Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SIYASAH DAN
JIHAD

Dosen Pengampu : Arif Marsal, Lc.,M.A


Disusun Oleh :

Aldi Fahroza 11950314484


Frendi Ardiansyah 11950311554
 

JURUSAN SISTEM INFORMASI


FAKULTAS SAINS DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga pada
kesempatan kali ini kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Siyasah dan
Jihad ”.
Dalam penyusunan makalah ini, tidak lupa kami ucapkan banyak terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi dalam proses penyelesaian tugas
makalah ini, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan
maksimal.
Dalam penyusunan makalah ini, kami sebagai penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan yang lebih luas bagi
 pembacanya. Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat
kelebihan dan kekurangannya, sehingga dengan tangan terbuka kami menerima
kritik dan saran dari pembaca agar kami dapat memperbaiki untuk penulisan
makalah selanjutnya.

Pekanbaru,april 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii


DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................ 1


1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah ..................................................................................... 2

BAB II. PEMBAHASAN...............................................................................................


2.1 Fiqih Siyasah ..........................................................................................................
2.2 Fiqih Jihad ............................................................................................................

BAB III. PENUTUP ..........................................................................................................


3.1 Kesimpulan ...........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Fiqih Siyasah adalah bukan kajian yang baru di antara ilmu pengetahuan yang
lainnya, keberadaan Fiqih Siyasah sejalan dengan perjalan agama Islam itu sendiri.
Karena Fiqih Siyasah ada dan berkembang sejak Islam menjadi pusat kekuasaan dunia.
Perjalanan hijrahnya Rasullulah ke Madinah, penyusunan Piagam Madinah,
 pembentukan pembendaharaan Negara, pembuatan perjanjian perdamaian, penetapan
Imama, taktik pertahanan Negara dari serangna musuh yang lainnya. Pembuatan
kebijakan bagi kemaslahatan masyrakat, umat, dan bangsa, dan kemudian pada masa itu
semua dipandang sebagai upaya-upayah siyasah dalam mewujudkan Islam sebagai
ajaran yang adil, memberi makna bagi kehidupan dan menjadi rahmat bagi seluruh
alam.
Kehadiran agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad Saw diyakini dapat
menjamin terwujudnya kehidupan manusia yang sejahtera lahir dan batin, Petunjuk-
 petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam
sumber ajaranya, alqur’an dan hadist tampak ideal dan agung, Di dalam Al- qur’an dan
Hadist Allah memerintahkan berjihad untuk menegakkan syariat islam sebagaimana
yang telah di lakukan oleh Nabi Muhammad SAW.
 Namun Allah juga memerintahkan untuk saling mengasihi dan menghormati
antar umat beragama, jihad dilaksanakan untuk menjalankan misi utama manusia yaitu
menegakkan agama Allah atau menjaga agama tetap tegak, dengan cara-cara yang
sesuai dengan garis perjuangan para Rasul dan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan
Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan dan kembali kepada
aturan Allah, mensucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada ummat dan mendidik
manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di
 bumi.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian fiqih siyasah?


2. Bagaimana metode mempelajari fiqih siyasah?
3. Bagaimana pembidangan fiqih siyasah?
4. Apa pengertian fiqih jihad?
5. Bagaimana bentuk-bentuk dalam jihad?
6. Bagaimana hukum jihad?
7. Apa syarat wajib jihad?
8. Bagaimana pembagian jihad?
9. Bagaimana adab dalam berjihad?
1.3 Tujuan

Tujuan dari permasalahan ini sesuai dengan rumusan masalah yang disampaikan.
Hal tersebut memudahkan untuk penulis membahas hal-hal yang sesuai dengan
rumusan masalah. Berikut tujuan dari permasalahan makalah ini yaitu:
1. Menjelaskan tentang pengertian fiqih siyasah.
2. Menjelaskan metode mempelajari fiqh siyasah.
3. Menjelaskan pembidangan fiqih siyasah.
4. Menjelaskan tentang pengertian fiqih jihad.
5. Menjelaskan bentuk-bentuk dalam jihad.
6. Menjelaskan tentang hukum jihad.
7. Menjelaskan syarat wajib jihad.
8. Menjelaskan tentang pembagian jihad.
9. Menjelaskan adab dalam berjihad.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Fiqih Siyasah

2.1.1 Pengertian Fiqih Siyasah

Pengertian Fiqh Siyasah, Secara harfiyah (leksikal), fiqh mengandung arti tahu,
 paham, dan mengerti. Arti ini dipakai secara khusus dalam bidang hukum agama
atau yurisprudensi Islam (menurut Ibnu al-Mandzur dalam Lisan al-Arab. Menurut
istilah, fiqh (fikih) adalah ilmu atau pengetahuan tentang hukum-hukum syaria't,
yang bersifat amaliah (praktis), yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Dari akar kata -   yang artinya mengatur, mengendalikan, mengurus


atau membuat keputusan.

Di dalam Kamus al-Munjid dan Lisan al-Arab, kata siyasah kemudian diartikan
 pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan
atau perekayasaan. Untuk selanjutnya al-siyasah kadang-kadang diartikan,
memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan.

Menurut Ahmad Fathi  Pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan


ketentuan syara (Ahmad Fathi Bahantsi dalam al-siyasah al-jinaiyyah fi al-syari'at
al- Islamiyah)

Menurut Ibnu\'Aqil, dikutip dari pendapat Ibnu al-Qoyyim, bahwa fiqh siyasah
adalah Perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemalahatan
(kesejahteraan) dan lebih jauh menghindari mafsadah (keburukan/ kemerosotan),
meskipun Rasul tidak menetapkannya dan wahyu tidak membimbingnya.

Menurut Ibnu 'Abidin yang dikutip oleh Ahmad Fathi adalah kesejahteraan
manusia dengan cara menunjukkan jalan yang benar (selamat) baik di dalam
urusan dunia maupun akhirat. Dasar-dasar siyasah berasal dari Muhammad saw,
baik tampil secara khusus maupun secara umum, datang secara lahir maupun batin.
Ummah diaktualisasikan melalui kesamaan ideologis yang disandarkan pada
ke Esaan Allah yang terarah pada pencapaian kebahagiaan dunia akhirat.
Kata-kata ummah yang bertumpu pada ajaran Al-Qur'an. Kata um berarti ibu
sedangkan imam artinya pemimpin. Ibu dan pemimpin merupakan dua sosok
yang menjadi tumpuan bagi seseorang atau masyarakat. Menurut Ali
Syari'ati ummah memiliki tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan
kesadaran. Makna selanjutnya adalah sekelompok orang yang berjuang
menuju suatu tujuan yang jelas. Jika dikontekstualisasikan dengan makna
ummah dalam terminologi makiyyah dan madaniyyah mempunyai arti
sekelompok agama tawhid, orang-orang kafir dan manusia seluruhnya.
Quraisy Shihab mengartikan ummah, sekelompok manusia yang mempunyai
gerak dinamis, maju dengan gaya dan cara tertentu yang mempunyai jalan
tertentu serta membutuhkan waktu untuk mencapainya. Dalam jangkauannya
makna ummah juga berbeda dengan nasionalisme. Nasionalisme sering
diartikan ikatan yang berdasar atas persamaan tanah air, wilayah, ras-suku,
daerah dan hal-hal lain yang sempit yang kemudian menumbuhkan sikap
tribalisme (persamaan suku - bangsa) dan primodialisme (paling
diutamakan).
d. Syuro dan Demokarasi. Kata syuro akar kata dari syawara- musyawaratan,
artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Kemudian dalam istilah di
Indonesia disebut musyawarah. Artinya segala sesuatu yang
diambil/dikeluarkan dari yang lain (dalam forum berunding) untuk
memperoleh kebaikan. Dalam Al-Qur'an kata syura ditampilkan dalam
 beberapa ayat. Dalam QS [2] al-Baqarah: 233 berarti kesepakatan. Dalam
Ali Imran [3]:159 Nabi disuruh untuk bermusyawarah dengan para
sahabatnya, berkenaan peristiwa Uhud. Adapun QS al-Syura [42]:38 umat
Islam ditandaskan agar mementingkan musyawarah dalam berbagai
 persoalan. Format musyawarah dan obyeknya yang bersifat teknis,
diserahkan kepada ummat Islam untuk merekayasa hal tersebut berdasarkan
kepentingan dan kebutuhan. Menurut Quraisy Shihab, orang yang diajak
musyawarah, sesuai hadits Nabi disaat memberi nasihat kepada Ali : Hai Ali,
 jangan musyawarah dengan penakut, ia kan mempersulit jalan keluar. Jangan
dengan orang bakhil, karena dapat menghambat tujuanmu. Jangan dengan
orang yang ambisi, karena akan menutupi keburukan. Wahai Ali,
sesungguhnya takut, bakhil dan ambisi adalah bawaan yang sama, itu semua
 bersumber kepada buruk sangka kepada Allah.
Etika bermusyawarah bila berpedoman kepada QS Ali-Imran [3]: 159 kira-
kira dapat disimpulankan a). Bersikap lemah lembut b). Mudah memberi
maaf, jika terjadi perbedaan argumentasi yang sama-sama kuat dan c).
Tawakkal kepada Allah. Hasil akhir dari musywarah kemudian diaplikasikan
dalam bentuk tindakan, yang dilakukan secara optimal, sedangkan hasilnya
diserahkan kepada kekuasaan Allah swt.
Demokrasi, berasal dari bahasa Yunani demos artinya rakyat, kratein berarti
 pemerintahan. Kemudian dimaknai kekuasaan tertinggi dipegang oleh
rakyat. Abraham Lincoln selanjutnya mengartikan demokrasi adalah bentuk
kekuasaan yang berasal dar rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Ciri ini
mensyaratkan adanya partisipasi rakyat untuk memutuskan masalah serta
mengontrol pemerintah yang berkuasa. Menurut Sadek J. Sulaiman
demokrasi memiliki prinsip kesamaan antara seluruh manusia, tidak ada
diskriminasi berdasarkan ras- suku, gender, agama ataupun status sosial.
Sadek kemudian memerinci norma-norma demokrasi sebagai berikut:

 Kebebasan berbicara atau mengemukakan pendapat.

 Pelaksanaan pemilu.

2. Siyasah Dawliyyah.
Siyasah dawliyah adalah bagin dari fiqih siyasah yang membahas tentang
hubungan satu negara dengan negar lain. Perjanjian antar negara dan adat
kebiasaan menjadi dua sumber yang terpenting dalam hubungan damai antar
negara tersebut. Dalam kajian selanjutnya, hal ini dikenal dengan hubungan
internasional. Pada mulanya hubungan ini terjadi akibat perang, karena setiap
negara wajib mempertahankan eksistensinya dari serangan musuh. Di Cina
dikenal dengan The great wall (tembok besar). Menurut Ameer Ali, terdapat
 perjanjian antara Fir’aun raja Mesir dengan raja Kheta di Asia kecil, tentang
 pemberhentian peperangan dan ekstradisi. Kekuasaan Ramawi menampilkan
sikap bahwa keturunan mereka lebih unggul. Dalam bidang hukum lahir istilah
ius civil dan ius gentium (rakyat dan bangsawan). Dalam dunia Islam dikenal
orang yang dianggap ahli dibidang hukum internasional, yaitu Muhammad ibn
Hasan Al-Syaibaini (132 H atau 189 H) murid Abu Hanifah dan guru Al-Syafi'i
menyusun buku Al-siyar Al-Kabir, diantara isinya : a). Status orang asing dan
 perlakuannya b). Para duta besar c). Negara dibagi menjadi damai, netral dan
negera yang menyerang. d). Wajib mentaati perjanjian e). Etika dalam perang f).
Hal-hal yang berkaitan dengan hukum perdata internasional.
Dasar-dasar siyasah dawliyah adalah :
a. Kesatuan umat manusia, sesuai aspirasi QS Al-Baqarah : 213, An-Nisa: 1, Al-
Hujurat : 13 dll.
 b. Al-'Adalah (keadilan) , keadilan dapat diwujudkan jika didasari oleh
 pemahaman manusia tentang perlunya hidup berdampingan antar manusia
maupun antar berbagai negara QS Al-Maidah: 8.
c. Kekuasaan dipegang oleh mayoritas dengan tidak mengenyampingkan
minoritas.
d. Parpol memainkan peranan penting dalam negara, rakyat bebas menyalurkan
aspirasi politiknya.
e. Memisahkan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif yang berdiri
sejarar, sehingga cheks and balance dapat diwujudkan.
f. Setiap individu menjunjung tinggi supremasi ( tunduk dan taat dibawah)
hukum, tanpa memandang status sosial/kedudukan.
g. Individu atau kelompok bebas melakukan melakukan perbuatan, bebas
mempuinyai hak milik, tidak boleh diganggu pihak lain.
h. Kehormatan manusia (karomah insaniyyah), dipahami sebagai bentuk
 penghormatan kepada setiap manusia dengan tidak membeda-bedakan yang
lain QS al-Isra : 70 dan Al-Hujarat : 11.
i. Toleransi (Tasamuh), sikap bijaksana, pemaaf dan menghindari sikap
dendam QS Fushshilat : 34 dan al-Nahl : 126-127.
 j. Kerjasama, hal ini diperlukan karena manusia memilki sifat ketergantungan
kepada orang lain (negara lain).
k. Al-Hurriyah (kemerdekaan), kemerdekaan yang diawali oleh individu yang
selalu dibimbing keimanan. Bukan bebas mutlak, akan tetapi bertanggung
 jawab terhadap Allah, untuk keselamatan manusia di muka bumi. Islam
memberi ruang yang cukup luas untuk bebas berfikir, beragama,
menyampaikan pendapat, menuntut ilmu serta mempunyai harta/benda.
l. Al-Akhlaq Al-Karimah (moralitas yang baik); hubungan baik antar manusia,
antar ummat, antar bangsa bahkan bersikap baik terhadap semua makhluk
Allah seperti flora dan fauna.
Pembagian Dunia menurut Prof. Atjep Jazuli dibagi dua macam:
a. Al-'Alam Islami (dunia Islam) dibagi dua macam a). Dawlah Islmiyah/
Islamic States dan b). Daldah Islamiyah (negeri muslim/negara-negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam / Muslim Countries).
 b. Al-‘alam al-ahdi; negara-negara yang mengikat perdamaian dengan negara
Islam. Dalam konsep Islam perang dianjurkan karena terpaksa, yang paling
diutamakan adalah siyasah dawliyah yaitu penerapan fungsi-fungi
kebersamaan dalam hidup bertetangga dalam antar negara. Jihad diarahkan
 pada perjuangan pemperdalam sains dan ilmu pengetahuan.
3. Siyasah Maliyah
Siyasah maliyah merupakan salah satu pilar penting dalam sistem
 pemerintahan Islam yang mengatur anggaran pendapat dan belanja negara.
Dalam kajian ini dibahas sumber-sumber pendapatan negara dan pos-pos
 pengeluarannya. Menurut Hasbi, sumber-sumber yang ditetapkan syara' adalah
khumus al-ghanaim (seperlima rampasan perang), sedekah dan kharaj. Abu
Yusup menggunakan istilah dalam hal ini, zakat, khumus al-ghanaim, al-fai',
 jizyah, 'usyur al-tijarah, pajak dan sumber-sumber lainnya.
a. Zakat, adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh pemilik yang memiliki
 persyaratan, diberikan kepada yang berhak menerimanya. Salah satunya
untuk fi sabilillah.
2.2 Pengertian Jihad

Allah SWt. Berfirman:


٥٢ :[٢٥] ‫ الفرقان‬/ ‫اَل تُ ِط ِع ْال َكافِ ِرينَ َو َجا ِه ْدهُ ْم بِ ِه ِجهَادًا َكبِيرًا‬
Artinya:
Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al
Quran dengan jihad yang besar. (Q.S. Al Furqon [25]: 52)
Kata jihad berasal dari kata ‫ َج ْه ٌد‬yang berarti usaha atau ‫ ُج ْه ٌد‬yang berarti kekuatan. Menurut Ibnu
Abbas Radhiyallahu ‘Anhu secara bahasa jihad berarti mencurahkan segenap kekuatan dengan tanpa
rasa takut untuk membela Allah terhadap cercaan orang yang mencerca dan permusuhan orang yang
memusuhi. Sedang dalam istilah syariat jihad berarti mengerahkan seluruh daya kekuatan memerangi
orang kafir dan para pemberontak. Ibnu Taimiyah: jihad itu hakekatnya berusaha dengan sungguh-
sungguh untuk menghasilkan sesuatu yang diridhoi Allah berupa amal shalih, keimanan dan menolak
sesuatu yang dimurkai Allah berupa kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan.

      Kamil Salamah menyimpulkan bahwa jihad lebih luas cakupannya dari pada aktivitas perang. Ia
meliputi pengertian perang, membelanjakan harta, segala upaya dalam rangka mendukung agama
Allah, berjuang melawan hawa nafsu dan menghadapi setan.

      Kata jihad dalam bentuk fiil maupun isim disebut 41 kali dalam Al-Qur’an, sebagian tidak
berhubungan dengan perang dan sebagian berhubungan dengan perang. Sedang perang baru diizinkan
Allah kepada kaum muslimin guna membela diri.

A. Betuk-bentuk jihad

1. Perang

Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk tidak pernah gentar  berperang di jalan Allah.  Apabila kaum Muslim
di zalimi, fardhu kifayah bagi kaum muslim untuk berjihad dengan harta, jiwa dan raga. Jihad dalam bentuk
peperangan diijinkan oleh Allah dengan beberapa syarat : untuk membela Diri, dan melindungi dakwah.

Allah SWT. Berfirman:

‫َان الَّ ِذينَ يَقُولُونَ َربَّنَا أَ ْخ ِرجْ نَا ِم ْن ٰهَ ِذ ِه‬


{ِ ‫ال َوالنِّ َسا ِء َو ْال ِو ْلد‬
ِ ‫يل هَّللا ِ َو ْال ُم ْستَضْ َعفِينَ ِمنَ ال ِّر َج‬ ِ ِ‫َو َما لَ ُك ْم اَل تُقَاتِلُونَ ِفي َسب‬
‫َصيرًا‬ ِ ‫ْالقَرْ يَ ِة الظَّالِ ِم أَ ْهلُهَا َواجْ َعلْ لَنَا ِم ْن لَ ُد ْنكَ َولِيًّا َواجْ َعلْ لَنَا ِم ْن لَ ُد ْنكَ ن‬

Artinya:

Mengapa  kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, wanita,
maupun anak-anak yang semuanya berdoa, “Ya Tuhan kami, Keluarkanlah Kami dari negeri ini yang dzalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi-mu. (Qs. An-Nisa[4]: 75)
Allah SWT. Berfirman:

۟ ‫أُ ِذنَ لِلَّ ِذينَ يُ ٰقَتَلُونَ بأَنَّهُ ْم ظُلِ ُم‬


‫وا ۚ َوإِ َّن ٱهَّلل َ َعلَ ٰى نَصْ ِر ِه ْم لَقَ ِدي ٌر‬ ِ

Artinya:

“Diijinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah
Mahakuasa menolong mereka itu.” (Qs. al-Hajj[22]:39).            

Dalam Berperang, kaum muslimin tidak boleh melampaui batas, membunuh perempuan,anak-anak dan orang-
orang tua renta yang tidak ikut berperang. Islam juga melarang merusak akses dan fasilitas publik seperti persediaan
makanan, minuman dan pemukiman. 

Perang juga tidak boleh dilakukan apabila negosiasi dan proses perjanjian damai masih mungkin dilakukan.
Peperangan harus segera dihentikan apabila musuh sudah menyerah, melakukan gencatan senjata atau menekan
perjanjian damai. Dalam ungkapan Al-Quran, peperangan dilakukan untuk menghilangkan fitnah (kemusyrikan dan
kezaliman), dan karena itu, apabila telah tidak ada lagi fitnah, tidak ada alasan untuk melakukan peperangan.

2. Haji Mabrur

Haji yang mabrur merupakan ibadah yang setara dengan jihad. Bahkan, bagi perempuan, haji yang mabrur
merupakan jihad yang utama. Hal ini ditegaskan dalam beberapa Hadis, diantaranya :Aisyah ra berkata : Aku
menyatakan kepada Rasulullah SAW : tidakkah kamu keluar berjihad bersamamu, aku tidak melihat ada amalan yang
lebih baik dari pada jihad, Rasulullah SAW menyatakan : tidak ada, tetapi untukmu jihad yang lebih baik dan lebih
indah adalah melaksanakan haji menuju haji yang mabrur.

Pada riwayat al- Bukhari lainnya, Rasulullah SAW juga bersabda : “Aisyah menyatakan bahwa Rasulullah SAW
ditanya oleh isteri-isterinya tentang jihad beliau menjawab sebaik-baiknya jihad adalah haji.”

3. Menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang dzalim

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia umat Islam berjihad melawan penjajahan Portugis, Inggris, Belanda,
dan Jepang yang menimbulkan penderitaan kesengsaraan rakyat yang mayoritas beragama Islam. Sebagian melakukan
perlawanan dengan cara perang gerilya, sebagian lainnya menempuh cara-cara damai melalui organisasi yang
memajukan pendidikan dan mengembangkan kebudayaan yang membawa pesan anti penjajahan. Perintah jihad
melawan penguasa yang zalim disebutkan, antara lain, dalam  hadist riwayat at- Tirmizi:

Abu Said al Khurdi menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya diantara jihad yang paling besar
adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang zalim.

Kata  A’ dzam pada hadist di atas, menunjukan bahwa upaya menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang
zalim sangat besar. Sebab, hal itu sangat mungkin mengandung resiko yang cukup besar pula.

4. Berbakti  kepada orang tua

Jihad yang lainnya adalah berbakti kepada orang tua. Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk menghormati
dan berbakti kepada orang tua, tidak hanya ketika mereka masih hidup tetapi juga sampai kedua orang tua wafat.
Seorang anak tetap harus menghormati orangtuanya, meskipun seorang anak tidak wajib taat terhadap orangtua yang
memaksanya untuk berbuat musyrik (Qs.Luqman,[31]:14)

Jihad dalam  berbakti kepada orang tua juga dijelaskan dalam Hadis.

Seseorang datang kepada Nabi SAW untuk meminta izin ikut berjihad bersamanya Kemudian Nabi SAW bertanya:
apakah kedua orang tuamu masih hidup? Ia menjawab: masih, Nabi SAW bersabda: terhadap keduanya maka
berjihadlah kamu.

Berjihad untuk orang tua, berarti melaksanakan petunjuk, arahan, bimbingan, dan kemauan orang tua. Kata fajahid
dalam hadis tersebut, berarti memperlakukan orangtua dengan cara yang baik, yaitu dengan mengupayakan kesenangan
orangtua, menghargai jasa-jasanya, menyembunyikan melemah dengan kekurangannya serta berperilaku dengan tutur
kata  dan perbuatan yang mulia.

B. Hukum Jihad
1. Fardu Kifayah:

Yang dimaksud hukum Jihad fardu kifayah menurut jumhur ulama yaitu memerangi orang-orang kafir yang berada
di negeri-negeri mereka. Makna hukum Jihad fardu kifayah ialah, jika sebagian kaum muslimin dalam kadar dan
persediaan yang memadai, telah mengambil tanggung-jawab melaksanakannya, maka kewajiban itu terbebas dari
seluruh kaum muslimin. Tetapi sebaliknya jika tidak ada yang melaksanakannya, maka kewajiban itu tetap dan tidak
gugur, dan kaum muslimin semuanya berdosa.
"Tidaklah sama keadaan orang-orang yang duduk (tidak turut berperang) dari kalangan orang-orang yang beriman
selain daripada orang-orang yang ada keuzuran dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah dengan harta dan
jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwa mereka atas orang-orang yang tinggal
duduk (tidak turut berperang karena uzur) dengan kelebihan satu derajat. Dan tiap-tiap satu (dari dua golongan itu)
Allah menjanjikan dengan balasan yang baik (Syurga), dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-
orang yang tinggal duduk (tidak turut berperang dan tidak ada uzur) dengan pahala yang amat besar." (QS An-Nisa 95)
Ayat diatas menunjukan bahwa Jihad adalah fardu kifayah, maka orang yang duduk tidak berjihad tidak berdosa
sementara yang lain sedang berjihad. ketetapan ini demikian adanya jika orang yang melaksanakan jihad sudah
memadai(cukup) sedangkan jika yang melaksanakan jihad belum memadai (cukup) maka orang-orang yang tidak turut
berjihad itu berdosa.
Dan jihad ini diwajibkan kepada laki-laki yang baligh, berakal, sehat badannya dan mampu melaksanakan jihad.
Dan ia tidak diwajibkan atas: anak-anak, hamba sahaya, perempuan, orang pincang, orang lumpuh, orang buta, orang
kudung, dan orang sakit. "Tiada dosa atas orang-orang yang buta dan atas orang yang pincang dan atas orang yang
sakit (apabila tidak ikut berperang). Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya; niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan barang siapa yang berpaling niscaya
akan diazab-Nya dengan azab yang pedih." (QS Al-Fath 17)
"Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-
orang yang tidakmemperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-
Nya. Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. Dan Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang." (QS At-Taubah 91)
"Dan tiada (pula) berdosa atas orang-orang yang apabila mereka datang kepadamu, supaya kamu memberi mereka
kendaraan, lalu kamu berkata: "Aku tidak memperoleh kendaraan untuk membawamu." lalu mereka kembali, sedang
mata mereka bercucuran air mata karena kesedihan, lantaran mereka tidak memperoleh apa yang akan mereka
nafkahkan." (QS At-Taubah 92)
"Sesungguhnya jalan (untuk menyalahkan) hanyalah terhadap orang-orang yang meminta izin kepadamu, padahal
mereka itu orang-orang kaya. Mereka rela berada bersama orang-orang yang tidak ikut berperang dan Allah telah
mengunci mati hati mereka, maka mereka tidak mengetahui (akibat perbuatan mereka)." (QS At-Taubah 93)
Ibnu Qudamah mengatakan: "Jihad dilaksanakan sekurang-kurangnya satu kali setiap tahun. Maka ia wajib
dilaksanakan pada setiap tahun kecuali uzur. Dan jika keperluan jihad menuntut untuk dilaksanakan lebih dari satu kali
pada setiap tahun, maka jihad wajib dilaksanakan karena fardu kifayah. Maka jihad wajib dilaksanakan selama
diperlukan."

2. Fardu A'in

Hukum Jihad menjadi Fardu A'in dalam beberapa keadaan:


Jika Imam memberikan perintah mobilisasi umum.
Jika Imam kaum muslimin telah mengumumkan mobilisasi umum maka hukum jihad menjadi fardu a'in bagi kaum
muslimin yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan jihad dengan segenap kamampuan yang dimilikinya. Dan
jika Imam memerintahkan kepada kelompok atau orang tertentu maka jihad menjadi fardu ain bagi siapa yang
ditentukan oleh imam.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi Muhammad saw bersabda pada hari Futuh Mekkah:
"Tidak ada hijrah selepas Fathu Mekkah, tetapi yang ada jihad dan niat, Jika kalian diminta berangkat berperang,
maka berangkatlah." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Darimi dan Ahmad)
Makna Hadist ini : "Jika kalian diminta oleh Imam untuk pergi berjihad maka pergilah" Ibnu Hajjar mengatakan :
"Dan didalam hadist tersebut mengandung kewajiban fardu ain untuk pergi berperang atas orang yang ditentukan oleh
Imam."

C. Syarat Wajib Jihad


1) Islam.
2) Dewasa (Baligh).
3) Berakal sehat.
4) Merdeka.
5) Laki-laki.
6) Sehat badannya.
7) Mampu berperang.

D. Pembagian Jihad
1) Jihâdun Nafs (Jihad dalam memperbaiki diri)

Syari’at Jihadun Nafs ini diterangkan pentingnya dalam hadits Fudhâlah bin ‘Ubaid radhiyallâhu ‘anhu, dimana
Rasulullah shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam bersabda,

ِ‫اَ ْل ُم َجا ِه ُد َم ْن َجاهَ َد نَ ْف َسهُ فِي طَا َع ِة هللا‬


“Seorang mujahid adalah orang yang berjihad memperbaiki dirinya dalam ketaatan kepada Allah”.

Jihâdun Nafs ini mempunyai empat tingkatan :

Tingkatan pertama : Jihad memperbaiki diri dengan mempelajari ilmu syari’at; Al-Qur’ân dan As-Sunnah sesuai
dengan pemahaman Salaf.

Tingkatan kedua : Berjihad dalam mengamalkan ilmu yang telah dipelajarinya.


Tingkatan ketiga : Berjihad dalam mendakwahkan ilmu tersebut.
Tingkatan Keempat : Jihad dalam menyabarkan diri ketika mendapat cobaan dalam menjalani tingkatan-tingkatan di
atas.
2) Jihâdusy Syaithân (Jihad melawan syaithân)

Hal ini sebagaimana dalam firman-Nya yang agung,

“Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah ia sebagai musuh (kalian), karena
sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang
menyala-nyala.” (QS. Fâthir : 6)

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullâh berkata : “Perintah (Allah) untuk menjadikan syaithân sebagai musuh
merupakan peringatan (akan harusnya) mencurahkan segala kemampuan dalam memerangi dan berjihad melawan
(syaithân). Karena ia laksana musuh yang tidak kenal letih, dan tidak pernah kurang memerangi seorang hamba dalam
selang beberapa (tarikan) nafas.”

Kemudian syaithân memerangi manusia untuk merusak agama dan ibadah mereka kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ
dengan dua cara :

Pertama : Melemparkan berbagai keraguan dan syubhat yang membahayakan keimanan seorang hamba.

Kedua : Memberikan kepadanya berbagai keinginan syahwat sehingga manusia mengikuti hawa nafsunya, walaupun
dalam bermaksiat kepada Allah Subhânahu wa Ta’âlâ.
3) Jihâdul Kuffâr wal Munâfiqîn (Jihad melawan orang-orang kafir dan kaum munâfiqîn)

Jihad melawan orang-orang kafir termasuk jihad yang paling banyak disebutkan dalam nash-nash Al-Qur`ân dan
As-Sunnah. Dan jihad terhadap kaum munâfiqîn adalah memerangi orang-orang yang menampakkan keislaman dan
menyembunyikan kekufuran di dalam hatinya. Jihâdul munâfiqîn ini tidak kalah pentingnya dari jihad-jihad yang
disebutkan sebelumnya karena terlalu banyak orang yang ingin menghancurkan Islam dari dalam, dengan merusak,
memutarbalikkan ajaran Islam atau menjadikan kaum muslimin ragu terhadap Dien mereka yang mulia.

Allah SWT. berfirman yang artinya:

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap
mereka. Tempat mereka ialah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.”(QS. At-
Taubah : 73, At-Tahrîm : 9)

Berjihad menghadapi mereka dengan empat tingkatan :

1. Memerangi mereka dengan menanamkan kebencian di dalam hati terhadap perilaku, kesewenang-wenangan
mereka dan sikap mereka yang menodai kemuliaan syari’at Allah Azzat ‘Azhomatuhu.
2. Memerangi mereka dengan lisan dalam bentuk menjelaskan kesesatan mereka dan menjauhkan mereka dari
kaum muslimin.
3. Memerangi mereka dengan menginfakkan harta dalam mendukung kegiatan-kegiatan untuk mematahkan segala
makar jahat dan permusuhan mereka terhadap Islam dan kaum muslimin.
4. Memerangi mereka dalam arti yang sebenarnya, yaitu dengan membunuh mereka kalau terpenuhi syarat-syarat
yang disebutkan oleh para ulama dalam perkara tersebut.

4) Jihâd Arbâbuzh Zholmi wal Bida’ wal Munkarât (Jihad menghadapi orang-orang zholim, ahli
bid’ah, dan pelaku kemungkaran)

Ibnul Qayyim menyebutkan bahwa jihad dengan jenis ini mempunyai tiga tingkatan :

1. Berjihad dengan tangan. Dan ini bagi siapa yang mempunyai kemampuan untuk merubah dengan tangannya,
sesuai dengan batas kemampuan yang Allah berikan kepada mereka.
2. Berjihad dengan lisan (nasehat). Dan hal ini juga bagi siapa yang punya kemampuan merubah dengan lisannya.
3. Berjihad dengan hati. Yaitu mengingkari kezholiman, bid’ah dan kemungkaran yang ia lihat bila ia tidak
mampu merubahnya dengan tangan atau lisannya.

Diantara dalil untuk tiga tingkatan di atas adalah hadits Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata :
saya mendengar Rasulullâh shollallâhu ‘alahi wa sallam bersabda,

ُ ‫ك أَضْ َع‬
‫ف اإْل ِ ْي َما ِن‬ َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َكرًا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Siapa di antara kalian yang melihat suatu kemungkaran, maka hendakkah dia mengubah dengan tangannya, jika dia
tidak mampu, maka dengan lisannya, jika dia tidak mampu, maka dengan hatinya dan itulah selemah-lemahnya
keimanan.”

Demikian tiga tingkatan jihad dalam maknanya yang umum. Dan menurut Ibnul Qayyim rahimahullâh, tiga belas
tingkatan di atas semuanya tercakup dalam hadits Rasulullâh shollallâhu ‘alaihi wa ‘alâ âlihi wa sallam,

ٍ ‫ِّث نَ ْف َسهُ بِ ِه َماتَ َعلَى ُش ْعبَ ٍة ِم ْن نِفَا‬


‫ق‬ ْ ‫م َْن َماتَ َولَ ْم يَ ْغ ُز َولَ ْم ي َُحد‬
E. “Siapa yang mati, dan belum berjihad, dan tidak mencita-citakan dirinya untuk hal tersebut, maka ia mati di
atas suatu cabang kemunafikan.

D. Adab/Etika dalam Berjihad


1) Tidak menyebarkan rahasia pasukan dan rencana-rencana perang, karena jika Rasulullah hendak melakukan
penyerangan, beliau merahasiakannya seperti disebutkan dalam hadits shahih.

2) Menggunakan kode, simbol, dan isyarat sesama anggota pasukan, agar dengan itu sebagian dari mereka
mengenali sebagian lainnya jika mereka bercampur-baur dengan musuh atau dekat dengan tempat musuh,
karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika kalian disergap musuh pada waktu malam,
maka katakan, 'Hammim, mereka tidak ditolong.' Kode ekspedisi perang yang berangkat bersama Abu Bakar
adalah amit (matilah), amit (matilah)," (Diriwayatkan At-Tirmidzi dan lain-lain. Hadits ini hadits shahih).
3) Diam ketika memasuki kencah perang, karena gaduh dan teriakan menyebabkan kegagalan, menyedot
kekuatan, dan mengacaukan pikiran. Abu Daud meriwayatkan, sahabat-sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam tidak menyukai suara ketika memasuki kancah perang.

4) Memilih lokasi perang yang strategis, menertibkan pasukan, dan memilih timing yang tepat untuk melakukan
penyerangan terhadap musuh, karena di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam perang
ialah memilih lokasi dan timing yang tepat untuk melancarkan serangan. (Diriwayatkan At-Tirmidzi)

5) Mengajak orang-orang kafir kepada Islam, atau menyerahkan diri dengan membayar jizyah sebelum
mengumumkan perang terhadap mereka, atau sebelum menyerang mereka. Jika mereka menolak masuk Islam
dan tidak menyerah dengan membayar jizyah, mereka diperangi, karena jika Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam mengirim salah satu ekspedisi perang, atau pasukan, beliau menasihati komandan dan anak buahnya
agar bertakwa.

6) Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika engkau bertemu dengan musuhmu dari orang-orang
musyrikin, ajaklah mereka kepada salah satu dari tiga hal dan jika mereka memenuhi ajakanmu, terimalah dan
dia dan tahanlah dirimu dari mereka. Ajaklah mereka kepada Islam, jika mereka memenuhi seruanmu tersebut,
terimalah dirimu dan tahanlah dirimu dari mereka. Jika mereka menolak ajakanmu, ajaklah mereka membayar
jizyah, jika mereka memenuhi ajakanmu, terimalah mereka dan tahanlah diri dari mereka. Jika mereka menolak
ajakanmu, mintalah tolong kepada Allah dan perangi mereka," (Diriwayatkan Muslim).

7) Tidak mencuri harta rampasan perang, tidak membunuh wanita-wanita, anak-anak, orang tua, dan para pendeta
jika mereka tidak ikut perang. Jika mereka ikut perang, mereka boleh dibunuh, karena Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda kepada para komandan perangnya, "Berangkatlah kalian kepada Allah, dengan
Allah, dan di atas agama Rasulullah. Janganlah kalian membunuh orang tua, bayi, anak kecil, dan wanita.
Janganlah kalian mencuri harta rampasan, satukan harta rampasan kalian, perbaikilah harta kalian, dan berbuat
baiklah, karena sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang berbuat baik," (Diriwayatkan Abu Daud).

8) Tidak berkhianat terhadap orang yang kehidupannya dilindungi seorang Muslim, Rasulullah Shallallahu Alaihi
wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya orang yang berkhianat itu panjinya dipasang untuknya pada hari kiamat,
kemudian dikatakan, "Ini pengkhianatan Fulan bin Fulan," (Muttafaq Alaih).

9) Tidak membakar musuh dengan api, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Jika kalian
menemukan si Fulan, bunuhlah dia dan jangan bakar dia dengan api, karena siapapun tidak boleh menyiksa
dengan api kecuali pemilik api (Allah)," (Diriwayatkan Al-Bukhari).
BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengertian Fiqh Siyasah, Secara harfiyah (leksikal), fiqh mengandung arti tahu,
 paham, dan mengerti. Arti ini dipakai secara khusus dalam bidang hukum agama atau
yurisprudensi Islam (menurut Ibnu al-Mandzur dalam Lisan al-Arab. Menurut istilah,
fiqh (fikih) adalah ilmu atau pengetahuan tentang hukum-hukum syaria't, yang bersifat
amaliah (praktis), yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Dari akar kata -   yang artinya mengatur, mengendalikan, mengurus


atau membuat keputusan.

Di dalam Kamus al-Munjid dan Lisan al-Arab, kata siyasah kemudian diartikan
 pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuat kebijakan, pengurusan, pengawasan
atau perekayasaan. Untuk selanjutnya al-siyasah kadang-kadang diartikan, memimpin
sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan.

Jihad secara bahasa adalah bentuk mashdar dari  jahada, yang artinya
mengerahkan jerih payah dalam rangka meraih tujuan tertentu.

Sedanngkan Jihad secara Istilah syariat Islam adalah menyerahkan jerih payah
dalam rangka menegakkan masyarakat Islam , serta syariat Allah berkuasa (dominan )
di muka bumi.

Jadi Jihad adalah pengerahan segala kemampuan dan potensi dalam memerangi
musuh. Jihad di wajibkan atas kaum muslimin demi membela agama Allah. Dan jihad
 baru di lakukan setelah timbulnya gangguan-gangguan yang di lakukan musuh terhadap
kaum muslimin.
DAFTAR PUSTAKA

 bin Ibrahim At-Tuwaijri, Muhammad. 2009.  Jihad di Jalan Allah. Penerjemah: Team
Indonesia islamhouse.com. islamhouse.com.

Rif’at Husnul Ma’afi. 2013.  Konsep Jihad dalam Perspektif Islam. Jawa Timur:
Fakultas Ushuluddin Institut Studi Islam Darussalam

Salim, Abdul Muin. 2002.  Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Islam. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada

Aminuddin Aziz. Kuliah Fiqih Siyasah (Politik Islam).


http://www.aminazizcenter.com/2009/artikel-62-September-2008-kuliah-fiqh-siyasah-
 politik-islam.html
syariahalauddin, https://syariahalauddin.wordpress.com/2011/11/01/metoda-mempelajari-fiqh-
siyasah-materi-kuliah/ di akses pada tanggal 1 April 2020.

Cahaya luar, https://cahayaluar.tumblr.com/post/114622674422/pengertian-dan-bentuk-bentuk-


jihad/amp diakses pada tanggal 2 April 2020
.
Aburisalah, http://aburisalah.hexat.com/artikel/hukum-jihad di akses pada tanggal 2 April 2020.
Bacaan madani, https://www.bacaanmadani.com/2017/09/makna-jihad-tujuan-syarat-dan-
hukum.html di akses pada tanggal 2 April 2020
.
Abu ramiza, https://aburamiza.wordpress.com/2011/03/15/pembagian-jihad/ di akses pada tanggal 2
April 2020.

Anda mungkin juga menyukai