MAKALAH
Disusun Oleh :
TEKNIK MESIN
FAKULTAK TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Kedudukan Epistemologi
Dalam konsep filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan
sendiri,yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-
firman-Nya, danayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-Nya
yaitu alam semesta dandiri manusia sendiri. Kajian terhadap kitab suci akan
kembali melahirkan ilmu agama,sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam
dimensi fisik atau materi, melahirkan ilmualam dan ilmu pasti, termasuk di
dalamnya kajian terhadap manusia dalam kaitannyadengan dimensi fisiknya.
Akan tetapi, suatu kajian pada dimensi non fisiknya, yaitu perilaku, watak dan
eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan ilmuhumaniora.
Adapun kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan padatingkatan
makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan ilmu filsafat.
Oleh karena itu, jika dilihat pada obyek kajiannya, maka agama, ilmu dan
filsafatadalah berbeda, baik dalam hal metode yang ditempuhnya, maupun tingkat
dan sifat darikebenaran yang dihasilkannya. Akan tetapi jika dilihat dari
sumbernya, maka ketiganya berasal dari sumber yang satu, yaitu ayat-ayat-Nya.
Dalam kaitan ini, maka ketiganya padahakikatnya saling berhubungan dan saling
melengkapi. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan teknis, filsafat
memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yangmenyeluruh, sedangkan agama
mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual,memasuki dimensi yang
Ilahi.Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi kenabian, adalah
bidangkajian ilmu agama, akan tetapi jika dilihat dari pemahaman, pemikiran dan
pentafsiranmanusia terhadap doktrin, kitab suci, Tuhan dan kenabian itu, maka
kajian atas pemikirandan pemahaman manusia tersebut dapat masuk pada kajian
ilmu humaniora. Sedangkankajian filsafat dapat memberikan penjelasan dan
konsep mengenai Tuhan, doktrin dankenabian, tetapi sifatnya spekulatif, dan
hanya agama yang dapat memberikan tata carayang teknis bagaimana
berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-ajaran-Nya,yang dibawa oleh
para Nabi utusan-Nya dan yang tertuang dalam kitab suci.Oleh karena itu,
wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya “bercorak tauhid”, dan tauhid
dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga
dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya
tidakmengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak
dilakukan di kalanganumat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu
umum, atau syariah dan nonsyariah.
Epistemologi Islam lahir dan berkembang secara dinamis dalam kurun
waktu yang panjang. Bahkan, perkembangannya bukan hanya saja secara ilmiah
semata, melainkan juga karena dinamika politik dan keberpihakan ideology yang
sangat kental. DenganNdemikian, dalam tulisan ini penulis secara sengaja
“mencukupkan” pada peta epistemology sebagaimana yang diperkenalkan
Muhammad Abid al-Jabiri dalam kedua karya besarnya; Takwin al-‘Aql al-Arabi
dan Bunyah al-‘Aql al-Arabi. Dalam pandangan al-Jabiri,epistemology Islam
secara keseluruhan terpola ke dalam tiga bentuk, yaitu Bayani, Irfani,dan Burhani.
1. Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri
menjelaskan berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan al-Arab
mengartikan sebagai al-fashl wa al-infishal (memisahkan dan terpisah) dalam
kaitannya dengan metodologidan al-dhuhur wa al-idhar (jelas dan penjelasan)
berkaitan dengan visi dari metode bayani.
Sementara itu, secara terminologI bayani mempunyai dua arti (1) sebagai
aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Makna
Terminologiini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin).
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidaklangsung. Secara langsung artinya memahami
teks sebagai pengetahuan jadi danlangsung mengaplikasikannya tanpa perlu
pemikiran; secara tidak langsung berartimemahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.Meski demikian, hal ini bukan berarti
akal atau rasio bisa bebas menentukan makna danmaksudnya, tetapi tetap harus
bersandar pada teks.
Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup
makna-makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang berkembang
hingga ke furu’atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam
lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut
berkenaan dengan sesuatuyang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai
ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global
sehingga butuh penjelasan sunnah, 3)Bayan yang keseluruhannya masih global
sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayansunnah sebagai uraian atas sesuatu
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan
Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’anmaupun sunnah. Dari lima
derajat bayan tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga
yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.
Pada perkembangan selanjutnya, bayani tidak lagi sekedar penjelas atas
kata katasulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode
bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan atasnya, kemudian
memberikan uraiansecara sistematis atas pemahaman tersebut. Paduan antara
metode fikih yangeksplanatoris dan theologi yang dialektik dalam rangka
membangun epistemology bayani ini terlihat sangat kental mewarnai.Untuk
mendapatkan pengetahuan, epistemology bayani menempuh dua jalan.Pertama,
berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab.Kedua,
menggunakan metode qiyas (analog); dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum
suatumasalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam
tekskarena adanya kesamaan ‘illat. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi
dalammelakukan qiyas:
1) Adanya al-Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dandipakai sebagai
ukuran,
2) Al-far’ yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,
3) Hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl,
4) ‘Illah yaknikeadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari
perasankurma disebut far’u (cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam
nash dan iaakan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab
terdapat dalamteks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (‘illah) karena
memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan
khamr, yakni sama samamemabukkan.Menurut al-Jabiri, metode qiyas sebagai
cara mendapatkan pengetahuan dalamepistemologi bayani digunakan dalam 3
aspek yaitu :
1) qiyas jali, dimana far’u mempunyai persoalan hukum yang kuat disbanding
ashl.
2) qiyas fi ma’na al-nash dimana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang
sama.
3) qiyas al-kahfi di mana ‘illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut
perkiraan mujtahid.
Metode qiyas bayani ini tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks
tetapi juga bisadikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan
non fisik (ghaib).
2. Irfani
Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafah semakna dengan ma’rifah yang
berarti pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau ma’rifat berkaitan
dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman,
sedangkan ilmumenunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi
(naql ) atau rasianalitas (‘aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan
sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat
oleh Tuhan kepada hambaNyasetelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas
dasar cinta.
Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase
pembibitan,Terjadi pada abad pertama Hijriyah dengan bentuk prilaku zuhud atas
dasar takut danmengharap pahala (al-khauf wa al-raja’). Kedua, fase kelahiran
terjadi pada abad keduaHijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut
dan mengharap pahala, dalam periode ini, di tangan Robiah al-Adawiyah ( 801
M ) zuhud dilakukan atas dasar cinta (al-hubb) pada Tuhan, bebas dari rasa takut
atau harapan mendapat pahala. Ketiga, Fase pertumbuhan terjadi abad 3 – 4 H,
Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatianterhadap hal-hal yang berkaitan
dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufismemenjadi ilmu moral keagamaan
(akhlak). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5H. Pada periode ini, irfani
mencapai masa gemilang. Irfani menjadi jalan yang jelaskarakternya untuk
mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.Kelima, fase
spesifikasi terjadi abad ke-6 dan 7 H berkat pengaruh al-Ghazali yang besar, irfani
menjadi metode pemikiran yang semakin dikenal dan berkembang
dalammasyarakat Muslim. Pada fase ini, pengertian irfani telah terpecah dalam 2
aliran, yaitu irfani Sunni dan irfani teoretis. Keenam, fase kemunduran terjadi
abad ke -8 H. Sejakabad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan
mengalami kemunduran.
Epistemologi irfani tidak didasarkan secara utama atas teks sebagaimana
Bayani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
tetapi dengan olah ruhani,di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuanlangsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep,
kemudian dikemukakan kepadaorang lain secara logis. Dengan demikian
pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2)
penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisanatau tulisan.
Konon metode irfani sudah dikenal dalam tradisi pemikiran Yunani dan
Persia jauh sebelum datangnya agama Nasrani, Yahudi, dan Islam. Dalam ajaran
Islam metode ini dikenal dengan “Ilm al-Khuduri”I, karena jenis pengetahuan ini
datang sendiri secara langsung. Namun dalam pandangan Barat dinamakan “Pre-
Logical Knowledge”, karena tidak terikat oleh premis-premis logika. Pengetahuan
irfani diperoleh setidaknya melalui tiga cara, yaitu persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan.
Berbeda dengan bayani, metode berfikir irfani tidak memiliki kedudukan yang
kuat di kalangan kaum Muslim, bahkan cenderung mendapat kecaman atau olok-
olok baik dari pendukung bayani atau burhani. Metode berfikir irfani punya
bebrapa kelemahan sebagai berikut.
1. Rasionalisme
2. Empirisme
3. Kritisisme
Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat
yang telah meragukan status ontologis untuk objek-objek metafisik. Ilmuwan-
ilmuwan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status ontologis dari
bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga objek-objek metafisik
yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa dilihat indra, tetapi diyakini
memiliki status ontologis yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan
lebih riil daripada objek-objek indra.
Selain itu, epistemologi Islam sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang
hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi Islam
mengakui sumber ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Akal dalam
menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan wahyu agar apa
yang dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain dan bukan sebaliknya.
Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau konsep
teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu karena berdampak pada
rusaknya segala sesuatu. Sebagimana firman Allah:
ِ R ِذ ْك ِر ِه ْم فَهُ ْم عَن ِذ ْكR ِاهُم بRRَلْ َأتَ ْينRRَات َواَْألرْ ضُ َو َمن فِي ِه َّن ب
ر ِهمR ُ َما َوR الس
َّ ت َ Rق َأ ْه
ِ َدR وآ َءهُ ْم لَفَ َسR ُّ R َع ْال َحR َو اتَّبR
ِ Rََول
َْرضُون ِ ُّمع
“Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya
binasalah langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya bahkan Kami
telah datangkan kepada mereka peringatan (Al-Qur’an) tetapi mereka berpaling
dari peringatan itu”. (QS. Al-Mu’minun [23]: 71).
Selain itu, diantara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut para filosof
Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan eksperimen
sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu dan keduanya
memang jelas harus dipisahkan. Induksi (istiqra’) berada pada posisi prasangka
atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) berada pada posisi
keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat perbedaan antara perasaan biasa
(induksi) dengan praktik (eksperimen) dan praktik dalam hal ini merupakan
aktivitas rasio.[13]
احR
ِ Rَيف ال ِّري َ ْ ِه اَْألرR ِق فََأحْ يَا ب
ْ ا َوتRRَ َد َموْ تِهRض بَ ْع
ِ ِرRَص ٍ ار َو َمآَأن َز َل هللاُ ِمنَ ال َّس َمآ ِء ِمن ِّر ْز
ِ َف الَّ ْي ِل َوالنَّه ْ َو
ِ َاختِال
َات لِّقَوْ ٍم يَ ْعقِلُون
ٌ ََءاي
“Dan pada pergantian malam dan siang, dan apa-apa yang diturunkan Allah
dari langit berupa rezeki, lalu Dia menghidupkan dengannya bumi seusdah
matinya, dan pada perkisaran angin, menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang berpikir”. (QS. Al-Jatsiyah: 5).
Adapun prinsip-prinsip dari keduanya dapat dibedakan dari beberapa
aspek yang mana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Dari sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya yang sangat
jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai
elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain itu,
uraian singkat dalam makalah ini juga dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa
substansi epistemologi tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ilmuan
kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan tetapi lebih dalam lagi
yaitu epistemological belief yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang yang
kemudian menentukan corak dari epistemologinya masing-masing.