Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FIQH SIYASAH

TEORI-TEORI KENEGARAAN DALAM ISLAM

Dosen Pengampu:

Disusun Oleh:

Egi Anggara (205213155)

Hery (205213155)

Fuazan (xxxxxxxxx)

Junaidi (205213155)

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS HUKUM SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

MEDAN

2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita


ucapkan,atas karunia nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya kami
dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Shalawat serta salam tercurahkan
keharibaan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa perubahan dari alam
kebodohan ke alam yang penuh ilmu pengetahuan seperti saat ini.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk merangkum berbagai materi terkait


“Teori-Teori Kenegaraan Dalam Islam” dan memenuhi tugas dari mata kuliah
Kewarganegaraan. Makalah ini membahas berbagai materi seputar pentingnya
integrasi masyarakat. Maka dari itu kami berharap makalah ini dapat membantu
teman-teman mahasiswa/i dalam mempelajari dan menambah wawasan serta
pemahaman terkait mata kuliah Fiqh Siyasah

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan dan kesilapan, oleh karena itu kami sangat mengahragai dan
mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun tentunya. Demikian kata
pengantar yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini bermanfaat bagi siapa
saja yang membacanya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, 29 November 2022

Kelompok

i | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHLUAN..........................................................................................1

1.1. Latar Belakang........................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah...................................................................................2

1.3. Tujuan......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

2.1. Pemikiran Politik Sunni..........................................................................3

2.2. Pemikiran Politik Syi`ah.........................................................................6

2.3. Pemikiran Politik Khawarij...................................................................7

2.4. Pemikiran Politik Mu`tazilah.................................................................8

2.5. Pemikiran Politik Al-Mawardi...............................................................9

BAB III PENUTUP..............................................................................................11

3.1. Kesimpulan............................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................13

ii | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


BAB I

PENDAHLUAN
1.1. Latar Belakang

Nabi Muhammad SAW mendirikan dan memimpin kota madinah karena beliau
menyadari begitu penting sebuah negara dalam islam. Apabila sebuah negara ada
maka penyebaran islam dan penyampaian wahyu-wahyu Allah-pun akan lebih
mudah lagi, karena negara menjaddi pusat penyebaran dan juga terdapat pusat
kegiatan penyebaran, sehingga akan tercipta keamanan, kesejahteraan, dan
ketentraman dalam penyebaran dan hidup beragama. Tetapi Beliau tidak pernah
mengajarkan islam menjadi agama negara dalam konstitusi madinah. Konstitusi
ini bahkan tidak menyinggung sama sekali tentang agama negara

Jadi dapat dimengerti dari penjelasan diatas bahwa nabi Muhammad tidak
pernah memberikan ketentuan atau peraturan yang baku dan mutlak yang harus
diikuti oleh umatnya. Beliau hanya menggaris besarkan prinsip-prinsip dasar yang
harus dikerjakan dan dilakukan oleh umatnya, sedangkan pelaksanaannya
diserahkan sepenuhnya kepada umatnya. Makanya beliau tidak pernah menunjuk
siapa yang kelak menggantikan beliau, karena apabila hal tersebut beliau lakukan
kelak umatnya akan melakukan hal tersebut secara turun menurun.

Tapi kenyataannya setelah Beliau wafat, terjadi masalah tentang siapa


yang akan mengagantikan beliau, sehingga jasad Beeliau belum dikebumikan
selama 2 hari, sampai permasalahan yang akan menjadi pemimpin selanjutnya
diputuskan. Dalam pembicaraan suksesi di Saqifah Bani Sa’idah terpilihlah Abu
Bakar. Terpilihnya Abu Bakar tidak berjalan dengan mukus, tetapi juga memilki
kendala dengan adanya kelompok atau kaum oposisi.

Penolakkan tersebut menunjuk kepada bahwa Ali lah yang paling berhak
menganti nabi Muhammad SAW menjadi Khalifah. Dari penunjukkan tersebut
pertama kalinya menjadi cikal bakal lahirnya Syi’ah dibelakang hari dalam politik
islam. Dalam perjalanan kepemimpinan Ali juga terjadi perpecahayn 2 kelompok,
pertama yaitu keelompok mayoritas yang disebut dengan Sunni dan kelompok
kedua kelompok minoritas atau Syi’i.

1 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


Kelompok Mu’awiyah yang menentang kekhalifahan Ali dianggap
merupakan siasat untuk menghancurkan kepemimpinan Ali pada saat itu. Adapun
kubu yang tidak memihak keduanya mengasingkan diri dan tidak ingin terlibat
dalam pemerintahan, mereka lebih memilih untuk lebih banyak beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah diantaranya yang memilih posisi netral adalah
Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit dan Sa’d bin Abi Waqqash.

Sejarah diataslah yang menjadi awal terbentuknya pemikiran-pemikiran


negara dalam islam diantaranya adalah pemikiran Sunni, Pemikiran Syiah,
Pemikiran Khawarij, dan Pemikiran Mu’tazilah. Berikut penjelasan masing-
masing dari pemikiran tersebut.

1.2. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas maka dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemikiran politik sunni?


2. Bagaimana pemikiran politik Syi`ah?
3. Bagaimana pemikiran politik khawarij?
4. Bagaimana pemikiran politik mu`tazilah?
5. Bagaimana pemikiran politik Al- Mawardi?
1.3. Tujuan

Tujuan Penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran politik sunni


2. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran politik syi`ah
3. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran politik khawarij
4. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran politik mu`tazilah
5. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran politik Al-mawardi

2 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Pemikiran Politik Sunni

Kelompok mayoritas memiliki pola pikiran yang cenderung pro kepada


pemerintah yang berkuasa (status quo). Dari pemikiran diatas membuat negara
cenderung menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintah.
Seorang pemikiran Sunni yaitu Ibn Taimiyah pernah mengatakan lebih baik
dipimpin oleh seorang pemimpin yang zalim selama enam puluh tahun dari pada
hidup sehari tanpa adanya pemimpin. Para pemikir Sunni menganggap bahwa
kekuasaan kepala negara berasal dari Tuhan adapun yang pertama kali
mengatakan dirinya sebagai khalifah Tuhan dibumi-Nya adalah Khalifah Abu
Ja’far al-Manshur dari Bani ’Abbas. Dari pernyataan tersbut menunjukkan bahwa
khalifah memerintah berdasarkan mandat Tuhan. Kekuasaan adalah suci dan
mutlak harus dipatuhi. Khalifah adalah bayang-bayang Allah di dunia (The
Shadowof God on the Earth)

Pembenaran dari pemikiran ini dibenarkan Ibn Abi Rabi’, pemikiran sunni
hidup pada abad ke-3 h/9 M dimasa pemerintahan al-Mu’tashim Khalifah Bai
’Abbas kedelapan. Ibn Abi Rabi’ berusaha mencari kebenaran legitimasi
keistimewaan Khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama yaitu surat al-
An’am,6:165 dan al-Nisa, 4:59. ”dialah (Allah) yang telah menjadikan kamu
sebagai penguasa-penguasa dibumi ini dan Dia pula yang meninggikan sebagian
kalian atas sebagian lainnya bberapa derajat”. (QS. Al-An’am,6:165) ”Wahai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasu-Nya serta para
pemimpin diantara kalian.” (QS: al-Nisa, 4:59)

Dari penafsiran ayat diatas jelaslah bahwa Allah memang memberikan


keistimewaan dimana Allah juga mewajibkan kepada para ulama untuk
menghormati, mengagungkan ddan mentaatinya[4]. Hal senada juga dilontarkan
oleh al-Ghazali (1058-1111 M). Menurutnya sumber kekuasaan adalah Tuhan,
setelah itu sebagian dai kekuasaan itu dilimpahkan kapada sebagian kecil hamba-
Nya. Oleh sebab itu kedudukan kepala negara bersifat sakral (muqaddas) dan

3 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


umat harus mengikuti kepala negara. Ia juga melarang umatnya melakukan
pemberontakan kepada kepala negara, lebih jauh lagi ia mengungkapkan
pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan
berdasarkan perintah Syar’i. Al-Ghazali juga mengatakan agama adalah landasan
atau basis bagi kehidupan manusia dan kekuasaan politik adalah penjaganya.
Politik tanpa agama akan hancur, sebaliknya agama tanpa politik dapat hilang
dalam kehidupan manusia. Jadi dapat dikatakan kekuasaan politik atau penguasa
merupakan penjaga bagi pelaksanaan agama. Berabad-abad sebelum kedatangan
rosulullah telah banyak negara-negara di romawi mengungkap pandangannya
bahwa raja atau kepala negara sebagai bayang-bayang tuhan di muka bumi atau
juga ada yang menyebutkan sebagai tangan-tangan tuhan dimuka bumi dan ada
juga yang menyebutkan sebagai wakil tuhan. Maka dari itu AbuBakar dan
generasi awal tidak ingin mengikuti pola pikiran seperti itu. Ia juga mengatakan
bahwa dirinya sama seperti rakyatnya, hanya saja perbedaannya terdapat pada ia
didahulukan selangkah ditinggikan seranting dari rakyatnya yang lain.

Para pemikir Sunni mengganti konsep khalifah menjadi zillallah (bayang-


bayang Tuhan). Karena adanya pengaruh-pengaruh budaya asing yang
berkembang pasaat itu terutama Persia yang menempatkan penguasa sebagai
wakil Tuhan, sedikit banyak juga membarikan pengaruhnya kepada dunia islam
Sunni. Karena memiliki kekuasaan yang sakral Ibn Bin Rabi’, Ibn Taimiyah
maupun al-Ghazali mengatakan bahwa kepala negara tidak dapat diturunkan dari
jabatannya,Bahkan Ibn Taimiyah mengharamkan rakyat melakukan
pemberontakan kepa kepala negara meskipun kafir, selama dia masih
menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.

Berbeda dengan Ibn bin Rabi’, Ibn Taimiyah dan al-Ghazali, al-Mawardi
(975-1059 M) berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah
berdasarkan perjanjian kepala negara dengan rakyatnya (kntrak sosial). Dari
perjanjian tersebut maka lahirlah yang dinamakan hak dan kewajiban ,aupun
timbal balik yang di dapat rakyat dari penguasa. Oleh karena itu, Rakat yang telah
memberikan kekuasaan dan sebagian haknya kepada penguasa negara berhak
menurunkan kepala negara apabila Ia dipandang tidak mampu lagi menjalankan
pemerintahan sesuai yang ada diperjanjian yang telah disepakati bersama. Jadi

4 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


sesuai dengan teorinya ini, al-Mawardi tidak menganggap kekuasaan kepala
negara sebagai sesuatu yang suci. Namun demikian sebagaimana pemikiran ketiga
pemikir Sunni yang lain al-Mawardi juga menekankan kepatuhan terhadap kepala
negara yang telah terpilih. Kepatuhan tersebut tidak hanya diberikan kepada
kepala negara yang adil, tetapi juga yang jahat (fajir). Al-Mawardi mengutip
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah: ”akan ada kelak pemimpin-
pemimpin kamu sesudahku. Diantara mereka ada yang baik dan memimpinmu
dengan kebaikkannya. Tapi ada juga yang jahat dan memimpin kamu dengan
kejahatannya. Dengarkanlah dan patuhilah mereka sesuai denga kebenaran. Jika
mereka berbuat baik mak kebaikkannya untuk kamu dan untuk mereka. Tetapi
kalua mereka berbuat jahat, maka (akibat baiknya) untuk kamu dan kejahatnnya
kembali kepada mereka”

Ciri lain dari pemikiran politik golongan sunni adalah penekanan mereka
terhadap suku Quraisy sebagai syarat kepala negara. Pandangan mereka dilandasi
hadits nabi yang menyatakan bahwa imam-imam (pemimpin) umat islam harus
berasal dari suku Quraisy. Al-Ghazali, al-Juwini, al-Baqillani, dan al-Mawardi
menyatakan syarat ini dengan tegas, sedangkan Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggung
sama sekali tentang syarat suku Quraisy. Tetapi Rasyid Ridha yang hidup pada
abad modern masih menekankan supremasi suku Quraisy ini dalam pemikiran
politiknya. Berbeda dari pemikiran para ahli diatas, Ibn Khaldun (1332-1406 H)
berpendapat bahwa syarat Quraisy tersebut bukanlah ”harga mati” yang harus
dilaksanakan sepanjang masa. Nabi menjelaskan persyaratan suku Quraisy untuk
menjadi kepala negara adalah karena pada masa itu suku Quraisy memiliki
wibawa dan kekuatan yang disegani diJazirah arab. Suku Quraisy mempunyai
’ashabiyah atau solidaritas kelompok yang kuat.

Ibn Khaldun melakukan lompotan penafsiran hadits yang yang tentang


keharusan suku Quraisy sebagai kepala negara. Hadits tersebut dipahami Ibn
Khuldun bahwa ”imam itu berasal dari suku Quraisy, atau suku lain yang
memiliki kecakapan dan kemampuan sebagaimana yang dimiliki suku Quraisy”.

Satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam pemikiran politik sunni
yaitu teori politik pemikiran sunni adalah luputnya atau tidak ada pembahasan

5 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


Syura (musyawarah) dari kamus politik mereka. Dimana konsep syura yang
mengajarkan sikap demokratis dan secara tegas disebutkan didalam Alquran surat
Ali Imran, 4; 59 dan Al-Syura 42;38 telah terkubur dalam pencaturan politik sejak
naiknya Mua’wiyah bin Abi Sufyan sebagai pendiri Dinati Bani Umaiyah. Dialah
orang pertama dalam islam yamh mengubah sistem pemerintahan islam yang
berbasis syura kepada Monarkhi atau kerajaan yang absolut. Ironisnya langkah
Bani Umaiyah ini juga diikuti oleh bani Abbas yang berhasil menjatuhkan
kerajaan Bani Umaiyah.

Pada masa Bani Abbas, pada umumnya pemikir politik sunni adalah orang-
orang yang berkecimpung didalam sistem pemerintahan. Oleh karenanya teori
politik mereka tidak dapat dilepaskan dari realitas politik yang mereka hadapi.
Dengan demikian membut konsep syur pun menjadi semakin jauh dari teori
politik sunni dengan berkembangnya doktrin khalifah sebagai bayangan Allah
sehingga tidak dapat diturunkan dari jabatannya.

Memang al-Mawardi menegaskan kemungkinan pembebasan kepala negara


dari jabatannya apabila ia menyimpang dari keadilan, kehilangan salah satu fungsi
organ tubuhnya atau tidak dapat menjalankan lagi tugasnya. Tapi pandangan al-
Maward itu menempat penguasa sebagai posisi yang kuat dan rakyat diposisi yang
lemah. Kurangnya pembahasan para pemikir tentang syura membuat pengambilan
keputusan hanya berada disebagian kecil elit politik saja. Hal inilah yang
kemudian menjadikan penguasa memiliki sikap otoriter .

2.2. Pemikiran Politik Syi`ah

Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok sunni yang


mendominasi pemerintahan dan kekuasaan sejak wafatnya Nabi Muhammad
SAW. Karena ada beberapa golongan syi’ah yang menyatakan siapa yang berhak
menggantikan rasullah setelah ia wafat. Hal in menyebabkan perpecahan yang
terjadi dalam golongn syi’ah. Selain disebabkan perbedaan pandangan mereka
tentang sifat imam. Dari sekian banyak sekte-sekte syi’ah dapat dikelompokkan
kedalam aliran moderat, ekstrem dan diantara kedua tersebut. Moderat pada
umunya memandang Ali sebagai Manusia biasa mereka juga bisa menerima
kekhalifahan Abu Bakar dan Ummar. Sedang Ekstrem memperlakukan Ali

6 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


sebagai seperman , mereka menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih
tinggi dari nabi Muhammad sendiri. Bahkan diantara kelompok ini ada yang
menganggap Ali sebagai penjelmaan Tuhan. Tiga sekte besar yng berpengaruh
kepada Mazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu Zaidiyah, Na’iliyah (Sab’iyah), dan
Imamiyah (Isna ’Asyariyah).

Semua sekte ini mengakui Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali
dan Ali Zain ’Abidin. Namun setelah Ali bin al-’Abidin mereka mengalami
perbedaan pendapat siapa yang akan melanjutkan estafet pemerintahan. Ada yang
memilih Zaid bin Ali sebagi imam yang kemudian dikenal dengan Zaidiyah.
Kemudian kelompok lain yang memilih anak Ali al-’Abidin sebagai imam, yang
bernama Muhammad al-Baqir kemudian sekte ini dikenal dengan nama Isma
’iliyah. Ada yang mengangkat Muhammada al-Mahdi sebagai imam yang
kemudian sekte ini dinamakan Imamiyah.

2.3. Pemikiran Politik Khawarij

Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali
setelah arbitrase (tahkim) yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara
Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Pengikut Khawarij merupakan suku Arab Badui
yang masih sederhana pola pikirnya sehingga sikap keagamaan mereka sangat
ekstrem dan sulit menerima perbedaan pendapat. Mereka menganggap orang yang
berada di luar kelompoknya adalah kafir dan hala dibunuh. Sikap picik dan
ekstrem ini pula yang membuat mereka terpecah menjadi beberap sekte. Satu hal
yang cukup menarik adalah meskipun mereka cenderung ekstrem dan sulit
menerima perbedaan, pandangan mereka cukup maju daripada Sunni maupun
Syiah.

Berbeda dengan kelompok Sunni dan Syiah, mereka tidak mengakui hak-
hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah.
Dari pemikiran ini pengikut Khawarij berpendapat bahwa kekhalifahan bukanlah
kewajiban yang berdasakan Syari’ (agama). Pengangkatan khalifah dan
pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia.

7 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


Khawarij menggunakan syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas
pemerintahan. Kalau ternyata kepala negara menyimpang dari semestinya dia
dapat diberhentikan atau dibunuh. Pandangan Khawarij yang lebih demokratis ini
agaknya bisa dipahami dari sosiologis masyarakat Arab yang mengutamakan
syura dalam pengambilan keputusan. Mereka ingin menegakkan kembali tradisi
syura yang mendapat justifikasi dalam Islam, setelah terkubur oleh ambisi politik
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan.

Pandangan khawarij lebih demokratis hal ini dapat dipahami dari sosiologis
masyarakat arab yang mengutamakan syura yang mendapat justifikasi dalam
islam, setelah terkubur oleh ambisi politik Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Pertentangan ’Ali dan Mu’awiyah mereka anggap penyebab krisisasi yang terjadi
dalam islam atau terjadinyam chaos dalam tubuh islam. Tidak berkembangnya
tradisi syura dan menonjolnya ambisi pribadi atau golongan untuk menduduki
jabatan khalifah juga menjadikan mereka sebagai kelompok yang berusaha
kembali ke prinsip demokrasi dengan mengabaikan ambisi-ambisi tersebut.

2.4. Pemikiran Politik Mu`tazilah

Penamaan kelompok mu’tazilah ini baru terjadi pada saat terjadinya


perbedaan-perbedaan antara washil ibnu atah dengan gurunya hasan al-basri.
Tentang penilaian orang yang berbuat dosa. Kelaompok mu’tazilah selanjutnya
berkembang menjadi sebuah aliran teologi nasional, akan tetapi sesuai dengan
situasi dan perkembangan, pemikiran mu’tazilah berpandangan bahwa
pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajibaan berdasarkan syar’i karena
nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membentuk negara, menambah dalam
karangannya melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia. Karena kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat islam
sendirzi. Hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara
tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah
bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas
mempermasalahkan untuk membentu negara dan Suyuti menambahkan dalam
karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah
manusia.

8 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


Sikap politik Mu’tazilah terdapat kondisi yang berklembang sejak masa
’Ali. Mereka memandang tokoh-tokoh yang terlibat perselisihan dan pertentangan
pada pemerintahan ’Ali adalah sahabat-sahabat Nabi yang saleh. Kemudian
kelompok ini berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional. Pemikiran
mereka kemudian merambah kelapangan siyasah. Mu’tazilah beranggapan bahwa
akallah yang menjadi ukuran untuk menentukan pembentukan lembaga khalifah,
walaupun pemikiran ini sama dengan khawarij tetapi Mu’tazilah memberikan
argumentasi atau alasan secara filosofis dan teologis.

Abd al-Jabar menempatkan kepala negara pada posisis yang sama dengan
umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa
sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan
suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan
siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala
negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

Sebagai aliran rasional, Mu’tazilah berpendapat bahwa dengan kemampuan


akalnya, manusia dapat mengetahui empat hal yaitu: Tuhan, kewajiban
mengetahui Tuhan, baik dan jahat serta mengerjakan yang baik dan menjauhi
yang jahat. Berdasarkan pendekatan ini, maka pembentukan khilafah atau negara
adalah bagian dari kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.

2.5. Pemikiran Politik Al-Mawardi

Almawardi bernama lengkap Abu al-Hahan Ali bin Muhammad bin Habib
al-Mawardi al-Syafi’in. Lahir di kota Basrah Iraq 364 H/974 M pada masa Daulah
Abbasiyah. Almawardi merupakan seorang Sarjana muslim yang terhormat pada
masanya karena banyak karya-karya yang ternama yang beliau lahirkan. Salah
satu karyanya yang ternama adalah al-Ahkam al-Sulthaniyah wa al-Wilayat al-
Dinniyyah, ini merupakan karya pertamanya yang terbit dan dikenal dunia sampai
saat ini. Al mawardi juga ada menulis beberapa buku tentang ilmu politik dan
ketatanegaraan, namun tidak ada satupun dari buku-buku al-mawardi di bidang
ilmu politik dan ketatanegaraan, yang berbicara secara eksplisit konsep negara di
dalam islam. Karena memang al-mawardi hidup di masa Kekhalifahan Daulah
Abbasiyah. Al mawardi berpendapat khilafah pada saat itu merupakan bukti

9 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


bahwa konsep negara telah ada dalam praktik politik dan kenegaraan dalam islam,
yang berarti konsep tentang negara telah selesai, artinya bila ada seseorang yang
bertanya tentang konsep negara dalam islam, lihat saja khilafah Daulah Abbasiyah
yang sedang berkuasa. Dari banyak buku yang ditulis oleh Al-Mawardi dapat
kami tarik satu kesimpulan bahwa pandangan beliau pada konsep negara.
Sebagaimana Plato dan, Aristoteles dan Ibnu Abi Rabi,’ al-Mawardi juga
berpendapat manusia adalah mahluk sosial yang saling bekerja sama dan
membantu satu sama lain, tetapi dia memasukkan agama dalam teorinya.

10 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Dapat ditarik simpulan bahwa keempat pemikiran politik dalam islam diatas
memiliki satu persamaan yang patut dicatat dan diingat yaitu, tidak ada satupun
aliran yang membicarakan tentang berapa lama masa jabatan suatu kepala negara
atau pemimpin, karena kekhalifahan selalu berakhir pada kematian atau wafatnya
kepala negara. Aliran Syi’ah dengan konsep Imam ma’shumnya jelas
berpandangan bahwa imam yang berkuasa memiliki jabatan seumur hidup. Aliran
Sunni dan Mu’tazilah juga memandang kepala negara memiliki masa jabatan yang
tidak terbatas waktunya. Sedang Khawarij sendiri berpandangan membatasi masa
jabatan kepala negara walaupun tidak dinyatakan secara tegas.

Dari pemikiran diatas pemikiran politik kenegaraan dalam islam ada tiga
yaitu, yang Pertama aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok
Sunni dimana kepala negara dipimpin oleh khalifah yang beryindak sebagai raja
dan segala tindakan atau perbuatannya tidak dapat diganggu gugat. Dan
menyatakan bahwa kepala negara sebagai bayang-bayang Tuhan atau wakil Tuhan
dibumi. Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah (kecuali Syi’ah zaidiyah)
mereka menganggap kepala negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam
agama dan politik berdasarkan penunjukkan Allah. Kedua aliran ini menempatkan
kepala negara memegang otoritas yang sangat kuat. Ketiga, aliran demokratis
yang dianut oleh Khawarij merupakan reaksi atas pemikiran politik sunni dan
Syi’ah yang mengutamakan kelompok atau kepentingan pribadi tertentu dalam
kepemimpinn umat islam.

Simpulan dari pemikiran para pemikir tersebut terlihat jelas bahwa adanya
pengaruh dari bangsa romawi yang menyatakan sejak berabad-abad lalu bahwa
kepala negara mereka sebagai wakil Tuhan dimuka bumi dan semua perintah atau
perkataan raja wajib dilaksanakan dan dijalankan oleh rakyatnya tanpa terkecuali
dan bagi siapa saja penentang akan mendapatkan hukuman hingga ada ang
menerima hukuman mati. Keadilan tertinggipun ada ditangan kepala negara dan

11 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


secara tidak langsung kepala negara menjabat sebagi badan legislatif, Eksekutif
dan Yudikatif yang memegang tempuk kekuasaan.

Tapi seiring dengan berkembangnya zaman pemikir poltik kenegeraan


dalam islampun mulai menyadari bahwa kepala negara bukan orang yang
istimewa mereka hanya sebagian kecil orang yang dipercaya oleh Tuhan untuk
memimpin manusia yang lain dengan ditinggikan sederajat dari menusia yang
dipimpinnya. Oleh sebab itu kepala negara juga dapat melakukan dosa dan
kesalahan serta juga dapat lengah dalam mengambil kebijakkan atau
memperhatikan rakyatnya. Perkembangan pemikiran tersebut yang melahirkan
apa itu kelak yang din amakan demokrasi yang dimana kepala negara akan dipilih
langsung oleh rakyatnya.

12 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6


DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad. Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Jakarta.


Gaya Media Pratama. 2001.

Munawir, Sjadzali. Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press,1990) hal. 16.

Ibn Taimiah, Al-Siyasah aal-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’I wa al-Ra’iyah, (Beirut


Dar al-afaq, 1983) hal.162

G.E. Grunebaum,Clasical Islam a History600-11258 (Chicago: Aldine Publishing


Co, 1970) hal 80

Munawir Sjadzali, op. cit.,hal 47-48

Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi al-I’tiqad, (Mesir: Maktabah al-Jund, 1972) hal.198-


199

Al-Mawardi,al-Ahkam al-Sulthaniyah , (Beirut: Dar al-Fikr,t.tp) hal. 5

Muhammada asyid Ridha, Al-Khalifah aw al-Mamah al-‘Uzhma, (Kairo:


Mathaba’ah al-Manar, 1341 H) hal. 20-21

Ibn Khuldun, Al-Muqaddinah, (Mesir: Musthafa Muhammad, t.td) halm 193-196

Penjelasan rinci tentang sekte-sekte Syi’ah dapat diliht pada Moojan Momen, op,
cit hal 23-60 dan Muhammaad Abu Zahrah, Tarikhal-Mazahib al
Islamiyah.

Tentang sekte-sekte khawarij dan ajaran-ajarannya ini diterangkan oleh Harun


Nasution dalam bukunya, Teologi Islam Alitran-aliran Sejarah Analaisa
Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1986) hal. 11-21; dan abu Bark Ahmad
al-Syahrastani, al- Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.tp) hal 114-
117.

Tentang perbincangan tentang asal-usul Mu’tazilah diuraikan oleh Harun


Nasution dalam bukunya, Teologi Islam,op,cit, hal 38-41.

Harun Nasution,op.cit, hal. 86.

Pulungan, Suyuti.1997.Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran.Jakarta:


PT.Raja Grafindo Persada.

13 | Makalah Fiqh Siyasah- Kelompok 6

Anda mungkin juga menyukai