Anda di halaman 1dari 12

FILSAFAT PENDIDIKAN MADRASAH

A. PENDAHULUAN

B. PENDIDIKAN MADRASAH DARI SUDUT PANDANG ONTOLOGI

1. Arti kata Pendidikan


Asal kata pendidikan berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia kata
pendidikan berasal dari kata didik/di·dik, mendidik/men·di·dik memelihara dan
memberi latihan (ajaran, tuntunan, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan
pikiran, didikan/di·dik·an/ hasil mendidik: pada umumnya anak-anak ~ Taman Siswa
pada zaman Belanda tebal rasa kebangsaannya; pendidik/pen·di·dik/ n orang yang
mendidik; jadi pendidikan/pen·di·dik·an/ n proses pengubahan sikap dan tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik1
Dalam tata bahsa arab arti pendidikan kata yaitu berasal dari kata Tarbiyah,
dengan kata kerja Rabba yang memiliki makna mendidik atau mengasuh. Jadi
Pendidikan dalam Islam adalah Bimbingan oleh pendidik terhadap perkembangan
jasmani, rohani dan akal anak didik sehingga bisa terbentuk pribadi muslim yang
baik.
Dalam al-Qur’an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan
pendidikan sangat penting, jika al-Qur’an dikaji lebih mendalam maka kita akan
menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan
inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu.
Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan
pendidikan antara lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia,
penggunaan cerita (kisah) untuk tujuan pendidikan dan memelihara keperluan sosial
masyarakat .
Istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur’an dengan istilah ‘at-
Tarbiyah’, ‘at-Ta’lim’, dan ‘at-Tadhib’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan
ungkapan kata ‘rabbi’, kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba ,
yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah.
1
https://kbbi.web.id/madrasah dikutp 17/01/2020/ 10:33 wib.
Dalam al-Qur’an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada
dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam
hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna
yang berbeda-beda.
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kat-kata diatas.
Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir bahwa pendidikan merupakan arti dari kata
‘Tarbiyah’ kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah,
tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang
berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.
Konferensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977 ternyata tidak berhasil
menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati, hal ini dikarenakan; 1)
banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, 2) luasnya
aspek yang dikaji oleh pendidikan.

Para ahli memberikan definisi at-Tarbiyah, bila diidentikan dengan ‘arrab’


sebagai berikut;
1) Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tua, Maha
memperbaiki, Yang Maha pengatur, Yang Maha mengubah, dan Yang Maha
menunaikan
2) Menurut louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki,
perawatan, tambah dan mengumpulkan .

3) Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-
Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah (pertumbuhan dan perkembangan) .

4) Al-Jauhari memberi arti at-Tarbiyah, rabban dan rabba dengan memberi


makan, memelihara dan mengasuh.2

Sedangkan Kata pendidikan itu sendiri berasal dari bahasa Latin yaitu ducare,
berarti “menuntun, mengarahkan, atau memimpin” dan awalan e, berarti “keluar”.
Jadi, pendidikan berarti kegiatan “menuntun ke luar”. Setiap pengalaman yang
memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa, atau tindakan dapat

2
https://pintania.wordpress.com/konsep-pendidikan-dalam-al-qur%E2%80%99an-dan-
pengembangannya/diutip 17/01/2020/10:26
dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap seperti prasekolah,
sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, dan kemudian
perguruan tinggi, universitas atau magang3
Dalam Bahasa Yunani: Pendidikan berasal dari kata Pedagogi, yaitu dari kata
“paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Itulah sebabnya istilah
pedagogi dapat diartikan sebagai “ilmu dan seni mengajar anak (the art and science of
teaching children). Menurut Aristoteles Education is a function of the State, and is
conducted, primarily at least, for the ends of the State. State – highest social
institution which secures the highest goal or happiness of man. Education is
preparation for some worthy activity. Education should be guided by legislation to
make it correspond with the results of psychological analysis, and follow the gradual
development of the bodily and mental faculties.
Artinya : Pendidikan adalah salah satu fungsi dari suatu negara, dan dilakukan,
terutama setidaknya, untuk tujuan Negara itu sendiri. Negara adalah institusi sosial
tertinggi yang mengamankan tujuan tertinggi atau kebahagiaan manusia. Pendidikan
adalah persiapan/bekal untuk beberapa aktivitas/pekerjaan yang layak. Pendidikan
semestinya dipandu oleh undang-undang untuk membuatnya sesuai (koresponden)
dengan hasil analisis psikologis, dan mengikuti perkembangan secara bertahap, baik
secara fisik (lahiriah) maupun mental (batiniah/jiwa).

Menurut Socrates Pendidikan adalah suatu sarana yang digunakan untuk


mencari kebenaran. Sedangkan metode-nya adalah dialektika. Dan Menurut Plato
Pendidikan adalah sesuatu yang dapat membantu perkembangan individu dari
jasmani dan akal dengan sesuatu yang dapat memungkinkan tercapainya sebuah
kesempurnaan. Dalam hal ini Menurut Plato pendidikan direncanakan dan di-
program menjadi tiga tahap dengan tingkat usia, tahap pertama adalah pendidikan
yang diberikan kepada murid hingga sampai dua puluh tahun; dan tahap kedua, dari
usia dua puluh tahun sampai tiga puluh tahun; sedangkan tahap ketiga, dari tiga

puluh tahun sampai usia empat puluh tahun.

Sedangkan dalam UU SISDIKNAS No. 2 tahun 1989: Pendidikan adalah


usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Dan di UU SISDIKNAS no.
20 tahun 2003: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
3
https://id.wikipedia.org/wiki/Pendidikan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat.
Dalam hal ini John Dewey mengemukakan bahwa pendidikan adalah suatu
proses pembaharuan makna pengalaman, hal ini mungkin akan terjadi di dalam
pergaulan biasa atau pergaulan orang dewasa dengan orang muda, mungkin pula
terjadi secara sengaja dan dilembagakan untuk untuk menghasilkan kesinambungan
social. Proses ini melibatkan pengawasan dan perkembangan dari orang yang belum
dewasa dan kelompok dimana dia hidup. Sedangkan Menurut Imam Al-Ghazali
Pendidikan merupakan proses me-manusia-kan manusia sejak masa kejadiannya
sampai akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang disampaikan dalam
bentuk pengajaran secara bertahap, dimana proses pengajaran itu menjadi tanggung
jawab orang tua dan masyarakat menuju pendekatan diri kepada Allah sehingga
menjadi manusia sempurna.4
2.Arti kata Madrasah
Arti kata madrasah dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu
madrasah/mad·ra·sah/ n sekolah atau perguruan (biasanya yang berdasarkan agama
Islam).sedangkan Madrasah merupakan sebuah kata dalam bahasa Arab yang artinya
sekolah. Asal katanya yaitu darasa (baca: darosa) yang artinya belajar. Di Indonesia,
madrasah dikhususkan sebagai sekolah (umum) yang kurikulumnya terdapat
pelajaran-pelajaran tentang keislaman. Madrasah pertama sepanjang sejarah Islam
adalah rumah Abu Abdillah al-Arqam bin Abi al-Arqam, tempat ilmu pengetahuan
dan amal saleh diajarkan secara terpadu oleh sang guru pertama, Muhammad
Rasulallah. Ia sendiri yang mengajar dan mengawasi proses pendidikan disana, para
As-Sabiqun al-Awwalun merupakan murid-muridnya5 dalam sistem pendidikan
nasional yang diatur dalam UU No.20 tahun 2003 pasal 17 ayat 2 bahwa istilah kata
madrasah memiliki derajat yang sama dengan sekolah bahwa Pendidikan dasar
berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang
sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs),
atau bentuk lain yang sederajat dan pasal 18 ayat 3 menyebutkan bahwa Pendidikan
menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA),

4
https://www.gurupendidikan.co.id/pengertian-pendidikan/dikutip 17/01/2020/10.18
5
https://id.wikipedia.org/wiki/Madrasah/dikutip 17/01/2020/10.38 wib
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau
bentuk lain yangsederajat.6

C. PENDIDIKAN MADRASAH DARI ASPEK EPISTIMOLOGI

Pendidikan menurut Hasan Basri merupakan proses pembinaan manusia


secara jasmaniah dan rohaniah. Adapun hakikat pendidikan agama Islam dapat
diartikan secara praktis sebagai pengajaran al-Qur’an dan Hadits. Secara spesifik
M.Arifin menambahkan bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap
pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengajarkan,
mengarahkan, melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.

Adapun objek formal pendidikan agama Islam sebagaimana pendidikan


lainnya, yakni manusia, atau lebih spesifiknya muslim. Adapun objek materialnya
meliputi semua persoalan pengalaman keagamaan manusia. Dalam hal ini, materi PAI
meliputi: Qur’an Hadits, Fiqih, Akidah Akhlak, dan SKI.

Menurut Hasan Basri, epistemologi pendidikan Islam merupakan seluk-beluk


dari sumber-sumber pendidikan Islam sebagaimana telah ditegaskan bahwa al-Qur’an
adalah segala sumber hukum dalam ajaran Islam. Pendidikan Islam merujuk pada
nilai-nilai al-Qur’an yang universal dan abadi. Al-qur’an selain sebagai sumber
hukum, juga digunakan sebagai penentu validitas suatu kebenaran. Di samping al-
Qur’an, pendidikan Islam juga menggunakan sumber kebenaran lainnya yaitu as-
Sunnah, atsar dan ijma’ sahabat, dan ijtihad ulama.

Membicarakan epistemology, tidak bisa terlepas dari metode. Metode


pendidikan Islam dalam hal ini membahas hakikat cara-cara kerja dalam menyusun
ilmu pendidikan Islam. Di antara metode yang digunakan dalam menyusun ilmu
pendidikan Islam, dengan merujuk pada sumber utama (al-Qur’an) di antaranya
dengan metodologi hermeneutik. Hermeneutik adalah kiat untuk memahami teks-teks
keagamaan dalam pencarian melalui pencarian makna dari susunan kalimat, konteks
budaya, tafsir transendensi dan yang lainnya. Menurut Noeng Muhadjir, konsep
teoritiknya berangkat dari linguistik, narasi bahasa, historis, hukum, etika dan lain-
lain.

6
UU SISDIKNAS NO.20 TAHUN 2003
Al-Quran yang sarat dengan nilai-nilai pendidikan Islam perlu untuk
diinterpretasikan dalam pencarian kebenaran kontekstual. Dalam hermeneutik,
Arkoun membagi model-model teks menjadi dua, yaitu teks pembentuk (naskah al-
Qur’an), dan teks penjelas/hermeneutik (literatur-literatur yang memberikan
interpretasi dan penjelasan terhadap teks pembentuk yang dimunculkan oleh para
pemikir Islam sejak empat abad pertama hijriah hingga sekarang termasuk juga hadits
Nabi SAW).

Pendidikan Agama Islam menurut epistemologi barat

Menurut Stanley M. Honer dan Thomas C. Hunt, ada tiga metode dalam
mencari pengetahuan, yaitu rasionalisme, empirisme dan metode keilmuan.
1) Rasionalisme
Kaum rasionalisme mulai dengan suatu pernyataan yang sudah pasti. Aksioma
dasar yang dipakai membangun system pemikirannya diturunkan dari idea yang
menurut anggapannya adalah jelas, tegas, dan pasti dalam pikiran manusia.

Descartes, salah satu penganut paham rasionalisme menganggap bahwa


pengetahuan memang dihasilkan oleh indera, tetapi karena dia mengakui bahwa
indera itu bisa menyesatkan (seperti mimpi atau khayalan), sehingga ia membuat
kesimpulan bahwa data keinderaan tidak bisa diandalkan.

Descartes juga mengenalkan pendekatan skeptisisme (kesangsian) dalam


mencari pengetahuan. Sikap keraguan terhadap sesuatu dapat memotivasi timbulnya
koreksi serta berkesinambungan terhadap persoalan-persoalan yang belum jelas
kebenarannya. Selain itu sikap keraguan juga mendorong seseorang untuk keluar dari
keraguan sampai pada titik kemantapan (kebenaran).

2) Empirisme
Kaum empirisme berpendapat bahwa pengetahuan manusia dapat diperoleh
lewat pengalaman. Pengalaman inderawi disamping dapat memainkan perannya
sebagai metode yang disebut metode empiris, juga memainkan perannya sebagai
penentu validitas pengetahuan. Menurut empirisme, peran akal hanya
mengkombinasikan pengalaman sehingga terbentuk pengetahuan.
Metode untuk mendapatkan pengalaman yang inheren adalah dengan penalaran
induksi, yaitu proses penalaran yang bertolak dari kasus-kasus khusus untuk ditarik
kesimpulan yang bersifat umum. Hasil pengetahuan yang diperoleh melalui induksi
ini adalah ilmu aposteriori, yakni pengetahuan hasil pengamatan.

3) Metode keilmuan
Metode ini merupakan jalan tengah dari kedua aliran di atas dalam mencari
pengetahuan dan menguji kebenarannya. Metode ini dikembangkan kaum positivis,
yang menghasilkan metode ilmiah dengan norma metodologis sebagai berikut:

 Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian, pengamatan


sistematis yang terjamin secara intersubjektif
 Kepastian metode sama pentingnya dengan rasa kepastian.
 Ketepatan pengetahuan dijamin oleh bangunan teori secara formal kokoh
mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hokum
 Pengetahuan harus dapat dipergunakan secara teknis
 Pengetahuan pada prinsipnya tidak pernah selesai dan bersifat relatif.

M.Solly Lubis, menyatakan bahwa dasar pengetahuan ada beberapa macam, yaitu
wahyu, intuisi, dan penalaran (cirinya adalah logis dan analisis). Menurutnya, wahyu
dan intuisi termasuk dasar pengetahuan yang non analitis. Melalui wahyu yang
disampaikan Tuhan kepada para utusan-Nya dengan perantaraan malaikat dan
diteruskan kepada umat manusia, sehingga mereka memperoleh pengetahuan melalui
keyakinan dan kepercayaan bahwa apa yang diwahyukan itu adalah suatu kebenaran.
Demikian juga intuisi menjadi dasar pengetahuan, meskipun tidak mempunyai logika
dan pola pikir tertentu.

Dalam hal ini, M.Solly Lubis kembali menjelaskan bahwa seseorang harus bisa
membedakan antara kebenaran ilmu atau filsafat dengan kebenaran agama. Berbeda
dengan ilmu, agama juga mempermasalahkan objek-objek diluar pengalaman
manusia, baik sebelum manusia berada di bumi maupun sesudah kematiannya.
Perbedaan lingkup permasalahannya juga menyebabkan berbedanya metode dalam
memecahkan masalah. Hal ini harus diketahui dengan benar agar mampu
menempatkan keduanya dalam perspektif yang sungguh-sungguh. Dengan menguasai
hakikat ilmu dan dengan secara baik, maka kedua pengetahuan tersebut justru akan
bersifat saling melengkapi (komplementaristis).

Jadi, pendidikan agama Islam selain mendasarkan pengetahuannya pada akal


(rasionalisme) dan indera (empirisme), juga menggunakan hati (intuisi) dan wahyu
sebagai sumber non-analitis. Sebagaimana yang disebutkan Hasan Basri, bahwa
system pendidikan agama Islam merupakan integralitas antara unsure-unsur berikut:

 Integralitas unsure ilahiyah, alamiah, dan insaniyah


 Integralitas antara hati, akal, dan pancaindera sebagai alat pendeteksi
kebenaran.
 Integralitas antara ilmu pengetahuan, hidayah dan sumber ilmu pengetahuan.

Muhammad Abid al-Jabiri membagi epistemologi ilmu keislaman menjadi tiga, yaitu:
1) Epistemologi bayani
Yakni, menyingkap makna dari suatu pembicaraan serta menjelaskan secara terinci
hal-hal yang tersembunyi dari pembicaraan tersebut kepada taklif (orang yang
terbebani hukum). Epistemologi ini menjadikan teks sebagai rujukan pokok dalam
membangun konsepsi tentang alam semesta untuk memperkuat akidah Islam.

Dalam memahami teks ini, segala potensi akal dikerahkan untuk mendapatkan
pengetahuan maupun kebenaran, yang kemudian dikenal dengan istilah ijtihad.
Adapun dalam mengimplementasikannya melalui metode qiyas (analogi) dan
istinbat (penetapan kesimpulan)

2) Epistemologi Irfani
Yakni pengalaman atau pengetahuan langsung dengan objek pengetahuan
(ma’rifat). Epistemology ini mulai dikenal seiring berkembangnya doktrin
ma’rifat yang diyakini sebagai pengetahuan batin, terutama tentang Tuhan.

Karena sumber ilmunya berasal dari pengalaman, maka metode yang digunakan
adalah penghayatan intuitif, sedangkan teknik yang digunakan adalah riyadhoh.
Adapun validitas kebenaran hasil pengetahuannya sulit untuk diukur
menggunakan akal, karena pengalaman atau perasaan sangat subjektif. Oleh
karena itu melalui simpati, empati, memahami orang lain, perlu dikedepankan
untuk mengukur validitas kebenaran pengetahuan tersebut. Adapun akal hanya
bersifat partisipatif.

3) Epistemologi Burhani
Epistemologi ini menyatakan bahwa sumber atau asal pengetahuan adalah realitas,
baik realitas alam, social, maupun kemanusiaan dan keagamaan. Pengetahuan
burhani diperoleh melalui proses abstraksi dan pengamatan inderawi yang sahih.
Tujuannya adalah mencari sebab dan musabab. Ukuran validitas hasil pengetahuan
burhani adalah korespondensi yaitu kesesuaian antar rumus yang diciptakan
manusia dengan hokum-hukum alam, koherensi yakni keruntutan dan keteraturan
berpikir logis.

Jika Pendidikan Agama Islam diurai menjadi empat mata pelajaran, yakni Qur’an
Hadits, Akidah Akhlak, Fiqih, dan SKI, maka bisa ditentukan epistemology mana
yang mendominasi antar sub-mata pelajaran tersebut.

Qur’an Hadits lebih menekankan pada epistemology bayani, karena


pembahasannya terpusat pada penafsiran teks al-Qur’an dan Hadits. Sementara
Akidah Akhlak akan lebih didominasi pengetahuan Irfani, karena memfokuskan
pada pengalaman intuisi berupa keyakinan dan pengalaman psikologi berupa sikap.

Adapun Fiqih akan berimbang antara epistemology bayani dan burhani, karena
selain menyangkut pengkajian teks dalil yang menjadi bahasan ushul fiqih, juga
mempertimbangkan pengetahuan social yang menyangkut korespondensi dan
koherensi dengan kondisi social kemasyarakatan. Demikian pula Sejarah
Kebudayaan Islam, akan didominasi kedua epistemology tersebut, karena sejarah
Islam selain ditelisik dari teks-teks naqli (asbabun nuzul/ wurud), juga
membutuhkan kesesuaian antara pengalaman inderawi dengan teks-teks
kesejarahan (baik dalam hal kronologi dan periodisasi).7

7
https://garisbawahku.wordpress.com/2013/05/23/konstruksi-epistemologi-pendidikan-agama-islam-pai/ Posted
on Mei 23, 2013 by masharhilmi dikutip 17/01/2020/11:10 wib
khususnya di Indonesia, dewasa ini, dihadapkan pada problematika filofis
epistimologis yang tak kunjung usai. Epistimologi atau paradigma ilmu pendidikan
Islam itu adalah suatu konstruksi pengetahuan yan memungkinkan kita memahami
realitas ilmu pendidikan sebagai mana Islam memahaminya. Kontruksi
pengetahuan itu dibangun oleh nilai-nilai Islam dengan tujuan agar kita memiliki
hikmah (wisdom) yang atas dasar itu dibentuklah praktik pendidikan yang sejalan
dengan nilai-nilai normatif Islam. Pada tarap ini, paradigma Islam epistimologi
pendidikan Islam menuntut adanya disain besar tentang ontologi epistimologi dan
aksiologi pendidikan Islam.8

D. PENDIDIKAN MADRASAH DARI ASPEK AKSIOLIGI

Pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru


yang memberikan warna dan corak dari kreasi yang dihasilkan dari situasi yang tercipta
secara edukatif. Setiap pebelajar mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang
dimilikinya yang berbeda dengan makhluk-makhluk lain. Potensi tersebut bersifat kreatif dan
dinamis untuk memecahkan problema-problema yang dihadapinya.

Sekolah yang ideal adalah sekolah yang pelaksanaan pendidikannya terintegrasi


dengan lingkungannya. Sekolah adalah bagian dari masyarakat, sehingga harus diupayakan
pelestarian karakteristik lingkungan sekolah atau daerah tempat sekolah itu berada dengan
prinsip learning by doing (belajar dengan berbuat). Tegasnya, sekolah bukan hanya berfungsi
sebagai transfer of knowledge (pemindahan pengetahuan), melainkan juga sebagai transfer
of value (pendidikan nilai-nilai) sehingga anak menjadi terampil dan berintelektual. Aliran
essensialisme berpandangan bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai budaya yang
telah ada sejak awal peradaban manusia. Kebudayaan yang diwariskan kepada kita telah
teruji oleh seluruh zaman, kondisi, dan sejarah. Kesalahan kebudayaan modern sekarang
menurut aliran ini ialah cenderung menyimpang dari nilai-nilai yang diwariskan itu.
Esessialisme memandang bahwa seorang pebelajar memulai proses pendidikannya dengan
memahami dirinya sendiri, kemudian bergerak keluar untuk memahami dunia objektif. Dari
mikrokosmos menuju makrokosmos. Dengan landasan pemikiran tersebut, maka belajar
dapat didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri.

8
http://abuddin.lec.uinjkt.ac.id/bangunan-epistimologi-pendidikan-islam dikutip 17/01/2020/11:14 wib
Aliran perenialisme berpandangan bahwa pendidikan sangat dipengaruhi oleh
pandangan tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato
manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan, dan pikiran. Pendidikan
hendaknya berorientasi pada potensi itu dan kepada masyarakat, agar kebutuhan yang ada
pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan
pada dunia kenyataan. Tujuan pendidikan adalah kebahagian untuk mencapai tujuan itu,
maka aspek jasmani, emosi dan intelektual harus dikembangkan secara seimbang. Menurut
Robert Hutchkins manusia adalah animal rasionale, maka tujuan pendidikan adalah
mengembangkan akal budi agar seseorang dapat hidup penuh kebijaksanaan demi kebaikan
hidup itu sendiri.

Aliran rekonstruksionisme ingin merombak kebudayaan lama dan membangun kebudayaan


baru melalui lembaga dan proses pendidikan. Perubahan ini dapat terwujud bila melalui
usaha kerja sama semua umat manusia atau bangsa-bangsa. Masa depan umat manusia
adalah suatu dunia yang diatur dan diperintah oleh rakyat secara demokratis, bukan dunia
yang dikuasai oleh suatu golongan. Cita-cita demokrasi yang sebenarnya bukan hanya dalam
teori melainkan harus menjadi kenyataan, dan terlaksana dalam praktik. Hanya dengan
demikian dapat pula diwujudkan satu dunia yang dengan potensi-potensi teknologi mampu
meningkatkan kesehatan, kesejahteraan, kemakmuran, keamanan, dan jaminan hukum bagi
masyarakat, tanpa membedakan warna kulit, nasionalitas, kepercayaan, dan agama.
Pendidikan bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai yang dipandang penting untuk
pembinaan kepribadian seseorang. Implikasi dan nilai-nilai (aksiologi) di dalam pendidikan
harus diintegrasikan secara utuh dalam kehidupan pendidikan secara praktis dan tidak dapat
dipisahkan dengan nilai-nilai yang meliputi kecerdasan, nilai-nilai ilmiah, nilai moral, dan nilai
agama. Hal ini tersimpul di dalam tujuan pendidikan, yakin membawa kepribadian secara
sempurna. Pengertian sempurna disini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat,
bangsa sesuai situasi dan kondisi.9
Implikasi aksiologi dalam dunia pendidikan adalah menguji dan mengintegrasikan
nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam kepribadian peserta
didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah
sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam
dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama
pendidikan.

9
https://christiyoda.blogspot.com/2017/12/aksiologi-dan-penerapannya-dalam-pendidikan.html dikutip
17/01/2020 15:03
Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk
dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika,
estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi.
Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak
mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian.
Ajaran Islam merupakan perangkat sistem nilai yaitu pedoman hidup secara Islami, sesuai
dengan tuntunan Allah SWT. Aksiologi Pendidikan Islam berkaitan dengan nilai-nilai, tujuan,
dan target yang akan dicapai dalam pendidikanIslam. Sedangkan tujuan pendidikan Islam
menurut Abuddin Nata adalah untuk mewujudkan manusia yang shaleh, taat beribadah dan
gemar beramal untuk tujuan akherat. 10

10
http://zullyula.blogspot.com/2015/10/makalah-aksiologi-etika-dan-estetika.html dikutip 17/01/2020 15:07

Anda mungkin juga menyukai