Anda di halaman 1dari 11

AHLUSUNNAH SALAF DAN KHALAF

Makalah

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Ilmu Kalam

Dosen Pengampu:

Oleh:

Billy Yoga Satriawan NIM: 2022010182362

ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) AL-ANWAR

SARANG REMBANG
2022
A. Pendahuluan

Keterbukaan untuk menerima berbagai macam pendapat menjadikan Ahlusunnah Wal


Jama’ah memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai konflik internal umat. Sikap toleran
Ahlussunnah yang demikian telah memberikan makna khusus dalam hubungan kemanusiaan
secara lebih luas. Hal ini pula yang membuatnya menarik banyak kaum muslimin diberbagai
daerah.

B. Pembahasan

1. Sejarah perkembangan ahlusunnah salaf

Madzhab Ahl as-Sunnah Salafiah secara historis telah muncul pertama pada abad
keempat Hijriah. Mereka adalah terdiri dari para ulama Hanabilah, para pengikut Ahmad bin
Hanbal (w. 241 H/855 M) yang ingin melakukan revitalisasi akidah ulama Salaf dan berusaha
menolak paham lainnya. Selanjutnya paham ini muncul kembali pada abad ke-7 Hijriah oleh Ibn
Taimiyah (w. 729 H/1329 M). Dalam konteks ini, Ibn Taimiah secara intens menyebarluaskan
faham ini dengan menambahkan beberapa hal doktrin teologis dengan mengaktualisasikan
pemikiran faham ini sesuai dengan kondisi zamannya, dan bahkan kemudian Ibn Taimiyah
diapresiasi sebagai tokoh yang telah berhasil menformulasikan secara sistematis doktrin teologis
Ahl as-Sunah Salafiah secara lengkap.1 Selanjutnya pada abad ke-12 Hijriah pemikiran serupa
muncul kembali di jazirah Arab dihidupkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab, 2 yang
kemudian dalam sejarah dikenal dengan sebutan gerakan Wahabiyah. Para pendukung utama dari
madzhab Ahl as-Sunnah Salafiah adalah tokoh-tokoh ahli hadis (muhadditsun), karena sesuai
dengan ketekunan mereka dalam menjaga kelestarian hadis dari satu generasi ke generasi
berikutnya.3

Sebagai seorang pemuka ahli hadis dan pendiri Madzhab Hanbali di bidang fiqih, Ahmad
bin Hambal karena keteguhannya melakukan pembelaan pendirian teologisnya pada saat
pemberlakuan mihnah , yang dilaksanakan oleh Khalifah al-Makmun (198-218 M)—dan
dilanjutkan oleh dua Khalifah penggantinya, yakni al-Mu’tasim (833-842 M) dan al-Watsiq (842-
847 M)—yang melakukan pemaksaan terhadap para ulama pada waktu itu, terutama ulama ahli
fiqih dan ahli hadis, dan juga para tokoh pejabat pemerintahan, untuk menerima dan meyakini
kebenaran salah satu doktrin teologis Mu’tazilah yakni tentang kemakhlukan al-Quran, maka
dikenallah ia sebagai tokoh utama dari ahlusunnah salaf. 4

Ibn Taimiyah, tokoh penting Salafi melakukan pengklasifikasian ulama dalam hal
memahami akidah Islam ke dalam empat kategori, yaitu: Pertama, para filosof; kedua, para pakar
Ilmu Kalam yakni Mu’tazilah yang menggunakan metode berfikir rasional (agamis); ketiga,
ulama yang mengandalkan panalaran terhadap akidah yang terdapat di dalam al-Quran untuk
diimani dan dalil-dalil yang terkandung di dalamnya untuk digunakan, sebagaimana diaplikasikan
oleh kaum Maturidi; dan keempat, kelompok orang yang beriman kepada al-Qur’an, tetapi
1
Jahja, Teologi al-Ghazali, 35. Bandingkan dengan: Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 225.
2
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 225.
3
Musthafa Hilmi, As-Salafiyat bain al-Aqidat al-Islamiyat wa al-Falsafah al-Gharbiyah (Iskandariah: Dar
al-Da’wah, 1983), 82.
4
Hilmi, As-Salafiyyat, 42.
mempergunakan dalil rasional di samping dalil al-Quran itu, sebagaimana yang dilakukan oleh
Asy’ariyah.5 Selanjutnya Ibn Taimiyah, menegaskan bahwa metode Salafi atau Ahlusunnah
Salafiah bukanlah salah satu dari empat kategori itu, karena akidah dan dalil-dalilnya, metode
berfikir Salafi hanyalah dapat diambil dari dalil-dalil nash (al-Qur’an dan asSunnah). Ahl as-
Sunnah Salafiah, secara metodologis-epistemologis, hanya percaya kepada nash dan dalil-dalil
yang diisyaratkan oleh nash, sebab ia merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw.6

2. Ajaran pokok Ahlusunnah Khalaf

Metode berfikir Ahlusunnah salafiah biasanya disebut dengan dengan teknis metode
tekstual (al-manhaj al-naqli).7 . Dalam pandangan Ahl as-Sunnah Salafiah, akal manusia sama
sekali tidak mempunyai otoritas untuk mentakwilkan dan menginterpretasikan, kecuali sebatas
yang sudah ditunjukkan oleh berbagai susunan kalimat al-Quran dan yang terkandung dalam
berbagai hadis. Akal hanya menjadi bukti, bukan pembuat keputusan; akal hanya menjadi
penegas dan penguat wahyu, bukan pembatal dan penolak; posisi akal lebih sebagai penjelas
dalil-dalil yang terkandung dalam Al-Qur’an.8

Sebagai implikasinya adalah, ketika mereka berhadapan dengan ayat-ayat al-Qur’an


kategori mutasyabihat, ulama Ahl as-Sunnah Salafiah enggan dan tidak bersedia memberikan
takwil atau makna metaforis. Mereka hanya memahami makna harfiah dari teks wahyu yang telah
ada, dengan tanpa mempertanyakan “bagaimana”? Adagium yang begitu terkenal di kalangan Ahl
as-Sunnah Salafiah adalah: al-iman wajib wa as-su’al bid’ah (mengimani atas kebenaran
maknamakna tekstual ayat-ayat al-Quran (baca, mutasyabihat) adalah wajib dan mempertanyakan
bagaimana (baca, bentuk sebenarnya) adalah dilarang atau bid’ah). Imam Muhammad Abu
Zahrah, dalam karyanya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, menjelaskan ajaran Ahl as-Sunnah
Salaf yang meliputi: Keesaan Tuhan (dzat dan sifat, dilengkapi perbedaannya dengan faham
lainnya), takwil dan tafwidl, perbuatan manusia, al-Qur’an (kalamullah), perbuatan Tuhan,
permohona pertolongan (istighasah), serta ziarah kubur. Adapun secara lebih terinci, uraian
mengenai doktrin teologis Ahl as-Sunnah Salafiah dapat dilihat berikut ini.

1. Kemahaesaan Tuhan

Beranjak dari ajaran Keesaan Tuhan, sebagai asa pertama ajaran Islam, Ahl as-Sunnah Salafiah
dengan rujukan ayat iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada Engkau kami menyembah
dan hanya kepada Engkau pula kami memohon pertolongan), berprinsip bahwa memohon
pertolongan atau berdo’a dan ibadah harus “langsung” kepada Tuhan, dan itulah sebabnya
mereka menolak segala bentuk wasilah atau perantara dalam memohon pertolongan kepada
Allah, karena yang demikian ini dianggap bertentangan dengan ajaran keesaan Tuhan. Kemudian
Keesaan Tuhan menurut Ahl as-Sunnah Salafiah, biasa juga ditegaskan oleh para ulama,
cakupannya meliputi: keesaan dzat dan sifat (uluhiyyah), keesaan penciptaan (rububiyyah) dan
keesaan sebagai yang disembah (‘ubudiyyah).

5
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 226-227.
6
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 227.
7
Jahja, Teologi al-Ghazali, 35 dan 53.
8
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 227.
2. Keesaan Tuhan dalam dzat dan sifat.

Perihal Keesaan Tuhan dalam dzat dan sifat, Ahmad bin Hanbal menjelaskan bahwa “Allah Esa
tidak berbilang dan tidak boleh adanya keterbagian tidak pula pengklasifikasian, sesungguhnya
Allah tidak terdeskripsikan”.9 Dalam masalah dzat dan sifat-sifat Allah, Ahl as-Sunnah Salafiah
mencukupkan pada teks-teks wahyu, krena itu mereka menolak pendapat Jahamiyah dan
Mu’tazilah terkait penafian sifat-sifat Tuhan dan takwil dari sebagian mereka.

3. Keesaan dalam ibadah

Makna substantif wahdaniyyah dalam ibadah adalah hamba sekali-tidak tidak mengarahkan
ibadahnya kepada selain Allah SWT, atau meengarahkan segala ibadahnya hanya kepada Allah
semata. Wahdaniyyah dalam konteks ibadah semacam ini, secara teologis menuntut adanya dua
hal mendasar berikut ini: pertama, seseorang tidak boleh menyembah selain Allah dan sekaligus
wajib tidak mengakui terhadap ketuhanan selain Allah; dan kedua, seseorang dalam pelaksanaan
menyembah kepada Allah hanya berdasarkan pada ajaran yang telah disyariatkan oleh Allah. Ibn
Taimiyyah, sebagaimana dijelaskan oleh Abu Zahrah, mendasarkan pendapatnya ini kepada tiga
hal berikut ini: (1) larangn mendekatkan diri kepada Allah dengan melalui (tawassul) orangorang
saleh dan para wali; (2) larangan meminta pertolongan dan mendekatkan diri kepada Allah
melalui (tawassul) orang-orang yang telah meninggal dunia dan lainnya; dan (3) larangan
berziarah ke makam orang-orang saleh dan para Nabi untuk meminta berkah dan
mengkultuskannya.10

4. Keesaan dalam penciptaan

Dalam terminologi Ilmu Kalam, Keesaan Tuhan dalam penciptaan biasa diistilahkan dengan
tauhid rububiyah. Substansi tauhid rububiyyah adalah mempercayai keesaan Allah SWT sebagai
satu-satu-Nya Pencipta (al-Khaliq).11

5. Al-Qur’an

Ahl as-Sunnah Salafiah, melalui sejumlah tokoh utamanya, terutama Ahmad bin Hanbal dan Ibn
Taimiyyah, dengan tegas dan eksplisit berpandangan bahwa al-Qur’an itu merupakan kalam
Allah dan bukan makhluk. Berkaitan dengan hal ini Ahmad bin Hanbal, dalam al-Madkhal,
sebagaimana dikutip oleh ‘Ajami, mengatakan: “Al-Qur’an kalam Allah, dan firman-Nya yang
diturunkan, bukan makhluk”. Dari sumber lainnya, atThabaqat, ‘Ajami menemukan pernyataan
Ahmad bin Hanbal bahwa “alQur’an bukan makhluk karena kalam Allah tidak terpisah dari-Nya,
dan tidak ada sesuatu pun pada-Nya yang merupakan makhluk”. 12 Pernyataan yang serupa, al-
Qur’an sebagai kalam Allah dan bukan makhluk, juga disampaikan oleh Ibn Taimiyyah.
Sebagaimana dijelaskan oleh Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa al-Qur’an
merupakan kalam Allah dan bukan makhluk (tidak diciptakan), mengingat kalam Allah itu Dia,
bukan terpisah dari-Nya.13
9
Al-‘Ajami, Akidah Islam, 447.
10
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 243.
11
Lihat, Syeikh Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik (Bandung: Mizan, 1991), 43.
12
Al-‘Ajami, Akidah Islam, 455.
13
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 238.
6. Sifat-sifat Tuhan

Ahl as-Sunnah Salafiah menempuh metode tafwidl (menyerahkan sepenuhnya kepada Tuhan
tanpa mentakwilkan), atau ada yang menamakan dengan metode itsbat, bukan metode takwil.
Sebagaimana ditegaskan oleh Abu Zahrah, Ibn Taimiyyah berpadangan bahwa sikap yang paling
selamat adalah tafwidl, dan kemudian itu dia klaim sebagai sikap para ulama Salaf yang saleh (as-
salaf as-shaleh).14 Sementara itu, untuk sifat-sifat Tuhan yang mengandung keserupaan dengan
makhluk, mereka terima secara literal dengan tanpa memberikan takwil, sehingga mereka
berkeyakinan bahwa Tuhan itu benarbenar bertangan, berwajah dan sebagainya. Hanya saja
mereka berprinsip bahwa sifat-sifat Tuhan itu sama sekali tidak sama dengan makhluk; Tuhan
bertangan, misalnya, mereka akui akan tetapi tangan Tuhan sama sekali tidak sama (identik)
dengan tangan-tangan makhluk.15

7. Perbuatan manusia

Berkenaan dengan hal ini, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa Allah sebagai pencipta segala
sesuatu, hamba adalah pelaku perbuatan yang sebenarnya, tetapi Allah lah yang mempunyai
kehendak, kekuasaan dan kemampuan. Pandangan ini didasarkan pada firman Allah dalam Qs. at-
TAkwir ayat 28-29:

Artinya: …. (yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu
tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah.

Sejalan dengan uraian di atas, Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa Ibn Taimiyah sendiri,
dengan malakukan reformulasi teori kasb, tampil dengan konsepnya yakni bahwa “Allah telah
menciptakan dalam diri manusia kehendak atau kemauan berbuat (iradah), yang dengan iradah
(kehendak atau kemauan berbuat) itu kemudian manusia mampu memilih jalan hidupnya sendiri,
jalan yang baik mupun yang buruk”.16

8. Memohon pertolongan kepada selain Allah

Memohon pertolongan (istighasah) kepada selain Allah menurut pandangan kaum Salafiah
dilarang secara mutlak. Sebagaimana istighasah hanya ditujukan kepada Allah, maka ampunan
juga hanya dari Allah SWT. Ibn Taimiyah mengutip dari Abu Yazid al-Busthami melalui sebuah
ungkapan bijaknya: “Memohon pertolongan kepada makhluk adalah bagaikan orang tenggelam
yang memohon pertolongan kepada sesama orang yang tenggelam”. 17

9. Ziarah ke kuburan orang saleh dan kuburan Nabi

Ziarah ke kuburan atau makam orang-orang saleh dan ziarah ke makam Nabi, dengan maksud
mencari keberkatan atau keberuntungan atau mendekatkan diri kepada Allah, menurut Ahl as-
Sunnah Salafiah, dilarang oleh doktrin akidah Islam atau tidak diperbolehkan. Namun, apabila

14
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 234.
15
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 228.
16
Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher (Penyunting), Keislaman yang Hanif, buku ketiga,
(Jakarta: Imania bekerjasama dengan Paramadina, 2013), 102.
17
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 245.
yang dimaksudkan ziarah itu adalah sekedar untuk mengambil pelajaran (i’tibar) atau hikmah,
maka hukum melakukannya diperbolehkan dan bahkan disunahkan. 18

3. Sejarah perkembangan Ahlusunnah Khalaf

Istilah ahlussunnah wal jama'ah belum dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun
di masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, bahkan belum dikenal di zaman pemerintahan Bani
Umayah (611-750 M). Istilah ahlussunnah wal jama'ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau
sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi SAW dan pada periode
Sahabat.19 Memang jauh sebelum itu kata sunnah dan jama’ah sudah lazim dipakai dalam tulisan-
tulisan arab, meski bukan sebagai terminologi dan sebutan bagi sebuah mazhab keyakinan.
Misalnya terlihat dalam surat-surat Al-Ma’mun kepada gubernur Ishaq ibn Ibrahim pada tahun
218 H, sebelum Al-Asy’ari lahir, tercantum kutipan kalimat wa nasabû Anfusahum ilas sunnah
(mereka mempertalikan diri dengan sunnah), dan kalimat ahlul haq wad dîn wal jama’ah (ahli
kebenaran, agama dan jama’ah).20

Penggunaan istilah ahlussunnah wal jama'ah sebagai sebutan bagi kelompok keagamaan
justru diketahui, sejak Az-Zabidi menyebutkan dalam kitab Itihaf as-Sadat al-Muttaqin, sebagai
syarah dari kitab Ihyâ Ulûmuddîn Al-Ghazali:

) 6 ‫ ص‬2 ‫اذا أطلق أهل السنة واجلماعة فاملراد هبم األشاعرة واملاترية (احتاف السادة املتقني ج‬

Artinya: Jika disebut ahlusunnah waljama’ah maka yang dimaksud adalah para pengikut
Imam al-Asy’ari dan imam al-Maturidi (ithaf as-sadatul muttaqin).

Abu Hasan Al-asy’ari, di usia 40 tahun, Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah. Al-
Asy’ari menolak faham Mu’tazilah kemudian ia mengadakan pengasingan diri selama 15 hari.
Setelah itu, ia pergi ke masjid Basrah pada hari jum’at. Ia naik mimbar dan berkata: “Hadirin
sekalian, setelah saya melakukan penelitian nyata dalil-dalil yang dikemukakan oleh masing-
masing pendapat, ternyata dalil-dalil tersebut menurut hemat saya sama kuatnya. Saya memohon
kepada Allah agar diberikan petunjuk yang benar. Maka, atas petunjuk-Nya, saya sekarang
meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan baru yang saya tulis dalam
buku ini. Keyakinan lama yang saya lepaskan sebagaimana saya melepaskan baju yang saya
kenakan ini”.21

Pokok-Pokok Pikiran Al-Asy’ari (Asy’ariyah) antara lain:

a) Allah memiliki 20 sifat.

b) Al-Qur’an adalah kalâmullah bukan makhluk dalam arti diciptakan.


18
Zahrah, Aliran Politik dan Akidah, 246.
19
Said Aqil Siradj, 2008, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka Cendikia
Muda, hlm. 6
20
Harun Nasution, 2008, Teologi Islam ; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Pres,
hlm. 65.
21
Nasution, 1983: 63, dalam Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon
Fathoni, Sulthonul Huda, 2015, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di
Indonesia, Jakarta: Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, hlm. 66-67
c) Manusia bisa melihat Allah besuk di akhirat

d) Perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia mempunyai kasab (ikhtiyar).
Dengan konsep kasab ini aqidah asy’ariyah menjadikan manusia selalu berusaha secara kreatif
dalam kehidupannya

e) Orang mukmin melakukan dosa besar masih tetap mukmin

f) Keadilan Allah: Allah memiliki kekuasaan mutlak atas ciptaanNya.

Abu mansur Al-maturidi, karirnya dalam pendidikan lebuh cenderung menekuni bidang
teologi daripada fiqih (hukum Islam). Ini di lakukan untuk memperkuat pengetahuan dalam
menghadapi faham-faham teologi yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang ia
pandang tidak sesuai dengan pemikiran atau kaidah yang benar menurut akal dan syara’.

Berikut ini merupakan pemikiran Teologi Al-Maturidi:

1. Akal dan wahyu

Terkait dengan pemikiran teologi, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Akan
tetapi bagi Al-Maturidi, akal sebagai panca indera memiliki keterbatasan yang tidak dapat
dielakkan. Karenanya, manusia masih memerlukan bimbingan wahyu Allah. Jika akal
bertentangan dengan hukum syara’, maka akal harus tunduk kepada hukum syara’, bukan
sebaliknya. Akal tidak berstatus sebagai penguasa terakhir untuk menetapkan kewajiban manusia
dan agama. Dasar kewajiban haruslah berasal dari wahyu dan bukan dari akal. 22

2. Perbuatan manusia

Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Allah karena segala sesuatu dalam wujud
ini adalah ciptaa-Nya. Khususnya mengenai perbuatan manusia, kebijakan dan keadilan kehendak
Allah mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) dan kebijakan.

3. Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Allah

Telah diuraikan di atas bahwa perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik
atau yang buruk adalah ciptaan Allah. Akan tetapi pernyataan ini menurut Al-Maturidi bukan
berarti bahwa Allah berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang serta sekehendak-Nya
semata. Hal ini karena kodrat Allah tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya
sendiri.

4. Sifat Allah

Berkaitan dengan sifat Allah, terdapat persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dan Al-Asy’ari,
keduanya berpendapat bahwa Allah mempunyai sifat-sifat, seperti sama’, bashar,dan sebagainya.

22
Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon Fathoni, Sulthonul Huda, 2015,
Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan Dinamika NU di Indonesia, Jakarta: Pengurus
Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama Pusat, hlm. 77.
Pengertian Al-Maturidi tentang sifat Allah berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan
sifat Allah sebagai sesuatu yang bukan Żat, melainkan melekat dengan Żat itu sendiri, sedang Al-
Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak di katakan sebagai esensi-Nya dan bukan lain pula dari
esensi-Nya.

5. Melihat Allah

Al-Maturidi mengatakan bahwa Allah kelak di akhirat dapat di lihat dengan mata, karena Allah
mempunyai wujud walaupun Dia immaterial. Namun melihat Allah, kelak di akhirat tidak dalam
bentuk-Nya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.

6. Kalam Allah

Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam
nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Al-Qur’an dalam arti
kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru. Kalam nafsi tidak dapat di ketahui
hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengan-Nya, tidak dapat diketahui, kecuali dengan
suatu perantara.23

7. Pelaku dosa besar

Terkait dengan dosa besar Maturidi berpendapat, bahwa orang yang beriman dan yang berdosa
besar tetap dinyatakan sebagai orang mukmin. Adapun bagaimana nasibnya kelak di akhirat,
terserah kepada kehendak Allah. Dengan demikian berbuat dosa besar selain syirik tidak akan
menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka.

Adapun i’tikad (keyakinan/kepercayaan) ahlussunnah wal jama'ah secara ringkas dapat


diterangkan sebagai berikut:

1. Beriman terhadap rukun iman yang enam. Dan percaya bahwa Allah mempunyai nama
sebanyak 99 atau yang disebut dengan Asmaul Husna.

2. Meyakini aqaid lima puluh (50), artinya percaya bahwa Allah memiliki sifat wajib dan
mustahil serta sifat jaiz, sifat wajib dan mustahil serta mumkin Nabi.

3. Allah beserta nama dan sifat-Nya seluruhnya adalah qadim, karena keduanya berdiri diatas Żat
yang qadim, tidak bepermulaan.

4. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim, tidak hadis, baru atau mahluk. Adapun yang
tertulis, pakai huruf dan suara merupakan gambaran dari Al-Qur’an yang qadim itu.

5. Semua rezeki manusia sudah ditetapkan pada zaman azali, tidak bertambah dan tidak
berkurang, tetapi manusia diperintah supaya berusaha dan ikhtiar, tidak boleh menunggu saja.

6. Ajal manusia sudah ditetapkan, tidak maju atau mundur meskipun hanya sedetik.

23
Mahmud Qasim, 1969, fi Ilm aL-Kalam, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Misiriah, hlm 70.
7. Anak-anak orang kafir yang mati belum baligh, tetap masuk surge.

8. Pahala sedekah, wakaf dan pahala bacaan do’a, tahlil, shalawat, Qur`an, boleh dihadiahkan
kepada orang yang telah mati dan sampai kepada mereka, kalau diminta kepada Allah untuk
menyampaikannya.

9. Ziarah kubur, khususnya kubur kedua orang tua, ulama, para wali dan orang-orang mati sahid,
apalagi kubur Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya adalah sunnah hukumnya, mendapat
pahala kalau dikerjakan.

10. Berdoa’ kepada Allah secara langsung atau berdo’a kepada Allah dengan wasilah
(bertawasul) adalah sunnah hukumnya.

11. Masjid di seluruh dunia sama derajatnya, kecuali tiga masjid, yaitu masjid al-haram di
Makkah, masjid Nabawi di Madinah dan masjid al-Aqsha di Palestina.

12. Jika terdapat ayat Al-Qur’an yang menyatakan Allah serupa dengan manusia, maka yang
demikian dita’wilkan secara majazi, yakni bukan menurut asal dari perkataan itu, setelah itu
diserahkan kepada Allah tentang kebenarannya.

13. Allah memberikan kepada seseorang dengan karunia-Nya, dan menghukum dengan keadilan-
Nya.

14. Allah dapat dilihat bagi penduduk surge dengan mata kepala bukan dengan mata hati.

15. Ketika manusia berada di dunia tidak dapat melihat Allah kecuali Nabi SAW pada malam
mi’raj.

16. Nabi Muhammad SAW memberi syafaat di akhirat kepada seluruh manusia, syafaat itu
bermacam-macam yaitu diantaranya menyegerakan hisab di padang mahsyar.

17. Ahlussunnah wal jama’ah meyakini adanya keramat yang diberikan kepada wali-wali Allah,
para ulama dan orang-orang shalih, misalnya makan datang sendiri kepada Siti Maryam, Ash-
Habul Kahfi tidur selama 390 tahun tanpa mengalami kerusakan tubuh.

18. Dosa menurut ahlussunnah wal jama'ah dibagi menjadi dua, yaitu dosa besar dan dosa kecil. 24

C. Kesimpulan

Pada masa Ahlusunnah salaf dan khalaf banyak terjadi perselisihan antara ulama-ulama
pada masa itu. Yang paling signifikan adalah ilmu kalam, dimana ulama-ulama pada masa itu
menggunakan kerangka dan pola piker yang berbeda antara satu dngan yang lainnya dalam
memahami masalah ayat matasyabihat dan lain sebagainya, sehingga menumbuhkan pemahaman
yang berbeda pula.

24
KH. A. Busyairi Harits, 2010, Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia, Surabaya: Khalista, hlm.
20-22.
Daftar Pustaka

Jahja, Teologi al-Ghazali,

Zahrah, Aliran Politik dan Akidah,

Musthafa Hilmi, As-Salafiyat bain al-Aqidat al-Islamiyat wa al-Falsafah al-Gharbiyah

Hilmi, As-Salafiyyat

Al-‘Ajami, Akidah Islam,

Syeikh Ja’far Subhani, Tauhid dan Syirik

Budhy Munawar-Rachman dan Elza Peldi Taher (Penyunting), Keislaman yang Hanif

Said Aqil Siradj, 2008, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis,

Harun Nasution, 2008, Teologi Islam ; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan,

Nasution, 1983: 63, dalam Aceng Abdul Aziz, M.Harfin Zuhdi, Zamzami, Afwan Faizin, Sulthon
Fathoni, Sulthonul Huda, 2015, Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah, Sejarah, Pemikiran, dan
Dinamika NU di Indonesia

Mahmud Qasim, 1969, fi Ilm aL-Kalam,

KH. A. Busyairi Harits, 2010, Islam NU: Pengawal Tradisi Sunni Indonesia

Anda mungkin juga menyukai