Disusun Oleh:
DAFTAR ISI......................................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................
2.3 Pola Kepemimpinan di Salah Satu Pondok Pesantren Dalam Presepektif Milenial.....
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................
3.2 Saran..............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT.
Karena atas rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad
SAW dan pengikutnya.
Makalah ini menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam
pondok pesantren baik itu pengertian, macam-macam, dan juga model kepemimpinan pondok
pesantren di masa depan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Kami mengucapkan terimakasih kepada ibu Hj Aridlah Sendy Robikhah, M.Pd, dan
juga kelompok kami yang berkontribusi dalam penyusunan makalah ini. Serta Kami sangat
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, segala kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi penyempurnaan makalah
kami.
Penyusun
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
pendefinisian berbeda satu sama lain. Menurut Kaum Sunni, Imamah disebut juga Khilafah.
Sebab orang yang menjadi Khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang
menggantikan Rasul SAW. Khilafah juga disebut sebagai Imam (pemimpin) yang wajib
ditaati.
Dahulu orang memandang seorang yang pandai di bidang agama Islam baru layak
disebut kyai bila ia mengasuh atau memimpin pesantren. Sekarang meskipun tidak
memimpin pesantren, bila ia memiliki keunggulan dalam menguasai ajaran-ajaran Islam dan
amalan-amalan ibadah sehingga memiliki pengaruh yang besar di masyarakat, sering juga
disebut kyai. Hanya saja berkaitan dengan wacana politik pendidikan pesantren yang
sennatiasa dikendalikan kyai, maka pemakaian istilah kyai dalam konteks ini lebih mengacu
pada pemahaman lain yakni kyai sebagai pemimpin pesantren, tetapi bukan hanya
mengajarkan kitab-kitab islam klasik semata seperti pemahaman awal tersebut, melainkan
juga meliputi pengajaran kitab-kitab modern atau kontemporer. (Mujamil Qomar: 2007, 29)
Kyai adalah pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual dan posisinya sangat
dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai
pemimpin msayarakat Kyai memiliki jema’ah, komonitas dan massa yang diikat oleh
hubungan keguyuban yang erat dan ikatan budaya paternalistik.
Keberadaan seorang kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari tugas dan
fungsinya mengandung fenomena yang unik. Dikatakan unik, karena kyai sebagai seorang
pemimpin di lembaga pendidikan Islam bertugas tidak hanya menyusun program atau
kurikulum, membuat peraturan, merancang sistem evaluasi.
Tetapi Kiyai juga bertugas pula sebagai pembina dan pendidik umat yaitu pemimpin
masyarakat. Keberadaan Kiai sebagai pemimpin pondok pesantren dan pemimpin umat
memiliki kebijaksanaan yang arif dan wawasan yang luas, terampil dalam ilmu agama,
menjadi teladan dalam sikap dan perilaku etis serta memiliki hubungan dekat dengan Tuhan.
Legitimasi kepemimpinan kiai diperoleh dari masyarakat, karena masyarakat menilai Kiai
tersebut memiliki keahlian ilmu agama Islam, kewibawaan yang bersumber dari ilmunya,
memiliki sikap pribadi dan ahlak yang terpuji. Kiai ideal oleh komunitas pesantren sebagai
sentral figur yang mewakili mereka tampil sebagai mediator, dinamisator, katalisator,
motivator maupun sebagai motor penggerak bagi komunitas yang dipimpinnya dalam rangka
melindungi kepentingan masyarakat dan pesantren. Karena peran yang demikian sentralnya,
maka sosok Kiai sebagai pemimpin memenuhi kriteria ideal Kiai dipercaya, ditaati, dan
diteladani oleh komunitas yang dipimpinnya memiliki integritas pribadi yang tinggi terhadap
kebenaran, kejujuran, dan keadilan.
Kepemimpinan Kiai ditaati karena memiliki penguasaan informasi, keahlian
profesional, dan kekuatan moral. Pesona peribadi yang ditampilkan menjadikan seorang Kiai
dicintai dan dijadikan panutan sebagai figur yang diteladani dan sumber inspirasi bagi
komunitas yang dipimpinnya. Semakin konsisten dan konsekwen seorang Kiai memenuhi
kriteria dan prasyarat kepemimpinan ideal tersebut, maka makin kuat pula ia dijadikan tokoh
pemimpin, tidak hanya oleh komunitas pesantren yang dipimpinnya, melainkan juga oleh
seluruh umat islam maupun masyarakat luas dalam skala regional, nasional maupun
internasional.
3
2.2 Macam-macam Pola Kepemimpinan dalam pondok pesantren
Dalam hal pendidikan, baik yang menyangkut format kelembagaan, kurikulum dan
metode yang diterapkan tidak lepas dari kebijakan Kiai. Segala aspek policy pendidikan
maupun manajerial, pihak lain hanyalah sebagai pelengkap. Ketika terjadi perbedaan
pendapat antara santri dan Kiai, belum pernah dalam sejarah kepesantrenan para santri
mengalahkan kehendak Kiai. Profil kepemimpinan Kiai yang kharismatik akan menimbulkan
sikap otoriter dan berkuasa mutlak diramalkan tidak mampu bertahan lama. Kaderisasinya
hanya terbatas keturunan, sebab tidak semua putra Kiai memiliki kapasitas, orientasi dan
kecenderungan yang sama dengan sang ayah, karenanya tidak sedikit putera Kiai yang lari ke
jalur umum.
Keahlian seseorang untuk merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakkan atau
memobilisasi kekuatan yang ada tidak pernah dijadikan alternatif pertama dalam memimpin
pesantren. Sebaliknya, pertimbangan yang di kedepankan adalah kesalihan. Berikut Jenis
kepemimpinan Kiai di pesantren secara umum terdapat beberapa macam, di antaranya adalah:
a. Kepemimpinan individual
Pola kepemimpinan individual ini masih banyak melekat pada Kiai di pesantren, sehingga
kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi Kiai. Dimikian juga eksistensi kiai sebagai
pemimpin pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya, dapat dipandang sebagai sebuah
fenomena yang unik. Dikatakan unik karena kiai sebagai pemimpin sebuah lembaga
pendidikan Islam tidak sekadar bertugas menyusun kurikulum, membuat peraturan atau tata
tertib, merancang sistem evaluasi, sekaligus melaksanakan proses belajar-mengajar yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya, melainkan pula sebagai
pembina dan pendidik umat serta menjadi pemimpin masyarakat. (Imron Arif: 1993, 45)
Peran yang begitu sentral yang dilaksanakan oleh kiai seorang diri menjadikan pesantren
sulit berkembang. Perkembangan atau besar-tidaknya pesantren semacam ini sangat
ditentukan oleh kekarismaan kiai pengasuh. Dengan kata lain, semakin karismatik kiai
(pengasuh), semakin banyak masyarakat yang akan berduyunduyun untuk belajar bahkan
hanya untuk mencari barakah dari kiai tersebut dan pesantren tersebut akan lebih besar dan
berkembang pesat.
Kepemimpinan individual kiai inilah yang sesungguhnya mewarnai pola relasi di
kalangan pesantren dan telah berlangsung dalam rentang waktu yang lama, sejak pesantren
berdiri pertama hingga sekarang dalam kebanyakan kasus. Lantaran kepemimpinan
individual kiai itu pula, kokoh kesan bahwa pesantren adalah milik pribadi kiai. Karena
pesantren tersebut milik pribadi kiai, kepemimpinan yang dijalankan adalah kepemimpinan
individual. (M Dawam Rahardjo: 1985, 114)
4
Dengan kepemimpinan semacam itu, pesantren terkesan eksklusif. Tidak ada celah yang
longgar bagi masuknya pemikiran atau usulan dari luar walaupun untuk kebaikan dan
pengembangan pesantren karena hal itu wewenang mutlak kiai. Hal seperti itu biasanya
masih berlangsung di pesantren salaf.
Model kepemimpinan tersebut memengaruhi eksistensi pesantren. Bahkan belakangan
ada pesantren yang dilanda masalah kepemimpinan ketika ditinggal oleh kiai pendirinya. Hal
itu disebabkan tidak adanya anak kiai yang mampu meneruskan kepemimpinan pesantren
yang ditinggalkan ayahnya baik dari segi penguasaan ilmu keislaman maupun pengelolaan
kelembagaan. Karena itu, kesinambungan pesantren menjadi terancam.
Krisis kepemimpinan juga bisa terjadi ketika kiai terjun ke dalam partai politik praktis.
Kesibukannya di politik akan menurunkan perhatiannya terhadap pesantren dan tugas
utamanya sebagai pembimbing santri terabaikan, sehingga kelangsungan aktivitas pesantren
menjadi terbengkalai. Adapun pergantian kepemimpinan di pesantren dilaksanakan apabila
kiai yang menjadi pengasuh utama meninggal dunia. Jadi kiai adalah pemimpin pesantren
seumur hidup. Apabila kiai sudah meninggal, estafet kepemimpinan biasanya dilanjutkan
oleh adik tertua dan kalau tidak mempunyai adik atau saudara, biasanya kepemimpinan
langsung digantikan oleh putra kiai. Biasanya kiai mengkader putra-putranya untuk
meneruskan kepemimpinannya. Namun, jika kaderisasi itu gagal, biasanya yang melanjutkan
adalah menantu yang paling pandai atau menjodohkan putrinya dengan putra kiai lain. Jadi
tidak ada peluang masuknya orang luar menjadi pemimpin pesantren tanpa memasuki jalur
feodalisme kiai.
Dengan demikian, jelas bahwa posisi kepemimpinan kiai adalah posisi yang sangat
menentukan kebijaksanaan di semua segi kehidupan pesantren, sehingga cenderung
menumbuhkan otoritas mutlak, yang pada hakikatnya justru berakibat fatal. Namun profil
kiai di atas pada umumnya hanyalah terbatas pada kiai pengasuh pesantren tradisional yang
memegang wewenang (otoritas) mutlak dan tidak boleh diganggu gugat oleh pihak mana pun.
Sedangkan kiai-kiai di pesantren khalaf ataupun modern tidaklah sedemikian otoriter.
b. Kepemimpinan kolektif
Kepemimpinan Kolektif Sebagaimana disebutkan di atas, kepemimpinan kiai yang
karismatik cenderung individual dan memunculkan timbulnya sikap otoriter mutlak kiai.
Otoritas mutlak tersebut kurang baik bagi kelangsungan hidup pesantren, terutama dalam hal
suksesi kepemimpinan. Kaderisasi hanya terbatas keturunan dan saudara, menyebabkan tidak
adanya kesiapan menerima tongkat estafet kepemimpinan ayahnya. Oleh karena itu, tidak
5
semua putra kiai mempunyai kemampuan, orientasi, dan kecenderungan yang sama dengan
ayahnya. Selain itu, pihak luar sulit sekali untuk bisa menembus kalangan elite
kepemimpinan pesantren, maksimal mereka hanya bisa menjadi menantu kiai. Padahal,
menantu kebanyakan tidak berani untuk maju memimpin pesantren kalau masih ada anak
atau saudara kiai, walaupun dia lebih siap dari segi kompetensi maupun kepribadiannya.
Akhirnya sering terjadi pesantren yang semula maju dan tersohor, tiba-tiba kehilangan pamor
bahkan mati lantaran kiainya meninggal.
Akibat fatal dari kepemimpinan individual tersebut menyadarkan sebagian pengasuh
pesantren, Kementerian Agama, di samping masyarakat sekitar. Mereka berusaha
menawarkan solusi terbaik guna menanggulangi musibah kematian pesantren. Kementerian
Agama pernah mengintroduksi bentuk yayasan sebagai badan hukum pesantren, meskipun
jauh sebelum dilontarkan, beberapa pesantren sudah menerapkannya. Pelembagaan semacam
itu mendorong pesantren menjadi organisasi impersonal. Pembagian wewenang dalam tata
laksana kepengurusan diatur secara fungsional, sehingga akhirnya semua itu harus diwadahi
dan digerakkan menurut tata aturan manajemen modern.
Kepemimpinan kolektif dapat diartikan sebagai proses kepemimpinan kolaborasi yang
saling menguntungkan, yang memungkinkan seluruh elemen sebuah institusi turut ambil
bagian dalam membangun sebuah kesepakatan yang mengakomodasi tujuan semua.
Kolaborasi dimaksud bukan hanya berarti “setiap orang” dapat menyelesaikan tugasnya,
melainkan yang terpenting adalah semua dilakukan dalam suasana kebersamaan dan saling
mendukung (al-jam’iyah al murassalah atau collegiality and supportiveness). (Amin Hadari
dan M Ishom El Saha: 2004, 22)
Model kepemimpinan kolektif atau yayasan tersebut menjadi solusi strategis. Beban kiai
menjadi lebih ringan karena ditangani bersama sesuai dengan tugas masing-masing. Kiai juga
tidak terlalu menanggung beban moral tentang kelanjutan pesantren di masa depan. Sebagai
pesantren yang pernah menjadi paling berpengaruh se-Jawa-Madura, pada 1984 Pesantren
Tebuireng mendirikan Yayasan Hasyim Asy’ari yang mengelola seluruh mekanisme
pesantren secara kolektif.
Namun demikian, tidak semua kiai pesantren merespons positif solusi tersebut. Mereka
lebih mampu mengungkapkan kelemahan- kelemahan yang mungkin timbul dibanding
kelebihannya. Keberadaan yayasan dipahami sebagai upaya menggoyahkan kepemimpinan
kiai. Padahal, keberadaan yayasan justru ingin meringankan beban baik akademik maupun
moral. Kecenderungan untuk membentuk yayasan ternyata hanya diminati
pesantrenpesantren yang tergolong modern, belum berhasil memikat pesantren tradisional.
6
Kiai pesantren tradisional cenderung lebih otoriter daripada kiai pesantren modern. (Qomar:
2004, 45)
Pesantren memang sedang melakukan konsolidasi organisasi kelembagaan, khususnya
pada aspek kepemimpinan dan manajemen. Secara tradisional, kepemimpinan pesantren
dipegang oleh satu atau dua kiai, yang biasanya merupakan pendiri pesantren bersangkutan.
Tetapi karena diversifikasi pendidikan yang diselenggarakan, kepemimpinan tunggal kiai
tidak memadai lagi. Banyak pesantren kemudian mengembangkan kelembagaan yayasan
yang pada dasarnya merupakan kepemimpinan kolektif.
Konsekuensi dan pelembagaan yayasan itu adalah perubahan otoritas kiai yang semula
bersifat mutlak menjadi tidak mutlak lagi, melainkan bersifat kolektif ditangani bersama
menurut pembagian tugas masing-masing individu, kendati peran kiai masih dominan.
Ketentuan yang menyangkut kebijaksanaan-kebijaksanaan pendidikan merupakan konsensus
semua pihak. Yayasan memiliki peran yang cukup besar dalam pembagian tugas yang terkait
dengan kelang sungan pendidikan pesantren. Perubahan dan kepemimpinan individual
menuju kepemimpinan kolektif akan sangat berpengaruh terhadap hubungan pesantren dan
masyarakat. Semula hubungan bersifat patronklien, yakni seorang kiai dengan karisma besar
berhubungan dengan masyarakat luas yang menghormatinya. Sekarang hubungan semacam
itu semakin menipis. Justru yang berkembang adalah hubungan kelembagaan antara
pesantren dengan masyarakat.
c. Kepemimpinan demokratis
Bergesernya pola kepemimpinan individual ke kolektif yayasan membawa perubahan
yang mestinya tidak kecil. Perubahan tersebut menyangkut kewenangan Kiai serta partisipasi
para ustadh dan santri. Nuansa baru semakin menguatnya partisipasi ustadz berdampak
timbulnya sistem demokrasi dalam pesantren, meskipun permasalahannya tidak sederhana
Relasi sosial Kiai-santri dibangun atas landasan kepercayaan. Ketaatan santri pada Kiai
disebabkan mengharapkan barokah (grace), sebagaimana dipahami dari konsep sufi.
Kepemimpinan kyai secara demokratis merupakan gaya kepemimpinan yang didasari
prinsip saling menghormati dan saling menghargai antar manusia. Maksudnya dalam
pemilihan pemimpin pendapat yang dikemukakan setiap orang patut dihargai dan dihormati.
Maka dari itu tiap orang berhak ikut serta dalam pemilihan pemimpin dengan mengemukakan
pendapat masing-masing yang kemudian dimusyawarahkan. Dalam pemilihan pemimpin
tentunya harus sesuai dengan kriteria yang disepakati. Seorang pemimpin dalam sebuah
lembaga harus dapat bertanggung jawab atas lembaga yang dipimpinnya serta dapat
7
memberikan motivasi kepada para anggota agar tugas yang dikerakan masing-masing
anggota menjadi terarah seseuai tujuan yang dicapai. (Ainun jariah: 2019, 129)
Kepemimpinan kyai dengan gaya demokrasi dalam pembagian tugas kepada para anggota
harus sesuai dengan kemapuan para anggota. Kepemimpinan demokrasi dalam pengambilan
keputusan berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat bersama. Setiap anggota bebas
berperdapat tanpa adanya paksaan. Keberhasilan kepemimpina juga ditentukan oleh faktor-
faktor yaitu anggota yang dipimpin, lingkungan kerja, kebudayaan, karakteristik anggota
serta waktu. Kepemimpinan dikatakan berhasil apabila memenuhi kebutuhan lingkungan
masyarakat yang dibutuhkan serta dapat menerapkan gaya kepemimpinannya dengan baik
sesuai dengan sitasi. Sosok pemimpin demokarasi harus dapat memahami karakteristik
kepribadian tiap anggota yang berbeda-beda. Hal ini membantu pemimpin dalam
memberikan tugas dan arahan pada para anggotanya. Pemimpin demokratis merupakan
pemimpin yang mengikutseterakan anggota dalam mengambil keputusan untuk dalam
mencapai tujuan lembaga.
2.3 Pola Kepemimpinan di Salah Satu Pondok Pesantren Dalam Prespektif Milenial
Kepemimpinan pondok pesantren memiliki model masing-masing, didalam
kepemimpinan pondok pesantren prespektif melenial ini menggunakan sistem kepemimpinan
tradisional penghormatan terhadap seseorang yang memiliki kelebihan ilmu agama yang
tinggi. Yang dimana seorang santri menghormati kyai tanpa paksaan dari sisi manapun.
sikap tawadhu’ santri terhadap kyai merupakan suatu wujud penghormatan terhadap kyai
untuk mendapatkan barokah dikehidupannya.
Menurut (Ibrahim: 2014, 255) bahwa figur kyai sebagai pemipin di Pondok pesantren
salaf berperan sebagai penentu dan penjaga eksistensi pesantren, yang merupakan sosok
kharismatik yang menjadi panutan santri, pengurus dan masyarakat. Setiap perkataan kyai
merupakan hal yang sakral dan dipatuhi oleh setiap santri atau masyarakat umum.
Kharismatik kyai dalam prespektif milenial masih sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Pola kepemimpinan kyai masih dijadikan rujukan di era milenial. Kyai di era milenial
semakin sadar akan pentingnya mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan umum dan
teknologi. Yang mana dicontohkan dalam Pada Pondok Pesantren Assalam Jambewangi
Selopuro Blitar Kyai memiliki keilmuan yang seimbang dari segi ilmu pengetahuan umum
dan agama.
8
Kepemimpinan di Pondok Pesantren Assalam Jambewangi berdasarkan sistem
kepemimpinannya turun temurun. Gaya kepemimpinan secara turun temurun dimaksudkan
bahwa kepemimpinan dipegang oleh anggota keluarga Kyai berdasarkan keturunan. Di
Pondok Pesantren ini dipilih langsung oleh Kyai sebagai penerus pengembangan Pondok
Pesantren dan kepemimpinannya. Generasi penerus kepemimpinan disini yakni putra/putri
dari Kyai. Sistem kepemimpinan yang dilakukan secara turun temurun dilakukan karena
keturunan dianggap sebagai orang yang sangat faham perjuangan Kyai. Keturunan dianggap
sebagai orang yang menguasai seluk beluk, proses serta tujuan didirikannya Pondok
Pesantren. Dipilihnya keturunan diharapkan dapat mengembangkan cita-cita, visi, serta misi
Kyai dalam mengembangkan Pondok Pesantren. Sistem kaderisasi sudah dilakukan Kyai
sejak putra-putrinya masih kecil.
Keunikan yang terjadi dalam proses kaderisasi kepemimpinan di Pondok Pesantren
Assalam Jambewangi yakni generasi penerus yang merupakan putra-putri Kyai harus
memiliki keseimbangan dalam mendalami ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum. Kyai
menyadari bahwa semakin berkembang zaman maka keilmuan yang didapatkan harus
seimbang. Hal tersebut dilakukan guna mampu berkonsistensi di berbagai zaman. Khususnya
dalam mengahadapi era globalisasi dan era milenial. Keilmuan yang seimbang tersebut dapat
menjadikan Pondok Pesantren tetap mampu menjawab berbagai tantangan dan perkembangan
zaman. Disini kepemimpinan Kyai di Pondok Pesantren Assalam Jambewangi telah memiliki
sikap visioner dalam proses pengembangnya. Menurut Asifudin bahwa manajer ideal dalam
pengembangan Pondok Pesantren yakni Kyai yang visioner.
Pola kepemimpinan di Pondok Pesantren Assalam juga sangat mendukung
perkembangan generasi milenial. Menurut Indrawati bahwa kepemimpinan harus
menginspirasi dari segi keterampilan, pengetahuan, kerendahan hati dan mampu
mengembangkan motivasi anggotanya. Kyai mendukung penuh seluruh santri untuk
menempuh pendidikan formal. Seluruh santri di Pondok Pesantren tersebut menempuh
pendidikan formal mulai dari tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) sederajat hingga di
Perguruan Tinggi. Dukungan tersebut merupakan bentuk tindakan pemimpin dalam
mengadapi Globalisasi dan memfasilitasi santri sebagai generasi milenial untuk memperoleh
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang. Kyai berharap supaya para santri
memiliki kehidupan yang lebih baik dan sukses.
Kepemimpinan Kyai di Era Milenial pada Pondok Pesantren Assalam Jambewangi
sangat menjunjung tinggi nilai keikhlasan. Kyai memiliki prinsip bahwa setiap pendapatan
lembaga dikembalikan lagi untuk kesejahteraan umat. Difungsikan untuk mengembangkan
9
segala hal yang berhubungan dengan umat. Digunakan untuk mengembangkan sarana dan
prasarana pondok pesantren. Kyai tidak menerima imbalan apapun dalam mengembangkan
Pondok Pesantren. Keikhlasan Kyai bukan didorong untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
Kyai dan para ustadz ustadzah ikhlas dalam mendidik dan membimbing para santri. Pola
keikhlasan dalam kepemimpinan Kyai menjadikan para satri sebagai generasi milenial sangat
segan dan bangga dalam memperdalam ilmu-ilmu di Pondok Pesantren tersebut. Jiwa
keikhlasan Kyai dan para ustadz serta ustadzah menjadikan panutan santri untuk selalu
belajar memperkuat keikhlasan dalam diri mereka.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
kepemimpinan adalah setiap upaya seseorang, atau perilaku kelompok yang bertindak
dalam suatu manajemen. Upaya mempengaruhi ini bertujuan untuk mencapai tujuan
perorangan, baik tujuan sendiri maupun tujuan orang lain. Tujuan individual tersebut
mungkin sama, atau mungkin pula berbeda dengan tujuan organisasi. Dalam pondok
pesantren kiai adalah sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya
mengandung fenomena yang unik. Dikatakan unik, karena kyai sebagai seorang pemimpin di
lembaga pendidikan Islam bertugas tidak hanya menyusun program atau kurikulum,
membuat peraturan, merancang sistem evaluasi.
Keahlian seseorang untuk merencanakan, mengorganisasikan dan menggerakkan atau
memobilisasi kekuatan yang ada tidak pernah dijadikan alternatif pertama dalam memimpin
pesantren. Sebaliknya, pertimbangan yang di kedepankan adalah kesalihan. Berikut Jenis
kepemimpinan Kiai di pesantren secara umum terdapat beberapa macam, di antaranya adalah
Kepemimpinan individual, kepemimpinan kolektif, dan kepemimpinan demokratis.
Kepemimpinan Kyai di Era Milenial sangat menjunjung tinggi nilai keikhlasan. Kyai
memiliki prinsip bahwa setiap pendapatan lembaga dikembalikan lagi untuk kesejahteraan
10
umat. Difungsikan untuk mengembangkan segala hal yang berhubungan dengan umat.
Digunakan untuk mengembangkan sarana dan prasarana pondok pesantren. Kyai tidak
menerima imbalan apapun dalam mengembangkan Pondok Pesantren. Keikhlasan Kyai bukan
didorong untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Kyai dan para ustadz ustadzah ikhlas
dalam mendidik dan membimbing para santri.
3.2 Saran
Demikian makalah ini kami susun, semoga dapat memberi manfaat bagi kita semua.
Dan kami berharap kritik dan saran yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik
lagi, dan Penulis makalah ini tentunya menyadari masih banyak kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah ini dengan pedoman pada banyak sumber
Dan semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan kita mengenai teori motivasi dalam
pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Hadari, Amin dan M. Ishom El Saha. 2004. Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren
dan Madrasah Diniyah. Jakarta: Diva Pustaka.
11
12