Abstract: This paper is aimed at describing qawâ`id fiqhiyyah (Islamic legal norms) position in
deducing Islamic law which is considerably enhanced as independent law enforcement, comparer
between ushul fiqh (Islamic legal jurisprudence) and fiqh, and excited character. Although coming
from Islamic law circumstances inductively, the effect of qawaid fiqhiyyah is very wide including
current and future social problem which has not been regulated in the Qur’an and hadith. In political
Islamic law, particularly, various problems in accordance with the political law and problematic
prerogative government exactly can be overcome easily through using qawâ`id fiqhiyyah made by
former Muslim scholars.
Keywords: enhancing, qawâ`id fiqhiyyah, Islamic political law
103
104| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014
terus berkembang seiring dengan dinamika sebab itu, kekuasaan kepala negara bersifat
masyarakat dan perubahan zaman. Dahulu sakral dan umat wajib mengikutinya. Jadi
kajian fikih siyasah lebih dominan masalah pembentukan negara bukanlah berdasarkan
kepemimpinan yang meliputi sumber ke- rasio, tetapi berdasarkan perintah syar`i.3
kuasaan, dasar pembentukan negara, syarat- Adapun Ibnu Taimiyah dengan berdalil pada
syarat pemimpin, mekanisme pemilihan hadis, berpendapat bahwa haram hukumnya
pemimpin, dan sedikit tentang tata cara melakukan pemberontakan kepada kepala
menurunkan pemimpin. Al-Mawardi misal- negara, meskipun kafir, selama kepala negara
nya berpendapat bahwa sumber kekuasaan tersebut masih menjalankan keadilan dan
kepala negara adalah berdasarkan perjanjian tidak menyuruh berbuat maksiat kepada
antara kepala negara dan rakyatnya yang Allah.4 Di era modern, permasalahan fikih
melahirkan hak dan kewajiban secara timbal siyasah semakin berkembang pada tugas-
balik, dan kepala negara tersebut harus tugas rinci pemimpin dan kewenangannya
beragama Islam. Karena itu, rakyat berhak hingga materi kebijakan yang diambil.
menurunkan kepala negara jika dinilai tidak Menyikapi masalah-masalah baru dalam
mampu lagi menjalankan pemerintahan bidang politik, para ulama fikih berusaha
sesuai dengan perjanjian yang disepakati mencarikan solusinya di antaranya dengan
bersama.2 Sedangkan Al-Ghazali berpendapat mengidentifikasi beberapa kasus yang
bahwa sumber kekuasaan adalah Tuhan, mirip dan memiliki kesamaan motif secara
lalu kekuasaan ini dilimpahkan-Nya hanya induktif, lalu membuat kaedah-kaedah fikih
kepada sebagian kecil hamba-Nya. Oleh yang bersifat umum yang bisa diterapkan
pada masalah-masalah sejenis yang masuk
Ali dan sekaligus menentang Muawiyah. Mereka menuduh dalam ruang lingkupnya, sehingga dapat
Ali tidak menyelesaikan masalah berdasarkan hukum Allah
yang terdapat dalam Alquran, karena itu Ali dianggap telah
memudahkan umat di belakang hari dalam
kafir. Kelompok ini kemudian mulai menjustifikasi sikap menyelesaikan kasus-kasus hukum secara
dan tindakan mereka dengan memperbincangkan persoalan
iman dan kufur. Oleh sebab itu, masalah mendasar yang
praktis. Melalui aplikasi kaedah-kaedah fikih
mempengaruhi pertumbuhan aliran kalam adalah masalah (qawâ`id fiqhiyyah) yang ringkas, lugas, dan
“pelaku dosa besar”. Menurut kelompok khawarij, pelaku luas maknanya, maka berbagai masalah yang
dosa besar itu tidak mukmin lagi dan telah menjadi kafir.
Khalifah (pemimpin) harus dipilih secara bebas oleh umat muncul di masyarakat modern bisa diatasi
Islam. Khalifah yang dipilih haruslah Islam (boleh dari suku secara cepat, tepat, dan tuntas, termasuk di
Quraisy atau yang lainnya, baik dari orang merdeka maupun
budak), bersikap adil, dan melaksanakan syari`at Islam.
dalamnya kasus-kasus fikih siyasah (politik
Merespons pendapat ini, lahirlah kelompok Murji`ah yang hukum Islam) kini dan masa mendatang.
menganggap bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin dan Diharapkan dengan sigapnya respons ulama
bukan kafir. Mereka beralasan bahwa dosa besar itu tidak
merusak keimanan seperti halnya ketaatan tidak membawa terhadap kasus-kasus baru yang muncul,
manfaat bagi kekufuran. Maka mengenai pelaku dosa besar, masyarakat memperoleh kepastian status
penyelesaiannya mereka tangguhkan sampai hari pembalasan
tiba, keputusannya mereka serahkan kepada Allah. Sedangkan hukumnya, dan mendapatkan ketenangan
kelompok Mu`tazilah berpendapat bahwa pelaku dosa besar dalam menjalankan pilihan-pilihan mereka.
itu tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tapi berada pada
posisi di antara dua tempat tersebut. Mereka menyebut pe-
Di sinilah tampak urgensi mengkaji dan
laku dosa besar sebagai fasik yaitu antara mukmin dan kafir. memahami secara mendalam qawâ`id
Menurut Washil bin Atha’, mukmin adalah sifat baik yang fiqhiyyah. Sebab melalui penguasaan qawâ`id
diberikan kepada seseorang sebagai pujian, dan fasik adalah
sifat buruk karena melakukan dosa besar yang berakibat tidak fiqhiyyah, maka tidak ada satu pun masalah
berhak mendapat pujian. Konsekuensinya ia tidak dapat di- baru yang tidak bisa diselesaikan.
sebut mukmin atau kafir secara mutlak, sebab ia masih meng-
ucapkan syahadat dan melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Lihat Al-Baghdadi, al-Farq Baina al-Firaq, (Beirut: Dâr al-
Âfaq al-Jadîdah, t.th.), h. 156 dan Muhammad Abu Zahrah,
Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyah, (Beirut: Dâr al-Fikr al-Arabi, 3
Abu Hamid al-Ghazali, al-Iqtishâd fi al-I`tiqâd, (Mesir:
t. th.), jilid I, h. 133. Maktabah al-Jund, 1972), h. 198-199.
2
Abu Hasan al-Mawardi, al-Ahkâm al-Sulthâniyat, 4
Taqiy al-Din ibn Taimiyah, al-Siyâsah al-Syar`iyah fi
(Beirut: Dâr al-Fikr, t.th), h. 5 Ishlâh al-Râ`i wa al-Râ`iyah, (Beirut: Dar al-Âfâq, 1983), h. 162
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |105
10
”Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi “Dasar fiqh yang bersifat universal, mengandung
semuanya (ke medan perang). Mengapa hukum-hukum syara` yang bersifat umum
tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara dalam berbagai bab tentang peristiwa-peristiwa
mereka beberapa orang untuk memperdalam yang masuk ke dalam ruang lingkupnya.”
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk Berdasarkan defenisi-defenisi di atas,
memberi peringatan kepada kaumnya apabila maka ulama terbagi dua dalam memaknai
mereka telah kembali kepadanya, supaya qawâ`id fiqhiyyah berkenaan dengan per-
mereka itu dapat menjaga dirinya.” (Q.S.
bedaan mereka dalam memandang keber-
Al-Taubah[9]: 122)
lakuannya, apakah bersifat kulli (menyeluruh/
Begitu juga kalau melihat hadis Nabi universal) atau aghlabi (kebanyakan).
saw yang berbunyi: Bagi ulama yang memandang bahwa
qawâ`id fiqhiyyah bersifat aghlabi, mereka
beralasan bahwa realitanya memang seluruh
“Siapa yang Allah inginkan kebaikan padanya, qawâ`id fiqhiyyah memiliki pengecualian,
Allah anugerahkan ilmu tentang agama sehingga penyebutan kulli terhadap qawâ`id
padanya.” (HR. Bukhari) fiqhiyyah menjadi kurang tepat. Sedang bagi
Dari ayat dan hadis di atas, tampak jelas ulama yang memandang qawâ`id fiqhiyyah
bahwa pengertian fiqh di sini lebih mengarah sebagai bersifat kulli, mereka beralasan pada
pada ilmu pengetahuan agama yang masih kenyataan bahwa pengecualian yang terdapat
bersifat secara umum meliputi berbagai pada qawâ`id fiqhiyyah tidaklah banyak. Di
aspeknya. Sedang dalam kajian ushûl al- samping itu, mereka juga beralasan bahwa
fiqh, fiqh dimaknai dengan ”pengetahuan pengecualian (al-istitsnâ’) tidak memiliki
tentang hukum-hukum syara` yang bersifat hukum, sehingga tidak mengurangi sifat
amaliah yang digali dari dalil-dalilnya yang kulli pada qawâ`id fiqhiyyah.
terperinci.” 8 Pengertian ini menegaskan Jadi, pada dasarnya kedua kelompok
bahwa fiqh merupakan hasil ijtihad para ulama di atas sepakat tentang adanya istitsna’
ulama melalui kajian terhadap dalil-dalil (pengecualian) dalam penerapan qawâ`id
tentang berbagai persoalan hukum baik yang fiqhiyyah, hanya saja mereka berbeda
disebutkan secara langsung maupun tidak pendapat berkenaan dengan pengaruh istitsna’
langsung dalam Alquran dan Sunah. tersebut terhadap keuniversalan qawâ`id
Adapun pengertian qawâ`id fiqhiyyah, fiqhiyyah.
secara istilah terdapat berbagai defenisi, Dengan demikian, qawâ`id fiqhiyyah
dua di antaranya yang menjadi pendapat merupakan kaedah-kaedah yang bersifat
populer:
9
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah,
8
Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh, (Mesir: Dâr al- (Damaskus: Dâr al-Qalam, t.th.), h. 43
Fikr al-`Arabi, t. th), h. 6 10
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, h. 45
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |107
umum, meliputi sejumlah masalah fikih, besar/lebih banyak dibanding yang lain.
dan melaluinya dapat diketahui sejumlah Dilâlah yang lebih besar itu disebut
masalah yang berada dalam cakupannya. zhahir.
d. Muhtamal, yaitu lawan dari zhahir,
Perbedaan Qawâ`id Fiqhiyyah dengan lafaz yang dilalahnya lebih dari satu,
Ushûl al-Fiqh ditanggungkan kepada dilâlah yang
Ushul al-fiqh adalah kumpulan kaedah- lebih kuat (zhahir) secara mutlak.
kaedah untuk mengeluarkan hukum berbagai Penanggungannya kepada dilâlah yang
kasus fiqh. Dari berbagai kasus fiqh tersebut, lebih lemah (muhtamal) hanya dengan
lalu dilihat persamaan illat dan diperhatikan dalil.
kemiripan motif-motif, kegunaan, tujuannya, Dengan demikian, ushûl al-fiqh adalah
dan prinsip umum yang terkandung dalam metode, fiqh adalah hasilnya, dan qawâ`id
nash (Alquran dan hadis), kemudian barulah fiqhiyyah merupakan ringkasan dari masalah-
diklasifikasi dan disusun sedemikian rupa masalah fiqh terdahulu yang dibuat dalam
dalam bentuk pernyataan-pernyataan singkat bentuk ungkapan singkat, yang dapat pula
dan padat. Tegasnya, fiqh merupakan dijadikan bahan pertimbangan pedoman
produk dari ushûl al-fiqh. Dan dari fiqhlah dalam menetapkan hukum-hukum berbagai
kemudian dilahirkan qawâ`id fiqhiyyah peristiwa yang terjadi di kemudian hari,
untuk memudahkan manusia mengetahui termasuk masalah-masalah yang tidak ada
dan memahami ketentuan hukum secara nashnya mengatur secara langsung.
singkat terhadap berbagai masalah, sehingga Dengan analogi lain dapat dijelaskan,
manusia merasa nyaman dalam bertindak jika diibaratkan dalam suatu proses produksi,
karena cepat mengetahui status hukumnya. maka ushûl al-fiqh merupakan mesin
Berbeda dengan al-qawâ`id al-fiqhiyyah, produksi, sedangkan fiqh adalah barang
ada juga al-qawâ`id al-ushûliyah yang hasil produksi. Adapun qawâ`id fiqhiyyah
dimaknai sebagai kaedah-kaedah hukum adalah kumpulan atau paket-paket kemasan
yang diambil dari lafaz Arab secara khusus, dari hasil produksi. Dalam hal ini, qawâ`id
dan apa yang dikemukakan pada lafaz-lafaz fiqhiyyah merupakan hasil produksi para
itu berupa al-nasakh, al-tarjîh, dan lainnya mujtahid dalam bentuk hukum Islam yang
seperti “al-amru li al-wujûb dan al-nahyu dikelompokkan menurut jenis dan kesamaan
li al-tahrîm.”11 Dalam kaedah ushûliyah ini lainnya.13
dikenal istilah-istilah berikut:12 Dari penjelasan di atas, perbedaan ushûl
a. Nash, yaitu lafaz yang dilâlahnya hanya al-fiqh dengan qawâ`id fiqhiyyah dapat
satu makna saja. Ulama sepakat beramal dirinci sebagai berikut:
dengan nash. 1. Ushûl al-fiqh lahir lebih dahulu dari
b. Mujmal, yaitu lafaz yang dilalahnya pada fiqh, sebab fungsi ushûl al-fiqh
lebih dari satu makna, sementara ke- adalah menggali, mengeluarkan, dan
kuatan dilâlahnya atas semua makna menemukan hukum syara` yang bersifat
tersebut setara. Lafaz mujmal tidak dapat praktis dari dalil-dalilnya yang terperinci.
menimbulkan suatu kewajiban hukum. Sedangkan qawâ`id fiqhiyyah lahir se-
c. Zhahir, yaitu lafaz yang dilalahnya sudah adanya fiqh, sebab qawâ`id
lebih dari satu makna, tetapi kekuatan fiqhiyyah diambil dari hasil generalisasi
dilalahnya terhadap sebagian lebih terhadap kumpulan berbagai masalah
11
Al-Qarafi, al-Furûq, (Beirut: Dâr al-Fikr, t. th.), Jilid
I, h. 4 13
Lihat Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta:
12
Al-Qarafi, al-Furûq, Jilid I, h. 5-7 Amzah, 2010), Cet. ke-1
108| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014
hukum-hukum fiqh yang serupa yang tidak dapat dijadikan hujjah, tapi hanya
memiliki kesamaan `illat, dan fungsinya sebagai sarana untuk mengenal metode ijtihad
untuk mendekatkan dan mengklasifikasi dalam mazhab Syafi`i. Senada dengan itu, al-
berbagai macam persoalan yang berbeda Zarkasyi dengan lebih moderat berpendapat
sehingga mempermudah mengetahuinya. bahwa qawâ`id fiqhiyyah dapat dijadikan
2. Ushûl al-fiqh merupakan metode yang semacam instrumen bagi seorang faqîh
dijadikan standar pedoman primer (pakar hukum Islam) dalam mengidentifikasi
untuk menggali, menemukan, dan me- ushul al-madzhab dan menyingkap dasar-
ngeluarkan (istinbâth) hukum, objek dasar fiqh.15 Hal ini bisa dimaklumi, sebab
bahasannya dalil-dalil dan hukum pada dasarnya masing-masing mazhab fiqh
perbuatan mukallaf. Hal ini seperti memiliki qawâ`id fiqhiyyah yang beragam
halnya eksistensi ilmu nahwu yang yang diciptakan oleh para ulama mereka
menjadi pedoman dalam pembicaraan dengan berpatokan pada ushul mazhabnya.
dan penulisan bahasa Arab. Sedangkan Walaupun begitu, bukan berarti seluruh
qawâi`d fiqhiyyah adalah kaedah-kaedah ulama mazhab Syafi`i menolak qawâ`id
sekunder yang bersifat kebanyakan fiqhiyyah untuk dijadikan sebagai hujjah.
(aktsariyah), dan objek bahasannya selalu Karena mayoritasnya justru lebih cenderung
hukum perbuatan mukallaf. dapat menerima qawâ`id fiqhiyyah untuk
3. Dalam penerapannya, kaedah-kaedah dijadikan sebagai dalil hukum. Ini tampak
yang terdapat dalam ushûl al-fiqh misalnya dari pernyataan al-Bannani,
(qawâ`id ushûliyah) bersifat umum dan “menurut mazhab Syafi`i, qawâ`id fiqhiyyah
menyeluruh dan dapat diaplikasikan dapat dijadikan hujjah dan sangat penting
pada seluruh bagian-bagian dan ruang keberadaannya dalam fiqh.16 Begitu juga
lingkupnya. Sedangkan qawâ`id fiqhiyyah al-Suyuthi yang menjelaskan bahwa ilmu
pada kaedah-kaedahnya tidak dapat al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir adalah ilmu yang
diterapkan secara menyeluruh, tapi agung, dapat menyingkap hakikat, dasar-
hanya dapat diaplikasikan pada sebagian dasar dan rahasia fiqh, mempertajam analisa
besar bagian-bagiannya saja, karena ada fiqh serta mampu membekali seseorang untuk
pengecualian-pengecualian tertentu. mampu mengidentifikasi berbagai persoalan
yang tak terhingga banyaknya sepanjang
4. Kaedah-kaedah pada ushûl al-fiqh masa dengan cara al-ilhâq dan al-takhrîj.17
merupakan dalil-dalil umum, sedangkan Oleh sebab itu, al-Suyuthi menyimpulkan
qawâ`id fiqhiyyah merupakan hukum- bahwa qawâ`id fiqhiyyah dapat dijadikan
hukum umum.14 sebagai hujjah.
Tak jauh beda dengan mazhab Syafi`i,
Eksistensi Qawâ`id Fiqhiyyah Sebagai
dalam mazhab Hanafipun tidak ada ke-
Dalil Hukum Islam
sepakatan di antara para ulama mereka
Al-Juwaini dari mazhab Syafi`i dalam kitabnya terhadap boleh tidaknya berfatwa atau
al-Ghayatsi berpendapat bahwa tujuan akhir berhujjah dengan menggunakan qawâ`id
dari qawâ`id fiqhiyyah adalah untuk memberi fiqhiyyah. Mereka yang tidak setuju, beralas-
isyarat dalam rangka mengidentifikasi metode an bahwa qaidah itu bersifat aghlabiyah
yang dipakainya terdahulu, bukan untuk
beristidlâl dengannya. Ini sebagai indikator 15
Tâj al-Dîn Abd al-Wahhâb ibn Ali ibn Abd al-Kafi
bahwa bagi al-Juwaini, qawâ`id fiqhiyyah al-Subki, Al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr al-Kutub al-
Ilmiyah, 1991), Cet. ke-1, Jilid I, h. 11
16
Abdurrahmân ibn Jâdillâh al-Bannâni, Hasyiyah al-
Bannani, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), Jilid II, h. 357
14
Taqiy al-Din ibn Taimiyah, Majmû` al-Fatâwâ, (Al- 17
Izz al-Dîn ibn Abd al-Salâm, Qawâ`id al-Ahkâm, Mesir:
Riyâdh: Mathba`ah al-Riyâdhah, 1381H), Cet. ke-29, h. 167 Dar al-Ma`arif, t. th., Jilid I, h. 5-7
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |109
(mayoritas), tidak bersifat kulliyyah juga Ibn Farhun dalam kitabnya Tabshirat al-
(universal menyeluruh). Di antaranya Ibn Hukkâm yang menjadikan qawâ`id fiqhiyyah
al-Nujaim sebagaimana dikutip al-Hamawi sebagai hujjah. Bahkan secara tegas al-
yang mengatakan: “tidak boleh berfatwa Bannani menyatakan bahwa qâ`idah yang
dengan menggunakan qawâ`id fiqhiyyah menjadi pijakan fiqh, kedudukannya me-
dan dhawabith karena sifatnya aghlabiyah.18 nyerupai dalil-dalil. Dengan demikian, bagi
Tapi bagi ulama mazhab Hanafi yang setuju mazhab Maliki, qawâ`id fiqhiyyah dapat
qawâ`id fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai dijadikan sebagai dalil sumber hukum Islam.
hujjah, beralasan bahwa bila diperhatikan Adapun dalam mazhab Hanbali, ulama
ternyata tidak semua qâ`idah itu bersifat mereka tampaknya sepakat menjadikan
aghlabiyah, namun ada juga qa`idah yang qawâ`id fiqhiyyah sebagai hujjah (dalil
sifatnya kulliyyah sebagaimana dinyatakan hukum). Hal ini terlacak dari pendapat
oleh al-Qarafi dengan menukil dari al-Amiri.19 beberapa tokohnya yang populer seperti
Di sini, sayangnya ia tidak memberikan Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Qawâ`id
contoh kongkrit qâ`idah yang bersifat al-Nûrâniyyah, ibnu Qayyim al-Jauziyah
kulliyyah tersebut. Oleh sebab itu, ibn al- dalam kitabnya I`lâm al-Muwaqqi`în, ibnu
Nujaim hanya secara implisit menyatakan Rajab dalam kitabnya Qawâ`id fi al-Fiqh
bahwa qâ`idah yang sifatnya kulliyyah boleh al-Islâmi, dan ibnu al-Najjar dalam kitabnya
dijadikan hujjah hukum Islam. Begitu pula al-Kaukab al-Munîr. Keempat tokoh di atas
dengan penyusun kitab Majallat al-Ahkâm kiranya telah mewakili sikap mazhab Hanbali
al-`Adliyyah—sebagaimana dikutip al-Zarqa— terhadap status qawâ`id fiqhiyyah. Mereka
yang mayoritasnya bermazhab Hanafi, mereka semua sependapat untuk menjadikan qawâ`id
sependapat dengan mengatakan: ”para ahli fiqhiyyah sebagai hujjah atau dalil istinbath
hukum Islam sebelum menemukan dalil yang hukum Islam, terutama pada kasus-kasus
kongkrit, tidak boleh menetapkan hukum yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nash
dengan hanya berpegang kepada salah satu (Alquran dan hadis mutawatir). Walaupun
kondisi dari qa`idah itu. Ini artinya, bagi begitu, dalam stratifikasi praksisnya, mazhab
mazhab Hanafi, qawâ`id fiqhiyyah tidak dapat Hanbali ini cenderung tetap mendahulukan
dijadikan dalil hukum yang berdiri sendiri. hadis dha`îf daripada qawâ`id fiqhiyyah sesuai
Sedangkan dalam mazhab Maliki, dengan pedoman ijtihad yang dibangun oleh
para ulama mereka menempatkan qawâ`id imam mazhabnya.
fiqhiyyah sejajar dengan ushûl al-fiqh, Berdasarkan penjelasan di atas, tampak-
sebab kaedah-kaedah fiqh itu termasuk nya ada kesepakatan secara implisit antar
bagian syari`at yang dapat memperjelas mazhab bahwa untuk kaedah-kaedah fikih
metodologi berfatwa. Bagi mereka, setiap yang berasal langsung dari teks hadis, bisa
putusan hukum yang bertentangan dengan diterima sebagai dalil. Perbedaan timbul
dalil dan kaedah yang disepakati oleh para terhadap kaedah-kaedah fikih yang secara
ulama, maka putusan tersebut batal. Al- tak langsung berasal dari hadis atau yang
Qarafi memperkuat pendapat ini dengan sama sekali bukan berasal dari hadis, tapi
mendudukkan qawâ`id fiqhiyyah yang dihasilkan melalui perenungan dan pemikiran
disepakati dalam posisi yang kuat hampir induktif dari kasus-kasus fikih yang pernah
seperti nash, ijmâ`, dan qiyâs jaliy. Begitu terjadi.
Mencermati fenomena perbedaan pen-
18
Musthafa Ahmad al-Zarqâ, al-Madkhal al-Fiqh al-`Am,
dapat di atas tentang eksistensi qawâ`id
(Damaskus: Mathba`ah Jami`ah, 1983), Cet. ke-7, Jilid II, h. 103 fiqhiyyah sebagai sandaran hukum, maka
19
Ahmad ibn Muhammad al-Hamawi, Ghumzu `Uyûn al- tampaknya pendapat kelompok yang me-
Bashâ’ir Syarh al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Kairo: Dâr al-Thabâ`ah
al-Amirah, t. th.), Jilid I, h. 17, 32 nyatakan bahwa hanya qawâ`id fiqhiyyah
110| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014
yang bersumber dari hadis Nabi saja yang defenisi yang menunjukkan bahwa kaedah
bisa dijadikan sandaran hukum, kiranya sebenarnya adalah dalil yang bersifat umum
dapat dikritisi lebih lanjut. Sebab kalau (al-amr al-kulli), yang sesuai/berlaku pada
kaedah-kaedah fiqh yang berasal dari teks sebagian besar bagian-bagiannya, yang dapat
hadis saja yang bisa dijadikan dalil hukum, dipahami darinya hukum-hukumnya. 21
maka kekuatannya sebagai dasar pijakan Adapun defenisi yang representatif mengenai
sebenarnya bukanlah pada kaedah-kaedah makna al-qawâ`id al-fiqhiyyah ialah hukum
fikihnya, tapi pada teks hadis-hadis tersebut. syara` pada preposisi kebanyakan untuk
Dalam hal ini, kaedah fikih menjadi kurang mengetahui darinya hukum-hukum yang
terlihat perannya. Tapi kalau seandainya berada dalam cakupannya.22 Pada defenisi
kaedah-kaedah fikih yang tidak berasal dari ini, terdapat penekanan penggunaan kata
teks hadis atau berasal dari prinsip-prinsip “hukmun syar`iyyun” yang mengandung arti
kandungan hadis secara umum bisa diterima, bahwa qawâ`id dimaksud bersifat syar`iyyah,
maka di sinilah tampak peran signifikan sehingga qawâ`id non syar`iyyah berada di
qawâ`id fiqhiyyah. Posisinya kiranya dapat luar cakupannya. Lalu ditekankan pula kata
disejajarkan dengan qiyâs, istishlâh, istishâb, “aghlabiyah” yang menunjukkan bahwa
istihsân, dan `urf sebagai dalil hukum sifat qawâ`id tersebut adalah “kebanyakan/
atau metode penggalian hukum. Dengan mayoritas”, tidak bersifat menyeluruh
demikian, pemberdayaan qawâ`id fiqhiyyah (kulliyah). Jadi al-qawâ`id al-fiqhiyyah dalam
bisa dilakukan lebih optimal dan maksimal pengertian ini merupakan rumusan-rumusan
dalam menjawab problematika hukum Islam dari hukum-hukum syara` yang terdapat
kontemporer di tengah tantangan dinamika dalam bab fikih yang beragam, yang sifatnya
zaman yang terus berubah. kebanyakan atau memasyarakat, sehingga
dari kaedah-kaedah tersebut dapat diketahui
Aplikasi Qawâ`id Fiqhiyyah dalam hukum persoalan-persoalan yang tercakup
Penyelesaian Masalah Politik di dalamnya.
Pemerintahan Modern Dengan demikian, kaedah tidak
Istilah al-qawâ`id al-fiqhiyyah yang berasal mesti selalu dapat diterapkan pada semua
dari kata berbahasa Arab, jika diterjemahkan bagian-bagiannya yang tercakup padanya.
dalam bahasa Indonesia menjadi kaedah- Artinya, kemungkinan penyimpangan atau
kaedah fikih. Dari segi istilah, kaedah ketidak akuratan pemakaian kaedah pada
berarti pernyataan umum (kulli) yang juz’i tertentu tetap terbuka, namun tidak
diterapkan terhadap semua bagian-bagian berarti kaedah yang tidak terpakai tersebut
(juz’i) nya.20 Dalam ilmu Ushûl al-fiqh, menjadi batal. Bisa jadi kaedah tersebut
ada kaedah “al-Ashlu li al-wujûb”, “al- ditambah atau diberi pengecualian. Karena
nahyu li al-tahrîm” dan lainnya. Kaedah- suatu kaedah adalah hasil rumusan umum
kaedah tersebut adalah kaedah yang dapat dari berbagai bab fikih yang beragam dan
diaplikasikan pada seluruh bagian-bagiannya. memiliki cakupan yang luas, tidak sebagian
Meski demikian, ada kemungkinan kaedah- besar juz’i yang berada di dalamnya, maka
kaedah itu tidak dapat diterapkan pada kasus tentu validitas kaedah fikih ini berada pada
tertentu yang berada di luar cakupannya. taraf kehandalan yang cukup tinggi. Artinya,
Namun, itu tidak berarti bahwa kaedah ia bisa dijadikan sebagai dalil hukum.
tersebut tidak berlaku. Dalam hal ini, Dari uraian di atas, jelaslah bahwa
Tâjuddîn Subki misalnya, mengemukakan kaedah-kaedah fikih bisa dijadikan solusi
20
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`îd al-Fiqhiyyah, 21
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, h. 41
(Damsyik: Dâr al-Qalam, 1994), h. 41 22
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawâ`id al-Fiqhiyyah, h. 42
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |111
yang disebut juga dengan istilah uli al-amri “Dan wajib patuh pada pemimpin bagi setiap
al-dunyawi, maksudnya adalah pemerintah muslim terhadap apa yang disenangi maupun
atau penguasa dengan segala aparatnya dari tidak disukainya selama ia tidak diperintahkan
tingkat paling rendah (RT/RW) sampai untuk berbuat maksiat. Jika ia disuruh untuk
tingkat yang paling tinggi (Presiden, Raja, berbuat maksiat, maka tidak ada kewajiban
Perdana Menteri). Kepatuhan terhadap taat.” (HR. Tirmidzi)
mereka ini sejalan dengan firman Allah:
25
28
Al-Suyuti, al-Asybâh wa al-Nazhâ’ir, (Beirut: Dâr 29
Ibrahim Hosen, Peranan Ulama Dalam Memasyarakatkan
Ihya’ al-Kutub al-`Arabiyah, t. Th.), h. 85-88 Lihat pula Abd Keluarga Berencana di Indonesia, Makalah disampaikan pada
al-Rahmân Tâj, al-Siyâsah al-Syar`iyyah wa al-Fiqh al-Islâmi, Seminar Internasional Keluarga Berencana di Lhokseumawe
(Mesir: Mathba`ah Dâr al-Ta’lif, 1953), h. 14-21 Aceh, 19 Januari 1990, h. 9
114| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014
menjadi mengikat karena sudah merupakan “Dari Abdillah ra., dari Nabi saw bersabda:
keputusan Ulil Amri (pemerintah) yang “Wajib mendengar dan taat bagi setiap muslim
wajib dipatuhi. (kepada pemerintah) baik ia senang ataupun
Dengan demikian, jika pemerintah telah tidak (terpaksa), selama tidak diperintah untuk
melakukan maksiat. Apabila diperintah untuk
menetapkan suatu ketetapan sebagaimana
maksiat, maka tidak ada kewajiban patuh
dimaksudkan, rakyat wajib mematuhinya. dan taat.” (HR. Bukhâri).
Kepatuhan terhadap ketetapan pemerintah
ini memang diperselisihkan para ulama, Segala bentuk peraturan atau ke-
apakah statusnya wajib qadhâ’i atau dîni. bijaksanaan yang ditetapkan oleh pemerintah
Yang dimaksud dengan wajib syar`i/dîni untuk merealisasikan kemashlahatan umum
ialah kewajiban agama yang jika dipatuhi adalah hakekat dari siyâsah syar`iyyah. Oleh
akan mendapat pahala dan menentangnya sebab itu, suatu peraturan atau hukum
mendapat dosa karena sama dengan mematuhi dipandang sebagai siyâsah syar`iyyah manakala
atau menentang perintah Allah. Sedang yang sejalan dengan semangat jiwa syarî`ah,
dimaksud dengan wajib qadha’i ialah bahwa bersandar pada kaedah-kaedah kulliyahnya
kepatuhan itu hanya sebagai tuntutan duniawi, yang berlaku sepanjang zaman di setiap
bagi mereka yang tidak mematuhi, pemerintah tempat dan umat, serta tidak bertentangan
berhak menjatuhkan sanksi berupa ta’zîr.30 secara hakiki dengan dalil tafsîli ayat Alquran
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang atau hadis yang keberlakuannya tidak terbatas
hal ini, dalam kajian fikih siyasah sunni, oleh masa dan keadaan.
rakyat tetap harus mematuhinya, berdasarkan Atas dasar itu, siyâsah syar`iyyah mem-
firman Allah dalam surat al-Nisâ’[4]: 59 tadi berikan keleluasaan (tausî`ah) kepada pe-
yang juga sejalan dengan hadis-hadis Nabi merintah untuk mengambil langkah-langkah
saw, di antaranya: dan kebijaksanaan-kebijaksanaan sesuai
dengan tuntutan zaman, dan untuk me-
realisasikan kemashlahatan sepanjang tidak
31 menyalahi pokok-pokok agama (ushûl al-dîn),
“Aku berwasiat kepada kalian supaya bertakwa sekalipun hal itu tidak ditunjukkan oleh
kepada Allah, dan hendaklah kalian patuh dalil-dalil tetentu. Dan semua ketetapannya
serta taat (kepada pemerintah), sekalipun itu wajib dipatuhi umat Islam, karena
(yang memerintah) itu budak Habsyi.” (HR. pemerintah sebagai waliy al-amri diberi hak
Tirmidzi) oleh Allah untuk dipatuhi.33
Pemberian keleluasaan kepada pemerintah
dalam menyelenggarakan berbagai urusan
kenegaraan tersebut juga didukung oleh
qawâ`id syar`iyyah, antara lain dengan
pertimbangan:34
32 Pertama, bahwa kemafsadatan semakin
merebak. Ini tentunya memerlukan perangkat
peraturan perundang-undangan yang mampu
30
Ibrahim Hosen, “Fiqh Siyasah Dalam Tradisi Pemikiran menanggulanginya, sejalan dengan kaedah
Islam Klasik”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Sistem Ketatanegaraan dan Politik Dalam Perspektif Islam, umum syarî`ah di antaranya “lâ dharara wa
Teori dan Implementasinya Dalam Praktek, diselenggarakan lâ dhirâra” dan kaedah “nafy al-haraj” yang
oleh Jurnal Ulumul Qur’an bekerjasama dengan ICMI, Jakarta,
12 Januari 1993, h. 20
31
Muhammad ibn Isa Abu Isa al-Tirmidzi, Sunan al-
Tirmidzi, (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t. th.), Juz V, h. 44 Yamâmah, 1987), Juz VI, h. 2612
32
Muhammad ibn Ismail Abû Abdillah al-Bukhâri, 33
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 20
al-Jâmi` al-Shahîh al-Mukhtashar, (Beirut: Dâr ibn Katsîr al- 34
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 20
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |115
35
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 21-24
36
Al-Bukhâri, Shahîh al-Bukhâri, Juz II, h. 836. Muslim ibn
37
Muhammad ibn Ismail al-Shan`ani, Subul al-Salâm,
al-Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi, Shâhih Muslim, (Beirut; Dar Ihya al-Turats al-`Arabi, 1379 H), Cet. ke-4, Juz
(Beirut: Dâr Ihya’ al-Turâts al-`Arabi, t. th.), Juz II, h. 1348 II, h. 49
116| AL-‘ADALAH Vol. XII, No. 1 Juni 2014
“…Dan setiap yang baru (dalam ibadah) tidak dipandang lagi sebagai mu’allaf
itu bid`ah, dan setiap yang bid`ah itu karena telah lepasnya `illat ta’lîf mereka.
sesat, dan setiap kesesatan itu berada di d. Membuat peraturan perundangan dengan
dalam api neraka...” (HR. Nasâ’i) berbagai jenis dan tingkatannya. Yang
Lafaz hadis yang umum ini telah terakhir ini merupakan tugas dan
ditakhshîs oleh Khalifah Umar ibn al- wewenang pemerintah paling dominan
Khattab selaku pemegang kekuasaan dan sangat luas. Dalam rangka tugas
dengan kebijaksanaannya menetapkan kenegaraan dan pemerintahannya untuk
shalat tarawih dengan jumlah raka`at merealisasikan kemahlahatan umum,
sebanyak 20 pada malam Ramadhan, pemerintah dibenarkan dan bahkan
seraya berkata: “Inilah sebaik-baik diharuskan merumuskan, membuat,
bid`ah.” Dengan tindakan dan ucapan dan menetapkan hukum, peraturan
Umar ini, dapatlah diketahui bahwa perundangan, dan kebijaksanaan dalam
keumuman hadis tersebut menerima berbagai bentuk dan tingkatannya.
takhshîs, dan Umar selaku penguasa Hukum, peraturan dan sebagainya
telah mentakhshîskannya, sehingga dapat itu dipandang sebagai hukum Islam,
disimpulkan bahwa tidak setiap yang atau paling tidak sebagai hukum yang
bid`ah itu sesat. Islami, yang bersifat mengikat dan wajib
Begitu juga dengan kebijaksanaan Abu dipatuhi umat Islam, jika terpenuhi hal-
Bakar al-Shiddiq untuk menghimpun hal sebagai berikut:38
Alquran dalam sebuah mushaf, dan 1) Ditetapkan melalui musyawarah (wa
keputusan Usman ibn Affan yang me- syâwirhum bi al-amri)
netapkan penambahan azan kedua dalam 2) Tidak memperberat atau mempersulit
pelaksanaan shalat Jum`at. Kedua- umat (nafy al-haraj)
nya melakukan hal tersebut dalam 3) Menutup akibat negatif (sadd al-
kapasitasnya sebagai pemegang kekuasaan. dzarî`ah)
c. Mereinterpretasikannya. Sebagai contoh, 4) Mewujudkan kemashlahatn umum
dalam surat al-Taubah ayat 60 disebutkan (jalb al-mashâlih al-`ammah)
bahwa golongan mu’allaf berhak
menerima bagian zakat, dan Nabi saw 5) Menciptakan keadilan (tahqîq al-
sendiri telah melaksanakannya. Namun `adâlah)
walaupun demikian, pada masa Abu 6) Tidak bertentangan dengan jiwa dan
Bakar menjadi Khalifah, atas ijtihad dan semangat nash qath`i.
usul Umar ibn al-Khattab, begitu juga
ketika Umar menjadi Khalifah, keduanya Penutup
menghapuskan bagian mu’allaf. Ini Dengan pemaparan di atas, dapatlah di-
karena kedua Khalifah itu memandang simpulkan bahwa melalui penggunaan kaedah-
bahwa pemberian zakat kepada kaum kaedah fikih, akan banyak permasalahan
mu’allaf itu disebabkan oleh suatu `illat fikih siyasah yang bisa diselesaikan dengan
dan sebab tertentu, yaitu ta’lîf (untuk lugas dan tuntas, sehingga menghilangkan
menjinakkan mereka) karena mereka keraguan yang ada dan masyarakat pun
diperlukan, sebab waktu itu umat Islam mendapatkan kepastian hukum. Pilihan-
masih lemah. Maka setelah umat Islam pilihan yang sulit pun bisa diatasi dengan
menjadi kuat seperti pada masa Khalifah bijaksana dan segera.
Abu Bakar dan Umar, mereka tidak
diperlukan lagi. Karena itu, mereka tidak
perlu dijinakkan lagi, artinya mereka 38
Ibrahim Hosen, ”Fiqh Siyasah...”, h. 25
Toha Andiko: Pemberdayaan Qawâ’id Fiqhiyyah |117
Syaibani, Ahmad ibn Hanbal Abu Abdillâh Tirmidzi, Muhammad ibn Isa Abu Isa al-,
al-, Musnad Ahmad, Mesir: Mu’assasah Sunan al-Tirmidzi, Beirut: Dâr Ihyâ al-
Qurthubah, t.th., Juz I. Turats al-`Arabi, t. th., Juz IV dan V.
Taftazani, al-Talwîh `ala al-Taudhîh, Mesir: Zahrah, Muhammad Abu, Târîkh al-
Mathba`ah Syam al-Hurriyah, t.th., Juz I. Madzâhib al-Islâmiyah, Beirut: Dâr al-
Fikr al-Arabi, t. th., Jilid I.
Taimiyah, Taqiy al-Din ibn, Majmû` al-
Fatâwâ, Al-Riyâdh: Mathba`ah al- Zahrah, Muhammad Abû, Ushûl al-Fiqh,
Riyâdhah, 1381H, Cet. ke-29. Mesir: Dâr al-Fikr al-`Arabi, t. th.
Taimiyah, Taqiy al-Din ibn, al-Siyâsah al- Zarqâ, Musthafa Ahmad al-, al-Madkhal
Syar`iyah fi Ishlâh al-Râ`i wa al-Râ`iyah, al-Fiqh al-`Am, Damaskus: Mathba`ah
(Beirut: Dâr al-Âfâq, 1983), h. Jami`ah, 1983, Cet. ke-7, Jilid II.