Anda di halaman 1dari 10

TAFSIR AL-SIYASI AL-HARAKI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Mazahib al-Tafsir

Dosen Pengampu:

Abdul Wadud Kasyful Humam, M. Hum.

Disusun Oleh:

Komari Anwar
NIM: 2017.01.01.729

Moh. Maulidi Zaini A. G.


NIM: 2017.01.01.709

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL ANWAR

SARANG REMBANG

2019

A. Pendahuluan
Al-Qur’an diyakini oleh umat Islam sebagai sumber hukum dan pedoman
hidup menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagai sebuah mu’jizat
penafsiran terhdap al-Qur’an tidak akan pernah habis, bahkan semakin
berkembang seiring berkembangnya peradaban dan berjalannya masa. Dengan
kata lain pancaran sinar sebagai interpretasi manusia terhadap kitab suci ini
akan terus muncul dari sumber yang sama yang tidak pernah berubah. Oleh
karna itu, bermunculannya tafsir-tafsir al-Qur’an harus dianggap suatu
dinamika dan cerminan perkembangan wawasan para penafsirnya sesuai
dengan situasi dan kondisi serta tidak bisa dipisahkan oleh masa munculnya
tafsir tersebut. Pada era kontemporer ini banyak sekali tafsir yang bermunculan
dengan corak penafsiran yang berbeda-beda diantaranya corak fiqhi, falsafi,
teologi, sosial kemasyarakatan, sains, politik, dan sebagainya.
Tafsir politik merupakan salah satu corak penafsiran yang menarik untuk
dikaji. Pemikiran politik pada umumnya merupakan produk perdebatan besar
yang terfokus pada masalah regiopolitik tentang imamah dan kekhalifaan.
Sejarah telah mencatat bahwa persoalan politik pertama yang diperselisihkan
setelah Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam wafat adalah persoalan
kepemimpinan, terbukti sampai era sekarang bahwa kepemimpinan merupakan
isu yang sangat menarik dari setiap penjuru dunia. Salah satu diantara mufassir
yang menggagas tafsir dalam mengkeritik pemerintah adalah Sayyid Qutb.
Beliau merupakan salah satu pemikir dan aktivis politik islam yang sangat
concern dengan pergerakan islam dan memiliki pengaruh yang cukup luas di
dunia islam.
Oleh karena itu pada makalah ini pemakalah akan membahas tentang
tafsir politik pergerakan atau yang biasa disebut dengan tafsir al-Haraki. Dalam
hal ini pemakalah juga mengambil sampel contoh dari penafsiran Sayyid Qutb
dalam tafsir fi zilali al-Qur’an.

B. Pembahasan
1. Pengertian Tafsir al-Siyasi al-Haraki

al-siyasi, secara bahasa berasal dari kata “‫ ”ساس – يسوس – سياسة‬yang


memiliki arti mengatur1, Sedangkanmashdar-nya yaitu siyasah, secara

1
A.W. Munawwir, al-Munawwir: kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
677.

2
bahasa bermakna: “‫لحه‬C‫ا يص‬C‫يء بم‬C‫ ”القيام على الش‬yang artinya “bertindak pada
sesuatu dengan apa yang patut untuknya”. Kata siyasah menurut Abdul
Wahab Khalaf adalah “ilmu yang membahas tentang cara pengaturan
masalah kenegaraan atau ketatanegaraan semisal (bagaimana mengadakan)
perundang-undangan dan berbagai peraturan (lainnya) yang sesuai dengan
prinsip-prinsip islam.2 Sedangkan menurut istilah ilmiah kontemporer yang
popular adalah kata siyasa/politik adalah seni dalam menguasai atau lebih
rincinya adalah bermacam-macam kegiatan politik yang menyangkut proses
menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan
itu serta tatacara pengambilan keputusan dan menyusun skala prioritas dari
tujuan yang telah dipilih.

Sedangkan kata haraki ‫ حركي‬menurut kamus al-Munawwir berasal dari


kata ‫رك‬C‫ ح‬yang artinya bergerak3. Maka secara bahasa, tafsir haraki artinya
adalah tafsir pergerakan. Dalam hal ini seorang mufassir berusaha
menjelaskan maksud Allah dalam al-Qur’an, khususnya yang terkait dengan
perubahan dan pergerakan sosial kearah yang lebih baik. Tafsir Haraki ini
tidak hanya bertujuan menafsirkan al-Qur’an, tetapi juga mengajak umat
untuk memperbaiki keadaan sosial yang buruk ke arah keadaan sosial yang
lebih baik. dalam hal ini, mufassir juga mengedapankan perhatiannya untuk
mengajak masyarakat agar kembali kepada ajaran agama yang benar,
mensucikan agama dari segala bentuk Khurafat dan Isroiliyat.

Tafsir Siyasi Haraki merupakan tafsir yang fokus pada kepolitikan


dengan berbasis pada gerakan ideologis, mengandung maksud tafsir dengan
mengambil ayat-ayat kepolitikan dengan tidak melalaikan unsur ideologi,
atau gerakan yang dipakai oleh para mufassir untuk mengambil alih
kekuasaan dan mewarnai dunia perpolitikan.

2. Latar Belakang Tafsir al-Siyasī al-Harakī

2
Abdul Wahab Khalaf, al-Siya>sah Syar’iyyah wa Nidzha>m al-Dawlah al-Isla>miyyah (al-
Kaherah: Da>r al-Ansha>r, 1977), 5.
3
A.W. Munawwir, al-Munawwir: kamus Arab-Indonesia, 256.

3
Kajian tafsir siyasi haraki tidak terlepas dari dua aspek
yaitu pertama politisasi tafsir (upaya seseorang baik itu individu ataupun
kelompok untuk menguasai, serta menjustifikasi faham dan ideologi)
dan kedua penafsiran ayat-ayat politik sebagai upaya seorang mufassir
untuk menggali nilai-nilai atau unsur-unsur politik yang terkandung di
dalam al-Qur’an.
Politisasi tafsir telah terjadi pada masa klasik, dapat dikatakan jari-jari
politik pada masa klasik telah mengambil tempat tersendiri dalam memasuki
tafsir al-Qur’an al-karim seperti contoh apa yang terjadi pada perdebatan
dalam tahkim yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dengan umayyah
yang disana menimbulkan beberapa golongan antara lain Syi’ah yang setia
dengan sayyidina Ali bin Abi Thalib serta golongan khawarij yang menolak
tahkim tersebut dan menanamkan benih kebencian terhadap Ali bin Abi
Thalib.4
Berangkat dari peristiwa tersebut kedua golongan tersebut berlomba-
lomba untuk menafsirkan al-Qur’an untuk kepentingan golongan masing-
masing agar dapat menguasai satu dengan lainnya. kedua golongan tersebut
merupakan salah satu sampel bahwa telah terjadi politisasi tafsir dalam hal
ini untuk kepentingan politik golongan mereka masing-masing.
Terlepas dari kepentingan politik para mufassir kontemporer
melakukan penafsiran secara tematik terhadap ayat-ayat yang memiliki
nilai-nilai dan unsur-unsur politik. kajian ini relative sangat baru karena
perkembangan ilmu politik sendiri baru mengalami perkembangan pada
masa kontemporer, adapun beberapa contoh nilai-nilai atau unsur-unsur
politik dalam al-Qur’an adalah prinsip-prinsip pemerintahan yang meliputi
musyawarah, keadilan, dan lain-lain.

3. Sumber Tafsir al-Siyasi al-Haraki

Untuk Guna memberikan penafsiran yang komprehensif ada beberapa


elemen atau unsur-unsur yang diperlukan dalam tafsir Politik pergerakan
antara lain:
4
Ahmad al-Syirbasyi, Sejarah Tafsir al-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), 149.

4
a) Al-Qur’an
b) Hadits Nabi
c) Fenomena Politik
d) Konteks Sosial Politik

4. Contoh Tafsir al-Siyasi al-Haraki


Dalam pembahasan ini pemakalah mengambil sampel contoh dalam
kitab tafsir fi zila>lil al-Qur’an. Menurut Sayyid Quṭb, pemimpin negara
menjalankan kekuasaan berdasarkan perintah Allah. Segala sesuatu yang
dilakukan oleh pemimpin negara semua harus sesuai dengan manhaj Islam.
Perhatikan tafsiran Sayyid Quṭb terhadap QS. al-Nisa’ [4]: 59 berikut:
‫ٍء‬ ‫ِم‬ ‫ِط‬ ‫ِط‬ ‫ِذ‬
‫َيا َأُّيَه ا اَّل يَن آَم ُنوا َأ يُعوا الَّلَه َوَأ يُعوا الَّرُس وَل َوُأويِل اَأْلْم ِر ْنُك ْم ۖ َفِإْن َتَناَزْعُتْم يِف َش ْي َفُرُّدوُه‬

‫ِإىَل الَّلِه َوالَّرُس وِل ِإْن ُك ْنُتْم ُتْؤ ِم ُنوَن ِبالَّلِه َواْلَيْو ِم اآْل ِخ ِر ۚ َٰذ ِلَك َخ ْيٌر َوَأْح َسُن َتْأِوياًل‬
59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.
Sayyid Quṭb menjelaskan bahwa ayat ini merupakan syarat iman dan
batasan Islam. Ia menjelaskan niẓām asāsi (peraturan pokok) bagi kaum
Muslimin, kaidah hukum, dan sumber kekuasaan. Menurutnya, membuat
syariat merupakan hak prerogratif Allah. Kedaulatan hukum hanyalah milik
Allah. Semua persoalan manusia, yang sifatnya sederhana, maupun
kompleks dapat dicari jawabannya lewat syariat yang tertuang dalam al-
Qur'an dan direalisasikan melalui Rasul-Nya. Oleh karena itu, syariat
Rasulullah merupakan syariat Allah. Menaati Rasul berarti menaati Allah
yang telah mengutusnya untuk membawa syariat dan menjelaskannya
kepada manusia melalui sunah-sunnahnya. Ada dan tidak adanya iman

5
tergantung pada seberapa besar ketaatan seseorang dalam menjalankan
syariat Islam.5
Pengakuan manusia terhadap kedaulatan Allah adalah dengan menaati
atau menjalankan syariat Islam. Juga menaati Rasulullah sebagai
pengemban risalah dari Allah.
Menurut Sayyid Quṭb, ulil amri harus dari kaum Muslimin sendiri
yang sudah memenuhi syarat-syarat keimanan, dan taat kepada Allah dan
rasul-Nya. Pemimpin atau ulil amri yang wajib ditaati adalah mereka yang
menjalankan aturan-aturan Allah. Apabila pemimpin sudah menyimpang
dari perintah Allah dan Rasul-Nya, maka mereka tidak lagi perlu ditaati. 6
Syarat seorang pemimpin harus Islam karena Sayyid Quṭb menghendaki
negara Islam. Sementara kewenangan ulil amri hanya terbatas pada
aktualisasi syariat Allah sesuai dengan manhaj-Nya.7
Pada akhir ayat di atas, Sayyid Quṭb mengakhiri penjelasannya bahwa
manhaj Islam yang sempurna adalah manhaj yang sesuai dengan fitrah
manusia. Fitrah yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan alam semesta
atau sunnatullah. Sehingga manusia bisa mencapai puncak
kesempurnaannya.8
Disatu sisi, Sayyid Quṭb melihat bahwa banyak sekali sekelompok
manusia atau negara yang mengatasnamakan Islam. Namun dalam
aktualisasinya tidak sesuai dengan al-manhaj al-Islami. Menurutnya, ini
merupakan permasalahan yang serius umat Islam saat ini. Sayyid Quṭb
menghendaki negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yakni dīn
al-Islam. Kedaulatan tertinggi dalam negara terletak pada pemilik agama,
yaitu Allah.
Sayyid Quṭb bahkan mengkritik realitas dunia saat ini yang membuat
undang-undang sendiri bagi kehidupan mereka. Pendangan ini terlihat
dalam penafsirannya pada QS. al-An’ām [6]: 56.

5
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, (Bairut: Dār al-Shurūq, 1412 H), 690.
6
Ibid. 691.
7
Ibid. 690.
8
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, 692.

6
‫ُقْل ِإِّني ُنِه ي ُت َأْن َأْع ُبَد ا َّلِذ ي َن َتْد ُع وَن ِم ْن ُد وِن ال َّلِه ۚ ُقْل اَل َأَّتِبُع َأْه َو ا َءُك ْم ۙ َقْد‬
‫ِد‬ ‫ِم‬ ‫ِإ‬
‫َض َل ْل ُت ًذ ا َوَم ا َأَنا َن ا ْل ُم ْه َت ي َن‬
56. Katakanlah: “Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan-
tuhan yang kamu sembah selain Allah”. Katakanlah: “Aku tidak akan
mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian
dan tidaklah (pula) aku termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Kata “alladhīna" menurut Sayyid Quṭb menunjuk pada sesuatu yang
berakal, bukan bermakna berhala, yang ia kaitkan dengan realitas yang
terjadi di dunia saat ini. Orang-orang bersekutu membuat undang-undang
bagi masyarakat dan individu tertentu. Mereka menyusun undang-undang,
membuat aturan-aturan sendiri yang harus dijalankan oleh masyarakat.
Bahkan, mereka memutuskan masalah di antara mereka berdasarkan tradisi
dan pendapat mereka sendiri.9
Sayyid Quṭb menilai hal ini sebagai bentuk kemusyrikan, dan
menjadikan mereka (orang-orang yang membuat undang-undang) sebagai
sekutu-sekutu Allah. Sayyid Quṭb mengkritik beberapa negara yang
membuat perundangan-undangan dan aturan-aturan sendiri. Menurutnya,
membuat aturan sendiri berarti telah merampas hak Allah.
Sayyid Quṭb meyakinkan bahwa dengan kedaulatan Tuhan, keadilan
akan benar-benar terwujud. Sebaliknya, jika menolak kedaulatan Tuhan,
maka mustahil akan tercipta keadilan, karena banyaknya pihak yang
menintervensi. Berbeda dengan kedaulatan Tuhan, karena semua urusan
merupan hak prerogatif-Nya, sehingga tidak ada celah untuk intervensi. Hal
ini tersirat dalam penafsiran Sayyid Quṭb pada QS. Āli Imrān [3]: 18:

‫َش ِه َد ال َّلُه َأَّنُه اَل ِإَٰل َه ِإاَّل ُه َو ا ْل َم اَل ِئَك ُة َو ُأوُلو ا ْل ِع ْل ِم َقا ِئًم ا ِبا ْل ِق ْس ِط ۚ اَل ِإَٰل َه ِإاَّل‬
‫ُه َو‬ ‫َو‬
‫ِك‬ ‫ِز‬
‫ا ْلَع ي ُز ا ْل َح ي ُم‬
18. Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia
(yang berhak disembah), Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan

9
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, (Bairut: Dār al-Shurūq, 1412 H), 1110.

7
orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
Ayat di atas ditafsirkan Sayyid Quṭb sebagai penegasan atas ke-
ulūhiyyah-an Allah. Sifat ulūhiyyah erat kaitannya dengan keadilan.
Keadilan akan dapat terwujud dan akan dapat dirasakan jika umat Islam
menegakkan manhaj Islam (manhaj Allah). Sebaliknya, jika yang dianut
umat Islam adalah manhaj ciptaan manusia, maka yang dirasakan adalah
kebodohan, kedzaliman dan pertentangan. Kezaliman individu terhadap
masyarakat atau sebaliknya, masyarakat terhadap masyarakat, atau suatu
generasi terhadap generasi lain. Hanya keadilan Allah saja yang dapat
melepaskan manusia dari kecondongan kepada salah satu pihak.10
Sayyid Quṭb juga mengajak umat Islam melihat kembali sejarah pada
masa-masa ketika kitab Allah yang hanya menjadi pemutus segala
persoalan, supaya manusia dapat merasakan keadilan, dan kehidupan yang
baik.11 Beliau menginginkan negara dengan kedaulatannya ada di tangan
Allah. Supaya keadilan benar-benar terwujud, seperti ketika Islam berkuasa
di dunia, dan menjadi pusat peradaban. Dalam Islam, kedaulatan negara
berada dalam kewenangan Allah SWT. Allah-lah yang memiliki kuasa atas
semua yang ada di bumi, termasuk urusan kenegaraan.

10
Sayyid Quṭb, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, (Bairut: Dār al-Shurūq, 1412 H), 379.
11
Ibid., 380.

8
9
Daftar Pustaka

Khalaf, Abdul Wahab, al siyasah syar’iyyah aw nidzham al dawlah al islamiyyah.


Al Kaherah: Dar al Anshar, 1977.
Munawwir, A.W., al-Munawwir: kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997.

Quṭb, Sayyid, Fī Ẓilāl al-Qur’ān, Bairut: Dār al-Shurūq, 1412 H.

Syirbasyi (al), Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.

10

Anda mungkin juga menyukai