Anda di halaman 1dari 16

PEMBERDAYAAN QAWÂ`ID FIQHIYYAH

DALAM PENYELESAIAN MASALAH-MASALAH


FIKIH SIYASAH MODERN
Toha Andiko
Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Bengkulu
Jl. Raden Fatah Pagar Dewa Bengkulu
E-mail: toha.andiko@gmail.com

Abstract: This paper is aimed at describing qawâ`id fiqhiyyah (Islamic legal norms) position in
deducing Islamic law which is considerably enhanced as independent law enforcement, comparer
between ushul fiqh (Islamic legal jurisprudence) and fiqh, and excited character. Although coming
from Islamic law circumstances inductively, the effect of qawaid fiqhiyyah is very wide including
current and future social problem which has not been regulated in the Qur’an and hadith. In political
Islamic law, particularly, various problems in accordance with the political law and problematic
prerogative government exactly can be overcome easily through using qawâ`id fiqhiyyah made by
former Muslim scholars.
Keywords: enhancing, qawâ`id fiqhiyyah, Islamic political law

Abstrak: Pemberdayaan Qawâ`id Fiqhiyyah dalam Penyelesaian Masalah-masalah Fikih


Siyasah Modern. Tulisan ini menjelaskan tentang kedudukan qawâ`id fiqhiyyah dalam istinbat
hukum Islam yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum yang mandiri, perbedaannya dengan ushûl
al-fiqh dan fiqh, dan keistimewaannya. Walaupun qawâ`id fiqhiyyah terbentuk secara induktif dari
masalah-masalah fiqh, namun daya jangkaunya sangat luas yang bisa mencakup masalah-masalah
kini dan akan datang yang belum diatur secara rinci dalam Alquran dan hadis. Khusus dalam bidang
fikih siyasah, beberapa masalah terkait bidang politik hukum dan kewenangan pemerintah yang
selalu menjadi perdebatan, ternyata bisa diselesaikan dengan mudah melalui penggunaan kaedah-
kaedah fikih yang dibuat oleh para ulama terdahulu.
Kata kunci: pemberdayaan, qawâ`id fiqhiyyah, fikih siyasah

Pendahuluan dari masalah politik.1 Masalah politik ini


Dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, fikih
siyasah merupakan salah satu cabang ilmu 1
Pada perang Shiffin, pasukan Muawiyah yang ter-
yang bahasannya cukup banyak menarik desak hampir kalah, menjalankan strategi “tahkim” dengan
mengangkat Alquran sebagai simbol minta genjatan senjata
perhatian para ulama. Ini karena masalah dan perdamaian dengan berhukum pada Alquran. Tipu
politik merupakan masalah yang terkait muslihat pihak Muawiyah yang dijalankan oleh Amru bin
`Ash (politikus) berhasil mengelabui Ali yang diwakili oleh
dengan kekuasaan dan berdampak luas Abu Musa al-Asy`ari (sufi). Hasil “tahkim” yang merugikan
bagi kehidupan masyarakat. Terbukti pihak Ali bin Abi Thalib ini menyebabkan jajaran pasukan
dalam sejarah Islam, polarisasi teologi dan Ali terpecah, di antaranya yang menolak keras hasil “tahkim”
tersebut lalu memutuskan diri keluar dari barisan pasukan Ali
munculnya beberapa aliran juga diawali dan membentuk kelompok Khawarij. Khawarij ini menolak

103
104| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

terus berkembang seiring dengan dinamika sebab itu, kekuasaan kepala negara bersifat
masyarakat dan perubahan zaman. Dahulu sakral dan umat wajib mengikutinya. Jadi
kajian fikih siyasah lebih dominan masalah pembentukan negara bukanlah berdasarkan
kepemimpinan yang meliputi sumber ke- rasio, tetapi berdasarkan perintah syar`i.3
kuasaan, dasar pembentukan negara, syarat- Adapun Ibnu Taimiyah dengan berdalil pada
syarat pemimpin, mekanisme pemilihan hadis, berpendapat bahwa haram hukumnya
pemimpin, dan sedikit tentang tata cara melakukan pemberontakan kepada kepala
menurunkan pemimpin. Al-Mawardi misal- negara, meskipun kafir, selama kepala negara
nya berpendapat bahwa sumber kekuasaan tersebut masih menjalankan keadilan dan
kepala negara adalah berdasarkan perjanjian tidak menyuruh berbuat maksiat kepada
antara kepala negara dan rakyatnya yang Allah.4 Di era modern, permasalahan fikih
melahirkan hak dan kewajiban secara timbal siyasah semakin berkembang pada tugas-
balik, dan kepala negara tersebut harus tugas rinci pemimpin dan kewenangannya
beragama Islam. Karena itu, rakyat berhak hingga materi kebijakan yang diambil.
menurunkan kepala negara jika dinilai tidak Menyikapi masalah-masalah baru dalam
mampu lagi menjalankan pemerintahan bidang politik, para ulama fikih berusaha
sesuai dengan perjanjian yang disepakati mencarikan solusinya di antaranya dengan
bersama.2 Sedangkan Al-Ghazali berpendapat mengidentifikasi beberapa kasus yang
bahwa sumber kekuasaan adalah Tuhan, mirip dan memiliki kesamaan motif secara
lalu kekuasaan ini dilimpahkan-Nya hanya induktif, lalu membuat kaedah-kaedah fikih
kepada sebagian kecil hamba-Nya. Oleh yang bersifat umum yang bisa diterapkan
pada masalah-masalah sejenis yang masuk
Ali dan sekaligus menentang Muawiyah. Mereka menuduh dalam ruang lingkupnya, sehingga dapat
Ali tidak menyelesaikan masalah berdasarkan hukum Allah
yang terdapat dalam Alquran, karena itu Ali dianggap telah
memudahkan umat di belakang hari dalam
kafir. Kelompok ini kemudian mulai menjustifikasi sikap menyelesaikan kasus-kasus hukum secara
dan tindakan mereka dengan memperbincangkan persoalan
iman dan kufur. Oleh sebab itu, masalah mendasar yang
praktis. Melalui aplikasi kaedah-kaedah fikih
mempengaruhi pertumbuhan aliran kalam adalah masalah (qawâ`id fiqhiyyah) yang ringkas, lugas, dan
“pelaku dosa besar”. Menurut kelompok khawarij, pelaku luas maknanya, maka berbagai masalah yang
dosa besar itu tidak mukmin lagi dan telah menjadi kafir.
Khalifah (pemimpin) harus dipilih secara bebas oleh umat muncul di masyarakat modern bisa diatasi
Islam. Khalifah yang dipilih haruslah Islam (boleh dari suku secara cepat, tepat, dan tuntas, termasuk di
Quraisy atau yang lainnya, baik dari orang merdeka maupun
budak), bersikap adil, dan melaksanakan syari`at Islam.
dalamnya kasus-kasus fikih siyasah (politik
Merespons pendapat ini, lahirlah kelompok Murji`ah yang hukum Islam) kini dan masa mendatang.
menganggap bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin dan Diharapkan dengan sigapnya respons ulama
bukan kafir. Mereka beralasan bahwa dosa besar itu tidak
merusak keimanan seperti halnya ketaatan tidak membawa terhadap kasus-kasus baru yang muncul,
manfaat bagi kekufuran. Maka mengenai pelaku dosa besar, masyarakat memperoleh kepastian status
penyelesaiannya mereka tangguhkan sampai hari pembalasan
tiba, keputusannya mereka serahkan kepada Allah. Sedangkan hukumnya, dan mendapatkan ketenangan
kelompok Mu`tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar dalam menjalankan pilihan-pilihan mereka.
itu tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tapi berada pada
posisi di antara dua tempat tersebut. Mereka menyebut pe-
Di sinilah tampak urgensi mengkaji dan
laku dosa besar sebagai fasik yaitu antara mukmin dan kafir. memahami secara mendalam qawâ`id
Menurut Washil bin Atha’, mukmin adalah sifat baik yang fiqhiyyah. Sebab melalui penguasaan qawâ`id
diberikan kepada seseorang sebagai pujian, dan fasik adalah
sifat buruk karena melakukan dosa besar yang berakibat tidak fiqhiyyah, maka tidak ada satu pun masalah
berhak mendapat pujian. Konsekuensinya ia tidak dapat di- baru yang tidak bisa diselesaikan.
sebut mukmin atau kafir secara mutlak, sebab ia masih meng-
ucapkan syahadat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Lihat Al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq, (Beirut: Dâr al-
Âfaq al-Jadîdah, t.th.), h. 156 dan Muhammad Abu Zahrah,
Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Arabi, 3
Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishâd fi al-I`tiqâd, (Mesir:
t. th.), jilid I, h. 133. Maktabah al-Jund, 1972), h. 198-199.
2
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyat, 4
Taqiy al-Din ibn Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar`iyah fi
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 5 Ishlâh al-Râ`i wa al-Râ`iyah, (Beirut: Dar al-Âfâq, 1983), h. 162
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |105

Pengertian Qawâ`id Fiqhiyyah dan (juz’i) tersebut dapat dikenali darinya.”6


Cakupannya Sedang al-Jurjani dengan lebih sederhana
Qawâ`id fiqhiyyah berasal dari bahasa mendefenisikan qâ`idah sebagai proposisi/
Arab yang terdiri dari dua suku kata, yaitu peristiwa (qadhiyyah) universal yang dapat
qawâ`id dan fiqhiyyah. Qawâ`id adalah diterapkan pada seluruh bagian-bagiannya.
bentuk jama` dari kata qâ`idah yang secara Sedangkan fiqhiyyah berasal dari kata
etimologi berarti dasar atau fondasi (al-asâs). fiqh yang ditambah ”ya nisbah”, gunanya
Jadi qâwa`id berarti dasar-dasar sesuatu.5 untuk menunjukkan jenis. Secara etimologi,
Ada dasar atau fondasi yang bersifat hissi kata fiqh berasal dari kata fiqhan yang
(kongkrit, bisa dilihat) seperti dasar atau merupakan mashdar dari fi`il mâdhi faqiha
fondasi rumah, dan ada juga dasar yang yang berarti paham. Kata fiqh dengan arti
bersifat ma`nawi (abstrak, tak bisa dilihat) paham atau memahami didukung oleh
seperti dasar-dasar agama. Pengertian qâ`idah firman Allah:
yang bersifat hissi ini bisa ditemukan dalam
Alquran pada surat al-Baqarah ayat 127 dan
surat al-Nahl ayat 26 sebagai berikut:

”Mereka berkata: ”Hai Syu`aib, kami tidak


“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggi- banyak memahami tentang apa yang kamu
kan (membina) dasar-dasar Baitullah ber- katakan itu, dan sesungguhnya kami benar-
sama Ismail (seraya berdoa): ”Ya Tuhan benar melihat kamu seorang yang lemah
kami, terimalah daripada kami (amalan di antara kami. Kalau tidaklah karena
kami), sesungguhnya Engkaulah yang Maha keluargamu, tentulah kami telah merajam
mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al- kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang
Baqarah[2]: 127) berwibawa di sisi kami.” (Q.S. Hûd[11]: 91)
Selain itu, fiqh juga dimaknai sebagai
pemahaman mendalam yang untuk sampai
padanya diperlukan pengerahan pemikiran
secara sungguh-sungguh. Oleh sebab itu,
pemahaman di sini tidak hanya pemahaman
secara lahir tapi juga batin. Hal ini sejalan
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum
mereka telah mengadakan makar, maka dengan firman Allah:
Allah menghancurkan rumah-rumah mereka
dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh
menimpa mereka dari atas, dan datanglah ”Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan
siksa itu kepada mereka dari tempat yang tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti7
tidak mereka sadari.” (Al-Nahl [16]: 26) agar mereka memahami(nya).” (Q.S. Al-
An`âm[6]: 65)
Secara terminologi, al-Taftazani men-
defenisikan qâ`idah dengan ”hukum
6
Al-Taftazani, al-Talwîh `ala al-Taudhîh, (Mesir:
yang bersifat universal (kulli) dan dapat Mathba`ah Syam al-Hurriyah, t.th.), Juz I, h. 20
diterapkan pada seluruh bagian-bagiannya, 7
Maksudnya ialah Allah Swt. mendatangkan tanda-
yang mana persoalan-persoalan bagian tanda kebesaran-Nya dalam berbagai rupa dengan cara yang
berganti-ganti. Ada juga mufassirîn yang mengartikan kata al-
âyat di sini dengan ayat-ayat Alquran. Ini menunjukkan bahwa
ayat Alquran itu diturunkan ada yang berupa berita gembira,
5
Al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradât fi Gharîb al-Qur’ân, ada yang berupa peringatan, cerita-cerita, hukum-hukum dan
(Mesir: Musthafa al-Bâbi al-Halabi, 1961), h. 409 lainnya.
106| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

Dalam Alquran, makna fiqh sebenarnya


lebih dekat kepada makna ilmu, sebagaimana 9
firman Allah:
“Hukum syara` tentang peristiwa yang bersifat
mayoritas, yang darinya dapat dikenali hukum
berbagai peristiwa yang masuk ke dalam ruang
lingkupnya.”

10

”Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi “Dasar fiqh yang bersifat universal, mengandung
semuanya (ke medan perang). Mengapa hukum-hukum syara` yang bersifat umum
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara dalam berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa
mereka beberapa orang untuk memperdalam yang masuk ke dalam ruang lingkupnya.”
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk Berdasarkan defenisi-defenisi di atas,
memberi peringatan kepada kaumnya apabila maka ulama terbagi dua dalam memaknai
mereka telah kembali kepadanya, supaya qawâ`id fiqhiyyah berkenaan dengan per-
mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S.
bedaan mereka dalam memandang keber-
Al-Taubah[9]: 122)
lakuannya, apakah bersifat kulli (menyeluruh/
Begitu juga kalau melihat hadis Nabi universal) atau aghlabi (kebanyakan).
saw yang berbunyi: Bagi ulama yang memandang bahwa
qawâ`id fiqhiyyah bersifat aghlabi, mereka
beralasan bahwa realitanya memang seluruh
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, qawâ`id fiqhiyyah memiliki pengecualian,
Allah anugerahkan ilmu tentang agama sehingga penyebutan kulli terhadap qawâ`id
padanya.” (HR. Bukhari) fiqhiyyah menjadi kurang tepat. Sedang bagi
Dari ayat dan hadis di atas, tampak jelas ulama yang memandang qawâ`id fiqhiyyah
bahwa pengertian fiqh di sini lebih mengarah sebagai bersifat kulli, mereka beralasan pada
pada ilmu pengetahuan agama yang masih kenyataan bahwa pengecualian yang terdapat
bersifat secara umum meliputi berbagai pada qawâ`id fiqhiyyah tidaklah banyak. Di
aspeknya. Sedang dalam kajian ushûl al- samping itu, mereka juga beralasan bahwa
fiqh, fiqh dimaknai dengan ”pengetahuan pengecualian (al-istitsnâ’) tidak memiliki
tentang hukum-hukum syara` yang bersifat hukum, sehingga tidak mengurangi sifat
amaliah yang digali dari dalil-dalilnya yang kulli pada qawâ`id fiqhiyyah.
terperinci.” 8 Pengertian ini menegaskan Jadi, pada dasarnya kedua kelompok
bahwa fiqh merupakan hasil ijtihad para ulama di atas sepakat tentang adanya istitsna’
ulama melalui kajian terhadap dalil-dalil (pengecualian) dalam penerapan qawâ`id
tentang berbagai persoalan hukum baik yang fiqhiyyah, hanya saja mereka berbeda
disebutkan secara langsung maupun tidak pendapat berkenaan dengan pengaruh istitsna’
langsung dalam Alquran dan Sunah. tersebut terhadap keuniversalan qawâ`id
Adapun pengertian qawâ`id fiqhiyyah, fiqhiyyah.
secara istilah terdapat berbagai defenisi, Dengan demikian, qawâ`id fiqhiyyah
dua di antaranya yang menjadi pendapat merupakan kaedah-kaedah yang bersifat
populer:
9
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah,
8
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Dâr al- (Damaskus: Dâr al-Qalam, t.th.), h. 43
Fikr al-`Arabi, t. th), h. 6 10
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, h. 45
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |107

umum, meliputi sejumlah masalah fikih, besar/lebih banyak dibanding yang lain.
dan melaluinya dapat diketahui sejumlah Dilâlah yang lebih besar itu disebut
masalah yang berada dalam cakupannya. zhahir.
d. Muhtamal, yaitu lawan dari zhahir,
Perbedaan Qawâ`id Fiqhiyyah dengan lafaz yang dilalahnya lebih dari satu,
Ushûl al-Fiqh ditanggungkan kepada dilâlah yang
Ushul al-fiqh adalah kumpulan kaedah- lebih kuat (zhahir) secara mutlak.
kaedah untuk mengeluarkan hukum berbagai Penanggungannya kepada dilâlah yang
kasus fiqh. Dari berbagai kasus fiqh tersebut, lebih lemah (muhtamal) hanya dengan
lalu dilihat persamaan illat dan diperhatikan dalil.
kemiripan motif-motif, kegunaan, tujuannya, Dengan demikian, ushûl al-fiqh adalah
dan prinsip umum yang terkandung dalam metode, fiqh adalah hasilnya, dan qawâ`id
nash (Alquran dan hadis), kemudian barulah fiqhiyyah merupakan ringkasan dari masalah-
diklasifikasi dan disusun sedemikian rupa masalah fiqh terdahulu yang dibuat dalam
dalam bentuk pernyataan-pernyataan singkat bentuk ungkapan singkat, yang dapat pula
dan padat. Tegasnya, fiqh merupakan dijadikan bahan pertimbangan pedoman
produk dari ushûl al-fiqh. Dan dari fiqhlah dalam menetapkan hukum-hukum berbagai
kemudian dilahirkan qawâ`id fiqhiyyah peristiwa yang terjadi di kemudian hari,
untuk memudahkan manusia mengetahui termasuk masalah-masalah yang tidak ada
dan memahami ketentuan hukum secara nashnya mengatur secara langsung.
singkat terhadap berbagai masalah, sehingga Dengan analogi lain dapat dijelaskan,
manusia merasa nyaman dalam bertindak jika diibaratkan dalam suatu proses produksi,
karena cepat mengetahui status hukumnya. maka ushûl al-fiqh merupakan mesin
Berbeda dengan al-qawâ`id al-fiqhiyyah, produksi, sedangkan fiqh adalah barang
ada juga al-qawâ`id al-ushûliyah yang hasil produksi. Adapun qawâ`id fiqhiyyah
dimaknai sebagai kaedah-kaedah hukum adalah kumpulan atau paket-paket kemasan
yang diambil dari lafaz Arab secara khusus, dari hasil produksi. Dalam hal ini, qawâ`id
dan apa yang dikemukakan pada lafaz-lafaz fiqhiyyah merupakan hasil produksi para
itu berupa al-nasakh, al-tarjîh, dan lainnya mujtahid dalam bentuk hukum Islam yang
seperti “al-amru li al-wujûb dan al-nahyu dikelompokkan menurut jenis dan kesamaan
li al-tahrîm.”11 Dalam kaedah ushûliyah ini lainnya.13
dikenal istilah-istilah berikut:12 Dari penjelasan di atas, perbedaan ushûl
a. Nash, yaitu lafaz yang dilâlahnya hanya al-fiqh dengan qawâ`id fiqhiyyah dapat
satu makna saja. Ulama sepakat beramal dirinci sebagai berikut:
dengan nash. 1. Ushûl al-fiqh lahir lebih dahulu dari
b. Mujmal, yaitu lafaz yang dilalahnya pada fiqh, sebab fungsi ushûl al-fiqh
lebih dari satu makna, sementara ke- adalah menggali, mengeluarkan, dan
kuatan dilâlahnya atas semua makna menemukan hukum syara` yang bersifat
tersebut setara. Lafaz mujmal tidak dapat praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci.
menimbulkan suatu kewajiban hukum. Sedangkan qawâ`id fiqhiyyah lahir se-
c. Zhahir, yaitu lafaz yang dilalahnya sudah adanya fiqh, sebab qawâ`id
lebih dari satu makna, tetapi kekuatan fiqhiyyah diambil dari hasil generalisasi
dilalahnya terhadap sebagian lebih terhadap kumpulan berbagai masalah

11
Al-Qarafi, al-Furûq, (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th.), Jilid
I, h. 4 13
Lihat Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
12
Al-Qarafi, al-Furûq, Jilid I, h. 5-7 Amzah, 2010), Cet. ke-1
108| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

hukum-hukum fiqh yang serupa yang tidak dapat dijadikan hujjah, tapi hanya
memiliki kesamaan `illat, dan fungsinya sebagai sarana untuk mengenal metode ijtihad
untuk mendekatkan dan mengklasifikasi dalam mazhab Syafi`i. Senada dengan itu, al-
berbagai macam persoalan yang berbeda Zarkasyi dengan lebih moderat berpendapat
sehingga mempermudah mengetahuinya. bahwa qawâ`id fiqhiyyah dapat dijadikan
2. Ushûl al-fiqh merupakan metode yang semacam instrumen bagi seorang faqîh
dijadikan standar pedoman primer (pakar hukum Islam) dalam mengidentifikasi
untuk menggali, menemukan, dan me- ushul al-madzhab dan menyingkap dasar-
ngeluarkan (istinbâth) hukum, objek dasar fiqh.15 Hal ini bisa dimaklumi, sebab
bahasannya dalil-dalil dan hukum pada dasarnya masing-masing mazhab fiqh
perbuatan mukallaf. Hal ini seperti memiliki qawâ`id fiqhiyyah yang beragam
halnya eksistensi ilmu nahwu yang yang diciptakan oleh para ulama mereka
menjadi pedoman dalam pembicaraan dengan berpatokan pada ushul mazhabnya.
dan penulisan bahasa Arab. Sedangkan Walaupun begitu, bukan berarti seluruh
qawâi`d fiqhiyyah adalah kaedah-kaedah ulama mazhab Syafi`i menolak qawâ`id
sekunder yang bersifat kebanyakan fiqhiyyah untuk dijadikan sebagai hujjah.
(aktsariyah), dan objek bahasannya selalu Karena mayoritasnya justru lebih cenderung
hukum perbuatan mukallaf. dapat menerima qawâ`id fiqhiyyah untuk
3. Dalam penerapannya, kaedah-kaedah dijadikan sebagai dalil hukum. Ini tampak
yang terdapat dalam ushûl al-fiqh misalnya dari pernyataan al-Bannani,
(qawâ`id ushûliyah) bersifat umum dan “menurut mazhab Syafi`i, qawâ`id fiqhiyyah
menyeluruh dan dapat diaplikasikan dapat dijadikan hujjah dan sangat penting
pada seluruh bagian-bagian dan ruang keberadaannya dalam fiqh.16 Begitu juga
lingkupnya. Sedangkan qawâ`id fiqhiyyah al-Suyuthi yang menjelaskan bahwa ilmu
pada kaedah-kaedahnya tidak dapat al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir adalah ilmu yang
diterapkan secara menyeluruh, tapi agung, dapat menyingkap hakikat, dasar-
hanya dapat diaplikasikan pada sebagian dasar dan rahasia fiqh, mempertajam analisa
besar bagian-bagiannya saja, karena ada fiqh serta mampu membekali seseorang untuk
pengecualian-pengecualian tertentu. mampu mengidentifikasi berbagai persoalan
yang tak terhingga banyaknya sepanjang
4. Kaedah-kaedah pada ushûl al-fiqh masa dengan cara al-ilhâq dan al-takhrîj.17
merupakan dalil-dalil umum, sedangkan Oleh sebab itu, al-Suyuthi menyimpulkan
qawâ`id fiqhiyyah merupakan hukum- bahwa qawâ`id fiqhiyyah dapat dijadikan
hukum umum.14 sebagai hujjah.
Tak jauh beda dengan mazhab Syafi`i,
Eksistensi Qawâ`id Fiqhiyyah Sebagai
dalam mazhab Hanafipun tidak ada ke-
Dalil Hukum Islam
sepakatan di antara para ulama mereka
Al-Juwaini dari mazhab Syafi`i dalam kitabnya terhadap boleh tidaknya berfatwa atau
al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan akhir berhujjah dengan menggunakan qawâ`id
dari qawâ`id fiqhiyyah adalah untuk memberi fiqhiyyah. Mereka yang tidak setuju, beralas-
isyarat dalam rangka mengidentifikasi metode an bahwa qaidah itu bersifat aghlabiyah
yang dipakainya terdahulu, bukan untuk
beristidlâl dengannya. Ini sebagai indikator 15
Tâj al-Dîn Abd al-Wahhâb ibn Ali ibn Abd al-Kafi
bahwa bagi al-Juwaini, qawâ`id fiqhiyyah al-Subki, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah, 1991), Cet. ke-1, Jilid I, h. 11
16
Abdurrahmân ibn Jâdillâh al-Bannâni, Hasyiyah al-
Bannani, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid II, h. 357
14
Taqiy al-Din ibn Taimiyah, Majmû` al-Fatâwâ, (Al- 17
Izz al-Dîn ibn Abd al-Salâm, Qawâ`id al-Ahkâm, Mesir:
Riyâdh: Mathba`ah al-Riyâdhah, 1381H), Cet. ke-29, h. 167 Dar al-Ma`arif, t. th., Jilid I, h. 5-7
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |109

(mayoritas), tidak bersifat kulliyyah juga Ibn Farhun dalam kitabnya Tabshirat al-
(universal menyeluruh). Di antaranya Ibn Hukkâm yang menjadikan qawâ`id fiqhiyyah
al-Nujaim sebagaimana dikutip al-Hamawi sebagai hujjah. Bahkan secara tegas al-
yang mengatakan: “tidak boleh berfatwa Bannani menyatakan bahwa qâ`idah yang
dengan menggunakan qawâ`id fiqhiyyah menjadi pijakan fiqh, kedudukannya me-
dan dhawabith karena sifatnya aghlabiyah.18 nyerupai dalil-dalil. Dengan demikian, bagi
Tapi bagi ulama mazhab Hanafi yang setuju mazhab Maliki, qawâ`id fiqhiyyah dapat
qawâ`id fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai dijadikan sebagai dalil sumber hukum Islam.
hujjah, beralasan bahwa bila diperhatikan Adapun dalam mazhab Hanbali, ulama
ternyata tidak semua qâ`idah itu bersifat mereka tampaknya sepakat menjadikan
aghlabiyah, namun ada juga qa`idah yang qawâ`id fiqhiyyah sebagai hujjah (dalil
sifatnya kulliyyah sebagaimana dinyatakan hukum). Hal ini terlacak dari pendapat
oleh al-Qarafi dengan menukil dari al-Amiri.19 beberapa tokohnya yang populer seperti
Di sini, sayangnya ia tidak memberikan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Qawâ`id
contoh kongkrit qâ`idah yang bersifat al-Nûrâniyyah, ibnu Qayyim al-Jauziyah
kulliyyah tersebut. Oleh sebab itu, ibn al- dalam kitabnya I`lâm al-Muwaqqi`în, ibnu
Nujaim hanya secara implisit menyatakan Rajab dalam kitabnya Qawâ`id fi al-Fiqh
bahwa qâ`idah yang sifatnya kulliyyah boleh al-Islâmi, dan ibnu al-Najjar dalam kitabnya
dijadikan hujjah hukum Islam. Begitu pula al-Kaukab al-Munîr. Keempat tokoh di atas
dengan penyusun kitab Majallat al-Ahkâm kiranya telah mewakili sikap mazhab Hanbali
al-`Adliyyah—sebagaimana dikutip al-Zarqa— terhadap status qawâ`id fiqhiyyah. Mereka
yang mayoritasnya bermazhab Hanafi, mereka semua sependapat untuk menjadikan qawâ`id
sependapat dengan mengatakan: ”para ahli fiqhiyyah sebagai hujjah atau dalil istinbath
hukum Islam sebelum menemukan dalil yang hukum Islam, terutama pada kasus-kasus
kongkrit, tidak boleh menetapkan hukum yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash
dengan hanya berpegang kepada salah satu (Alquran dan hadis mutawatir). Walaupun
kondisi dari qa`idah itu. Ini artinya, bagi begitu, dalam stratifikasi praksisnya, mazhab
mazhab Hanafi, qawâ`id fiqhiyyah tidak dapat Hanbali ini cenderung tetap mendahulukan
dijadikan dalil hukum yang berdiri sendiri. hadis dha`îf daripada qawâ`id fiqhiyyah sesuai
Sedangkan dalam mazhab Maliki, dengan pedoman ijtihad yang dibangun oleh
para ulama mereka menempatkan qawâ`id imam mazhabnya.
fiqhiyyah sejajar dengan ushûl al-fiqh, Berdasarkan penjelasan di atas, tampak-
sebab kaedah-kaedah fiqh itu termasuk nya ada kesepakatan secara implisit antar
bagian syari`at yang dapat memperjelas mazhab bahwa untuk kaedah-kaedah fikih
metodologi berfatwa. Bagi mereka, setiap yang berasal langsung dari teks hadis, bisa
putusan hukum yang bertentangan dengan diterima sebagai dalil. Perbedaan timbul
dalil dan kaedah yang disepakati oleh para terhadap kaedah-kaedah fikih yang secara
ulama, maka putusan tersebut batal. Al- tak langsung berasal dari hadis atau yang
Qarafi memperkuat pendapat ini dengan sama sekali bukan berasal dari hadis, tapi
mendudukkan qawâ`id fiqhiyyah yang dihasilkan melalui perenungan dan pemikiran
disepakati dalam posisi yang kuat hampir induktif dari kasus-kasus fikih yang pernah
seperti nash, ijmâ`, dan qiyâs jaliy. Begitu terjadi.
Mencermati fenomena perbedaan pen-
18
Musthafa Ahmad al-Zarqâ, al-Madkhal al-Fiqh al-`Am,
dapat di atas tentang eksistensi qawâ`id
(Damaskus: Mathba`ah Jami`ah, 1983), Cet. ke-7, Jilid II, h. 103 fiqhiyyah sebagai sandaran hukum, maka
19
Ahmad ibn Muhammad al-Hamawi, Ghumzu `Uyûn al- tampaknya pendapat kelompok yang me-
Bashâ’ir Syarh al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Kairo: Dâr al-Thabâ`ah
al-Amirah, t. th.), Jilid I, h. 17, 32 nyatakan bahwa hanya qawâ`id fiqhiyyah
110| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

yang bersumber dari hadis Nabi saja yang defenisi yang menunjukkan bahwa kaedah
bisa dijadikan sandaran hukum, kiranya sebenarnya adalah dalil yang bersifat umum
dapat dikritisi lebih lanjut. Sebab kalau (al-amr al-kulli), yang sesuai/berlaku pada
kaedah-kaedah fiqh yang berasal dari teks sebagian besar bagian-bagiannya, yang dapat
hadis saja yang bisa dijadikan dalil hukum, dipahami darinya hukum-hukumnya. 21
maka kekuatannya sebagai dasar pijakan Adapun defenisi yang representatif mengenai
sebenarnya bukanlah pada kaedah-kaedah makna al-qawâ`id al-fiqhiyyah ialah hukum
fikihnya, tapi pada teks hadis-hadis tersebut. syara` pada preposisi kebanyakan untuk
Dalam hal ini, kaedah fikih menjadi kurang mengetahui darinya hukum-hukum yang
terlihat perannya. Tapi kalau seandainya berada dalam cakupannya.22 Pada defenisi
kaedah-kaedah fikih yang tidak berasal dari ini, terdapat penekanan penggunaan kata
teks hadis atau berasal dari prinsip-prinsip “hukmun syar`iyyun” yang mengandung arti
kandungan hadis secara umum bisa diterima, bahwa qawâ`id dimaksud bersifat syar`iyyah,
maka di sinilah tampak peran signifikan sehingga qawâ`id non syar`iyyah berada di
qawâ`id fiqhiyyah. Posisinya kiranya dapat luar cakupannya. Lalu ditekankan pula kata
disejajarkan dengan qiyâs, istishlâh, istishâb, “aghlabiyah” yang menunjukkan bahwa
istihsân, dan `urf sebagai dalil hukum sifat qawâ`id tersebut adalah “kebanyakan/
atau metode penggalian hukum. Dengan mayoritas”, tidak bersifat menyeluruh
demikian, pemberdayaan qawâ`id fiqhiyyah (kulliyah). Jadi al-qawâ`id al-fiqhiyyah dalam
bisa dilakukan lebih optimal dan maksimal pengertian ini merupakan rumusan-rumusan
dalam menjawab problematika hukum Islam dari hukum-hukum syara` yang terdapat
kontemporer di tengah tantangan dinamika dalam bab fikih yang beragam, yang sifatnya
zaman yang terus berubah. kebanyakan atau memasyarakat, sehingga
dari kaedah-kaedah tersebut dapat diketahui
Aplikasi Qawâ`id Fiqhiyyah dalam hukum persoalan-persoalan yang tercakup
Penyelesaian Masalah Politik di dalamnya.
Pemerintahan Modern Dengan demikian, kaedah tidak
Istilah al-qawâ`id al-fiqhiyyah yang berasal mesti selalu dapat diterapkan pada semua
dari kata berbahasa Arab, jika diterjemahkan bagian-bagiannya yang tercakup padanya.
dalam bahasa Indonesia menjadi kaedah- Artinya, kemungkinan penyimpangan atau
kaedah fikih. Dari segi istilah, kaedah ketidak akuratan pemakaian kaedah pada
berarti pernyataan umum (kulli) yang juz’i tertentu tetap terbuka, namun tidak
diterapkan terhadap semua bagian-bagian berarti kaedah yang tidak terpakai tersebut
(juz’i) nya.20 Dalam ilmu Ushûl al-fiqh, menjadi batal. Bisa jadi kaedah tersebut
ada kaedah “al-Ashlu li al-wujûb”, “al- ditambah atau diberi pengecualian. Karena
nahyu li al-tahrîm” dan lainnya. Kaedah- suatu kaedah adalah hasil rumusan umum
kaedah tersebut adalah kaedah yang dapat dari berbagai bab fikih yang beragam dan
diaplikasikan pada seluruh bagian-bagiannya. memiliki cakupan yang luas, tidak sebagian
Meski demikian, ada kemungkinan kaedah- besar juz’i yang berada di dalamnya, maka
kaedah itu tidak dapat diterapkan pada kasus tentu validitas kaedah fikih ini berada pada
tertentu yang berada di luar cakupannya. taraf kehandalan yang cukup tinggi. Artinya,
Namun, itu tidak berarti bahwa kaedah ia bisa dijadikan sebagai dalil hukum.
tersebut tidak berlaku. Dalam hal ini, Dari uraian di atas, jelaslah bahwa
Tâjuddîn Subki misalnya, mengemukakan kaedah-kaedah fikih bisa dijadikan solusi

20
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`îd al-Fiqhiyyah, 21
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, h. 41
(Damsyik: Dâr al-Qalam, 1994), h. 41 22
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, h. 42
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |111

praktis dalam memecahkan berbagai per- memperjuangkan aspirasi masyarakat (pemilu


masalahan hukum Islam yang terus ber- legislatif ), sementara calon pemimpin yang
kembang. Dalam bahasan ini, penulis akan dipilih sebagai pemimpin di suatu
membatasi pemaparan pada dua kaedah saja daerah atau negara (pemilu eksekutif ) juga
yang terkait dengan fikih siyasah berdasarkan tidak ada yang memenuhi kriteria agama
pertimbangan karena dua kaedah inilah yang (shiddîq, amânah, tablîgh, fathânah). Maka
lebih menonjol dalam penggunaannya. dalam kondisi seperti ini, umat Islam wajib
tetap mengikuti pemilu tersebut dan ikut
1. Irtikâb Akhaff al-Dhararain mencoblos dengan memilih wakilnya di
Sejalan dan semakna dengan kaedah irtikâb legislatif dan pemimpinnya di eksekutif--
akhaff al-dhararain ini ialah kaedah idzâ dengan memilih partai atau calon-calonnya
ta`âradha mafsadatâni rû`iya a`zhamuhuma yang paling sedikit kekurangannya, dan
bi irtikabi akhaffihima, al-dhararu al-asyaddu paling kecil potensi kerusakan, kejahatan,
yuzâlu bi al-dharar al-akhaffi, dan yukhtâru atau dampak negatif lainnya bagi umat. Sebab
ahwan al-syarraini. Semua kaedah tersebut jika umat Islam tidak memilih, dikhawatirkan
adalah kaedah cabang, pecahan dari kaedah akan terpilih orang-orang dari kalangan non
syar`iyyah fiqhiyyah yang terkenal yaitu jalb muslim yang belum tentu bisa menyelami
al-mashâlih dan dar’u al-mafâsid.23 Irtikâb perasaan dan kecendrungan dari masyarakat
Akhaff al-Dhararain ini dimaksudkan untuk Islam. Dan bahaya yang lebih besar lagi,
memilih alternatif yang paling ringan atau jika sampai mayoritas masyarakat muslim
sedikit bahaya negatifnya. Dalam rangka tidak memilih misalnya, dan pemilu dianggap
pengembangan daya jangkau hukum Islam, tidak representatif dan tidak sah, maka akan
khususnya dalam penyelesaian masalah yang timbul kekosongan kepemimpinan yang
bernuansa politis, kaedah ini sangat tepat dapat berdampak negatif lebih besar bagi
dan efektif untuk memecahkan permasalahan masyarakat luas, seperti huru-hara, kekacauan,
baru yang muncul dalam upaya menambah dan lainnya. Padahal, kepemimpinan dalam
lengkapnya khazanah pemunculan hukum- suatu masyarakat adalah suatu keharusan.
hukum baru. Sebab Nabi saw telah menjelaskan dalam
hadisnya bahwa jika ada tiga orang yang
Sebagai contoh pada kasus perang di
mengadakan safar, maka hendaklah diangkat
bulan Haram yang dilarang. Akan tetapi,
salah satunya sebagai pemimpin. Kalau dalam
kalau pada bulan ini pihak musuh memulai
safar yang singkat saja diperlukan pemimpin,
serangan, maka berdasarkan kaedah di atas,
apalagi dalam perjalanan suatu bangsa yang
umat Islam boleh membalas serangan itu.
waktunya relatif lama, maka tentu lebih
Sebab, serangan musuh dan fitnah tersebut
wajib lagi mengangkat seorang pemimpin di
dapat mengganggu eksistensi Islam. Dan
antara mereka. Dengan demikian, diharapkan
fitnah itu lebih keji dari pembunuhan.
pemerintahan bisa berjalan dengan normal
Dengan demikian, keharaman berperang pada
dan keperluan masyarakat bisa terlayani
bulan haram lebih ringan jika dibandingkan
sebagaimana mestinya. Jadi tetap memilih
dengan haramnya melepaskan diri dari agama
dalam pemilu--sekali pun pilihan itu bukanlah
Islam yang menjadi tujuan musuh.
yang terbaik, lebih ringan bahayanya daripada
Kaedah ini juga bisa diterapkan dalam tidak memilih sama sekali.
suatu pemilihan umum misalnya, jika saat
itu partai-partai politik yang ada tidak 2. Hukm al-Hâkim Ilzâmun wa Yarfa`u al-
ada satupun yang bisa dipercaya dapat Khilâf
Berkaitan dengan kaedah ini, bahwa yang
23
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, h. 276
dimaksud hâkim di sini ialah waliy al-amri
112| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

yang disebut juga dengan istilah uli al-amri “Dan wajib patuh pada pemimpin bagi setiap
al-dunyawi, maksudnya adalah pemerintah muslim terhadap apa yang disenangi maupun
atau penguasa dengan segala aparatnya dari tidak disukainya selama ia tidak diperintahkan
tingkat paling rendah (RT/RW) sampai untuk berbuat maksiat. Jika ia disuruh untuk
tingkat yang paling tinggi (Presiden, Raja, berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban
Perdana Menteri). Kepatuhan terhadap taat.” (HR. Tirmidzi)
mereka ini sejalan dengan firman Allah:

25

“Dari Sofyan dari Zubaid dari Sa`ad ibn


`Ubaidah dari Abd al-Rahman al-Salmi
dari Ali dari Nabi saw bersabda: Tidak ada
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah kepatuhan kepada makhluk dalam rangka
Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil durhaka (maksiat) kepada Allah `Azza wa
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu Jalla.” (HR. Ahmad).
berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’ân) Berdasarkan pada pemahaman terhadap
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar kedua hadis di atas, maka sesuatu yang
beriman kepada Allah dan hari kemudian. tidak diperintah atau dilarang oleh agama,
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan hukumnya adalah mubah.26 Artinya ke-
lebih baik akibatnya.” (Q.S. Al-Nisâ’[4]: 59) taatan kepada pemimpin itu selama tidak
diperintahkan melakukan yang dilarang atau
Berdasarkan ayat di atas, maka segala
melarang sesuatu yang diperintahkan. Jadi
peraturan perundang-undangan dan ke-
pembicaraan dalam konteks ini tidaklah
putusan pemerintah wajib di taati selama
menyangkut hal-hal yang diwajibkan atau
tidak bertentangan dengan agama. Dan umat
diharamkan melalui Alquran atau Sunah
Islam tidak wajib patuh manakala pendapat
Rasul, melainkan mengenai hal-hal yang
atau ketetapan pemerintah itu membawa
tidak diwajibkan atau tidak dilarang oleh
pada jalan maksiat atau kekufuran nyata.
Allah dan Rasul-Nya, yaitu hal-hal yang
Hal ini sejalan dengan ketentuan hadis-
termasuk kategori mubah. Pada hal-hal yang
hadis Nabi saw:
mubah inilah kiranya Ulil Amri (pemerintah
nasional dan pemimpin daerah/lokal) diberi
hak oleh ajaran Islam untuk dipatuhi oleh
umat Islam.
Oleh sebab itu, jika Ulil Amri me-
merintahkan atau melarang sesuatu yang
awalnya mubah, maka umat Islam harus
24
(wajib) mematuhinya27 sepanjang mubah yang
dilarang, atau diwajibkannya menyangkut
“Dari Abdullah ibn Umar dari Nafi` dari
ibn Umar berkata, Rasulullah saw bersabda:
25
Ahmad ibn Hanbal Abu Abdillah al-Syaibani, Musnad
Ahmad, (Mesir: Mu’assasah Qurthubah, t.th.), Juz I, h. 131
26
Ibrahim Hosen, Beberapa Catatan, h. 272
24
Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al- 27
Muhammad Ahmad Faraj al-Sanhuri, Tasyrî` al-Usrah,
Tirmidzî, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-`Arabi, t.th), Juz IV, (Mesir: al-Jami`ah al-Mishriyah li al-Iqtisâd al-Siyâsi wal-al-Ihsa’
h. 209 wa al-Tasyrî`, t. th.), h. 566
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |113

kemashlahatan masyarakat dan merupakan pemerintah dalam mengambil keputusan


sesuatu yang benar-benar mubah bagi tidak melanggar kaedah-kaedah di atas
masyarakat (mûbah bi al-juz’i wa al-kulli). dengan berpegang pada mabâdi’ kulliyyah
Misalnya, pembatasan pemilikan tanah, (norma-norma umum agama), yaitu prinsip
peraturan pengendalian harga, keharusan syûra, raf`u al-haraj, sadd al-dzarî`ah,
absen setiap hari kerja bagi pegawai negeri tahqîq al-`adâlah, dan tidak bertentangan
sipil, larangan rangkap jabatan bagi pegawai dengan jiwa dan semangat nash qath`i.
negeri sipil dalam beberapa perguruan Selain itu, pemerintah juga dihimbau
tinggi, dan lainnya. Contoh lain, atas agar memperhatikan kaedah al-`âdah
dasar mashlahah al-mursalah pemerintah muhakkamah.
bisa menetapkan aturan bahwa penjualan Berlainan dengan hal ini, maka pe-
hasil pertanian harus melalui koperasi/KUD merintah tidak boleh mewajibkan atau
dengan tujuan agar para petani terhindar melarang sesuatu yang hanya mubah bagi
dari tipu muslihat lintah darat (renternir/ individu tetapi tidak mubah bagi masyarakat
tengkulak, red.). Bahkan menurut Ibrahim (mubâh bi al-juz’i lâ al-kulli). Oleh sebab
Hosen--dengan mengutip al-Suyuti--, itu, pemerintah misalnya, tidak boleh
pemerintah mempunyai wewenang untuk mewajibkan kepada masyarakat untuk me-
men-takhshîs keumuman nash dan membatasi lakukan KB (pembatasan jumlah anak) atau
ke-muthlaq-annya, sebagaimana yang pernah melarang mereka untuk menikah, karena
dilakukan oleh Khulafaurrasyidin.28 bertentangan dengan tujuan pensyari`atan
Begitu juga jika terjadi perbedaan nikah. Namun terhadap pribadi, hukum
pendapat di kalangan organisasi keagamaan agama memberikan kebebasan. Mau ikut
masyarakat tentang suatu kewajiban yang KB atau tidak silahkan, mau menikah boleh,
mengandung persoalan fikih karena tidak menikah pun juga tidak masalah.
perbedaan dalam metode yang digunakan. Jadi jika pemerintah memprogramkan KB,
Sebagai contoh, jika terjadi perbedaan pelaksanaannya harus bersifat sukarela.
tentang penetapan awal Ramadhan dan Pemerintah hanya memotivasi, mengatur,
awal Syawal di antara beberapa organisasi membimbing, mengarahkan, menggalakkan,
agama—satu pihak menggunakan metode dan memberi bantuan serta fasilitas kepada
hisab dan pihak lain menggunakan hisab yang akan ber-KB, tanpa ada paksaan.29
dan rukyah, maka pemerintah dalam kondisi Tegasnya, fikih menghendaki campur
seperti ini berhak menetapkan satu keputusan tangan pemerintah dalam hal-hal yang
untuk penyeragaman. Ini dimaksudkan menyangkut persoalan kemasyarakatan,
untuk menjaga ukhuwah islamiyah dan untuk penyeragaman amaliah, dengan
menghindari mudharat (bahaya, dampak memilih sesuatu pendapat mazhab fikih yang
negatif ) dari perbedaan pendapat tersebut, dipandang dapat membawa kemashlahatan
sehingga masyarakat tidak terbelah dan masyarakat, meskipun melalui talfîq, karena
kompak dalam memulai awal Ramadhan mazhab pemerintah adalah mengutamakan
dan merayakan Idul Fitri. kemashlahatan umum. Sesuatu pendapat atau
Walaupun begitu, agar kewajiban mazhab fikih yang telah dipilih pemerintah,
mentaati pemerintah selama tidak meng- status fikihnya—yang awalnya tidak me-
ajak ke langkah maksiat itu tidak bias dan ngikat—menjadi hilang. Pada tahap ini,
disalahgunakan, disyaratkan hendaknya pendapat atau mazhab fikih tersebut berubah

28
Al-Suyuti, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr 29
Ibrahim Hosen, Peranan Ulama Dalam Memasyarakatkan
Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyah, t. Th.), h. 85-88 Lihat pula Abd Keluarga Berencana di Indonesia, Makalah disampaikan pada
al-Rahmân Tâj, al-Siyâsah al-Syar`iyyah wa al-Fiqh al-Islâmi, Seminar Internasional Keluarga Berencana di Lhokseumawe
(Mesir: Mathba`ah Dâr al-Ta’lif, 1953), h. 14-21 Aceh, 19 Januari 1990, h. 9
114| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

menjadi mengikat karena sudah merupakan “Dari Abdillah ra., dari Nabi saw bersabda:
keputusan Ulil Amri (pemerintah) yang “Wajib mendengar dan taat bagi setiap muslim
wajib dipatuhi. (kepada pemerintah) baik ia senang ataupun
Dengan demikian, jika pemerintah telah tidak (terpaksa), selama tidak diperintah untuk
melakukan maksiat. Apabila diperintah untuk
menetapkan suatu ketetapan sebagaimana
maksiat, maka tidak ada kewajiban patuh
dimaksudkan, rakyat wajib mematuhinya. dan taat.” (HR. Bukhâri).
Kepatuhan terhadap ketetapan pemerintah
ini memang diperselisihkan para ulama, Segala bentuk peraturan atau ke-
apakah statusnya wajib qadhâ’i atau dîni. bijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah
Yang dimaksud dengan wajib syar`i/dîni untuk merealisasikan kemashlahatan umum
ialah kewajiban agama yang jika dipatuhi adalah hakekat dari siyâsah syar`iyyah. Oleh
akan mendapat pahala dan menentangnya sebab itu, suatu peraturan atau hukum
mendapat dosa karena sama dengan mematuhi dipandang sebagai siyâsah syar`iyyah manakala
atau menentang perintah Allah. Sedang yang sejalan dengan semangat jiwa syarî`ah,
dimaksud dengan wajib qadha’i ialah bahwa bersandar pada kaedah-kaedah kulliyahnya
kepatuhan itu hanya sebagai tuntutan duniawi, yang berlaku sepanjang zaman di setiap
bagi mereka yang tidak mematuhi, pemerintah tempat dan umat, serta tidak bertentangan
berhak menjatuhkan sanksi berupa ta’zîr.30 secara hakiki dengan dalil tafsîli ayat Alquran
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang atau hadis yang keberlakuannya tidak terbatas
hal ini, dalam kajian fikih siyasah sunni, oleh masa dan keadaan.
rakyat tetap harus mematuhinya, berdasarkan Atas dasar itu, siyâsah syar`iyyah mem-
firman Allah dalam surat al-Nisâ’[4]: 59 tadi berikan keleluasaan (tausî`ah) kepada pe-
yang juga sejalan dengan hadis-hadis Nabi merintah untuk mengambil langkah-langkah
saw, di antaranya: dan kebijaksanaan-kebijaksanaan sesuai
dengan tuntutan zaman, dan untuk me-
realisasikan kemashlahatan sepanjang tidak
31 menyalahi pokok-pokok agama (ushûl al-dîn),
“Aku berwasiat kepada kalian supaya bertakwa sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh
kepada Allah, dan hendaklah kalian patuh dalil-dalil tetentu. Dan semua ketetapannya
serta taat (kepada pemerintah), sekalipun itu wajib dipatuhi umat Islam, karena
(yang memerintah) itu budak Habsyi.” (HR. pemerintah sebagai waliy al-amri diberi hak
Tirmidzi) oleh Allah untuk dipatuhi.33
Pemberian keleluasaan kepada pemerintah
dalam menyelenggarakan berbagai urusan
kenegaraan tersebut juga didukung oleh
qawâ`id syar`iyyah, antara lain dengan
pertimbangan:34
32 Pertama, bahwa kemafsadatan semakin
merebak. Ini tentunya memerlukan perangkat
peraturan perundang-undangan yang mampu
30
Ibrahim Hosen, “Fiqh Siyasah Dalam Tradisi Pemikiran menanggulanginya, sejalan dengan kaedah
Islam Klasik”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Sistem Ketatanegaraan dan Politik Dalam Perspektif Islam, umum syarî`ah di antaranya “lâ dharara wa
Teori dan Implementasinya Dalam Praktek, diselenggarakan lâ dhirâra” dan kaedah “nafy al-haraj” yang
oleh Jurnal Ulumul Qur’an bekerjasama dengan ICMI, Jakarta,
12 Januari 1993, h. 20
31
Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-
Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t. th.), Juz V, h. 44 Yamâmah, 1987), Juz VI, h. 2612
32
Muhammad ibn Ismail Abû Abdillah al-Bukhâri, 33
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 20
al-Jâmi` al-Shahîh al-Mukhtashar, (Beirut: Dâr ibn Katsîr al- 34
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 20
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |115

mengharuskan dihilangkannya kesempitan. (kuat berjalan), ia dapat mencari air


Kedua, bahwa mashâlih al-mursalah dan memakan daun kayu sendiri sampai
perlu diatur dan ditegakkan. Dan agar tidak ditemukan oleh pemiliknya.” (HR. Bukhâri
terjadi kesimpangsiuran, tentu hal inipun Muslim).
memerlukan intervensi pemerintah. Hadis ini menetapkan hukum mengenai
Berdasarkan asumsi di atas, maka dalam barang yang hilang dan ditemukan oleh
kajian fikih siyasah (siyâsah syar`iyyah) seseorang, meliputi barang temuan benda
pemerintah mempunyai wewenang cukup mati maupun binatang lemah seperti
luas. Di antara wewenang pemerintah kambing dan binatang kuat seperti
tersebut ialah:35 onta. Hukum tentang hal itu semua
a. Men-taqyid-kan kemuthlaqan nash. Sebagai cukup jelas dan gamblang. Yang menjadi
contoh, dalam hadis yang diriwayatkan pokok masalah dalam hadis ini ialah
oleh Bukhari dan Muslim dari Zaid ibn persoalan temuan onta yang menurut
Khalid disebutkan: hadis tersebut agar onta itu dibiarkan.
Hukum tersebut bersifat muthlaq dalam
arti berlaku sepanjang masa dan tidak
terbatas hanya pada masa tertentu.
Namun ketika Usman ibn Affan men-
jabat Khalifah, ia memandang keadaan
sudah berubah, yang mana situasi ke-
amanan pada masanya tidak lagi seperti
pada masa Rasulullah. Oleh sebab itu,
ia membatasi (taqyîd) kemuthlaqan nash
hadis tersebut dengan keadaan masa aman.
Maka tanpa terikat dengan teks harfiah
hadis, ia menggunakan ijtihadnya dengan
36
menetapkan “siapa yang menemukan
“Dari Zaid ibn Khalid ra. berkata, onta, hendaklah ia menyerahkannya
seorang laki-laki datang kepada Rasulullah kepada pemerintah untuk dijual dan
menanyakan persoalan luqathah (barang uangnya disimpan di Baitul Mal sampai
temuan). Rasul menjawab: “Perhatikanlah pemiliknya diketahui, lalu harga itu
tanda-tandanya, kemudian umumkan diberikan pemiliknya. Dan jika tidak
kepada khalayak selama satu tahun. Jika diketahui pemiliknya, maka uang harga
pemiliknya datang (maka kembalikanlah onta itu digunakan untuk kemashlahatan
kepadanya), dan jika tidak, terserah umum”. Dengan demikian, Usman ibn
padamu.” Ia bertanya lagi, bagaimana Affan sebagai penguasa (pemerintah) telah
jika yang ditemukan itu seekor kambing ? mentaqyidkan kemuthlaqan sebuah nash.
“Kambing itu untuk kamu atau orang lain, b. Mentakhshîs keumumannya. Sebagai
atu untuk serigala”, jawab beliau. Lalu contoh, dalam sebuah hadis yang
bagaimana jika yang ditemukan itu seekor diriwayatkan oleh Nasâ’i disebutkan:
onta ? Beliau menjawab: “Apa urusanmu
dengan onta itu ? Onta itu mempunyai
perbekalan air (tahan haus) dan sepatu 37

35
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 21-24
36
Al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, Juz II, h. 836. Muslim ibn
37
Muhammad ibn Ismail al-Shan`ani, Subul al-Salâm,
al-Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shâhih Muslim, (Beirut; Dar Ihya al-Turats al-`Arabi, 1379 H), Cet. ke-4, Juz
(Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts al-`Arabi, t. th.), Juz II, h. 1348 II, h. 49
116| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

“…Dan setiap yang baru (dalam ibadah) tidak dipandang lagi sebagai mu’allaf
itu bid`ah, dan setiap yang bid`ah itu karena telah lepasnya `illat ta’lîf mereka.
sesat, dan setiap kesesatan itu berada di d. Membuat peraturan perundangan dengan
dalam api neraka...” (HR. Nasâ’i) berbagai jenis dan tingkatannya. Yang
Lafaz hadis yang umum ini telah terakhir ini merupakan tugas dan
ditakhshîs oleh Khalifah Umar ibn al- wewenang pemerintah paling dominan
Khattab selaku pemegang kekuasaan dan sangat luas. Dalam rangka tugas
dengan kebijaksanaannya menetapkan kenegaraan dan pemerintahannya untuk
shalat tarawih dengan jumlah raka`at merealisasikan kemahlahatan umum,
sebanyak 20 pada malam Ramadhan, pemerintah dibenarkan dan bahkan
seraya berkata: “Inilah sebaik-baik diharuskan merumuskan, membuat,
bid`ah.” Dengan tindakan dan ucapan dan menetapkan hukum, peraturan
Umar ini, dapatlah diketahui bahwa perundangan, dan kebijaksanaan dalam
keumuman hadis tersebut menerima berbagai bentuk dan tingkatannya.
takhshîs, dan Umar selaku penguasa Hukum, peraturan dan sebagainya
telah mentakhshîskannya, sehingga dapat itu dipandang sebagai hukum Islam,
disimpulkan bahwa tidak setiap yang atau paling tidak sebagai hukum yang
bid`ah itu sesat. Islami, yang bersifat mengikat dan wajib
Begitu juga dengan kebijaksanaan Abu dipatuhi umat Islam, jika terpenuhi hal-
Bakar al-Shiddiq untuk menghimpun hal sebagai berikut:38
Alquran dalam sebuah mushaf, dan 1) Ditetapkan melalui musyawarah (wa
keputusan Usman ibn Affan yang me- syâwirhum bi al-amri)
netapkan penambahan azan kedua dalam 2) Tidak memperberat atau mempersulit
pelaksanaan shalat Jum`at. Kedua- umat (nafy al-haraj)
nya melakukan hal tersebut dalam 3) Menutup akibat negatif (sadd al-
kapasitasnya sebagai pemegang kekuasaan. dzarî`ah)
c. Mereinterpretasikannya. Sebagai contoh, 4) Mewujudkan kemashlahatn umum
dalam surat al-Taubah ayat 60 disebutkan (jalb al-mashâlih al-`ammah)
bahwa golongan mu’allaf berhak
menerima bagian zakat, dan Nabi saw 5) Menciptakan keadilan (tahqîq al-
sendiri telah melaksanakannya. Namun `adâlah)
walaupun demikian, pada masa Abu 6) Tidak bertentangan dengan jiwa dan
Bakar menjadi Khalifah, atas ijtihad dan semangat nash qath`i.
usul Umar ibn al-Khattab, begitu juga
ketika Umar menjadi Khalifah, keduanya Penutup
menghapuskan bagian mu’allaf. Ini Dengan pemaparan di atas, dapatlah di-
karena kedua Khalifah itu memandang simpulkan bahwa melalui penggunaan kaedah-
bahwa pemberian zakat kepada kaum kaedah fikih, akan banyak permasalahan
mu’allaf itu disebabkan oleh suatu `illat fikih siyasah yang bisa diselesaikan dengan
dan sebab tertentu, yaitu ta’lîf (untuk lugas dan tuntas, sehingga menghilangkan
menjinakkan mereka) karena mereka keraguan yang ada dan masyarakat pun
diperlukan, sebab waktu itu umat Islam mendapatkan kepastian hukum. Pilihan-
masih lemah. Maka setelah umat Islam pilihan yang sulit pun bisa diatasi dengan
menjadi kuat seperti pada masa Khalifah bijaksana dan segera.
Abu Bakar dan Umar, mereka tidak
diperlukan lagi. Karena itu, mereka tidak
perlu dijinakkan lagi, artinya mereka 38
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 25
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |117

Pada dasarnya, hukum, peraturan Thabâ`ah al-Amirah, t. th., Jilid I.


perundangan, dan kebijakan yang ditetapkan Hosen, Ibrahim, “Fiqh Siyasah Dalam
oleh pemerintah itu, jika dilihat secara umum, Tradisi Pemikiran Islam Klasik”,
baik dari segi pembuatnya, sumbernya, Makalah disampaikan pada Seminar
maupun cara penetapannya, memang tidak Nasional Sistem Ketatanegaraan dan
dapat dikatakan sebagai hukum Islam murni. Politik Dalam Perspektif Islam, Teori
Akan tetapi, jika dilihat dari segi substansi dan Implementasinya Dalam Praktek,
isi (materi) nya, hukum dan peraturan diselenggarakan oleh Jurnal Ulumul
tersebut dapat dikategorikan sebagai hukum Qur’an bekerjasama dengan ICMI,
yang Islami, selama ia memenuhi keenam Jakarta, 12 Januari 1993.
kriteria di atas, sekalipun secara eksplisit
tidak terdapat ketentuannya dalam Alquran Hosen, Ibrahim, “Peranan Ulama Dalam
dan Sunnah. Bahkan hukum dan peraturan Memasyarakatkan Keluarga Berencana
perundangan itu tetap dinyatakan Islami di Indonesia”, Makalah disampaikan
walaupun materinya itu secara harfiah pada Seminar Internasional Keluarga
bertentangan dengan Alquran dan Sunah, Berencana, Lhokseumawe Aceh, 19
selama dari segi semangat dan jiwanya Januari 1990.
tidak berlawanan dengan jiwa dan semangat Mawardi, Abu Hasan al-, al-Ahkâm al-
nash tersebut. Dan terhadap kebijakan atau Sulthâniyah, Beirut: Dâr al-Fikr, t.th.
produk hukum pemerintah semacam inilah
Nadwi, Ali Ahmad al-, al-Qawâ`id al-
umat Islam wajib mematuhinya sebagai
Fiqhiyyah, Damaskus: Dâr al-Qalam,
realisasi dan implementasi dari ketaatannya
t.th.
kepada ulil amri atau pemimpin sebagaimana
ditegaskan dalam Alquran pada surat al-Nisâ’ Nadwi, Ali Ahmad al-, al-Qawa`îd al-
ayat 59 dan hadis-hadis Nabi lain yang Fiqhiyyah, Damsyik: Dâr al-Qalam,
mendukungnya. 1994.
Naisaburi, Muslim ibn al-Hajjâj Abu al-
Pustaka Acuan Husain al-Qusyairi al-, Shâhih Muslim,
Asfahani, Al-Râghib al-, al-Mufradât fi Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts al-`Arabi, t.
Gharîb al-Qur’ân, Mesir: Musthafa al- th., Juz II.
Bâbi al-Halabi, 1961. Qarafi, al-Furûq, Beirut: Dar al-Fikr, t. th.,
Bannâni, Abd al-Rahmân ibn Jâdillâh al-, Jilid I.
Hasyiyah al-Bannâni, Beirut: Dar al-Fikr, Salam, Izz al-Din ibn Abd al-, Qawâ`id
t.th., Jilid II. al-Ahkâm, Mesir: Dâr al-Ma`arif, t. th.,
Bukhâri, Muhammad ibn Ismâ`îl Abû Jilid I.
Abdillâh al-, al-Jâmi` al-Shahîh al- Sanhuri, Muhammad Ahmad Faraj al-,
Mukhtashar, Beirut: Dâr ibn Katsîr al- Tasyrî` al-Usrah, Mesir: al-Jâmi`ah al-
Yamamah, 1987, Juz VI. Mishriyah li al-Iqtisâd al-Siyâsi wal-al-
Dahlan, Abd. Rahman, Ushul Fiqh, Jakarta: Ihsa’ wa al-Tasyrî`, t. th.
Amzah, 2010), Cet. ke-1. Shan`âni, Muhammad ibn Ismâ`îl al-, Subul
Ghazali, Abu Hamid al-, al-Iqtishâd fi al- al-Salâm, Beirut; Dâr Ihyâ al-Turats
I`tiqâd, Mesir: Maktabah al-Jund, 1972. al-`Arabi, 1379 H., Cet. ke-4, Juz II.
Hamawi, Ahmad ibn Muhammad al-, Subki, Taj al-Din Abd al-Wahab ibn Ali ibn
Ghumzu`Uyûn al-Bashâ’ir Syarh al- Abd al-Kafi al-, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir,
Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Kairo: Dâr al- Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1991,
118| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014

Cet. ke-1, Jilid I. Tâj, Abd al-Rahmân, al-Siyâsah al-Syar`iyyah


Suyûthi, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, Beirut: wa al-Fiqh al-Islâmi, Mesir: Mathba`ah
Dâr Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyah, t. th. Dâr al-Ta’lîf, 1953.

Syaibani, Ahmad ibn Hanbal Abu Abdillâh Tirmidzi, Muhammad ibn Isa Abu Isa al-,
al-, Musnad Ahmad, Mesir: Mu’assasah Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dâr Ihyâ al-
Qurthubah, t.th., Juz I. Turats al-`Arabi, t. th., Juz IV dan V.

Taftazani, al-Talwîh `ala al-Taudhîh, Mesir: Zahrah, Muhammad Abu, Târîkh al-
Mathba`ah Syam al-Hurriyah, t.th., Juz I. Madzâhib al-Islâmiyah, Beirut: Dâr al-
Fikr al-Arabi, t. th., Jilid I.
Taimiyah, Taqiy al-Din ibn, Majmû` al-
Fatâwâ, Al-Riyâdh: Mathba`ah al- Zahrah, Muhammad Abû, Ushûl al-Fiqh,
Riyâdhah, 1381H, Cet. ke-29. Mesir: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t. th.

Taimiyah, Taqiy al-Din ibn, al-Siyâsah al- Zarqâ, Musthafa Ahmad al-, al-Madkhal
Syar`iyah fi Ishlâh al-Râ`i wa al-Râ`iyah, al-Fiqh al-`Am, Damaskus: Mathba`ah
(Beirut: Dâr al-Âfâq, 1983), h. Jami`ah, 1983, Cet. ke-7, Jilid II.

Anda mungkin juga menyukai