan Ibrahim
sebagai pemimpin (imam). Pemimpin disini berarti rasul, karena jabatan rasul
adalah sesempurna kekuasaan. Selanjutnya nabi Ibrahim meminta kepada
Allah agar keturunannya juga dijadikan sebagai pemimpin dengan berbagai
risalah, kekuasaan, dan keteladanan. Selanjutnya Ibnu Asyur memberikan
komentar bahwa syarat mendasar dari seorang pemimpin adalah harus laki-
laki yang memiliki sifat kesempurnaan yang menjadi contoh dan panutan bagi
kaumnya dan keluarganya. Dari sini terlihat jelas bahwa Ibnu Asyur tidak
memberi ruang untuk kaum wanita menjadi pemimpin.26
26
Ibnu Asyur, At-Thahir, At-tahrir Wa At-Tanwir, hlm. 67
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
Ali Jumu’ah. Fatawa al-Baiti al-Muslim. Daar al-Imam as-Syatibi: Qahirah. Hlm.
399; Abdul Halim Mahmud. Fatawa al-Imam ‘Abdul Halim Mahmud.
Daar al-Ma’arif: Qahirah. Cet. ke-5. Juz 2. 2002
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. LKiS: Yogyakarta. 2012
Muhammad bin Umar bin Husain ar-Razi asy-Syafii. Mafatihul Ghaib min al-
Qur’an al-‘Adhim. MS. Juz I.
Siti Muri’ah. Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Wanita Karir. RaSAIL: Semarang.
2011
15