Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
Hery (205213155)
Fuazan (xxxxxxxxx)
Junaidi (205213155)
MEDAN
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kesilapan, oleh karena itu kami sangat mengahragai dan
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun tentunya. Demikian kata
pengantar yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa
saja yang membacanya.
Kelompok
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I PENDAHLUAN..........................................................................................1
1.3. Tujuan......................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2
3.1. Kesimpulan............................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13
PENDAHLUAN
1.1. Latar Belakang
Nabi Muhammad SAW mendirikan dan memimpin kota madinah karena beliau
menyadari begitu penting sebuah negara dalam islam. Apabila sebuah negara ada
maka penyebaran islam dan penyampaian wahyu-wahyu Allah-pun akan lebih
mudah lagi, karena negara menjaddi pusat penyebaran dan juga terdapat pusat
kegiatan penyebaran, sehingga akan tercipta keamanan, kesejahteraan, dan
ketentraman dalam penyebaran dan hidup beragama. Tetapi Beliau tidak pernah
mengajarkan islam menjadi agama negara dalam konstitusi madinah. Konstitusi
ini bahkan tidak menyinggung sama sekali tentang agama negara
Jadi dapat dimengerti dari penjelasan diatas bahwa nabi Muhammad tidak
pernah memberikan ketentuan atau peraturan yang baku dan mutlak yang harus
diikuti oleh umatnya. Beliau hanya menggaris besarkan prinsip-prinsip dasar yang
harus dikerjakan dan dilakukan oleh umatnya, sedangkan pelaksanaannya
diserahkan sepenuhnya kepada umatnya. Makanya beliau tidak pernah menunjuk
siapa yang kelak menggantikan beliau, karena apabila hal tersebut beliau lakukan
kelak umatnya akan melakukan hal tersebut secara turun menurun.
Penolakkan tersebut menunjuk kepada bahwa Ali lah yang paling berhak
menganti nabi Muhammad SAW menjadi Khalifah. Dari penunjukkan tersebut
pertama kalinya menjadi cikal bakal lahirnya Syi’ah dibelakang hari dalam politik
islam. Dalam perjalanan kepemimpinan Ali juga terjadi perpecahayn 2 kelompok,
pertama yaitu keelompok mayoritas yang disebut dengan Sunni dan kelompok
kedua kelompok minoritas atau Syi’i.
Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
PEMBAHASAN
2.1. Pemikiran Politik Sunni
Pembenaran dari pemikiran ini dibenarkan Ibn Abi Rabi’, pemikiran sunni
hidup pada abad ke-3 h/9 M dimasa pemerintahan al-Mu’tashim Khalifah Bai
’Abbas kedelapan. Ibn Abi Rabi’ berusaha mencari kebenaran legitimasi
keistimewaan Khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama yaitu surat al-
An’am,6:165 dan al-Nisa, 4:59. ”dialah (Allah) yang telah menjadikan kamu
sebagai penguasa-penguasa dibumi ini dan Dia pula yang meninggikan sebagian
kalian atas sebagian lainnya bberapa derajat”. (QS. Al-An’am,6:165) ”Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasu-Nya serta para
pemimpin diantara kalian.” (QS: al-Nisa, 4:59)
Berbeda dengan Ibn bin Rabi’, Ibn Taimiyah dan al-Ghazali, al-Mawardi
(975-1059 M) berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah
berdasarkan perjanjian kepala negara dengan rakyatnya (kntrak sosial). Dari
perjanjian tersebut maka lahirlah yang dinamakan hak dan kewajiban ,aupun
timbal balik yang di dapat rakyat dari penguasa. Oleh karena itu, Rakat yang telah
memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada penguasa negara berhak
menurunkan kepala negara apabila Ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan
pemerintahan sesuai yang ada diperjanjian yang telah disepakati bersama. Jadi
Ciri lain dari pemikiran politik golongan sunni adalah penekanan mereka
terhadap suku Quraisy sebagai syarat kepala negara. Pandangan mereka dilandasi
hadits nabi yang menyatakan bahwa imam-imam (pemimpin) umat islam harus
berasal dari suku Quraisy. Al-Ghazali, al-Juwini, al-Baqillani, dan al-Mawardi
menyatakan syarat ini dengan tegas, sedangkan Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggung
sama sekali tentang syarat suku Quraisy. Tetapi Rasyid Ridha yang hidup pada
abad modern masih menekankan supremasi suku Quraisy ini dalam pemikiran
politiknya. Berbeda dari pemikiran para ahli diatas, Ibn Khaldun (1332-1406 H)
berpendapat bahwa syarat Quraisy tersebut bukanlah ”harga mati” yang harus
dilaksanakan sepanjang masa. Nabi menjelaskan persyaratan suku Quraisy untuk
menjadi kepala negara adalah karena pada masa itu suku Quraisy memiliki
wibawa dan kekuatan yang disegani diJazirah arab. Suku Quraisy mempunyai
’ashabiyah atau solidaritas kelompok yang kuat.
Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemikiran politik sunni
yaitu teori politik pemikiran sunni adalah luputnya atau tidak ada pembahasan
Pada masa Bani Abbas, pada umumnya pemikir politik sunni adalah orang-
orang yang berkecimpung didalam sistem pemerintahan. Oleh karenanya teori
politik mereka tidak dapat dilepaskan dari realitas politik yang mereka hadapi.
Dengan demikian membut konsep syur pun menjadi semakin jauh dari teori
politik sunni dengan berkembangnya doktrin khalifah sebagai bayangan Allah
sehingga tidak dapat diturunkan dari jabatannya.
Semua sekte ini mengakui Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali
dan Ali Zain ’Abidin. Namun setelah Ali bin al-’Abidin mereka mengalami
perbedaan pendapat siapa yang akan melanjutkan estafet pemerintahan. Ada yang
memilih Zaid bin Ali sebagi imam yang kemudian dikenal dengan Zaidiyah.
Kemudian kelompok lain yang memilih anak Ali al-’Abidin sebagai imam, yang
bernama Muhammad al-Baqir kemudian sekte ini dikenal dengan nama Isma
’iliyah. Ada yang mengangkat Muhammada al-Mahdi sebagai imam yang
kemudian sekte ini dinamakan Imamiyah.
Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali
setelah arbitrase (tahkim) yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara
Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Pengikut Khawarij merupakan suku Arab Badui
yang masih sederhana pola pikirnya sehingga sikap keagamaan mereka sangat
ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang
berada di luar kelompoknya adalah kafir dan hala dibunuh. Sikap picik dan
ekstrem ini pula yang membuat mereka terpecah menjadi beberap sekte. Satu hal
yang cukup menarik adalah meskipun mereka cenderung ekstrem dan sulit
menerima perbedaan, pandangan mereka cukup maju daripada Sunni maupun
Syiah.
Berbeda dengan kelompok Sunni dan Syiah, mereka tidak mengakui hak-
hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.
Dari pemikiran ini pengikut Khawarij berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah
kewajiban yang berdasakan Syari’ (agama). Pengangkatan khalifah dan
pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia.
Pandangan khawarij lebih demokratis hal ini dapat dipahami dari sosiologis
masyarakat arab yang mengutamakan syura yang mendapat justifikasi dalam
islam, setelah terkubur oleh ambisi politik Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Pertentangan ’Ali dan Mu’awiyah mereka anggap penyebab krisisasi yang terjadi
dalam islam atau terjadinyam chaos dalam tubuh islam. Tidak berkembangnya
tradisi syura dan menonjolnya ambisi pribadi atau golongan untuk menduduki
jabatan khalifah juga menjadikan mereka sebagai kelompok yang berusaha
kembali ke prinsip demokrasi dengan mengabaikan ambisi-ambisi tersebut.
Abd al-Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan
umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa
sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan
suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan
siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala
negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.
Almawardi bernama lengkap Abu al-Hahan Ali bin Muhammad bin Habib
al-Mawardi al-Syafi’in. Lahir di kota Basrah Iraq 364 H/974 M pada masa Daulah
Abbasiyah. Almawardi merupakan seorang Sarjana muslim yang terhormat pada
masanya karena banyak karya-karya yang ternama yang beliau lahirkan. Salah
satu karyanya yang ternama adalah al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-
Dinniyyah, ini merupakan karya pertamanya yang terbit dan dikenal dunia sampai
saat ini. Al mawardi juga ada menulis beberapa buku tentang ilmu politik dan
ketatanegaraan, namun tidak ada satupun dari buku-buku al-mawardi di bidang
ilmu politik dan ketatanegaraan, yang berbicara secara eksplisit konsep negara di
dalam islam. Karena memang al-mawardi hidup di masa Kekhalifahan Daulah
Abbasiyah. Al mawardi berpendapat khilafah pada saat itu merupakan bukti
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Dapat ditarik simpulan bahwa keempat pemikiran politik dalam islam diatas
memiliki satu persamaan yang patut dicatat dan diingat yaitu, tidak ada satupun
aliran yang membicarakan tentang berapa lama masa jabatan suatu kepala negara
atau pemimpin, karena kekhalifahan selalu berakhir pada kematian atau wafatnya
kepala negara. Aliran Syi’ah dengan konsep Imam ma’shumnya jelas
berpandangan bahwa imam yang berkuasa memiliki jabatan seumur hidup. Aliran
Sunni dan Mu’tazilah juga memandang kepala negara memiliki masa jabatan yang
tidak terbatas waktunya. Sedang Khawarij sendiri berpandangan membatasi masa
jabatan kepala negara walaupun tidak dinyatakan secara tegas.
Dari pemikiran diatas pemikiran politik kenegaraan dalam islam ada tiga
yaitu, yang Pertama aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok
Sunni dimana kepala negara dipimpin oleh khalifah yang beryindak sebagai raja
dan segala tindakan atau perbuatannya tidak dapat diganggu gugat. Dan
menyatakan bahwa kepala negara sebagai bayang-bayang Tuhan atau wakil Tuhan
dibumi. Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah (kecuali Syi’ah zaidiyah)
mereka menganggap kepala negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam
agama dan politik berdasarkan penunjukkan Allah. Kedua aliran ini menempatkan
kepala negara memegang otoritas yang sangat kuat. Ketiga, aliran demokratis
yang dianut oleh Khawarij merupakan reaksi atas pemikiran politik sunni dan
Syi’ah yang mengutamakan kelompok atau kepentingan pribadi tertentu dalam
kepemimpinn umat islam.
Simpulan dari pemikiran para pemikir tersebut terlihat jelas bahwa adanya
pengaruh dari bangsa romawi yang menyatakan sejak berabad-abad lalu bahwa
kepala negara mereka sebagai wakil Tuhan dimuka bumi dan semua perintah atau
perkataan raja wajib dilaksanakan dan dijalankan oleh rakyatnya tanpa terkecuali
dan bagi siapa saja penentang akan mendapatkan hukuman hingga ada ang
menerima hukuman mati. Keadilan tertinggipun ada ditangan kepala negara dan
Munawir, Sjadzali. Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press,1990) hal. 16.
Penjelasan rinci tentang sekte-sekte Syi’ah dapat diliht pada Moojan Momen, op,
cit hal 23-60 dan Muhammaad Abu Zahrah, Tarikhal-Mazahib al
Islamiyah.