Anda di halaman 1dari 29

Bismillahirrahmanirrahim

RESUME

BUKU : MAWAQIF (BERIMAN DENGAN AKAL BUDI)

KARYA : HENRI SHALAHUDDIN

BAB I

APAKAH MAKNA TEOLOGI ISLAM DAN SUMBERNYA?

1. Definisi
Istilah Kalam sering di sandingkan dengan teologi.The new Oxford dictionary menjelaskan
bahwa kata theology berarti pembahasan tentang Tuhan dan kepercayaan agama.Konsep teologi ini
awalnya di pakai dalam tradisi Yunani kemudian di ambil oleh Kristen dari sisi metode dan
konten.Bahkan teologi Yunani ini dijadikan sebagai figuran teologi dalam sejarah perkembangan
Kristen.
Makna Kalam
Istilah Kalam secara bahasa berarti pembicaraan, speech. Karena masalah utama yg di bahas
adalah Kalamullah (firman Allah). Fokus kajian ilmunya adalah pokok-pokok keyakinan. Ilmu Kalam
di sebut juga usul Al Din atau tawhid. Menurut definisinya ilmu Kalam adalah ilmu yang mengkaji
argumen-argumen untuk menjaga aqidah agama (ithbat Al 'aqaid Al Diniyyah) dan menolak segala
bentuk keraguan. Ruang lingkup kajian ilmu Kalam mencakup masalah-masalah ilmu tawhid,
kenabian, Wahyu, sifat, dan perbuatan Tuhan, hubungan antara sang Khaliq dan makhluk, keadilan
Tuhan dan masalah Jabriyyah- Qadariyyah (free will dan fatalism)

2. Latar Belakang Lahirnya Ilmu Kalam


Latar belakang munculnya adalah untuk menolak para pembuat bid'ah.Sebab tidak sedikit dari
mereka yang seringkali mendebat ulama, menebar keragu-raguan terhadap pokok-pokok keyakinan
Ahlussunah Wal Jama'ah, sehingga kalangan umat Islam yang lemah akal pemahamannya tidak
mampu membedakan masalah agamanya. Tujuan menolak Ahlu bid'ah adalah untuk mengukuhkan
(ithbat) aqidah dan mengembalikan ke jalan yang benar dengan semangat petunjuk Wahyu.
Lahirnya ilmu Kalam tidak lepas dari dua faktor utama, yaitu;
i. Faktor Internal
a. Adanya perbedaan atas sebagian interprestasi teks-teks agama.
Dalam Al-Qur’an terkandung banyak ayat yang menjelaskan masalah aqidah khususnya
Tawhidullah. Di samping itu al-Qur’an juga memerinci tentang aneka kepercayaan yang menyimpang
dan bertentangan dengan agama Islam. Dalam QS al-Baqarah: 62 menyebutkan aliran-aliran
kepercayaan yang bertentangan dnegan Islam. Dalam ayat-ayat al-Qur’an yang lain ada yang berkaitan
dengan Al-Jabr Wa Al-Ikhtiyar (fatalism and free will) seperti dalam surah Al Kahfi; 23-24 dan 29.
Seakan-akan kedua ayat tersebut saling bertentangan dimana ayat pertama menyebutkan
ketergantungan kehendak manusia pada kehendak Tuhan, sedang ayat kedua menjelaskan bahwa
manusia memiliki kehendak secara mandiri untuk memilih jalan keimanan atau jalan kekufuran
b. konflik politik
Terbunuhnya khalifah Ali menimbulkan solidaritas kuat di kalangan pendukung beliau dan
akhirnya munculah golongan Shi’ah Ali. Kemudian golongan ini menyebarkan pendapat politis
teologis bahwa Ali dan keturunanya adalah ornag yang paling berhak sebagai Khalifah sepeninggal
Rasulullah, sehingga para khalifah sebelum Ali di pandangan kaum Shi’ah telah merampas hak
kepemimpinan Ali. Konflik dan pandangan politis ini kemudian bergeser menjadi doktrin teologis
karena semua pihak yang berselisih menggunakan dalil-dalil agama untuk memperkuat pendiriannya
masing-masing.

ii. Faktor Eksternal

a. pertemuan antar Islam dengan beragam agama dan kebudayaan lainnya. Poin ini di tandai dengan
semakin tersebarnya Islam dan beberapa penaklukan atas berbagai wilayah ke pangkuan Islam
(Futuhat Islamiyyah).
b. Gerakan Penterjemahan
Gerakan Penterjemahan atas buku-buku Yunani mempunyai peran yang memadai dalam proses
perkembangan pemikiran Islam dalam mencapai masa kegemilangannya. Kaum muslimin pada
akhirnya mengembangkan ilmu matematrika, logika, fisika, astronomi, kedokteran, filsafat dan
menelaah ilmu ketuhanan (teologi) Yunani. Sehingga pada akhirnya bermunculan para cendekiawan
Islam yang mengusai pemikiran tokoh-tokoh Yunani dalam konsep wujud (ontologi) dan melakukan
kritik atasnya sekiranya bertentangan dengan aqidah Islam.

3. Intelektual (‘Aql) Dalam Tradisi Islam


i. Makna Akal
Dalam Ensiklopedia bahasa Arab menjelaskan bahwa akal bisa berarti terikat, terjaga, dan
terbatas. Ibnu Bari mengartikan akal dalam syairnya sebagai sesuatu yang memberikan kesabaran dan
nasehat bagi yang memerlukannya. Oleh karena itu, dikatakan bahwa orang yang berakal itu ornag
yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolak bisik rayunya. Menurut makna kebahasaannya
akal berarti kepastian dalam segala perkara. Dinamakan akal karena dua alasan;
a. mencegah pemiliknya (manusia) dari terjerumus kedalam jurang kehancuran
b. sebagai karakteristik yang membedakan manusia dengan hewan

ii. Akal Dalam Perspektif Sekular


Di Era Modern ini terdapat dua golongan yang ekstrim dalam memandang akal;
a. Positivisme Logis (Logical Positivism/Al-Wad’iyyah Al-Mantiqiyyah) diwakili oleh aliran Wina
(Vienna Circle) yang berpandnagan bahwa akal merupaka prinsip absolut dan abadi (timeless) yang
tidak terpengaruh oleh sejarah, adat istiadat, atau sisi kelemahan manusia seperti emosi dan nafsu
syahwat.
b. Historisisme Radikal (Radical Historicsm/Al-Tarikhiyyah Al-Radikaliyah) diwakili gelombang
postmodernisme dan konstruktivisme sejak tahun 1960 an, mendekonstruksi akal dan mengubahnya
menjadi produk sampingan dari proses sejarah sosial. Golongan ini bukan meremehkan kedudukan
akal atau mengusulkan cara yang tidak rasional dalam melakukan sesuatu. Tetapi hal itu sebagai
pengakuan tentang adanya keterbatasan akal. Dengan pengertian ini rasionalitas tidak serta merta
menarik kesimpulan yang sesuai dengan fakta.

iii. Kritik Terhadap Konsep Akal Sekular


Kata ‘Aql oleh barat di pertentangkan dalam pengertian sebagai reason (berfungsi sebagai analisis
logis) dan intellect (pengetahuan intuitif) tidak pernah terjadi dalam khazanah pemikiran Islam. Slogan
bahwa, “ Islam adalah agama rasional (al-Islam dinu ‘aqlin)” bukan berarti bahwa agama Islam atau
semua masalah keimanan bisa diturunkan pada tingkatan akal manusia.
Inilah yang dilakukan oleh Imam al-Ghazali dengan kritikannya terhadap filsafat peripatetik di
mana beliau secara kritis mencoba untuk menarik batasan akal spekulatif di bidang metafisika murni
yang beliau yakini sebagai bagian dari “ dunia tak terlihat” (alam al-ghayb). Kant juga berusaha
menjelaskan batasan-batasan akal dalam bukunya, Critique Of Pure Reason; “ akal manusia
mempunyai kodrat yang aneh bahwa dalam satu jenis pengetahuan yang dimilikinya selalu dibebani
oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak mungkin diabaikan, karena pertanyaan-pertanyaan tersebut
wajib atasnya menginta sifat dasar akal itu sendiri, namun tidak mungkin juga bagi akal untuk
menjawabnya karena pertanyaan-pertanyaan tersebut telah melampaui kapasitas akal manusia”
Meskipun akal sudah digunakan dengan benar, tetapi ini saja tidak cukup untuk membuat pilihan aklaq
yang benar. Akal dan rasionalitas membimbing pilihan kita dan membentuk perilaku moral kita. Al-
Qur’an telah menjelaskan hubungan antara menggunakan akal dan kesadaran moral spiritual dengan
bertaqwa kepada Allah.

BAB II

SEBUTKAN KALAM DAN REKABENTUK PEMIKIRAN ISLAM?

1. Makna Pemikiran Islam


Sejak dahulu banyak sarjana-sarjan muslim yang mendefinisikan arti pemikiran Islam dengan
beragam penekanan yang berbeda, antara lain;
a. Pemikiran Islam secara umum adalah pemikiran yang dihasilkan oleh kaum Mulsimin sejak
diutusnya Baginda Rasulullah hingga kini, dan mengandung pengetahuan umum tentang alam
semesta yang berhubungan dengan Allah, manusia dan penciptaannya. Hasil pemikiran ini
disebut sebagai ijtihad akal yang dirumuskan menurut prinsip-prinsip ajaran Islam. Kemudian
dikembangkan kedalam berbagai disiplin ilmu Kalam, Filsafah, Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawuf dan
sebagainya. Oleh karena itu pemikiran apapun yang dihasilkan mandiri yaitu tidak bersumber dari
konsep Islam yang benar (shahih), permanen dan jelas (qat’i) dalam al-Qur’an dan sunnah tidak
bisa disebut sebagai pemikiran Islam.
b. Pemikiran Islam yaitu hasil penalaran akal yang bersumber dari sudut pandang Islam secara
umum terhadap segala kewujudan (alam semesta) dan selaras dengan nilai, standard dan maksud
ajaran Islam. Sebagai hasil dari penalaran akal, maka pemikiran Islam merupakan ijtihad manusia
yang bersandarkan pada prinsip-prinsip dasar Islam, tetapi ia bisa jadi betul atau keliru (al-Khata’
wa al-Sawab). Jika hasil penalaran tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam maka itu adalah
kekhilafan dalam memahami dan menyimpulkan prinsip-prinsip ajaran Islam dan oleh karena itu
perlu dievaluasi kembali. Evaluasi dilakukan dengan cara menganalisis mekanisme dasar-dasar
pengeluaran teks (Usul al-Instibat) yang mengandung kaedah memahami teks (fahmu al-nusus)
dan hendaklah sejalan dengan kaedah bahasa arab, logika, dan objektif shari’ah (mantiq al-
shari’ah wa maqashiduha) dengan berpegang kepada Usul al-fiqh dan usul al-ta’wil dan tidak
sekedar berhenti pada makna harfiah teks sehingga terkadnag dapat bertentangan dengan objektif
shari’ah.
c. Pemikiran Islam adalah pemikiran yang mempunayi karakter pemikiran sebagai berikut;
ii. Tidak dilahirkan dari presepsi-presepsi buatan (tasawwual thawabit wad’iyyah) dan kesadaran
akli (perenungan) yang mutlak. Tetapi ia merupakan produk akal ijtihad yang berlandaskan
kepada kesimpula (istinbat) dan dalil-dalil yang bersesuaian dengan kaedah umum pemikiran
Islam yang bersandarkan pada rujukan-rujukan yang asas dan permanen (al-Qur’an, al-sunnah,
dan ijma’)
iii. Bersifat nyata (real), berkembang dan memungkinkan untuk diperbarui
iv. mempunyai tujuan untuk kebaikan manusia, dan untuk meraih manfaat bagi dunia dan agama.

d. Pemikiran Islam adalah istilah kontemporer yang bermaksud sebagai produk pemikiran dalam
berinteraksi dengan teks-teks wahyu (al-Qur’an dan sunnah) atau yang digalisari subtansi ajaran
dan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu ia berbeda dengan sifat pemikiran di luar Islam yang pada
dasarnya bersumber dari ideologi dan paham-paham yang tidak Islami.
e. Pemikiran Islam yaitu pemikiran yang menjaga nilai-nilai keimanan terhadap agama Islam, dan
juga menjaga nilai-nilai keimanan terhadap agama Islam, dan jga menjaga nilai dari prinsip-
prinsip ajaran Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia, baik kehidupan indivisu
maupun sosial.

2. Kalam Sebagai Salah Satu Fondasi Utama Pemikiran Islam


Larangan sebagian umat Islam untuk mempelajari ilmu Kalam disebabkan munculnya interpretasi
yang kurang tepat terhadap pendapat al-salaf al-salih yang menyatakan tafwid (berdiam diri) dan
melarang umat Islam terjun kedalam diskursus spekulatif terhadap masalah-masalah teologis.
Ketika tersebar penyimpangan dari pemahaman yang benar, maka umat Islam wajib bekerja
untuk memperbaikinya. Maka disinilah peran ilmu Kalam sebagai upaya untuk menempatkan solusi
atau penolakan terhadap masalah teologis yang diajukan dan menjadi salah satu unsur utama bagi
perkembangan pemikiran Islam. Posisi yang benar ini dikonfirmasikan oleh Ibnu Taimiyyah bahwa
melibatkan disiplin Kalam diperbolehkan ketika memverifikasi kebenaran dan membatalkan kepalsuan
dan syuhbat agama. Sebagai salah satu benteng aqidah, tugas terpenting pemikiran Islam antara lain
adalah selalu berusaha mengenal pasti adanya pemikiran-pemikiran aneh (dakhil/strange),
mendiagnosis unsur-unsur yang menyelisih ajaran Islam, dan kemudian memberikan solusi
terhadapnya.
Disamping itu, sebagai salah satu pondasi utama pemikiran Islam, ilmu Kalam mempunyai
keterlibatan langsung maupun tidak langsung dengan berbagai disiplin keIslaman lainnya, diantarnya
terhadap ilmu Usul al-Fiqh. Golongan ulama Usul al-Fiqh yang juga pakar dalam ilmu Kalam
cenderung menekankan bahwa ilmu Kalam adalah rujukan utama bagi Usul al-Fiqh. Sedangkan Abu
Ishaq al-Shatini berpendapat bahwa meskipun tidak dipungkiri adanya keterkaitan antara Usul al-Fiqh
dengan ilmu Kalam tapi penting untuk diperhatikan bahwa segala hal yang tidak ada kaitannya dengan
amalan perlu dijahkan dri Usul al-Fiqh. Sebab Usul al-Fiqh mengkaji dalil-dalil yang berkaitan dengan
amalan, sementara ilmu Kalam fokus pada argumen-argumen akli yang berkaitan dengan keyakinan
dan tidka berhubungan langsung dengan amalan dan praktek ubudiyah.

3. Falsafah dan Agama: Ber-sisian atau Bertentangan?


Tema kajian filsafat berkaitan dengan konsep-konsep dasar tentang eksistensi (wujud) yakni
sebab terdalam misalnya mengkaji tentang kewujudan yang eksis dan kewujudan umum yang meliputi
Tuhan, manusia, tumbuhan dan hewan. Maka seorang filsuf mengambil kaedah rasional yang
berkaitan dengan realitas.
Sedangkan tema kajian ilmu Kalam berkaitan dengan perkara keyakinan, seperti kewujudan
Allah, kenabian, hari akhir, keadilan, keimanan, dan kekafiran. Kepentingan tema kajian dalam ilmu
Kalam adalah untuk membangun, mengukuhkan dan mebela aqidah dengan bukti dan argumen.
Adapun maksud filsuf membangun kaedah rasional adalah untuk memahami kewujudan (eksistensi)
dengan lebih banyak berpolakan realistis-faktual (waqi’iyyah). Titik pembeda antara ilmu Kalam dan
filsuf adalah dalam melihat sebab-akibat (kausalitas). Filsuf meyakini bahwa kaedah kualitas (qanun
al’illah wal ma’lul) merupakan asas hubungan di antara kewujudan (maujudat). Sedangkan ulama
Kalam tidak menempatkan kaedah kausalitas sebagai perkara yang final dan menyingkirkan dalil naqli
(wahyu). Dan di kalangan ulama Kalam ada yang hanya bersandarkan pada wahyu saja tanpa rasio dan
ada juga yang menjadikan akal berperan dalam menyusun argumen untuk menjawab berbagai isu-isu
ideologis.

4. Proses Intergrasi Antara Filsafat, Mantiq, Dan Agama


i. Periode Penolakan Filsafat Secara Ekstrim
Pada periode ini ulama salaf sangat berhati-hati menjaga kemurnian pokok-pokok aqidah. Oleh
karena itu, ulama salaf menghindari penggunaan ‘ulum al-Awai’il (filsafat) untuk mengkaji
permasalahan aqidah. Ilmu-ilmu filsafat dicela dan sangat dijauhi oleh ulama Kalam, termasuk
ilmu logika. Imam Abi ‘Umar ibn Abdurrahman al-Shahrazuri, contoh ulama yang memfatwakan
haramnya filsafat dan mantiq, beliau berkata “ adapun mantiq, maka ia adalah penyebab masuknya
filsafat. Jadi penyebab masuknya keburukan adalah buruk. Mengajarkan mantiq dan
mempelajarinya termasuk perkara yang tidak boleh oleh syari’at, dan juga tidak ada satu orang pun
dari kalangan sahabat, tabi’in, dan Imam-Imam mujtahid serta generasi salaf shalih yang
mempelajarinya”.
Terdapat juga golongan yang menerima filsafat dan berpegang teguh pada argumennya tanpa
menguji dan menganalisanya terlebih dahulu. Golongan ini disebut Mu’tazilah. Demikianlah pada
periode ini, sebagian kelompok berlebih-lebihan dalam menolak filsafat dan sebagian lainya
menelan bulat-bulat tanpa pertimbangan.

ii. Periode Penolakan Yang Didasarkan Pada Ilmu


Dikarenakan adanya dua pandangan ekstrim terhadap filsafat, maka Imam al-Ghazali
memutuskan untuk bersikap moderat dan mempelajari filsafat selama dua tahun. Imam al-Ghazali
mempelajari filsafat untuk menggali hakikat ilmu dan mengenali karakteristiknya hingga mampu
memberikan kritikan yang berbobot. Beliau mengatakan, “ saya tahu dengan yakin bahwa tidak
mungkin mendekteksi keracunan dan distrosi suatu disiplin ilmu tanpa memahami dengan benar
ilmu tersebut. Seseorang bahkan harus bisa melampaui pemilik disiplin ilmu ini sehingga mampu
menguak sisi bahaya yang tidak diketahui oleh mereka (filsuf)”.
Beliau menulis sebuah kitab pertama yang berjudul Maqasid al-Falasifah yang isinya
memaparkan pendapat dan aliran-aliran mereka, tidak menolak ataupun mendukung. Lalu beliau
menulis kitab Tahafut al-Falasifah yang berisi kritiknya terhadap filsuf dengan membaginya
menjadi tiga kategori;
a. Dahriyyun (The Materialist), golongan ini mengingkari Tuhan Yang Maha Pencipta dan
Pengatur, mereka adalah zindiq (omniscient and omnipotent).
b. Tabi’iyyun (The Naturalist), golongan ini senang mengkaji alam semesta, keajaiban hewan dan
tumbuhan, sering mendalami ilmu bedah anatomi binatang dan mereka mengingkari akhirat.
Mereka disebut juga zindiq.
c. Ilahiyyun (The Theist), diantara mereka ada Socrates guru Plato, guru Aristoteles. Aristoteles
menyusun dasar-dasar mantiq, mensistematisasikan ilmu-ilmu filsafat, mengembangkannya dan
membawa buah mereka menuju kedewasaan. Singkatnya mereka membantah golongan materialis
dan naturalis, kemudian dia juga mengkritik Plato dan Socrates, menjauhkan diri dari mereka.
Imam al-Ghazali mengkategorikan ragam ilmu mereka dalam enam kategori;
a. Matematika (riyadiyyat), tidak ada hubungannya dengan masalah agama. Matematika hanya
berkaitan dengan hal-hal yang dapat dibuktikan, yang sama sekali tidak dapat ditolak setelah
diketahui dan dipahami. Contoh: aritmatika, geometri dan astronomi.
b. Logika (Mantiqiyyat, Logic) logika hanyalah seni dalam metode demonstrasi, silogisme, dan
penalaran dengan Analogi (turuq al-adillah wal maqayis), tidak ada hubungannya dengan agama
(keimanan).
c. Ilmu Alam (Tabi’iyyat; The Natural Sciences) berhubungan dengan langit dan bintang-bintang
serta segala apa yang berada di bawahnya seperti air, udara, tanah, api dan tubuh organik seperti
binatang, sayuran dan mineral. Tidaklah perlu bagi agama untuk menolak ilmu alam.
d. Metafisika (ilahiyyat, metaphysics) ilmu ini mengandung besar kesalahan para filsuf (akhtar
aghalitihim). Karena para filsuf ini tidak mampu memenuhi bukti-bukti yang disyaratkan logika
mereka, oleh karena itu banyak pertentangan di antara mereka sendiri. Tetapi jumlah keslaahan
mereka berjumlah 20 pokok, 3 permasalahan mengharuskan pengkafiran (takfir), 17 dianggap
sebagai inovasi (bid’ah).
e. Politik (Siyasat) secara keseluruhan politik menyangkut manajemen pemerintahan tentang urusan
duniawi dan otoritas penguasa.
f. Etika (khuluqiyyah) pendapat para filsuf rata-rata berkenaan dengan karakteristik/sifat-sifat jiwa
dan akhlaq.

iii. Periode Mengintegrasikan Perangkat Filsafat (Mantiq)


Setelah kaum muslimin mengetahui aspek-aspek dalam filsafat yang membahayakan dan aspek-
aspek yang dimanfaatkan. Maka Imam al-Ghazali mulai mengenalkan kepada kaum muslimin ilmu
mantiq dan mendudukannya sebatas perangkat untuk menyusun dalil, metode untuk menjelaskan
aqidah, dan mendebat aliran-aliran sesat. Akhirnya penggunaan mantiq sebagai alat untuk
beragrumen. Adapun manfaat logika adalah parameter hukum yang menjaga seseorang dari
kesesatan berfikir. Oleh sebab itu, Imam al-Ghazali menggunakan logika untuk mengkaji isu-isu
Kalam untuk membantu dalam menyusun cara-cara beragrumen, beranalogi dan merangkai premis-
premis pembuktian. Kemudian beliau pun menulis sebuah kitab Ihya Ulumuddin dengan
sistematika baru yang menyatukan fiqh dan tasawwuf di waktu yang bersamaan.

iv. Periode Menerima Beberapa Pandangan Filosofis Yang Tidak Bertentangan Dengan Agama,
Khususnya Yang Berkaitan Dengan Teori Filsafat, Kimia Dan Fisika (Daqiq Al-Kalam).

Cara pandang kaum muslimin tidak lagi menghukumi filsafat dengan satu vonis tetapi mereka
telah mengerti apa yang harus dijauhi dan diambil dari filsafat. Imam al-Ghazali menerima teori-
teori filsafat tentang matematika, etika, politik dan sebagian ilmu fisika yang tidak bertentangan
dengan ilmu agama. Ulama Kalam baik dari Mu’tazilah maupun Ash’ariyyah telah menyibukkan
diri mempelajari ilmu fisika dan kimia sebelum zaman Imam al-Ghazali atau setelahnya. Misalnya
Imam Fakhruddin al-Razi yang mengkaji teori kemungkinan (mukminat), cara (kaifiyyat), fisika
dalam dalam kitab beliau al-Muhassal. Beliau juga mengkaji masalah accident (‘arad), badan
(jism), sebab dan akibat (‘illah wa ma’lul, cause and effect). Imam al-Baqillani juga telah mengkaji
masalah tersebut, dan menetapkan ideologi keyakinan (‘aqaid imaniyyah) yang wajib dipercayai.
Demikianlah perjalanan ulama Kalam dalam menerima sebagian teori-teori filsafat serta mengkaji
ilmu fisika dan kimia. Sehingga akhirnya ada yang terpengaruh kuat dengan pandangan filsafat
Yunani seperti Mu’tazilah dan sebagiannya ada yang selamat dari pengaruh kesesatan para filsuf.

v. Periode Penyatuan Ilmu-Ilmu Filsafat Ke Dalam Studi Islam


Periode ini disebut periode yang matang bagi perkembangan pemikiran Islam. Sehingga peran
para filsuf dalam agama tidak melampaui batas dengan membatasi ruang lingkup pembahasannya
dan memisahkan unsur-unsur filsafat dari hal-hal yang bersebrangan dengan aqidah. Berkenaan
dnegan ini Ibnu Kaldun berkata; “ Barangsiapa yang hendak memasukkan penolakan terhadap para
filsuf dalam aqidahnya, maka hendaknya ia merujuk kitab al-Ghazali dan Imam ibnu al-Khatib
(Fakhruddin al-Razi). Sebab meskipun dalam karya keduanya terdapat perbedaan dengan istilah
klasik, tetapi tidak ada percampuran dalam isu-isu (aqidah), atau tidak terdapat ketertukaran dalam
tema kajian untuk generasi berikutnya”.
Menurut Salih Ahmad al-Shami bahwa di antara hasil ijtihad Imam al-Ghazali dalam
membangkitkan kesadaran masyarakat Islam adalah membebaskan akal dari belenggu fanatisme
(taqlid) dan menyeru kembali kepada sumber-sumber ajaran Islam yang asli, baik kitab maupun
sunnah, serta menguatkan perspektif yang menyeluruh (komprehensif) bagi metode yang Islami.
Mekanisme pendekatan ini (yakni al-taqrib al-aqadi li al-manqul al-mantiqi) mencakup netralitas
ilmiah, struktur atau basis al-Qur’an dan fiqh. Dalam meletakan pondasi untuk pendekatan
netralitas ilmiah (tahyid ilmi), Imam al-Ghazali membatasi fungsi logika hanya sebagai metode
pembuktian, analogi, syarat-syarat premis pembuktian, serta cara penyusunannya dan bukan dalam
posisi untuk memutuskan atau menilai suatu aqidah. Pendekatan basis Qur’ani (ta’sis Qur’an) yaitu
dilakukan dengan cara menyandingkan istilah-istilah dalam al-Qur’an dengan tema-tema dalam
logika. Kemudin mngkokohkan prinsipnya dengan silogisme. Sedangkan pendekatan basis fiqh
(ta’sis fiqh) maka istilah-istilah dalam fiqh ditempatkan untuk menggantikan tema-tema dalam
logika da menghadirkan contoh-contoh fiqh dalam pembahasan logika, kemudian menyandingkan
skala logika (mawazan ‘aqliyyah) dengan teori pengambilan dalil fiqh (istidlalat fiqhiyyah).
Dalam periode kelima ini terbentuklah teori sains yang berpijak pada dua unsur; pemikiran
analisis (al-fikr al-tahlili) yakni pengujian ilmu-ilmu akliyah (‘ulum al-‘aqliyyah) dan pemikiran
eksperimen (al-fikr al-tajribi) dalam pandnagan Imam al-Ghazali tidak terbatas pada uji coba
eksternal yang hanya membutuhkan panca indera, tetapi juga mencakup uji coba internal
(batiniyah) yang merupakan corak metode qalbu dan rasa. Sepeninggalnya Imam al-Ghazali, para
ulama mengikuti jejak belia dalam intergrasi sains Islam atau yang lebih dikenal dengan proyek
Islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah Imam Fakhr al-Din al-Razi ata Abu Abdillah
ibn Umar al-Bakri, atau Ibnu al-Khatib.

5. Kalam dan Filsafat, apa bedanya?

Perbedaan
No. Filsafat Kalam
1 Objek ilmu filsafat adalah kajian masalah- Objek ilmu Kalam adalah kajian masalah-masalah
masalah yang pemecahannya terbatas pada yang hanya ditetapkan oleh dalil naqli (al-Qur’an
argumen akal dan Sunnah)
2 Filsuf melihat jism tabi’i (body, material) Ulama Kalam melihat benda-benda alam raya
hanya sebagai realitas dalam ilmu alam sebagai sarana pembuktian akan wujudnya Tuhan
yang bergerak atau diam dan sifat-sifatNya.
3 Dalam isu ketuhanan (ilahiyyat) Dalam isu ketuhanan (ilahiyyat), Ulama Kalam
pengamatan filsuf adalah sisi eksistensi tidak sebatas melihatnya sebagai wujud mutlaq,
absolut (wujus mutlaq) dan hal-hal yang tetapi juga sebagai pencipta (mujid).
berkaitan dengan dzat-Nya
4 Objek para filsuf pada intinya di seputar Objek ilmu Kalam mencakup i pokok-pokok
kewujudan, ilmu, dan nilai (wujud, agama seperti zat, sifat dan perbuatan tuhan dll
ma’rifah, qiyam). Mencakup pembahasan ii. prinsip-prinsip dalam shari’ah misalnya
tentang isu-is ketuhanan, alam, manusia, kenabian, taklif, kepemimpinan, pahala, siksa dll
prinsip-prinsip kewujudan dan kausalitas.
Tashkoprusadeh menyimpulkan; bahwa perbedaan metode ulama Kalam dan filsuf adalah lebih
kepada tingkat penggunakan nalar dalam masalah keagamaan. Beliau berkata, “ Ulama Kalam bersandar
pada keyakinan-keyakinan yang diajarkan agam, kemudian mencari argumen-argumen akal untuk
menompangnya. Sedangkan filsuf selalu mengawali suatu kajian dengan nalarnya, kemudia meyakininya
sebagai sebuah kebenaran jika ada bukti dan argumen yang menguatkannya. Ulama Kalam meyakini
kemudia membuktikan dengan pembuktian argumen, sementara filsuf beragrumen dulu kemudian
meyakini.

BAB III

BAGAIMANA KEDUDUKAN KALAM DALAM KHAZANAH KEILMUAN ISLAM?

1. Perkembangan Ilmu Kalam


Ibn al-Khaldun telah membagi sejarah perkembangan metode ilmu Kalam ke dalam lima fase;
i. Fase sebelum Imam Al-Ash’ari (yaitu terdiri dari Madzhab Al-Dalaf, Al-Salih, Madzhab
Mujassimah Dan Mushabbihah, Madzhab Mu’tazilah)
ii. Fase antara Imam Al-Ash’ari dan Al-Qadi’ Al-Baqillani yaitu era bermulanya kebangkitan
madzhab salaf yang kedua setelah tersebarnya madzhab Mu’tazilah
iii. Fase antara Al-Qadi Al-Baqillani dan Imam Al-Ghazali. Fase ini ditandai dengan 2 periode;
periode Al-Baqillani yang diramaikan dengan penggunaan premis-premis dalam ilmu Kalam serta
dirintisnya konsep Al-Ta’akus Bayna Al-Dalil Wa Al-Madlul (an inversion between the proof
and the meaning) dan periode Al-Juwayni yang muslimin
iv. Fase antara Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Razi yaitu fase terpenting dalam sejarah
perkembangan ilmu Kalam. Sebab pada fase ini metode ilmu Kalam telah tersistem dengan
sempurna dan ditandai dengan kemampuan mendudukkan logika secara proposional, serta
ditemukannya metode bar yang menolak konsep Al-Ta’akus Bayna Al-Dalil Wa Al-Madlul.
v. Fase Terakhir, fase setelah Imam Al-Razi yaitu fase bercampurnya antara metode Kalam dengan
metode filsafat, serta bercampurnya lingkup bahasan Kalam dengan lingkup bahasan filsafat

2. Pandangan Ulama Terhadap Ilmu Kalam


Terdapat dua pandangan; golongan yang menolak dan golongan yang menerimannya. golongan
ulama yang menolak diantaranya, Imam ab hanifah, Imam al-shafi’i, Imam malik, Imam ahmad ibn
hambal, khalid abdullah ibn muhammad muslih dan lainnya. Karena ditakutkan apabila mempelajari
ilmu Kalam akan larut pada bid’ah dan meninggalkan al-qur’an dan sunnah.

3. Ilmu Kalam Dalam Pandangan Imam Al-Ghazali

i. Tujuan Ilmu Kalam

Imam Al-Ghazali membagi tujuan ilmu Kalam dalam empat tujuan;

a. Dua tujuan bersifat (Ithbat /Afirmasi), untuk menjaga aqidah yang diwarisi turun temurun oleh para
salaf a;-salih dari nabi dengan cara ringkas dan sederhana. Dan untuk menguatkan dalil atas wujudnya
Tuhan, sifat-sifatNya, perbuatanNya, dan bukti atas kebenaran rasul-rasul-Nya.

b. Dua tujuan yang bersifat nafy (negasi), untuk menghilangkan tipu daya ahli bid’ah, ntuk menghindari
rusaknya keseimbangan dalam memahami kepercayaanagama yaitu dengan menggabungkan antara teks
wahyu dan argumentasi rasio.

ii. Manfaat Ilmu Kalam

a. Melenyapkan bahaya ahli bid’ah dalam masalah aqidah ynag mempengaruhi hati orang awam sebelum
mencapai taraf fanatik (hobi) memperuntutkan hawa nafsu.

b. Ilmu Kalam hanya dapat dimanfaatkan oleh sebagian kalangan tertentu, tetapi ia tidak bisa
dimanfaatkan membungkam ahli bid’ah yang telah mengetahui ilmu retorika (debat) dengan argmentasi
rasionalnya, hal ini disebabkan merasuknya hawa nafsu kedalam akalnya, sehingga dia akan terus
mencari-cari jawaban lain yang telah melemahkannya.

c. Perumpamaan pentingnya ilmu Kalam seperti pentingnya obat untuk kesembuhan penyakit hati

d. Di antara penyebab tercelanya suatu ilmu adalah menyelami ilmu bukan untuk tujuan memperoleh
manfaat dari ilmu tersebut, seperti melakukan kajian mendalam tentang rasahia ketuhanan. Dan ilmu
Kalam sering kekeliruan tujuannya, sehingga tidak diperoleh manfaat dari pendalaman ilmu tersebut.

iii. Sisi Negatif Ilmu Kalam

ilmu Kalam terkadang mengarah pada sisi negatif karena ia tidak dapat menyembuhkan dan menghalangi
munculnya penyakit aqidah. Orang yang mendalami ilmu Kalam, tidaklah dapat memperoleh manfaat
dengan hanya bersandar pada cara yang ditempuh mutakallimun dan filsuf, ataupun fanatik degan
kebenaran yang dia yakini. Oleh karena itu Imam al-ghazali berpendapat bahwa orang yang mendalami
ilmu Kalam dnegan detail, tanpa mengindahkan dalil-dalil al-qur’an dan hadits adalah bid’ah dan
mengakibatkan perdebatan yang tercela dan tidak ada hubung kaitnya dengan agama.

Iv. Aturan Dan Mekanisme Ilmu Kalam Ditinjau Dari Tingkat Kebutuhan Terhadapnya Dan Batasan
Tercapai Tujuannya
Imam Al-Ghazali membagi manusia menurut tingkat kebutuhan mereka terhadap ilmu Kalam kedalam
empat kelompok;

1) kelompok yang beriman kepada Allah dan mempercayai kebenaran utusan-utusanNya, kemudian
mereka menyibukkan diri baik dengan ibadah ataupun dengan profesi sehari-hari, maka diwajibkan
bagi mereka untuk mempelajari ilmu Kalam
2) kelompok yang melenceng dari kebenaran baik itu berupa kekafiran ataupun bid’ah yang tumbuh
bertaklid secara jumud dari semenjak kecil hingga dewasa, maka tidaklah bermanfaat bagi amereka
kecuali pedang
3) kelompok yang mempercayai kebenaran dengan cara bertaklid turun-temurun akan tetapi mereka
mempunyai kejeniusan dan ketajaman berfikir, maka hendaklah selalu berhati-hati dengan masalah
keraguan-raguan mereka dan timbulnya gejolak yang akan mengganggu ketenangan jiwa mereka.
Pengobatan terhadap kelompok ini seharusnya dilakukan dengan pendekatan yang lemah lembut
dengan mengembalikan ketenangan jiwanya dan merendam keragu-raguannya dengan logika yang
dapat diterima dan memuaskan mereka. Maka apabila keraguan mereka dapat diatasi dengan jalan
tersebut, tidaklah diperlukan lagi pemakaian dalil-dalil atau argumen perdebatan, karena hal itu
bisa membuka pintu keraguan.
4) kelompok orang-orang sesat yang mempunyai kejeniusan dan ketajaman berfikir yang diharapkan
bisa meneriman kebenaran ketika mereka mendapati kerancauan dalam kepercayaan mereka atau
dengan melembutnya hati mereka ketika melihat golongannya menerima keraguan dengan
kefanatikan dan kedunguan. Maka pendekatan terhadap kelompok ini diharuskan dengan cara yang
santun ketika melihat kecondongan mereka kepada kebenaran serta membimbing mereka ke arah
kepercayaan yang benar dan tidak dengan memaparkan perbalahan dan kefanatikan.

v. Peranan Ilmu Kalam Dalam Mencapai Kebenaran

Untuk mengetahui kebenaran tidak terbatas dengan pembahasan dan penjabaran argumentasi.
Imam Al-Ghazali berkata,” sesungguhnya argumentasi itu dibagi dalam dua jenis; argumentasi yang
memerlukan penalaran dan pengamatan mendalamdiluar kemampuan orang awam dan argumentasi
yang jelas yang dapat dipahami langsung secara sederhana dan mudah. Maka sesungghnya
argumentasi yang terdapat dalam al-qur’an ibarat makanan yang bisa dimanfaatkan oleh semua
manusia, sedangkan argumentasi teolog (al-mutakallimun) ibarat sebuah obat yang hanya bisa
dimanfaatkan oleh orang-orang tertentu saja dan bisa membahayakan khalayak ramai. Bahkan
argumentasi al-qur’an ibarat air yang bisa bermanfaat bagi seorang bayi maupun oeang dewasa
manakala seluruh argumentasi selain dari al-qur’an ibarat makanan yang hanya bermanfaat bagi orang
dewasa dan membahayakan bagi seorang bayi”

Adapun hukum mempelajari ilmu Kalam menurut Imam al-ghazali adalah fard kifayah apabila
dalam keadaan darurat, yaitu apabila telah tersebar bid’ah yang memutarbalikan pemahaman ayat-ayat
al-qur’an ataupun hadits nabi, sehingga berdampak timbulnya keraguan. Dikatakan demikian sebab
yang wajib atas manusia adalah beriman dan mensucikan kalbu dari keraguan.

Imam al-ghazali berpandapat; “ sesungguhnya dalam ilmu Kalam itu ada manfaatnya ada pula
mudaratnya. Menilik dari sisi manfaatnya terlebih saat diperlukan maka kedudukan dan hukum ilmu
Kalam adalah mubah, sunnah bahkan bisa menjadi wajib sesuai kondisi yang dihadapi. Sedangkan
ditilik dari sisi mudaratnya maka ia adalah haram. Mudarat ilmu Kalam adalah merangsang timbulnya
keraguan menggoyahkan aqidah dan menghilangkan kepastian. Sedangkan menurut Imam al-shatibi
ilmu Kalam bertujuan menguatkan dalil-dalil al-qur’an dan dsunnah, khususnya yang berkenaan
dengan masalah tauhid seperti halnya ilmu fiqh bertujuan menguatkan dalil-dalil yang berkaitan
dengan ibadah.

4. Ilmu Kalam Dalam Pandangan Sebagian Kalangan Muslim Modern


Tidak sedikit dari pemuka ulama terdahulu yang menyibukkan diri dengan ilmu Kalam, seperti Imam
Abu Hanifah, Imam Al-Shafi’i, Imam Al-Ash’ari (Bahkan Beliau Menulis Kitab: Istihsan Al-Khaud
Fi’ilm Al-Kalam), Imam Al-Maturidi, Imam Al-Qushairi, Imam Al-Baqillani, Imam Al-Haramain Al-
Juwaini, Hujjah Al-Islam Imam Al-Ghazali, Imam Fakhr Al-Din Al-Razi, Imam Nasir Al-Din Al-
Baidawi, Imam Saif Al-Din Al-Amidi, Imam ‘Adud Al-Din Al-Iji, Imam Sa’d Al-Din Al-Taftazani,
Fakhr Al-Din Al-Khubaisi, Abu Al-Qasim Al-Anshari, Abu Al-Mu’in Al-Nasafi, Abu Al-Walid Al-Baji,
Abu Ishaq Al-Isfarayini, Abu Al-Mazfar Al-Isfarayani, Abu Al-Qahir Al-Baghdadi, Ibnu Furik, Ibnu Al-
Jauzi, Ibnu Hazm, Ibnu Khamir Al-Sabati, Muhammad Ibn Yusuf Al-Sanusi, Ahmad Al-Dardir, Ibrahim
Al-Liqani, Ibrahim Al-Bajuri, dan masih banyak lagi lainya.

Imam Baha Al-Din Al-Ikhmimi dalam kitabnya Risalah Fi Al-Radd ‘Ala Ibn Taimiyyah di mas’alah
hawadith la awwala laha, berkata; “ adapun maksud celaan Imam Al-Shafi’i dan ulama salaf lainnya
terhadap ilmu Kalam maka yang dimaksud dengan ilmu Kalam disini menurut konsensus (ijma’) kaum
muslimin adalah Kalam yang menafikan ketuhanan yang telaj diketahui jelas ditetapkan dalam al-qur’an
dan sunnah atau berdasarkan ijma’ ulama atau dalil akli yang tidak terbantahkan.

Imam Badruddun Al-Zakarshi dalam karyanya tashnif al-masami’ mengatakan sesunguhnya Imam-
Imam besar telah memutuskan untuk membantah (pengeliruan yang dilakukan) ahli bid’ah yang sesat.
Oleh itu, Imam Al-Shafi’i telah menulis kitab al-qiyas untuk menolak pendapat ateis yang menyatakan
bahwa alam itu abadi (eternal), kitab al-radd ‘ala al-barahamah dll. Sedangkan Imam abu hanifah menulis
kitab fiqh al-akbar, kitab al-‘alim wa al-muta’alim yang berisikan bantahan terhadap orang-orang yang
menyimpang. Semikian juga dengan Imam malik dan Imam ahmad. Al-‘allamah al-khautari dalam
komentar beliau tentang bayan zaqhal al-‘ilm (penjelasan tentang tercelanya sebuah ilmu) berkata;
“sebenarnya aqidah al-sunnah (ahlussunnah wal jam’aah) dalam Islam itu satu, baik salaf (terdahulu)
maupun khalaf (kemudian) tidak berubah dan berganti. Namun yang berbeda dan terus diperbarui adalah
metode mempertahankan aqidah dengan argumen akal untuk lawan-lawan yang berbeda, dan tercelanya
menggunakan ilmu Kalam yang dikatakan oleh para Imam dalaf adalah untuk konteks ilmu Kalam yang
dihasilkan oleh ahli bid’ah dan untuk orang awam yang terlalu menyelami ilmu ini.

Maka pernyataan yang berasal dari ulama salaf yang melarang menyibukkan diri dengan ilmu Kalam,
hendaknya dipahami bahwa larangan tersebut untuk orang yang menggunakan ilmu Kalam dengan cara-
cara ahlul ahwa’ (pemuja hawa nafsu) dan ahli bid’ah yang megutamakan argumen akal empiris dan
meningalkan al-qur’an dan sunnah. Jadi bukan larangan yang bersifat mutlak, dengan demikian dapat
diketahui apa yang tercela dan apa yang wajib dipelajari dari ilmu Kalam.

BAB IV

BAGAIMANA TRADISI INTEGRASI KEILMUAN DALAM DIRI ULAMA?

Di antara tanda-tanda kecintaan Allah terhadap umat Islam adalah dibangkitkannya para ulama penerus
misi kenabian. Maka sayap kanan peradaban Islam, yakni bagian timurnya adalah persia dan negeri-
negeri belakangan sungai (uzbekistan, tajikistan, sebelah selatan kyrgyzstan, dan barat daya kazakhstan).
Sedangkan sayap kirinya yakni bagian barat peradaban Islam meliputi negara-negara maghrib al-‘arab
(maroko, tunisia, aljazair, libia dan mauritania) dan andalusia. Meskipun ulama-ulama tersebut hidup di
negeri-negeri yang berjauhan dan terpisah, namun terdapat hubungan kuat di antara mereka. Ketinggian
himmah (kemauan) untuk menuntut ilmu telah menggerakan mereka mengadakan perjalanan panjang dan
berat serta membuat mereka tidak berpuas hati hanya dengan menguasai satu bidang ilmu tertentu. Di
antara para pemuka ‘ulama ‘amilin ialah;

1. Abu Al-Husain Al-Nuri (W.295 H)


Nama lengkapnya adalah Abu Al-Husain Ahmad Ibn Muhammad Al-Baghwi Al-Nuri merupakan seorang
sufi yang juga seorang pakar dalam ilmu Kalam. Beliau dikenal dengan julukan Ibn Al-Baghwi dan salah
satu pemuka ulama Ahlussunnah Wal Jam’ah yang sufi di abad 3 H. Abu ‘Abdirrahman menyebut beliau
sebagai salah satu tokoh dan ulama terbesar di zamannya. Tidak satu pun di zamannya yang lebih baik
tarekatnya daripada beliau dan tidak seorang pun yang lebih lembut tutur katanya daripada beliau. Abul
hasan al-nuri lahir dan tumbuh dewasa di baghdad, beliau dikenal sebagai orang yang menjaga dzikirnya,
seringkali shalat dan puasa. Dikisahkan bahwa beliau setiap hari selalu keluar rumah sambil membawa
rotin kemudian menyedekahkannya di perjalanan. Kemudian beliau masuk masjid dan shalat hingga
mendekati siang. Lalu beliau membuka toko dan berpuasa. Keluarganya selalu menyangka bahwa belaiu
makan di pasar, sedangkan orang-orang pasar mengira beliau makan di rumah. Kebiasaan beliu berpuasa
ini beliau lakukan sejak beliau berusia 20 tahun. Belaiu wafat tahun 295 H dan dimakamkan di baghdad.

2. ‘Abd Al-Qahir Al-Baghdadi (429 H/ 1037 M)

‘Abd Al-Qahir Ibn Tahir Ibn Muhammad Ibn Abdillah Al Baghdadi Al-Tamimi Al-Asfarayiyaini, Abul
Manshur. Beliau adalah seorang ulama fiqh yang Bermadzhab Al-Shafi’i sangat pakar di bidang usul al-
fiqh, ilmu Kalam dan tafsir. Oleh karena itu, beliau menjadi salah satu ulama yang disegani pada
zamannya. Merantau bersama ayahnya ke khurasan dan menetap di nisaphur. Imam al-baghdadi
mempelajari 17 bidang keilmuan. Beliau meninggalkan nisaphur karena terjadi pergolakan bangsa
turkmen.Karya-karya beliau anatara lain; al-milal wa al-nihal, usul al-din, al-farqu bainal firaq, al-nasikh
wal mansukh, tafsir al-qur’an, fadaidh al-qasaruyyah, ta’wil al-mutashabihat di al-akhbar wa al-ayat, fi
usul al-fiqh, bulugh al-mada fi usul al-huda, nafyu khalq al-qur’an.

3. Ibnu Hazm (W 456 H/1064M)

Nama lengkap beliau adalah ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Sa’id Ibn Hazm Al-Zahiri, Abu Muhammad (384-456
H/ 994-1064 M). Beliau adalah ulama andalusia ternama di zamannya, baik di bidang sejarah, hadits,
fiqh, tafsir, usul al-fiqh, maupun ilmu Kalam. Di samping itu beliau juga menguasai ilmu linguistik,
nahwu, syair, kedokteran, logika dan filsafat.

Beliau keturunan persia, lahir di cordoba pada akhir ramadhan dari keluarga terpandang. Beliau
memegang kekusaan dalam kepengurusan daulah sebagai seorang menteri. Namun beliau mengasingkan
diri (zuhud) untuk fokus pada ilmu dan menyusun kitab. Pada mulanya beliau bermadzhab shafi’i,
kemudian mendirikan madzhab zahiri dalam fiqh. Banyak masyarakat andalusia yang kala itu menganut
madzhabnya dan disebut hazmiyyah. Prinsip madzhab ini bahwa setiap analogi (qiyas) yang tidak
bersandar pada al-qur’an dan hadits adalah batal.

Beliau banyak mengkritik mayoritas ulama dan fuqaha’. Oleh karena itu kebanyakan ulama sepakat
manghukumi madzhab ini sesat. Disamping itu para ulama juga melarang masyarakat awam ntuk
mendekati ibnu hazm dan mempelajari ilmu darinya. Akhirnya belia dijauhi dan diusir, lalu pergi ke
lablah (sekarang dikenal dengan daerah niebla, terletak di provinsi huelva, andalusia, spanyol bagian
selatan) dan wafat di sana pada akhir sha’ban. Dikisahkan dari putera beliau (al-Fadl) bahwa dia telah
mengumpulkan karya-karya ibnu hazm yang ditulis langsung oleh tangan beliau hingga mencapai 400
jilid dan terdiri dari 80.000 lembar kertas. Di antara karya beliau yang termasyhur adalah Al-Fslu Fil
Milal Wal Ahwa’ Wa Al-Nihlal, Al-Isal Ila Fahmi Al-Khisal Al-Jami’ah Li Muhassal Sharai’ Al-Islam Fi
Al-Wajin Wal Halal Wal Haram Wa Al-Sunnah Wal Ima’, Al-Muhalla Bil Athar Fi Sharhi Al-Muhalla Bil
Ikhtisar Fi Al-Kitan Wa Al-Sunnah.

4. ‘Abd Al-Karim Ibn Hawazan (W 465 H)

Nama lengkapnya adalah Ibn ‘Abd Al-Malik Ibn Talhah Ibn Muhammad atau lebih dikenal dengan
sebutan Al-Ustadh Abul Qasim Al-Qushairi (376-465 H). Beliau adalah Imam dan ulama di bidang fiqh,
Kalam, usul al-fiqh, tafsir, hadits, sastra, nahwu, sufi, dan penyair. Di antara karya beliau di bidang
tasawuf adalah Al-Risalah Ila Al-Sufiyyah. Beliau di juluki gurunya para tokoh (Shaikh Al-Mashayikh),
tokoh zamannya (Sayyid Waqtihi), panutan komunitas (Ustadh Al-Jama’ah) dan tujuan penempuh jalan
tarekat. Beliau berasal dari Astawa, Wilayah Nisaphur, dan dari bangsa arab yang tinggal di Khurasan.
Ayahnya meninggal saat beliau masih kanak-kanak. Berguru sastra arab kepada abul qasim al-alyamani
hingga menjadi pakar dalam bahasa arab. Kemudian berguru fiqh kepada Imam abu bakr muhammad ibn
bakr al-tusi. Lalu menekuni ilmu Kalam dan usul al-fiqh kepada ustadh abu bakar ibn furik hingga
menjadi salah satu muridnya yang paling menonjol. Ketika sang guru wafat beliau pun pergi berguru ke
Abu Ishaq Al-Isfirayani dan menekuni majelisnya tanpa pernah absen sedikitpun.

Abul Qasim Al-Qushairi telah menggabungkan metodenya dengan metode gurunya Ibnu Furik.
Kemudian beliau menelaah kitab Al-Qadi Abu Bakr Ibn Tayyib Ibn Al-Bagillani di sela-sela waktu beliau
berguru kepada Ustadh Abu’ali Al-Daqqaq. Dan ketika gurunya wafat beliau berinteraksi dengan Abu
‘Abdirrahman Al-Silmihi hingga menjadi tokoh di khurasan dan memulai menulis kitab Al-Tafsir Al-
Kabir sebelum tahun 410 H. Kemudian beliau beraangkat haji menemui Imam al-haramain abu
muhammad al-juwaini, shaikh ahmad al-baihaqi, dan tokoh-tokoh terkenal lainnya. Sehingga beliau dapat
belajar hadits dari tokoh-tokoh ulama terkemuka di zamannya.

Disamping itu abul qasim al-qushairi juga dikenal sangat menguassai ilmu berkuda dan
persenjataan.beliau mengambil tarekat tasawufnya dari Ustadh Abi ‘Ali Al-Daqqaq Dari Al-Qasim Al-
Nasranadhi, dari Al-Shilbi Dari Al-Junaid Dari Al-Sirri dari Maa’ruf Al-Karkhi Dari Dawud Al-Ta’i dari
tabi’in. Demikian jalur sanad tarekat ini bersambung hingga generasi tabi’in. Beliau wafat pada pagi hari
ahad sebelum terbit matahari 16 rabi’ akhir 465 H dan disalati oleh putra tertua belaiu bersama
massyarakat luas. Tidak ada kerumunan manusia sebanyak itu sebelumnya kecuali kerumunan orang yang
mengiringi kepergian beliau.

5. ‘Abd Al-Qahir Al-Jurjani (w 471 H/1078 M)

‘Abd Al-Qahir Ibn ‘Abdirrahman Ibn Muhammad Al-Jurjani, Abu Bakr. Beliau dikenal sebagai peletak
dasar-dasar ilmu balaghah dan pakar liguistik. Disamping itu beliau adalah ulama yang pakar dalam ilmu
Kalam, fiqh dan menguasai tafsir. Belaiua lahir dan wafat di jurjan |(gorgan, iran). Namanya mulai
dikenal melalui salah satu karya beliau yang berjudul Dala’il Al-I’jaz dan Asrar Al-Balaghah. Beliau lahir
dan wafat di Jurjan (Gorgan, Iran) yakni daerah yang terletak antara tabaristan dan khurasan.

6. Imam Al-Haramyn Abu Al-Ma’ali (W. 478H/1085M)

‘Abd Al-Malik Ibn ‘Abd Allah Ibn Yusuf Ibn Muhammad Ibn ‘Abdillah Ibn Hayuyah Al-Juwayni Al-
Naysaburi Al-Shafi’i. Beliau mulai dikenal dengan julukan Imam Al-Haramyn Abu Al-Ma’ali pada 17
februari 1028-19 agustus 1085; 419-578H). Imam haramayn adalah salah satu guru Imam Al-Ghazali.
Beliau ulama besar dalam fiqh, usul al-fiqh, Kalam, sastera dan mumpuni dalam berdebat.

Beliau juga digelari sebagai Shaykh Al-Islam (The Glory Of Islam). Imam Al-Aimmah (Absolute Imam Of
All Imams), namanya dikenal di timur dan barat. Belia belajar usul fiqh dari Imam Abu Al-Qasim Al-
Iskaf Al-Isfarayini dan mengambil sanad bacaan Al-Qur’an dari Abu ‘Abdillah Al-Khabbazi. Dia belajar
hadits pertama kali kepada ayahnya lalu Abu Hassan Muhammad Ibn Ahmad Al-Muzakki, Abu Sa’d
‘Abd Al-Rahman Ibn Hamdan Al-Nasrawi, Abu ‘Abd Allah Muhammad Ibn Ibrahim Ibn Yahya Al-
Muzakki, Abu Sa’d ‘Abdal-Rahman Ibn Al-Hasan Ibn ‘Aliyyak, Abu ‘Abd Al-Rahman Muhammad Ibn
Abd Al-‘Aziz Al-Nili, Abu Nu’aym Al-Asbahani dan lain-lain. Abu Al-Ma’ali melarikan diri dari
naysabur ketika gubernur Al-Kunduri yang berpaham Mujassimah (antropomorsif) dan orang-orang
Mu’tazilai dan Shi’ah lainya mengutuk para sahabat serta Imam Al-Ash’ari dari mimbar setiap hari
jum’at. Mereka yang tidak sepaham dengan gubernur dipenjarakan atau dipaksa pergi dari naysabur. Abu
ma’ali melakukan perjalanan ke baghdad lalu ke mekkah dimana beliau mengajar dan menulis selama
empat tahun, kemudian mendapatakan julukan Imam Al-Haramayn. Lalu beliau kembali ke naysabur
sebagai mufti agung dan kepala madrasah nizamiyya, membentk generasi para ahli hukum madzhab
shafi’i dan cendekiawan ash’ariyyah dan menulis banyak karya yang salah satu dianatanya; dibidang fiqh;
ghiyatul al-umam, dibidang ushul al-fiqh, al-waraqat, dibidang Kalam al-shamil fi usul al-din.

7. Salman (W. 512H)

Nama lengkap beliau adalah ibn Nasir Ibn ‘Imran Ibn Muhammad Ibn Isma’il Ibn Ishaq Ibn Yazid Ibn
Ziyad Ibn Maimund Ibn Mahran, Abu Al-Qasim Al-Ansari Al-Naisaburi. Beliau dikenal debagai Imam
dalam ilmu Kalam dan tafsir, serta merupakan salah satu murid Imam al-haramayn abu ma’ali al-juwaini.
Beliau dikenal sebagai ahli zuhud dan sufi. Setelah belajar dengan Imam Al-Haramayn beliau mulai
menulis kitab di bidang tafsir dan Kalam. Beliau sangat bijak dalam bermuamalah dan tidak berkawan
untuk kepentingan duniawi. Beliau belajar hadits di nisaphur, syam, dan mekkah. Di antara guru-guru
beliau adalah Shaikh Abu Sa’id Ibn Abil Khair, Abu Salih Al-Muadhdhin, dan Abul Qasim Al-Qishairi.

8. Al-Suhrastani (W 548H)

Muhammad Ibn ‘Abd Al-Karim Ibn Ahmad Al-Suhrastani (479-548H). Penulis kitab; nihayah al-iqsam
di ‘ilm al-Kalam, al-milal wa al-nuhal, ghayah al-maram fi ‘ilm al-Kalam, musara’ah al-falasifah. Beliau
belajar ilmu kepada Ahmad A-Khawafi hingga menjadi pakar dalam bidang ini. Beliau bermukim di
baghdad pada tahun 510H selama tiga tahun dan mengajar di sana. Kemudian beliau juga berguru kepada
Abul-Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Al-Madini Di Nisaphur.

9. Imam Diya’ Al-Din Abul Qasim (W 559H)

‘Umar Ibn Al-Husain Ibn Al-Hasan Al-Imam Al-Jalil Diya’ Al-Din Abul Qasim Al-Razi merupakan
ulama besar yang menguasai disiplin ilmu Kalam, fiqh, tasawuf, usul al-fiqh, hadits dan sastera. Atas
keilmuannya beliau dijuluki diya’ al-din. Beliau adalah ayah Imam fakhr al-din al-razi. Beliau sangat
dikenal sebagai Imam terkemuka dalam ilmu Kalam. Salah satu karya beliau adalam disiplin Kalam
adalah Ghayah Al-Maram, sebuah kitab yang sangat bernilai dikalangan ahlussunnah. Beliau belajar ilmu
Kalam dari Ibn Al-Qasim Al-Anshari salah satu murid Imam Al-Haramayn.

10. Al-Suhrawardu (W. 563H/1168 M)

‘Abd Al-Qahir Ibn ‘Abdillah Ibn Muhammad Ibn ‘Amawiyyah Ibn Sa’d Al-Suhrawardi, Al-Qarshi, Al-
Shiddiqi, Al-Bakri, Abu Al-Najib (490-563H/1097-1168M). Beliau merupakan ulama fiqh terkemuka
madzhab Shafi’i dan juga salah satu pemuka ulama sufi. Beliau lahir sohrevard (sekarang termasuk
wilayah iran) dan menetap di Baghdad. Beliau memimpin madrasah Al-Nazamiyah, kemudian
mengunjungi Damaskus tahun 557H. Karya-karya beliau diantaranya adab al-muridin, sharh al-asma’ al-
husna, gharib al-masabih. Disamping itu perbendaharaan ilmunya mencakup bidang tafsir, fiqh, usul al-
fiqh, dan usuluddin.

11. Hibatllah Ibn Abi Nasr Muhammad Abul Mazhfar (W 580H)

Hibatllah Ibn Abi Nasr Muhammad Abul Mazhfar dikenal sebagai ulama yang sangat mumpuni dalam
bidang fiqh madzhab shafi’i, sekaligus ulama Kalam yang handal. Beliau juga menjabat sebagai menteri
dimasa Khalifah Al-Nashir Li Dinillah selama setahun, beliau wafat dibulan muharram.

12. Fakhr Al-Din Al-Razi (W 606H/1209 M)


Abu ‘Abdillah Muhammad Ibn ‘Umar Ibn Al-Husain Fakhr Al-Din Al-Razi Bergelar Fakhr Al-Din Al-
Razi (544-606H/1149-1209M). Beliau dikenal sebagai ulama Ahlussunnah Waljama’ah yang menguasai
bidang disiplin kajian Islam dan sains seperti ilmu Kalam, tafsir, kedokteran, filsafat, fisika, astronomi,
dan lain-lain. Kepakarannya dalam bidang tafsir dibuktikan dengan karya beliau yang spektakuler
sepanjang zaman yakni Mafatih Al-Ghaib Atau Al-Tafsir Al-Kabir (the great commentary). Dua karya
beliau yang berjudul Mahabith Al-Mashriqiyya Fi ‘Ilm Al-Ilahiyyat Wa Tabi’iyyat (Ieastern studies in
metaphysics and physics) dan Al-Matalib Al-‘Aliya (the higher issues) merupakan karya terpenting beliau
dalam disiplin filsafat. Karya tulisnya tidak kurang dari 100 judul buku, sehingga nama beliau sangat
dikenal sepanjang masa.

13. Al-Qasri (W 608H/1211M)

‘Abd Al-Jalil Ibn Musa Ibn ‘Abd Al-Jalil, Abu Muhammad Al-Ansari Al-Andalusi Al-Qurtubi adalah
seorang ulama fiqh madzhab maliki disamping itu beliau juga mutakallim, mufassir dan sufi. Beliau
berasal dari cordoba kemudian singgah di Istana (qasr) ‘Abd Al-Karim Di Maghrib Aqsa (maroko,
sekarang dinamai istana madinah) hingga dinisbatkan sebagai julukannya (al-qasri). Di antara karya
beliau adalah tafsir al-qur’an, Shu’ab Al-Iman.

Beliau pindah ke kota Sbatah (veuta) dan berguru pada ulamanya yang terkemuka yaitu Abu Muhammad
Ibn ‘Ubaidillah Al-Hijri. Kemudian merantau ke kota Fes untuk melanjutkan belajarnya ke beberapa
shaikh antara lain kepada Al-Haj Abul Hasan ‘Ali Ibn Ahmad Ibn Hanin Al-Kanin Al-Qurtubi (w. 1173)
seorang sufi yang juga merupakan salah satu murid Imam al-ghazali dari beliau inilah Imam Al-Qasri
belajar kitab muwatta’ Imam Malik. Beliau juga berguru pada Imam Abul Hasan ‘Ali Ibn Ghalib
(586H/1172M) yang temasuk Shaikh Sufi Andalusia, Imam Al-Qasri berguru pada beliau hingga beliau
wafat, dan mengantikan kedudukannya mengajar disana, di antara muris Imam Al-Qasri adalah Shaikh
Muhyiddin Ibn Al-‘Arabi Al-Hatimi.

14. Imam Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Ayyub Al-Zar’i (W. 751H)

Muhammad Ibn Abi Bakr Ibn Ayyub Ibn Sa’d Ibn Hariz Al-Zar’i kemudian Al-Dimasyqi Al-Hanbali atau
lebih dikenal dengan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Shamsuddin, Abu Abdillah. Beliau adalah ulama dalam
lintas disiplin keilmuan seperti fiqh, usul al-fiqh, tafsir, Kalam, nahwu sll. Ibn qayyim lahir di damaskus
691H dan wafat 751H, kemudian dishalatkan di Masjid Umawi. Diantara karyanya al-tafsir al-qayyim,
madarij al-shalikin, al-turuq al \-hukmiyyah, zad al-ma’ad.

15. Imam Mhammad Ibn Yusuf Al-Karamani (W. 786H)

Muhammad Ibn Yusuf Ibn ‘Ali Ibn Da’id Al-Karmani Kemudian Al-Baghdadi (Shamsuddin). Beliau
masyhur sebagai faqih, muhaddits, mufassir, mutakallim, nahwi (lahir 717H, wafat 786H saat perjalanan
haji). Di antara karya beliau hashiyah ‘ala tafsir al-baydawi, sharh al-mawaqif li al’iji di ‘ilm al-Kalam.

BAB V

MENGENAL ALIRAN-ALIRAN DALAM KALAM

Menurut shaikh ahlussunnah wal jama’ah Imam abul Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Al-Ash’ari (w330H) bahwa
induk dari dari semua aliran yang menyempal dari Islam ada 10 yaitu

1. shi’ah, dibagi kedalam tiga kategori;

a. Ghaliyaj (Ghulat, Ekstrimis) yang terpecah lagi dalam 15 sekte


B. Imamiyyah atau Rafidah Dan terbagi kedalam 24 sekte

C. Zaidiyyah dan terbagi kedalam 6 Sekte

2. Khawarij

3. Murji’ah

4. Mu’tazilah Dan Jahamiyah

5. Darariyyah

6. Husainiyyah

7. Bakriyyah

8. Ammah

9. Ashabul Hadits

10. Kullabiyyah

Berikut ini adalah profil singkat tentang sebagian aliran dalam Kalam yang tergolong menyimpang;

1. Jahmiyyah

Jahmiyyah adalah salah satu aliran yang dinisbatkan kepada pendirinya jahm ibn safwan. Mereka
berkeyakinan; “ manusia sama sekali tidak mempunyai kekuatan tidak mempunyai pengaruh san tidka
berkuasa atas perbuatannya. Kedudukan manusia tak ubahnya seperti benda-benda (jamadat). Surga dan
neraka akan menghilang setelah masing-masing penghuninya masuk kedalamnya sehingga yang ada
hanyalah Allah ta’ala”.

Menurut shaikh Al-Murtada bahwa jahmiyyah adalah kelompok yang berasal dari aliran khawarij dan
dinisbatkan kepada Jahm Ibn Safwan. Jahm belajar Kalam dari Ja’d Ibn Dirham yang dibunuh oleh salmu
ibn ahwaz di masa akhir daulah umaiyyah. Sedangkan khashabiyyah adalah salah sat sekte dalam aliran
jahmiyyah yang mengatakan bahwa Allah tidka berbicara. Mereka juga berpendapat bahwa al-qur’an itu
makhluk.

Keyakinan dasar kelompok ini adalah ijbar (fatalism) dan keterpaksaan. Merela mengingkari semua
kemampuan berbuat (istita’at). Iman mereka desinisikan sebatas pengetahuan tentang Allah (al-ma’rifah
billah ta’ala faqat), dan kekafiran adalah ketidaktahuan tentang Allah. Oleh sebab itu mereka mengatakan;
“ tidak ada perbuatan dan amalan yang disandarkan pada seseorang kecuali hanya Allah (pelakunya),
penisbatan perbuatan kepada makhluk hanya sebagai kiasan (majaz), sebagaimana bergeraknya matahari
atau berputarnya dua poros.

Jahm ibn safwan adalah penduduk khurasan asalnya dari kuffah dan mempunyai darah keturunan dari
samarkhand dan tirmidh (termez, kota paling selatan di wilayah uzbekistan dekat dengan hairatan yang
berbatasan dengan afganistan). Jahm pernah diangkat suraij al-tamimi menjadi penulisnya (sekretaris)
ketika tinggal di khurasan. Bebrapa sejarawan mengisahkan bahwa jahm bukanlah termasuk orang yang
tuntas dalam mempelajari suatu ilmu, khususnya ilmu hadits dan athar. Aliran jahmiyyah pertama kali
muncul di tirmidh kemudian di balkh. Setelah terbunuhnya al-ja’d ibn dirham di tangan khalid ‘abdillah
al-qasri tahun 105H, jahm mulai menyebarkan pemikirannya dan mendapatkan banyak penngikut
khusunya di timidh dan balkh.
2. Murji’ah

Murji’ah adalah salah satu kelompok aliran Kalam yang sesat dalam memahami makna iman. Mereka
berpendapat bahwa maksiat (dosa) itu tidak membahayakan keimanan sebagimana ketaatan (amal
kebajikan) tidak membawa manfaat apapun bagi kekafiran orang kafir. Di antara mereka ada yang
berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan yang mencakup lisan dan keyakinan dalam qalbu. Sebagian
lainnya hanya membatasi pada aspek perkataan lisan saja, misalnya kelompok karamiyah. Sehingga
menurut mereka orang munafiq adalah orang mukmin yang sempurna keimananya, meskipn nantinya
juga mendapatkan ancaman (wa’id). Orang pertama yang membawa pandangan murji’ah adalah dharr ibn
‘abdillah al-madhijji kemudian diikuti oleh ghailan al-dimashqi dan al-ja’d ibn dirham. Tapi ada yang
berpendapat bahwa yang membawa paham murji’ah pertama kali adalah abu salat al-saman (w 152H).

Murji’ah adalah golongan sesat yang terbagi menjadi tiga golongan;

a. golongan yang menangguhkan keimanan (al-irja’ fi al-iman) dan menafikan takdir sebagaimana
pendapat qadariyah Mu’tazilah. Maksudnya adlah mengatakan status keimanan sebagaimana golongan
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa kedudukan pelaku dosa besar tidka mukmin dan tidka kafir.

b. golongan yang berpendapat tentrang penangguhan dalam keimanan dan keterpaksaan (jabr, falism)
dalam perbuatan sebagaimana golongan jahmiyyah.

c. kelompok yang keluar dari pendapat jabariyyah dan qadariyyah. Golongan ketiga ibi terbagi dalam
lima kelompok; yunusiyyah, ghassaniyyah, thaubaniyyah, tumaniyyah dan murisiyyah. Mereka ini
disebut mur’jiah karena menganggap iman tidka menuntut perbuatan (‘amal).

Jadi menurut pandangan murji’ah yang paling ekstrim orang yang mencela Allah, mencela Rasul-Nya,
mencela agama Islam, atau menghancurkan masjid-masjid dan membunuh para Nabi atau membunuhi
orang-orang shaleh, maka tetap disebut beriman dan tidak boleh dikafirkan. Sebab mereka telah
mengenali Tuhannya dengan qalbunya, kecuali jika mereka telah nyata-nyata mengingkari Tuhan dalam
qalbunya. Hal ini dikarenakan iman itu adalah mengenali Tuhan dengn qalbu, dan kafir itu tidak
mengenal Tuhan dengan qalbu.

3. Jabriyyah Dan Qadariyyah

Jabriyyah adalah paham yang menolak perbuatan manusia benar-benar bersumber dari mereka dan
menyandarkannya kepada Allah, (al-jabru huwa nafyu al-fi’il haqiqatan minal ‘abdi wa idafatuhu ila al-
rabb ta’ala).

Menurut Imam Al-Baghdadi Jabriyyah itu ada dua kelompok;

a. jabriyyah khalisah (murni) yang sama sekali tidak menghukumi bahwa perbuatan dan kemampuan
berbuat itu disandarkan pada manusia.

b. jabriyyah mutawassitah (moderat) adalah yang menganggap bahwa manusia mempunyai kemampuan
(qudrah) tetapi tidak berpengaruh sama sekali dalam mewujudkan perbuatan.

Sejalan dengan pengertian ini, Imam al-jurjani berpendapat bahwa jabriyyah adalah golongan yang
meyakini bahwa manusia tidak punya andil sama sekali dalam perbuatannya. Semua perbuatan
dinisbatkan kepada Allahsebagaimana kelompok jahmiyyah. Jabriyyah adalh golongan Kalam yang sesat
karena meyakini bahwa semua perbuatan manusia adalah bersumber dari keterpaksaan bukan berdasarkan
pilihannya. Pendapat ini pertama kali diucapkan oleh al-ja’d ibn dirham, dia mengambil pemahaman ini
dari bayan ibn sam’ah al-yahudi. Kemudian disebarkan oleh ja’d kota tirmidh.
Berlawanan dengan paham jabriyyah adalah paham qadariyyah atau paham yang menolak takdir.
Qadariyyah adalah golongan yang meyakini bahwa setiap perbuatn manusia diciptakan oleh mereka
sendiri. Maka kekafiran dan kemaksiatan bukanlah takdir dari Allah. Bid’ah paham qadariyyah yang
berkaitan dengan perkara takdir pada intinya terangkum dalam dua sisi

a.mengingkari bahwa Allah maha mengetahui segala peristiwa yang akan terjadi

b.manusia mampu mewujudkan perbuatannya secara mandiri dan tidak mengakui adanya kehendak dan
kemauan Allah dalam terwujudnya perbuatan tersebut.

Golongan ini dipresentasikan oleh Mu’tazilah yang terpecah menjadi 20 sekte dan bersepakat menolak
sifat azali Tuhan. Adapun qadariyyah pertama kali muncul di basrah di akhir masa sahabat, setelah masa
khulafaur rasyidin. Generasi akhir sahabat seperti ‘abdullah ibn ‘umar, jab ibn ‘abdillah dan lain-lain telah
berlepas diri dari paham ini. Mereka berwasiat agar tidak mengucapkan salam kepada pengikut
qadariyyah tidak menshalati jenazahnya dan tidak mengujungi mereka yang sakit. Orang yang pertama
kali menyebar aliran qadariyyah adalah saisanuh ibn yusuf al-aswari. Dia dulunya penganut nasrani lalu
masuk Islam dan kemudian kembali menganut nasrani. Ma’bad al-jahmi mengambil paham qadariyyah
darinya, lalu ghailan ibn muslim al-dimasqhi mempelajarinya dari ma’bad.

4. Khawarij

Khawarij adalah salah satu aliran dalam Islam yang memisahkan diri dari kepemimpinan ali bin abi thalib
ra dan menyelisihi pendapat beliau. Khawarij sering disematkan untuk orang yang membelot dari khalifah
atau penguasa.

Khawarij juga diartikan sebagai golongan yang memungut pajak secara ilegal tanpa kebenaran dari
penguasa yang sah. Mereka juga bersepakat mengkafirkan ali bin abi thalib tetapi mereka berselisih
tentang tingkat kekafirannya, apakah kafir syirik atau tidak.

Nama lain khawarij adalah al-haruriyyah, al-nawasib dan al-shurat. Ulama fiqh meyebut tindakan
khawarij sebagai bughat. Al-haruriyyah dinisbatkan padda nama desa (harura) sekitar 2 mil (3,2 km) dari
kufah. Menurut al-sam’ani, harura merupakan tempat berkumpulnya kaum khawarij untuk pertama kali,
yakni setelah memisahkan diri dari pasukan ali bin abi thalib dalam perjalanan pulang dari siffin menuju
kufah. Golongan haruriyyah mewajibkan qada shalat yang ditinggalkan selama wanita haidh sesaat
setelah mereka suci.

Khawarij terpecah menjadi 20 kelompok. Meskipun khawarij terbagi menjadi beberapa kelompok namun
yang menyatukan mereka dan layak dikategorikan sebagai pengikut khawarij adalah keyakinan merekan
yang mengkafirkan ali bin abi thalib, utsman, dua hakim (abu musa al-ash’ari dan amru ibn ‘ash), orang-
orang yang terlibat dalam peristiwa jamal, semua orang setuju dengan keputusan dua hakim, dan
mewajibkan keluar dari pemimpinan yang zalim.

5. Shi’ah

Shi’ah adalah kelompok yang mendukung khusu ali bin abi thalib mereka berkeyakinan bahwa ali adalah
pemimpin (Imam) sepeninggal rasulullah dan kepemimpinan tidka boleh diluar anak keturunan ali.

Dalam ensiklopedia lisan al-arab dijelaskan bahwa shi’ah berarti kelompok ynag bersepakat dalam suatu
perkara. Al-azhari berpendapat bahwa ari istilah shi’ah itu sebenarnya adalah orang-orang yang saling
mengikuti pendapat sebagian lainnya dari kelompok tersebut, tetapi tidak semuanya sepakat inilah makna
yang terkandung dalam qs ar rum 32.
Shi’ah juga seringkali disebut rafidah. Rafidah secara kebahasaan berarti bentuk feminin (muannath) dari
kata rafid, yakni menolak. Sedangkan orang yang menganut paham rafidah disebut rafidi. Mereka ini
adalah sekumpulan pasukan yang meninggalkan pemimpinnya dan berbalik arah. Mereka disebut rafidah
karena pada awalnya mereka menolak zayd ibn ali ketika melarang mereka melaknati abu bakr dan umar
ibn khattab.

6. Karramiyyah

Aliran ini muncul pada pertengahna abad ketiga hijriyah. Pendirinya adalah abu ‘abdillah muhammad ibn
karram ibn ‘iraq al-sijistani dan lebih dikenal dengan sebutan ibnu karram. Imam al-dhahabi mengatakan
bahwa beliau adalah ahli bid’ah, tokoh pemuka karramiyyah, seorang ahli zuhud, ibadah, jauh dari
ketenaran, banyak sahabat, tetapi tidak banyak menguasai keilmuan, dan meriwayatkan hal-hal yang
lemah dan tidka bernilai sebagaimana dikatakan oleh ibnu hibban. Ibnu karram mengambil pola hidup
zuhud (taqashshuf) dari ahmad ibn harb. Beliau wafat di quds pada tahun 255H/869M.

Ibnu karram pernah dipenjara di nisaphur selama 8 tahun kemudian meninggal di baitul maqdis. Pengikut
aliran karrramiyyah banyak tersebar di khurasan. Menurut shaikh al-Islam ibn taimiyyah, ibnu karram
masih terhitung dalam golongan ahlussunnah wal jama’ah. Dalam pandnagan beliau ibnu karram selama
tinggal di sajistan (sistan, wilayah iran bagian timur) kerap menolong ahlussunnah wal jama’ah dan
mempunyai pandangan yang bersesuaian. Misalnya pandangan tentang sifat, takdir, kecintaan terhadap
sahabat Nabi dan lain-lain. Selain sama-sama mengafirmasikan dalam hal-hal tersebut, ibnu karram juga
sejalan dalam menolak aliran jahmiyyah, Mu’tazilah, rafidah dan lain-lain. Namun ibnu karram lebih
berhaluan pada ahlu al-ra’yi bukan ahlu al-hadits. Secara umum pokok pandangan karramiyyah adalah
sebagai berikut:

i. mereka sepakat secara mutlak bahwa Allah memiliki jism (badan)


ii. menetapkan sifat bagi allah tetapi merekaa membuat beberapa inovasi seperti dalam sifat
mendengar, melihat, berfirman, bersemayam (istiwa’) dan berkehendak.
iii. Menyatakan bahwa Allah itu bertempat dan menempati satu arah
iv. Menafirmasikan ru’yah yang ekstrim bagi Allah, sampai mereka menyatakan bahwa Allah bisa
dilihat dengan mata kepala didunia
v. Menyatakan bahwa iman itu pernyataan lisan saja, iman itu tidak bertambah dan berkurang, tidak
ada peringkat dalam keimanan seseorang dan pelaku dosa besar tetaplah mukmin yang sempurna
imannya.

BAB IV

MENGENAL KALAM MU’TAZILAH

Mu’tazilah adalah aliran ‘rasionalis (mendahulukan akal dari pada wahyu)’. Secara harfiah nama
Mu’tazilah berarti mengasingkan diri. Aliran ini bermula dari perdebatan Wasil Ibnu Ata’ dengan
gurunya Hasan Al-Bashri tentang kedudukan pelaku dosa besar, apakah dia kafir atau tetap mukmin.
Perdebatan ini dipicu dari statemen akiran khawarij yang menggolongkan pelaku dosa besar adalah kafir,
dan golongan murji’ah mengatakan mereka tetap mukmin. Sedangkan Imam Hasan Al-Bashri
mengatakan bahwa mereka itu fasiq. Sementara Wasil Ibnu Ata’ mengatakan mereka kedudukannya
berada di antara kafir dan mukmin. Kemudian wasil ibnu ata’ keluar dari halaqah Imam Hasan Al-Bashri
dan mengasingkan diri di salah satu sudut masjid basra. Langkahnya ini diikuti oleh beberapa orang,
semenjak itu wasil dan pengikutnya di sebut Mu’tazilah.
Pandangan ini kemudian di paksakan menjadi madzhab resmi negara oleh dinasti abbasiyah selama 62
tahun, yaitu pada masa Khilafat Al-Makmun, Al-Mu’tasim, Dan Al-Wathiq. Ribuan ulama ahlussunnah
yang menolak paham makhluqnya al-qur’an di hadapkan ke mahkamah, disiksa, dipenjara, bakhan
dibunuh seperti yang menimpa Imam ahmad ibnu hanbal. Namun meski demikian belum ada ulama
ahlussunnah yang menganggap Mu’tazilah keluar dari batasan Islam (murtad) seperti kelompok
ahmadiyyah.

1. Metode Kalam Mu’tazilah

Di antara metode penting yang kerap digunakan oleh Mu’tazilah adalah;

i. Menjadikan akal sebagai hakim tunggal yang berkuasa dalam menentukan permasalahan
aqidah, sehingga masalaha keimanan yang sebelumnya menjadi rumit dan spekulatif
(takhmini).
ii. Tunduknya wahyu pada hukum akal seperti terlihat jelas pada konsep khalq al-qur’an, nafyu
ru’yah al-bari yawm al-qiyamah (menolak bahwa Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala
pada hari kiamat).
iii. Menganalogikan yang ghaib dengan sesuatu yang bersifat empiris (qiyas al-ghaib ‘ala al-
shahid). Sehingga pada akhirnya menyeret mu’atzilah pada pendapat tidak kekalnya surga
dan neraka serta berhentinya pergerakan penghuninya seperti dikatakan oleh abu al-hudhayl
al-‘allaf.

2. Sebab Dinamakan Mu’tazilah

Dinamakan Mu’tazilah karena memisahkan pelaku dosa besar dari golongan mukmin dan kafir,
atau yang lebih dikenal dengan pandangan mereka bahwa pelaku dosa besar itu termasuk dalam
kedudukan di antara dua kedudukan (al-manzilah baina al-manzilatain). Namun mereka lebih menyukai
menyebut dirinya sebagai pemuka keadilan dan tauhid (ashab al-‘adli wa al-tauhid). Menurut sebagian
pengkaji, istilah ‘Mu’tazilah’ digunakan sebagai sinonim untuk kata ‘abd atau zahid. Maka kata i’tizal
(mengasingkan diri) adalah sifat yang menjelaskan kondisi zahid (orang yang berzuhud). Generasi awal
Mu’tazilah memang kebanyakan cenderung berzuhud dan beribadah.

3. Akal Dalam Pandangan Mu’tazilah

Manusia dan jin diciptakan oleh Allah sebagai hamba-hamba yang berakal diberi beban kewajiban
(taklif) untuk beribadah (qs. Ad dzariyat:56). Ibadah itu ada tiga jenis;

i. Mengenal Allah (ma’rifatullah)


ii. Mengenl hal-hal yang membuat-Nya ridho dan membuat-Nya murka
iii. Mengikuti segala hal yang membuat-Nya ridho dan menjauhi hal-hal yang membuat-Nya
murka.

Untuk memenuhi terlaksananya ketiga jenis ibadah di atas diperlukan tiga hal; akal, kitab dan nabi.
Argumen akal membawa pengenalan tentang dzat yang disembah, argumen kitab membawa pengetahuan
tentang cara beribadah (ta’abbud), sedangkan argumen nabi membawa pengenalan tentang hamba-hamba-
Nya. Akal adalah prinsip dan asal dari dua argumen yang terakhir (kitab dan nabi). Sebab kitab dan nabi
dikenai dan diimani melalui proses pnalaran akal. Tetapi sebaliknya akal tidak dikenali dari kitab dan
nabi. Kemudian ada ijma’ sebagai argumen keempat yang mencakup ketiga argumen sebelumnya.

Jika ilmu itu tidak bersifat pasti dengan sifat yang permanen (ma’luman daruratan), maka dasar
pencapaian ilmu adalah melalui pembuktian (dialah). Adapun cara pembuktian itu ada empat macam
yakni; argumen akal kitabullah, sunnah Rasulullah dan ijma’. Menegnal Allah (ma’rifatullah) tidak bisa
dicapai kecuali dengan argumen akal. Sebab argumen akal adalah pokok dan dasarnya (asl). Adapun
mengenal Allah dengan cara bertauhid dan meyakini keadilan-Nya melalu cara lain selain argumen akal
adalah cabang (far’). Maka melakukan pembuktian dengan dalil yang sifatnya cabang dan
mengesampingkan dari yang pokok adalah dilarang (al-atidlal bi far’in lil al-shai’ala aslihi la yajuz).

4. Makna Al-Tauhid Menurut Mu’tazilah

Tauhid adalah prinsip pertama dari prinsip yang lima (al-usul al-khamsah) dalam berIslam
menurut Mu’tazilah. Kelima tersebut adalah tauhid, keadilan (al-‘adl), janji dan ancaman (al-wa’du wa
al-wa’id), kedudukan di antara dua kedudukan (al-manzilah baina al-manzilatain), dan amar ma’ruf nahi
munkar. Inti pembahasan tauhid dalam aliran Mu’tazilah pada umumnyaberkisar tentang sifat-sifat
Tuhan, khususnya tentang apa yang harus ditetapkan maupun yang ditolak dari sifat Tuhan. Adapun sifat-
sifat Tuhan yang ditetapkan dan diakui Mu’tazilah adalah sifat-sifat dzat (al-sifat al-dhatiyyah), yakni
maha kuasa, mengetahui, hidup, dan wujud (qadar, ‘alim, hayy, maujud).

Abu Al-Hudhail salah satu pemuka ulama Mu’tazilah dari madrasah Basrah dan dikenal sebagai
tokoh pertama yang membangun sistem pokok-pokok kepercayaan Mu’tazilah, berpendapat bahwa dzat
Allah itu satu. Sedangkan keberadaan sifat-sifat Allah menurutnya bukanlah berdiri bersama dzat-Nya
tetapi sifat itu adalah dzat.

5. Contoh Tafsir Mu’tazilah

Contoh kitab tafsir yang ditulis oleh pemuka Mu’tazilah adalah Al-Kashshaf’an Haqaiq Al-Tanzil Wa
‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh Al-Ta’wil Oleh Al-Zamakhsari. Sebenarnya pendekatan yang digunakan
kitab tafsir ini lebih bernuansa kebahsaan dan sastera. Yaitu mengkaji kemukjizatan al-qur’an dari sisi
keindahan bahasa dan ketinggian sasteranya. Contoh ketika menafsirkan ayat qs. Al-Qiyamah:23 ila
rabbiha nazirah (kepada Tuhannya mereka melihat), Zamakhsari menafsirkan dari sisi kebahasaan dan
teologis, sbb; “pengkususan penglihatan hanya kepada Tuhannya secara dan bukan kepada selain-Nya.
Sebab susunan ayat ini berbentuk taqdim al-maf’ul (mendahulukan objek)”.

6. Al-Qur’an Dalam Pandangan Mu’tazilah

a) Dasar Pemikiran Dan Justifikasi


Kajian pemikiran Mu’tazilah tentang Khalq Al-Qur’an (The Created In Qur’an) sesungguhnya
tidak terleps dari pembahasan tentang sifat Alla. Yang pembahasannya tercakup dalam bab prinsip
tauhid (asl al-tauhid). Inti dari prinsip tauhid Mu’tazilah adalah pensucian Tuhan (tanzih al-bari)
yaitu menolak penyerupaan (nafyu al-tashbih) zat dan sifat Allah dengan makluk-Nya. Maka
Mu’tazilah prinsipnya bahwa al-Qur’an itu bukan sifat Allah yang qadim tapi makluk Allah.

b) Sejarah Pemikiran
Pembahasan ini bermula pada zaman tabi’in (akhir abad pertama dan permulaan abad kedua
hijrah). Sedangkan dalam tradisi Mu’tazilah pembahasan sifat-sifat Allah bermula dari pemikiran
Wasil ibn At’ kemudian terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada masa khalifah al-
ma’mun (170-218H), yang sangat menggemari kajian teologis. Pada masa khalifah al-ma’mun lah
khalq al-Qur’an dijadikan sebagai madzhab al-daulah (madzhab negara) yang kemudian diteruskan
oleh dua khalifah penggantinya al-mu’tasim dan al-watsiq.
Munculnya pembahasan sifat-sifat Allah pada masa wasil dilatarbelakangi oleh penolakkanya
terhadap pemikiran golongan shiah yang menyebarkan madzhab anthropomorphism (tashbih) dan
responnya terhadap golongan manichaean (al-manawiyah). Dalam menanggapi golongan terakhir ini,
beliau menulis buku yang berjudul “al-Alf Mas’alah fi al-Radd ala al-Manawiyah”. Bertolak dari
merebaknya pemikiran tashbih tersebut, maka wasil menggulirkan konsep tanzil yang berakibat pada
pergeseran makna tauhid dari makna “pengesaan” kepada makna “pensucian” (tanzih). Walaupun
aqidah al-usul al-khamsah Mu’tazilah yang mencakup isu tentang temporalnya al-qur’an disusun
secara rasional dan sisteematis tetapi pada akhirnya mendapat banyak kritikan dari ahlussunnah. Hal
ini karena mu’tazzilah mengajarkan penggunaan rasio yang terlalu ekstrim (tatarruf) dan terkadang
mengesampingkan hadits Nabi.

c) Konsep Khalq Al-Qur’an


Pada umumnya ulama-ulama Mu’tazilah bersepakat bahwa al-qur’an adalah Kalamullah (firman
Allah), ia diciptakan sebagaimana makhluk lainya diciptakan. Oleh karena itu dalam pandangan
mereka al-qur’an bukanlah suatu yang qadim (abadi). Menurut argumentasi Al-Qadi Abd Al-Jabbar
bahwa Kalam (firman) adalah bagian dari perbuatan (af’al) Allah, yang diciptakan dalam organ
(jism) ketika hendak mengadakan kontak dengan makhlukNya, baik berupa perintah, larangan, janji
maupun ancaman.
Bagi Mu’tazilah mengingkari terhadap temporalnya al-qur’an sama dengan mengakui adanya
pluralitas yang qadim (keterbilagan tuhan seperti konsep trinitas dll). Dengan semikian konsep khalq
al-qur’an yang digulirkan Mu’tazilah sebagai respon terhadap ekstriminasi madzhab tashbih. Namun
pada akhirnya Mu’tazilah terjebak pada bentuk ekstrimitas yang lain. Karena konsep ini telah
menafikkan keberadaan sifat dengan menyatukannya dengan dzat (al-sifat ‘aynu al-dhat).

7. Penutup

Mu’tazilah yang dijuluki sebagai rasionalis dalam Islam ternyata juga seringkali membebani akal
melebihi kapasitasnya sehingga cenderung berlawanan dengan makna akal dalam Islam dan terkesan
berlaku arogan didepan sang khaliq. Jikalau Mu’tazilah ketika menggulirkan konsep khalq al-qur’an
karena terdorong oleh merebaknya keekstriman ideologi tashbih yang membahayakan kemurnian tauhid,
tetapi pada akhirnya Mu’tazilah juga terjebak dalam bentuk keekstriman yang lain. Sehingga Mu’tazilah
banyak menciptakan bid’ah keagamaan yang dilarang, yang membuat ulama-ulama ahlussunnah wal
jama’ah mengoreksi kekeliruannya.

BAB VII

MENGENAL KALAM AL-ASH’ARIYYAH

1. Mengenal Singkat Tiga Tokoh Al-Ash’ariyyah

a) Imam al-ash’ari
Nama lengkap beliau adalah Abu Al-Hasan ‘Ali Ibn Isma’il Ibn Abi Bishr Ishaq Ibn Salim Ibn
Isma’il Ibn Abdillah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah ‘Amir Ibn Abi Musa Al-Ash’ari. Pada
umumnya beliau adalah tokoh Mu’tazilah ternama, kemudian bertaubat di masjid Jami’ Al-Basrah
(irak) pada hari jum’at dan mencabut pendapatnya tentang khalq al-qur’an, nafyu al-bariyawm al-
qiyamah dan paham qadariyyah yang berafiliasi pada Mu’tazilah. Di masjid tersebut beliau naik
kursi dan memproklamirkan dirinya dengan suara keras; “ barangsiapa yang telah mengenalku,
berarti dia telah mengenalku. Dan barangsiapa yang belum mengenalku maka aku kenalkan diriku
bahwa aku adalah flan anak si fulan. Dulu aku mengatakan al-qur’an adalah makhluk (temporal0,
Allah tidak mngkin bisa dilihat dengan mata kepala pada hari akhir, dan sungguh segala perbuatan
buruk akulah yang mengerjakannya. Dan aku telah bertaubat dari itu semua, menanggalkan
keyakinanku untk melawan Mu’tazilah, menyingkap pemikiran yang menyimpang dan aibnya”.
Beliau dilahirkan di basrah tahunn 260H, dan berdomisili di baghdad hingga wafatnya. Imam
asy’ari tumbuh dewasa dalam lingkungan Mu’tazilah selama 40 tahun di bawah binaan pemimpin
Mu’tazilah basrah ternama yang sekaligus ayah tiri beliau, abu ‘ali al-juba’i. Beliau wafat di
baghdad pada tahun 330H. Imam ash’ari dikenal sebagai mutakallim (theologian) yang
memadukan antara metodologi rasional dalam kerangka (framework) ahlussunnah. Dalam karya
beliau maqalat al-Islamiyyin (“theological opinions og the muslims”), ditulis pada masa awal
setelah beliau keluar dari Mu’tazilah. Dari sekitar 912 permasalahan beliau kaji dengan tinjauan
ahlussunnah yang dilandasi al-qur’an dan al-sunnah. Setelah belai wafat para muridnya
meneruskan tradisi dan corak pendekatannya dalam masalah Kalam yang kemudian dikenal dengan
sebutan golongan ash’ariyyah atau asha’irah. Di antara tokoh penerus ash’ariyyah yang tersohor
adalah abu bakr al-baqillani, abu hamid al-ghazali dan fakhr al-din al-razi.

b) Imam Al-Baqillani
Abu Bakr Al-Baqillani memiliki nama lengkap Abu Bakr Muhammad Ibn Al-Tayyib Ibn
Muhammad Ibn Ja’far Ibn Al-Qasim Al-Baqillani. Al-baghdadi meriwayatkan, beliau adalah
seorang hakim (al-qasi) yang terkenal dengan sebutan ibn Al-Baqillani. Beliau lahir dan tumbuh
dewasa di al-basrah kemudian menetap di kota baghdad. Wafatnya pada tanggal 23 dzulqa’dah
403H/5 juni 1013M di baghdad. Dimakamakan pada hari ahad di kediamannya, kemudian setelah
itu kubutannya di pindah ke bab harb.
Al-Baqillani adalah tokoh sunni yang menganut madzhab maliki dan salah seorang Imam
terkemuka dalam aliran al-ash’ariyah, bahkan beliau dianggap sebagai orang kedua setelah Imam
al-ash’ari. Sehingga ibn taimiyyah mengatakan beliau adalah mutakallim (theologian) yang paling
utama dalam aliran al-ash’ariah. Mengenai latar belakang keilmuannya, beliau belajar hadits dari
abu bakr ibn malik al-qati’i (274-368H), abu muhammad ibn masi (274-369H), abu muhammad al-
husain ibn ‘ali al-nisaburi (293-375H). Kemudian beliau belajar ilmu debat dan Kalam di bawah
bimbingan abu ‘abdillah ibn mujahid al-ta’i (sahabat karib Imam al-ash’ari) sehingga menjadi
ulama Kalam paling terkemuka dengan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang dan didukung
dengan ilmu retorikanya. Beliau dijuluki lisan al-ummah (juru bicara ummat) dan saif al-sunnah
(pembela sunnah). Selain guru di atas, nama-nama guru lainnya di antara nya; abu al-hasan al-
balimi al-bashri (yang juga sahabat abu hasan al-ash’ari), abu bakr al-abhari, abu ahmad al-hasan
ibn ‘abdillah ibn sa’ad al-askari, ibn bathah, abu muhammad ‘abdillh ibn abu zayd al-qairawani,
abu husain ibn sam’un al-baghdadi. Karya penginggalan beliau tidak kurang dari 52 buku. Beliau
dikenal sebagai tokoh pertama dalam aliran al-ash’ariyyah yang memperkenalkan teori al-jauhar al-
fard (teori atom), walaupun beliau bukan orang oertama yang menemukan teori ini.

c) Imam al-ghazali
Nama lengkapnya muhammad ibn muhammad ibn muhammad ibn ahmad al-tusi, abu hamid al-
ghazali. Beliau adalah ulama langka yang hampir tidak pernah dijumpai lagi setelahnya dari tokoh-
tokoh golongan ash’ariyyah yang sebanding dengannya. Beliau pakar dalam fiqh dan ushul fiqh,
mutakallim (teolog) tersohor, pemikir yang berwawasan luas, seorang sufi yang zahid (ascetic),
serta pembaharu (mujaddid) abad ke-5 H.
Di antara guru beliau adalah Imam al-haramayn diya al-din al-juwayni di nisabur (dalam ilmu
perbandingan madzhab, debat, logika, hikmah, dan usul al-fiqh), Imam zahid abu al-fadl ibn ali al-
farmidi al-tusi dan yusuf al-najas (dalam ilmu tasawuf). Sedangkan dalam ilmu hadits beliau
mendatangkan abu al-fatyan, ‘umar ibn abi al-hasan al-rawasi al-hafiz al-tusi, juga pada abu shal
muhammad ibn muhammad ibn ahmad ibn ‘ubaidillah al-hafsi al-maruzi, al-hakim abu al-fath nasr
ibn ‘ali ibn ahmad al-hakimi al-tusi, abu muhammad ‘abdillah ibn muhammad ibn al-khawari,
muhammad ibn yahya ibn muhammad al-suja’i, nasr ibn ibrahim al-maqdisi. Adapun ilmu filsafat
beliau belajar secara otodidak, tanpa guru sebagaimana yang beliau akui dalam karyanya al-
munqidh min al-dalal.
Dr. Abdurrahman badawi, meruntut karya-karya Imam al-ghazali berdasarkan kronologi waktunya
(dengan penomoran urutan penulisannya) sebagai berikut;
1. karya-karya dalam ilmu fiqh ; al ta’liqah fi furu’al madzhab, al-bashith fi al-furu’ dll
2. usul fiqh; al-mankhul fi al-usul, shifa’ al-ghalil fi al-qiyas wa al-ta’lil, dll
3. ilmu logika (al-mantiq), metodologi, debat dan sistematika pembahasan al-muntahal fi ‘ilm al-
jadal, lubab al-nazhar dll
4. dalam aqidah dan Kalam; maqasid al-falasifah, tahafut al-falasifah dll
5. tasawuf, akhlak dan masalah hati; mizan al-‘amal, al-ma’atif al-‘aqliyah wa lubab al-hikmah
al-ilahiyyah, ihya ulum al-din dll

2. Pandangan Al-Ash’atiyyah Dalam Beberapa Isu Kalam

1) Dzat Dan Sifat Allah

Dalam pandangan Imama Al-Ash’ari, Ahlusunnah mengelompokan sifat-sifat Allah ke dalam dua bagian;
a. Sifat-sifat afirmasi (thubutiyah), dan b. Sifat-sifat negasi (salabiyyah). Maka pendapat belia tentang
hakekat sifat Zat (wujudiyyah) adalah bahwa sifat-sifat itu berbeda zat dan sifat-sifat itu ada sejak zaman
azali melekat bersama zat (qaimah bi dhatihi). Inilah yang disebut dengan sifat afirmasi.

2) Melihat Allah dengan Mata Kepala di Hari Akhir

Pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah tentang mungkinya dilihatnya Allah pada hari akhir dengan mata
kepala tidak berarti bahwa Allah itu baru seperti makhluk (muhdath). Mungkin atau tidaknya suatu objek
itu dilihat. Pendapat Mu’tazilah bahwa Allah tidak mungkin dilihat di dunia dan akhirat karena akan
menafikkan sifat qadimnya Allah.

3) Kedudukan Kalamullah

Ulama Ahlussunnah berpandnagan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang bersifat Qadim.

3. Penutup

Kalam Ah’ariyyah menjadi solusi argumen yang diandalkan untuk menghadap ragam penyimpangan dan
kerancuan pemikiran dalam isu-isu aqidah. Namun sebagian kalangan yang salah memahami struktur
pemikiran Ash’ariyyah menganggap bahwa golongan Ash’ariyyah menolak akal dan rasionalitas.

BAB VIII

MENGENAL KALAM SHIAH

1. Shiah Dan Gerakan Takfiri

Istilah takfiri secara bahasa maknanya pengkafiran. Istilah ini merupakan salah satu ciri khas yang
melekat pada kelompok-kelompok radikal dan sering mereka gunakan terhadap kelompok lain yang
berbeda dengannya.

Radikalisme dalam sebuah ideologi dan agama biasanya terjadi karena beberapa faktor, jika kemunculan
sekte agama itu dilatarbelakangi oleh politik, maka doktrin teologisnya pun selalu berkelidan dengan
kepentingan politik, seperti yang jamak terjadi dalam sekte khawarij dan Syi'ah. Shiah mencitrakan
dirinya sebagai pembela ahlul bait. Peristiwa Karbala adalah momentum untuk meraih simpati kaum
muslimin demi menguatkan eksistensi shiah dan menempatkan lawan politiknya yang harus dimusuhi
sepanjang sejarah. Artikel ini mengkaji akar radikalisme dan gerakan takfiri yang termaktub dalam kitab-
kitab ulama shiah mu'tabar yang meliputi;

i. Tuduhan terhadap Ummahat al-mu'minin dan sahabat. Mayoritas ulama shiah mu'tabar yang
utamanya adalah Muhammad ibn Umar al-kishi ia berpendapat bahwa mayoritas sahabat nabi
telah sesat, menyimpang dan zalim. Karena berbuat kemungkaran yang sangat besar yaitu
merampat hak khilafah alu dan keturunannya.
ii. Doa-doa melaknat sahabat
iii. Kritik dan catatan. Rasulullah secara tegas melarang umatnya melaknat, sebab beliau tidak diutus
sebagai pelaknat, tapi sebagai penebar kasih sayang. Ulama ahlussunah berpendapat bahwa
melaknat merupakan salah satu penghuni neraka. Rasulullah memperingatkan umatnya; "
janganlah kalian mencaci maki sahabat-sahabatku. Demi Allah yang menguasai nyawaku,
andaikata seseornag dari kalian mengingatkan emas sebesar gunung Uhud (dijalan Allah)
tentunya tidaklah mampu melebihi (keutamaan) dari satu mud maupun setengahnya yang
dibelanjakan oleh sahabat-sahabatku ". HR. Bukhari Muslim.
Imam Malik bin Anas menyebut orang-orang yang menista sahabat tidak bisa lagi dikategorikan
sebagai orang Islam.
iv. Intoleransi dan ajaran takfir
Ulama shiah mengkafirkan kaum muslimin yang mengakui tiga Khalifah sebelum Ali.
Jika ada ulama Sunni yang menganggap shiah sebagai salah satu madzah dalam Islam dan ada
pula yang menganggap mereka sesat namun tidak banyak yang tahu bahwa ulama shiah tidak
hanya menganggap pengikut ahlussunah itu sesat tapi kafir. Bahkan mereka nebgatakahan bahwa
seluruh manusia adalah anak-anak oelacur kecuali shiah.
v. Kedudukan darah dan harta kaum Sunni
Dengan menyematkan label kafir, mereka menghalalkan darah, harta dan kehormatan umat Islam
non shiah terutama kepada ahlussunah dan shiah zaidiyyah.

2. Kawin Kontrak (Mu'tah) Dalam Shiah

Mu'tah berarti bersenang-senang dengan perempuan yang tidak kamu kehendaki hidup berpasangan
dengannya secara permanen (idamah). Arti mut'ah dalam qs. 2:241 menurut Al Azhari adalah pemberian
yang diberikan oleh suami kepada isteri yang diceraikannya sebagai penghibur hati, selain nafkah yang
harus diberikan sesuai dengan kemampuannya. Maka dengan kata lain, kawin mu'tah atau biasa disebut
dengan kawin kontrak adalah perkawinan untuk jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan kedua pasangan
dengan hanya membayar sejumlah mas kawin (mahar) dan boleh dicicil sesuai kesepakatan. Sisa mahar
yang dicicil boleh tidak dilunasi jika pasangan perempuan tidak bisa memenuhi perjanjian yang
dihafalkan saat akad kontrak atau didapati berbohong. Dalam perkawinan mut'ah seorang suami tidak
wajib memberi nafkah dan memikul biaya kehidupan istrinya. Dengan demikian kepala rumah tangga pun
tidak harus ditangani suami dan istri pun tidak Otomasi wajib mematuhi semua yang dikatakan suaminya.
Masing-masing pasangan tidak mewarisi atau sama lainnya, kecuali sebatas yang disepakati di awal
kontrak. Dalam kawin mut'ah tidak disyaratkan harus ada saksi maupun walinya. Artinya mut'ah adalah
kawin bebas masing-masing pasangan tidak terlalu terikat seperti umumnya pernikahan permanen. Mut'ah
dalam shiah hanya bertujuan untuk mencari kenikmatan tanpa konsekuensi yang rumit.

i. Justifikasi teks
ii. Mut'ah dalam kitab induk shiah yang mu'tabar
a. Hakekatnya
b. Keutamaannya
i. Pahalanya setara dengan 70 kali haji atau umrah
ii. Terbebas dari neraka
iii. Di ampuni dosa-dosanya terlebih bagi pasangan wanitanya
iv. sebagai penggantinya diharamkannya hkamar
v. meningkatkan derajat kaetakwanya
iii. Ancaman bagi yang meninggalkannya
i) Mendapatkan laknat dari Allah dan 70 malaikat
ii) Dibangkitkan di hari kiamat dalam kondisi buntung
iv. Syarat, batasan jumlah dan waktu
i) batas waktu dan Mahar
ii) tidak ada batasan jumlah wanita yang di mut'ah
iii) batas waktu minimal
v. Hal-hal lainnya
Meskipun dalam memilih pasangan mut'ah dianjurkan memilih wanita yang baik dan merdeka
(bukan budak), namun di sisi lain juga ditekankan agar pasangan laki-laki menaruh kepercayaan
penuh terhadap apa yang diucapkan pasangannya tentang dirinya. Calon suami tidak sepatutnya
bertanda tangan sosok dan karakter calon isterinya kepada orang-orang terdekatnya.
vi. Dalil mut'ah: pasti atau kontroversi?
Meski dalil-dalil menunjukkan seakan-akan nikah mut'ah ilitu boleh namun dalam kitab-kitab
induk yang mereka anggap otoritatif ternyata masih kontroversial. Maka klaim bahwa bolehnya
mut'ah lebih memiliki kepastian dalil daripada penggarapannya adalah tidak benar.
i) mut'ah itu mengotori jiwa atau tidak
Dalam kitab Bihar Al Anwar disampingnya menganjurkan mut'ah namun disisi lain juga
dinyatakan sebagai perbuatan kotor.
ii) mut'ah harus ditinggalkan
vii. Pandangan ahlussunah tentang mut'ah
Semua madzhab dalam ahlussunah sepakat tentang haramnya kawin mut'ah. Khalifah Umar
bukan yang pertama kali mengharamkan kawin mut'ah, seperti yang dituduhkan shiah.
Pengharaman tersebut bersumber dari berbagai sabda Rasulullah yang tak terhitung jumlahnya.
i) Hadits-hadits seputar larangan mut'ah
sesungguhnya nabi melarang kawin mut'ah dan daging keledai yang jinak (peliharaan) ketika
perang Khaibar HR Bukhari. wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah
mengizinkan kalian nikah mut'ah. Ketahuilah sekarang Allah telah mengharamkannya
sampai hari kiamat. Maka barangsiapa telah memiliki isteri mut'ah, maka lepaskanlah dan
janganlah kalian ambil sedikitpun dari ala yang telah kalian berikan HR. Muslim.
ii) Jawaban terhadap shuhbat shiah
Kedudukan hukum haramnya kawin mut'ah sudah sengat jelas di kalangan para ulama dan
alsalaf Al sahuh termahal dikalangan ulama tafsir. Jelaslah bahwa kawin mut'ah selain lemah
dalil pengahalalannya juga tidak mempertimbangkan dampak psikologisnya.

3. Mengenal Kitab Al Kahfi

Kitab Al Kahfi merupakan salah satu dari empat kitab terpenting kaum Shiah Ithna 'Ashari yah di bidang
hadits. Kitab ini ditulis oleh Muhammad Ibn Ya'qub Al-Kulayani yang hidup pada pertengahan kedua
abad 3h dan meninggal tahun 329h. Ia lahir di daerha kulayn, Persia,dan mendapat gelar thiqah Al Islam.

Al-Kulaini merupakan sosok ulama shiah terkemuka. Majelis ilmunya selalu dihadiri oleh para pembesar
ulama shiah dan masyarakat awam. Sebab menurut kaum shiah dia dipandang sebagai seornag yang lain,
pakar hadits, fiqh, tarikh, sastera, serta dikenal kezuhudannya.

 Kandungan Al Kafi
1) usul Al Kafi (pokok-pokok)
2) guru' Al Kahfi (cabang-cabang ajaran shiah)
3) rawdat Al Kahfi (membahas tentang berbagai tema keagamaan)
4) Kedudukan Al kafi dan penghargaan ulama shiah
i. merupakan kitab paling utama
ii. penulisnya hidup sezaman dengan pada wakil Imam zaman
iii. penulis dalam pendahuluan memandang bahwa kitabnya ini telah mencakup seluruh cabang
disiplin ilmu-ilmu agama
iv. terdapat lebih dari 50 kitab yang ditulis ulama shiah untuk memberi komentar dan penjelasan
atas kitab Al kafi
v. Prof Dr Husaub Ali Mahfuz dalam pengantarnya untuk kitab Al kafi menyatakan bahwa
kredibilitas Al kulaini dalam lembaran sejarah tidak diragukan lagi.
vi. Shaikh Al Mufid mengatakan Al kafi tergong kirab shiah yang agung dan paling banyak
manfaatnya
vii. Al shahid Muhammad ibn Makki berkata kitab Al kafi di bidang hadits belum pernah ada
tandingannya dalam aliran Imamiyah
viii. Al muhaqqiq Ali ibn abdi Al aali Al kurki berkata kitab terbesar di bidang hadits yang bernama
Al kafi merupakan kitab yang belum pernah ada bandingannya. Kitab ini telah menghimpun
berbagai hadits syari'ah dan rahasi-rahasia agama yang belum ada di kitab-kitab lainnya
ix. Al faid mengatakan Al kafi kitab paling mulia, paling mendalam paling sempurna dan paling
lengkap dan terbebas dari cacat
x. Al majlisi mengatakan kitab Al kafi adalah kitab yang paling sempurna dalam masalah-masalah
pokok dan karya terbaik pembabakannya dan yang terbesar
xi. prof Dr husain Ali Mahfuz menjelaskan banyak ulama shiah berpendapat bahwa Al kafi
merupakan kitab yang menghimpun seluruh hadits yang membahas berbagai masalah dengan
tugas
xii. kitab ini di yakini oleh sebagian ulama shiah telah diperlihatkan kepada Al Mahdi yang masih
gaib.

 Penutup dan catatan kritis terhadap Al kafi

a. Imam shiah memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki manusia lainnya di antaranya;

i. Mereka mengetahui kapan ajalnya datang dan mereka tidak akan meninggal kecuali atas kemauan
mereka.
ii. Mengetahui segala peristiwa yang telah terjadi dan akan terjadi
iii. Pemilik bumi seisinya
iv. Imam merupakan tiang penyangga bumi
v. Imam itu memiliki semua kitab suci yang diturunkan Allah
vi. Para Imam mengetahui semua ilmu yang dimiliki pada malaikat
vii. Ziarah ke makam husain sama atau bahkan lebih utama dibandingkan umrah dan haji 20 kali

b. Adanya keyakinan bahwa Al Qur'an yang berada di tangan kaum muslimin saat ini telah mengalami
perubahan (tahrif).

c. Sarat dengan ajaran khufarat dan mistik. Contohnya;

- Ayam itu mempunyai lima sifat dari sifat-sifat yang dimiliki para nabi dermawan, pemberani, berpuas
hati (qanaah) mengetahui waktu-waktu shalat, banyak kawin dan cemburu

- Anjuran mencabut bulu hidung karena hal itu memperindah wajah

- larangan menikah di siang hari yang terik karena itu menyebabkan penceraian.

BAB IX

KALAM MODERN DAN TANTANGAN ISLAM LIBERAL

1. Makna liberal
Kata liberal berasal dari bahasa latin liber, free. Liberalisme secara etimologi berarti filsafat politik yang
menekankan nilai kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak warganya.
Ensiklopedia Wikipedia juga memaknainya sebagai ideologi pandangan filsafat dan tradisi politik yang
berdasarkan pada paham kebebasan.

Sejarah liberalisme adalah tonggak baru bagi sejarah kehidupan masyarakat barat dan karena itu disebut
periode pencerahan.

Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum masa revolusi Perancis (sebelum 1787)
merkantilisme, feudalisme dan gereja roman Katolik. Oxford English dictionary menerangkan bahwa
perkataan liberal telah lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna " sesuai untuk orang bebas, besar,
murah hati (befitting free men, Noble, generous) dalam seni liberal. Menurut Oxford English dictionary
pemaknaan liberal dengan maksud "menggemari kebebasan dan demokrasi" mulai dipakai dalam bahasa
Inggris sejak tahun 1801 dan berasal dari perkataan Perancis libaral. Dalam perkembangannya paham
liberalisme dibagi menjadi politik, budaya, ekonomi dan sosial. Liberal politik berujung pada sistem
demokrasi pemerintahan. Liberalisme budaya me tekankan hak-hak pribadi, menentang campur tangan
pemerintah. Liberalisme ekonomi mendukung kepemilikannya harta pribadi dan menentang peraturan-
peraturan pemerintah. Liberalisme sosial mendukung adanya kesamaan dan menentang ketidajsamarataan
peluang.

2. Islam liberal

Dari sisi etimologi tidak satupun kata Islam berkonotasi pada makna kebebasan seperti pada makna kata
liberal. Dalih mereka bahwa Islam selalu dilekati kata sifat dengan mendasarkan pada kenyataan bahwa
Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan penafsirannya.

Dalam sejarahnya di Indonesia istilah Islam liberal pertama kali digunakan oleh penulis barat seperti
Leonard binder menggunakan istilah Islamic liberalism dan Charles kurzman memakai istilah liberal
Islam. Liberalisme agama seperti yang dijelaskan oleh M Dawan Rahardjo, terjadi di dua wilayah.
Pertama wilayah iman dan aqidah menurut paham liberalisme iman dan aqidah adalah masalah individu
yang memiliki otonomi. Kedua wilayah pemikiran, salam hak ini liberalisme pemikiran Islam
menghadapi isu-isu kontemporer misalnya demokrasi, HAM, kesetaraan gender dll. Aliran Islam liberal
dapat dilihat dari dua sudut pandangan. Pertama merupakan bagian dari liberalisme global menurut
Leonard. Dan kedua liberalisme agama sebagai bagian dari pemikiran Islam sendiri.

3. Munculnya pemikiran Islam liberal di Indonesia

Isu sekularisasi di Indonesia dengan menggunakan justifikasi Islam, telah dihembuskan oleh Drs.
Nurcholis Madjid pada awal 1970 yang saat itu menjabat ketua umum pengurus besar himpunan
mahasiswa Islam (HMI). Dalam pidatonya pada 2 januari 1970 yang bertema " keharusan pembaharuan
pemikiran Islam dan masalah integrasi umat", dan juga dalam artikelnya yang lain bertema "seklai lagi
tentang " sekularisasi", di mengatakan dengan jelas bahwa " agama Islam jika diteliti benar-benar dimulai
dengan proses sekularisasi lebih dulu. Justru ajaran tauhid itu merupakan pangkal tolak proses
sekularisasi besar-besaran". Seolah-olah Nurcholis ingin menunjukkan pada masyarakat Islam di
Indonesia bahwa proses sekularisasi itu tidak semestinya bersifat negatif dalam pandangan Islam. Bahkan
sekularisasi itu menjadi sesuatu yang sangat sebati dengan Islam, karena akar sekularisasi itu sudah ada
pada kalimat tauhid itu sendiri. Pernyataannya Nurcholis ini sebenarnya terpengaruh dengan analisa
Harvey cox pemikir Kristen yang mengatakan bahwa akar sekularisasi itu sudha ada di dalam ajaran
Bibel. Ketika mendengar ceramah nurcholis, prof Rasjidi mencurigainya bahwa Nurcholis seolah-olah
mewakili orientalis yang tidak mempunyai hubungan jiwa dengan Islam.

4. Pendapat Islam liberal

Pendapat kalangan Islam liberal (khususnya cabang Indonesia) tenang Al Qur'an yang sering
dikampanyekan diberbagai media cetak dan elektronik srta di ruang-ruang kuliah dan seminar, banyak
mengacu pada pandangan prof Dr. Nasr Hamid abu zayd pemikir liberal asal Mesir yang melarikan diri
ke Belanda. Ringkasnya pendapat abu zyd tentang Al Qur'an, yang dijadikan rujukan dan dibela oleh
islma liberal (islib) adalah bahwa Al Qur'an produk budaya, teka linguistik, teka manusiawi, dan
menganggapnya sebatas fenomena sejarah. Sejurus kemudian barisan cendekiawan islib cabang Indonesia
berebut mengartikulasikan pendapat arkoun, abu zayd dan shahruh di atas baik dengan kata-kata maupun
perbuatan. Di Anatar artikulasi terbaik dalam membela pendapat abu zayd adalah sebagai berikut:

a. "....maka tudka terlalu meleset jika dikatakan, Al-Quran adalah perangkap yang dipasang bangsa
Quraisy (a trap of Quraisy)". Proses kesejarahan terbentuknya teks Al Qur'an (dari komunikasi lisan ke
komunikasi tulisan) maupun aspek material dari Al Qur'an sendiri yang dipenuhi ambivalensi. Karena itu
tidak pada tempatnya jika ia disebut " kitab suci" yang disakralkan, dimitoskan".

b. "Mushaf itu tidak sakral dan absolute, melainkan profan dan fleksibel.

c. Seorang dosen di surabaya pada 5 Mei 2006 lalu di hadapan mahasiswa nya secara sadar dan
meyakinkan telah menginjak-injak lafadz Allah, untuk memberikan doktrin bahwa posisi Al Qur'an
benar-benar hasil budaya manusia.

d. Sebuah jurnal di Semarang menyatakan " kedudukan Wahyu yang harus tunduk di bawah akal publik,
sebab Al Qur'an dan Wahyu tertulis lainnya hanyalah teks mati yang hanya akan hidup dengan kreatifitas
akal manusia.

5. Perbedaan antara Mu’tazilah dan Islam liberal

Pendapat Mu’tazilah tentang makhluknya Al Qur'an sebenarnya lingkup pembahasan nya hanya
menyentuh cabang prinsip (far'u Al usul) permasalahan aqidah yang berkisar pada masalah posisi dan
pengkategorian Kalam sebagai sifat Tuhan apakah dia qadim (eternal) atau muhdath (created). Maka
lingkup pembahasan Mu’tazilah lebih pada dataran filosofis dan tidak pernah mempertanyakan,
meragukan apalagi mengingkari keberadaan sifat disisi Allah. Walaupun Mu’tazilah berpendapat bahwa
Al Qur'an adalah makhluk tetapi mereka tidak sampai mengklaim bahwa posisi teks atau Wahyu Al
Qur'an telah berubah menjadi peradaban sepeti menjadi salah satu trend pemikiran liberal. Kritik Islam
liberal pada Al Qur'an sebagai sumber mengarah pada upaya meragukan posisi Al Qur'an sebagai sumber
hukum dalam Islam. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kondisi pemikiran Mu’tazilah tidak di samakan
dengan isu pemikiran Islam liberal yang lebih cenderung anti Qur'an.

6. Studi tematis tafsir Al kashshaf'an haqaiq Al Tanzil WA 'Uyun al-aqawil di wujuh Al ta'wil

a. Isu homoseksual (Al a'raf:80-81)

Dalam qs Al naml :54, kata tubsirun (melihat, memperhatikan) di maksudkan melihat dengan hati.
Penjelasannya adalah bahwa kaum nabi Luth telah mengetahui bahwa perbuatan homoksesual adalah
perbuatan fahishah yang belum pernah dilakukan oleh umat manapun. Dan perbuatan fahishah ini
bertentangan dengan hikmah dan hukum Allah. Dalam qs. Al 'ankabut:29, Al zamarkhsyari menjelaskan
bahwa perbuatan homoksesual dinamakan fahishah karena tidak ada satupun umat terdahulu yang pernah
mengerjakan homoksesual dikarenakan perbuatan ini tergolong menjijikan dan melampaui batas akhir
dari sebuah kejahatan dalam tabiat mereka.

Pendapat Mu’tazilah tentang tafsir ayat-ayat yang berkenaan dengan homoksesual jelas berbeda dengan
kalangan Islam liberal yang justru mengkampanyekan halalnya perilaku homoksesual atau pernikahan
sejenis. Hal ini seperti yang disuarakan Nasr Hamid abu zayd yang kemudian diikuti oleh kalangan Islam
liberal cabang Indonesia. Dalam catatan penutup homoksesualitas dan pernikahan gay; suara dari IAIN
ditulis hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan
berbahaya. Bagi kami tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun untuk melarang perkawinan
sejenis. Sebab Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil behkan
kebablasan.

b. Masalah hukum waris (qs. Al nisa; 11)

Al zamarkhsyari menjelaskan ayat Li alshakari mithlu hazzi Al unthayain (bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan) bahwa jika susunannya dibalik menjadi Li Al unthayain
mithlu hazzi Al dhakari (bagian dua anak perempuan seperti bagian seorang anak laki-laki) maka berarti
menjelaskan sisi lebih sedikitnya bagian anak perempuan dan tidak ditunjukan menjelaskan kelebihan
laki-laki (dalam hak dan tanggung jawab). Inilah penjelasan hak waris yang adil dan bermaslahat. Ayat
ini turun untuk membatasi hak lelaki yang pada masa pra Islam mewarisi semua harta peninggalan tanpa
sedikitpun bagian untuk wanita. Al zamarkhsyari sama sekali tidak menggugat ketimpangan bagian
maupun ingin menyamarkan HAM waris antara hak waris antara lelaki dan perempuan yang telah tentera
jelas dalam Wahyu. Sedangkan kalangan Islam liberal menyimpulkan tafsir ayat di atas bahwa
sebenarnya Al Qur'an secara perlahan dan pasti cenderung mengarah pada kesamaan antara wanita dan
laki-laki, khususnya pada bagian harta peninggalan seperti yang dinyatakan oleh Abu Zayd dan sederet
pemikir liberal lainnya.

Anda mungkin juga menyukai