Anda di halaman 1dari 12

AL-ISLAM DAN KEMUHAMMADIYAHAN (AIK) 5

MAKALAH

METODOLOGI PENGEMBANGAN KEILMUAN (EPISTIMOLOGI II)


DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN BARAT : EXPLANATION
(BAYANI) DAN INTUISI (IRFANI) DALAM PERSPEKTIF ISLAM DAN
BARAT

Disusun Oleh :

1. Juni Ismanto (19520012)

2. Rama aditya (19520012)

3. Ari Septiandi (16520009)

TEKNIK MESIN
FAKULTAK TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO
A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Kedudukan Epistemologi

Secara etimologis, epistemologi berasal dari kata berbahasa Yunani


Episteme yang berarti pengetahuan atau ilmu, dan logos yang juga berarti
pengetahuan. Epistemologi berupaya menjawab pertanyaan “apa yang dapat kita
ketahui, dan bagaimana kita dapatmengetahuinya” ( what can we know, and how
do we know it). Dari dua pengertiantersebut dapat dipahami bahwa epistemologi
adalah ilmu tentang pengetahuan, atau pemikiran tentang pengetahuan. Ada juga
yang menyatakan bahwa episteme memiliki arti knowledge atau science,
sedangkan logos berarti the theory of the nature of knowing andthe means by
which we know.
Pada mulanya istilah epistemologi digunakan untuk membedakan dua
cabangfilsafat; yaitu epistemologi dan ontologi. Epistemologi dapat diartikan
sebagai studi yangmenganalisa dan menilai secara kritis tentang mekanisme dan
prinsip-prinsip yangmembentuk keyakinan. Persoalan epistemologi menempati
pokok bahasan yang begitu penting, sehingga seorang filosof Muslim modern
Muhammad Baqir al-Shadr menyatakan, “Jika sumber -sumber pemikiran
manusia, kriteria-kriteria, dan nilai-nilai pengetahuannya tidak ditetapkan, maka
tidaklah mungkin melakukan studi apapun, bagaimanapun bentuknya.”
Dalam dunia filsafat, epistemologi adalah cabang filsafat yang
membicarakanmengenai hakikat ilmu, dan di saat bersamaan menjadikan ilmu
sebagai proses yakniusaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk
menemukan prinsip kebenaran yangterdapat pada suatu kajian ilmu. Epistemologi
menanyakan apakah yang menjadi obyekkajian suatu ilmu, dan seberapa jauh
tingkat kebenaran yang bisa dicapainya dankebenaran yang bagaimana yang bisa
dicapai dalam kajian ilmu; kebenaran obyektif,subyektif, absolut atau relatif.
Dalam pandangan Azizy, epistemologi adalah filsafat ilmu yang
berkecenderungan berdiri sendiri. Epistemologi seolah membicarakan dirinya
sendiri,membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. Ia berhubungan dengan apa
yang perludiketahui dan bagaimana cara mengetahui pengetahuan. Epistemologi
atau teori pengetahuan ini kemudian didefinisikan sebagai cabang filsafat yang
berhubungan denganhakikat dan lingkup pengetahuan, praanggapan dan dasar-
dasarnya serta reliabilitas umumyang dapat digunakan untuk mengakui sesuatu
sebagai ilmu pengetahuan. Namun demikian, sebagaimana dinyatakan oleh
Gadamer, mengingat subyek ilmuadalah manusia, dan manusia hidup dalam ruang
dan waktu yang terbatas, maka kajianilmu pada kenyataannya selalu berada dalam
batas-batas, baik batas-batas yangmelingkupi hidup manusia, maupun batas-batas
obyek kajian yang menjadi fokusnya, dansetiap batas-batas itu dengan sendirinya
selalu membawa konsekuensi-konsekuensitertentu.

B. Epistemologi Ilmu dalam Perspektif Islam

Dalam konsep filsafat Islam, obyek kajian ilmu itu adalah ayat-ayat Tuhan
sendiri,yaitu ayat-ayat Tuhan yang tersurat dalam kitab suci yang berisi firman-
firman-Nya, danayat-ayat Tuhan yang tersirat dan terkandung dalam ciptaan-Nya
yaitu alam semesta dandiri manusia sendiri. Kajian terhadap kitab suci akan
kembali melahirkan ilmu agama,sedangkan kajian terhadap alam semesta, dalam
dimensi fisik atau materi, melahirkan ilmualam dan ilmu pasti, termasuk di
dalamnya kajian terhadap manusia dalam kaitannyadengan dimensi fisiknya.
Akan tetapi, suatu kajian pada dimensi non fisiknya, yaitu perilaku, watak dan
eksistensinya dalam berbagai aspek kehidupan, melahirkan ilmuhumaniora.
Adapun kajian terhadap ketiga ayat-ayat Tuhan itu yang dilakukan padatingkatan
makna, yang berusaha untuk mencari hakikatnya, melahirkan ilmu filsafat.
Oleh karena itu, jika dilihat pada obyek kajiannya, maka agama, ilmu dan
filsafatadalah berbeda, baik dalam hal metode yang ditempuhnya, maupun tingkat
dan sifat darikebenaran yang dihasilkannya. Akan tetapi jika dilihat dari
sumbernya, maka ketiganya berasal dari sumber yang satu, yaitu ayat-ayat-Nya.
Dalam kaitan ini, maka ketiganya padahakikatnya saling berhubungan dan saling
melengkapi. Ilmu dipakai untuk memecahkan persoalan-persoalan teknis, filsafat
memberikan landasan nilai-nilai dan wawasan yangmenyeluruh, sedangkan agama
mengantarkan kepada realitas pengalaman spiritual,memasuki dimensi yang
Ilahi.Agama dilihat dari segi doktrin, kitab suci dan eksistensi kenabian, adalah
bidangkajian ilmu agama, akan tetapi jika dilihat dari pemahaman, pemikiran dan
pentafsiranmanusia terhadap doktrin, kitab suci, Tuhan dan kenabian itu, maka
kajian atas pemikirandan pemahaman manusia tersebut dapat masuk pada kajian
ilmu humaniora. Sedangkankajian filsafat dapat memberikan penjelasan dan
konsep mengenai Tuhan, doktrin dankenabian, tetapi sifatnya spekulatif, dan
hanya agama yang dapat memberikan tata carayang teknis bagaimana
berhubungan dengan Tuhan dan menghayati ajaran-ajaran-Nya,yang dibawa oleh
para Nabi utusan-Nya dan yang tertuang dalam kitab suci.Oleh karena itu,
wawasan epistemologi Islam pada hakikatnya “bercorak tauhid”, dan tauhid
dalam konsep Islam, tidak hanya berkaitan dengan konsep teologi saja, tetapi juga
dalam konsep antropologi dan epistemologi. Epistemologi Islam sesungguhnya
tidakmengenal prinsip dikotomi keilmuan, seperti yang sekarang banyak
dilakukan di kalanganumat Islam Indonesia, yang membagi ilmu agama dan ilmu
umum, atau syariah dan nonsyariah.
Epistemologi Islam lahir dan berkembang secara dinamis dalam kurun
waktu yang panjang. Bahkan, perkembangannya bukan hanya saja secara ilmiah
semata, melainkan juga karena dinamika politik dan keberpihakan ideology yang
sangat kental. DenganNdemikian, dalam tulisan ini penulis secara sengaja
“mencukupkan” pada peta epistemology sebagaimana yang diperkenalkan
Muhammad Abid al-Jabiri dalam kedua karya besarnya; Takwin al-‘Aql al-Arabi
dan Bunyah al-‘Aql al-Arabi. Dalam pandangan al-Jabiri,epistemology Islam
secara keseluruhan terpola ke dalam tiga bentuk, yaitu Bayani, Irfani,dan Burhani.

1. Bayani
Secara etimologi, Bayan berarti penjelasan (eksplanasi). Al-Jabiri
menjelaskan berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisan al-Arab
mengartikan sebagai al-fashl wa al-infishal (memisahkan dan terpisah) dalam
kaitannya dengan metodologidan al-dhuhur wa al-idhar (jelas dan penjelasan)
berkaitan dengan visi dari metode bayani.
Sementara itu, secara terminologI bayani mempunyai dua arti (1) sebagai
aturan penafsiran wacana, (2) sebagai syarat-syarat memproduksi wacana. Makna
Terminologiini baru lahir belakangan, yakni pada masa kodifikasi (tadwin).
Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks
(nash), secara langsung atau tidaklangsung. Secara langsung artinya memahami
teks sebagai pengetahuan jadi danlangsung mengaplikasikannya tanpa perlu
pemikiran; secara tidak langsung berartimemahami teks sebagai pengetahuan
mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran.Meski demikian, hal ini bukan berarti
akal atau rasio bisa bebas menentukan makna danmaksudnya, tetapi tetap harus
bersandar pada teks.
Pada masa Syafi’i (767-820 M), bayani berarti nama yang mencakup
makna-makna yang mengandung persoalan ushul/pokok dan yang berkembang
hingga ke furu’atau cabang. Dari segi metodologi, Syafi’i membagi bayan dalam
lima bagian dan tingkatan, yaitu: 1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut
berkenaan dengan sesuatuyang telah dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai
ketentuan bagi makhlukNya, 2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global
sehingga butuh penjelasan sunnah, 3)Bayan yang keseluruhannya masih global
sehingga butuh penjelasan sunnah, 4) Bayansunnah sebagai uraian atas sesuatu
yang tidak terdapat dalam al-Qur’an, 5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan
Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al-Qur’anmaupun sunnah. Dari lima
derajat bayan tersebut, Syafi’I kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga
yaitu al Qur’an, sunnah dan qiyas, kemudian ditambah ijma.
Pada perkembangan selanjutnya, bayani tidak lagi sekedar penjelas atas
kata katasulit dalam al-Qur’an tetapi telah berubah menjadi sebuah metode
bagaimana memahami sebuah teks, membuat kesimpulan atasnya, kemudian
memberikan uraiansecara sistematis atas pemahaman tersebut. Paduan antara
metode fikih yangeksplanatoris dan theologi yang dialektik dalam rangka
membangun epistemology bayani ini terlihat sangat kental mewarnai.Untuk
mendapatkan pengetahuan, epistemology bayani menempuh dua jalan.Pertama,
berpegang pada redaksi teks dengan menggunakan kaidah bahasa Arab.Kedua,
menggunakan metode qiyas (analog); dan inilah prinsip utama epistemologi
bayani. Dalam kajian ushul fikih, qiyas diartikan memberikan keputusan hukum
suatumasalah berdasarkan masalah lain yang telah ada kepastian hukumnya dalam
tekskarena adanya kesamaan ‘illat. Ada beberapa hal yang harus dipenuhi
dalammelakukan qiyas:
1) Adanya al-Ashl yakni nash suci yang memberikan hukum dandipakai sebagai
ukuran,
2) Al-far’ yakni sesuatu yang tidak ada hukumnya dalam nash,
3) Hukum al-ashl yakni ketetapan hukum yang diberikan oleh ashl,
4) ‘Illah yaknikeadaan tertentu yang dipakai sebagai dasar ketetapan hukum Ashl.
Contoh qiyas adalah soal hukum meminum arak dari kurma. Arak dari
perasankurma disebut far’u (cabang ) karena tidak ada ketentuan hukumnya dalam
nash dan iaakan di qiyaskan dalam khamr. Khamr adalah ashl atau pokok sebab
terdapat dalamteks (nash) dan hukumnya haram, alasannya (‘illah) karena
memabukkan. Hasilnya, arak adalah haram karena ada persamaan antara arak dan
khamr, yakni sama samamemabukkan.Menurut al-Jabiri, metode qiyas sebagai
cara mendapatkan pengetahuan dalamepistemologi bayani digunakan dalam 3
aspek yaitu :
1) qiyas jali, dimana far’u mempunyai persoalan hukum yang kuat disbanding
ashl.
2) qiyas fi ma’na al-nash dimana ashl dan far’ mempunyai derajat hukum yang
sama.
3) qiyas al-kahfi di mana ‘illat ashl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut
perkiraan mujtahid.
Metode qiyas bayani ini tidak hanya untuk menggali pengetahuan dari teks
tetapi juga bisadikembangkan dan digunakan untuk mengungkapkan persoalan
non fisik (ghaib).

2. Irfani

Irfan dari kata dasar bahasa Arab ‘arafah semakna dengan ma’rifah yang
berarti pengetahuan. Tapi ia berbeda dengan ilmu. Irfan atau ma’rifat berkaitan
dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung lewat pengalaman,
sedangkan ilmumenunjuk pada pengetahuan yang diperoleh lewat transformasi
(naql ) atau rasianalitas (‘aql). Karena itu, secara terminologis, irfan bisa diartikan
sebagai pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat
oleh Tuhan kepada hambaNyasetelah adanya olah ruhani yang dilakukan atas
dasar cinta.
Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama, fase
pembibitan,Terjadi pada abad pertama Hijriyah dengan bentuk prilaku zuhud atas
dasar takut danmengharap pahala (al-khauf wa al-raja’). Kedua, fase kelahiran
terjadi pada abad keduaHijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut
dan mengharap pahala, dalam periode ini, di tangan Robiah al-Adawiyah ( 801
M ) zuhud dilakukan atas dasar cinta (al-hubb) pada Tuhan, bebas dari rasa takut
atau harapan mendapat pahala. Ketiga, Fase pertumbuhan terjadi abad 3 – 4 H,
Para tokoh sufisme mulai menaruh perhatianterhadap hal-hal yang berkaitan
dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufismemenjadi ilmu moral keagamaan
(akhlak). Keempat, fase puncak terjadi pada abad ke- 5H. Pada periode ini, irfani
mencapai masa gemilang. Irfani menjadi jalan yang jelaskarakternya untuk
mencapai pengenalan serta kefanaan dalam tauhid dan kebahagiaan.Kelima, fase
spesifikasi terjadi abad ke-6 dan 7 H berkat pengaruh al-Ghazali yang besar, irfani
menjadi metode pemikiran yang semakin dikenal dan berkembang
dalammasyarakat Muslim. Pada fase ini, pengertian irfani telah terpecah dalam 2
aliran, yaitu irfani Sunni dan irfani teoretis. Keenam, fase kemunduran terjadi
abad ke -8 H. Sejakabad itu, irfan tidak mengalami perkembangan bahkan
mengalami kemunduran.
Epistemologi irfani tidak didasarkan secara utama atas teks sebagaimana
Bayani, tetapi pada kasyf, yakni tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh
Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks
tetapi dengan olah ruhani,di mana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuanlangsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep,
kemudian dikemukakan kepadaorang lain secara logis. Dengan demikian
pengetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan, (1) persiapan, (2)
penerimaan, (3) pengungkapan, dengan lisanatau tulisan.

Konon metode irfani sudah dikenal dalam tradisi pemikiran Yunani dan
Persia jauh sebelum datangnya agama Nasrani, Yahudi, dan Islam. Dalam ajaran
Islam metode ini dikenal dengan “Ilm al-Khuduri”I, karena jenis pengetahuan ini
datang sendiri secara langsung. Namun dalam pandangan Barat dinamakan “Pre-
Logical Knowledge”, karena tidak terikat oleh premis-premis logika. Pengetahuan
irfani  diperoleh setidaknya melalui tiga cara, yaitu persiapan, penerimaan, dan
pengungkapan.

Berbeda dengan bayani, metode berfikir irfani tidak memiliki kedudukan yang
kuat di kalangan kaum Muslim, bahkan cenderung mendapat kecaman atau olok-
olok baik dari pendukung bayani atau burhani. Metode berfikir irfani punya
bebrapa kelemahan sebagai berikut.

1.      Metode irfani dianggap terlalu liberal karena tidak memiliki


pedoman yang jelas pada teks.

2.      Kenyataan bahwa qalb (kalbu), dhamir (hati), dan ilham (intuisi)


telah bercampur dengan tarekat, wirid, serta ungakapan-ungkapan
ganjil para sufi. Umat Muslim pun kurang memahami metode berfikir
irfani.
Meskipun metode ini ada kelemahan, namun sebenarnya irfani juga
memiliki keunggulannya sendiri. Diantaranya, metode irfani menekankan
pemahaman dan pengertian terhadap pemikiran dan pemahaman pihak lain,
sehingga menimbulkan hubungan baik antara kelompok-kelompok yang berbeda.
C. Epistemologi dalam Perspektif Barat

Para ilmuwan berbeda pendapat dalam menguraikan epistemologi. Louis.


Kattsoff, misalnya, mengklasifikasikan epistemologi menjadi enam, yakni
rasionalisme,empirisme, fenomenologisme, intuisionisme, metode ilmiah dan
hipotesis. Sedangkan Pradana Boy ZTF mengklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
rasionalisme, empirisme, dankritisisme. Dalam makalah ini, epistemologi dalam
perspektif Barat diuraikan melaluitiga gambaran epistemologi, yakni
Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme. Hal ini, paling tidak dalam pandangan
penulis, ketiga model epistemologi tersebut dianggap “mewakili” pokok-pokok
pemikiran Barat lainnya semacam positivisme,fenomenologisme, ataupun
pragmatisme.

1. Rasionalisme

Secara umum, rasionalisme adalah pendekatan filosofis yang menekankan


akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan. Hal ini menunjukkan
bahwasumbangan akal lebih besar daripada sumbangan indra, sehingga dapat
diterima adanyastruktur bawaan (ide, kategori). Dalam pandangan epistemologi
rasionalisme, tidakmungkin suatu ilmu dibentuk hanya berdasarkan fakta dan data
empiris (pengamatan)semata. Pada masa klasik, aliran rasionalisme dipelopori
oleh Plato, sedangkan masamodern dipelopori oleh Descartes dan Leibniz. Ketiga
tokoh ini merupakan tokohyang paling terkenal dalam aliran rasionalisme.Dalam
polemik pemikiran Plato dan Aristoteles yang merupakan cikal bakal
aliranRasionalisme dan Empirisme, terlihat jelas bahwa Plato lebih menekankan
akal sebagaisumber pengetahuan, sedangkan Aristoteles lebih menekankan indera
daripada akalsebagai sumber pengetahuan. Menurut Plato, hasil pengamatan
inderawi tidakmemberikan pengetahuan yang kokoh, karena sifatnya selalu
berubah-ubah, sehinggakebenarannya tidak dapat dipercayai. Dalam proses
pencariannya, Plato menemukan bahwa ada kebenaran diluar pengamatan
inderawi yang disebut “idea”. Dunia idea bersifat tetap dan tidak berubah-ubah
dan kekal. Berbeda dengan Aristoteles,menurutnya bahwa ide-ide bawaan ini
tidak ada dan dia tidak mengakui dunia semacamitu. Dia lebih mengakui bahwa
pengamatan inderawi itu berubah-ubah, tidak tetap, dantidak kekal, tetapi dengan
pengamatan inderawi dan penyelidikannya yang terus-menerus terhadap hal-hal
dan benda-benda konkret, maka akal/rasio akan dapatmelepaskan atau
mengabstraksikan idenya dengan benda-benda yang konkrettersebut.
Rene Descartes, sebagai peletak dasar kebangkitan filsafat di Eropa
melaluifilsafatnya dengan badai skeptismenya (meragukan sesuatu). Dan dalam
meragukansegala sesuatu maka ia harus eksis supaya dapat ragu, karena ragu
merupakan satu bentuk berfikir yang berarti eksis “aku berfikir, karena itu aku
ada” (cogito ergo sum). Ini adalah proposisi pertama yang baginya adalah pasti.
Menurutnya, berfikir adalahsuatu kebenaran yang pasti. Apakah persoalan pikiran
manusia merupakan persoalan penipuan dan penyesatan atau persoalan
pemahaman dan pemastian. Realitas tersebut merupakan asas filsafat Descartes
dan titik tolak bagi keyakinan filosofisrasionalisme.
Sedangkan Leibniz dalam pengetahuannya menggagas konsep fitrah
(natural,alamiah) dan menganggap ide-ide, serta prinsip-prinsip umum sebagai
kesiapan-kesiapan tersembunyi dalam jiwa yang tidak dirasakan. Ia membutuhkan
stimulus-stimulus melalui indera hanya agar dapat beralih pada perasaan. Pada
dasarnya,menurut aliran ini, rasionalisme sebenarnya tidak mengingkari kegunaan
indera, akantetapi indera hanyalah sebagai perangsang akal dan memberikan
laporan bahan-bahanuntuk dicerna oleh akal. Akal mengatur bahan yang diterima
dari indera, sehingga dapatterbentuk pengetahuan yang benar dan valid. Kalau
aliran Empirisme menggunakanmetode induksi, maka aliran Rasionalisme punya
kecondongan ke arah metode deduksi.Aliran ini lebih banyak menggunakan
logika dalam pengambilan keputusannya.

2. Empirisme

Secara etimologis, empirisme berasal dan kata Yunani yaitu


empeiria/empeiros yang berarti berpengalaman dalam, berkenalan dengan, dan
terampil untuk. BahasaLatinnya yaitu experiential (pengalaman). Sehingga secara
istilah, empirisme adalahdoktrin bahwa sumber seluruh pengetahuan harus dicari
dalam pengalaman atau pengalaman inderawi merupakan satu-satunya sumber
pengetahuan dan bukanakal/rasio. Dengan demikian, penganut epistemologi
empirisme mengembalikan pengetahuandengan semua bentuknya kepada
pengalaman inderawi. Dalam masa klasik, aliranempirisme dipelopori oleh
Aristoteles, sedangkan pada masa modern dipelopori olehF. Bacon, T. Hobbes,
John Locke, David Hume dan John Stuart Mill. Pengetahuaninderawi menurut
Aristoteles merupakan dasar dari semua pengetahuan. Tak ada ide-ide natural
yang mendahuluinya. Akan tetapi, ilmu hakiki dalam pandangannya adalahilmu
tentang konsep-konsep dan makna-makna universal yang mengungkapkan
hakikatdan esensi sesuatu.
Francis Bacon (1561-1626), seorang filsuf Inggris dilahirkan di London
dan belajardi Universitas Cambridge mendalami ilmu pengetahuan berpandangan
bahwa tidakmungkin manusia mengetahui berbagai hakikat tanpa perantara
indera. Kemudianmenurut Thomas Hobbes (1588-1678), pengalaman inderawi
merupakan permulaandari segala pengenalan. Hanya sesuatu yang dapat disentuh
oleh inderalah yangmerupakan kebenaran, sedangkan pengetahuan intelektual
(rasio) tidak lain hanyalahmerupakan penggabungan data inderawi belaka.
Menurut John Locke (1632-1704), semua pengetahuan berasal dari
pengalaman,akal ibarat kertas putih dan akan digambari oleh pengalaman tadi
sehingga lahirlah apayang disebut ide, sehingga pengetahuan terdiri atas
connection and agreement(disagreement) of our ideas. Dengan “ide” ini pasti
tidak dimaksud ide umum, atau bawaan yang juga disebut kategori, namun
gambaran mengenai data empiris.
Kalau Aristoteles, F. Bacon dan J. Locke mengakui adanya alam realitas
dengansegala hakikat yang ada padanya, berbeda dengan David Hume yang
mengingkariadanya substansi material sebagai akibat dan keterputusannya pada
indera saja, serta pengetahuan pengetahuan yang berubah secara alami.
Kemudian David Humemenegaskan bahwa pengalaman lebih memberi
keyakinan dibanding kesimpulanlogika/kemestian sebab akibat. Kausalitas tidak
bisa digunakan untuk menetapkan peristiwa yang akan datang berdasarkan
peristiwa-peristiwa yang terdahulu.Pengalamanlah yang memberikan informasi
yang langsung dan pasti terhadap objekyang diamati sesuai dengan waktu dan
tempat.
Selanjutnya J. Stuart Mill (1806-1873) mengemukakan bahwa
pengalaman inderamerupakan sumber pengetahuan yang paling benar, akal bukan
menjadi sumber pengetahuan, akan tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah
bahan-bahan yangdiperoleh dari pengalaman. Mill memilih menggunakan pola
pikir induksi, karenamenurutnya induksi sangat penting, karena jalan pikirannya
dari yang diketahui menujuke yang tidak diketahui.
Sebagai produk pemikiran, empirisme memiliki kelemahan-kelemahan.
Antaralain:
a. Indera terbatas. Contohnya; benda yang jauh akan kelihatan kecil padahal
benda itu besar, keterbatasan kemampuan indra dapat melaporkan obyek
tidak sebagaimanaadanya, sehingga akan menimbulkan satu kesimpulan
tentang pengetahuan yangsalah.
b. Indera menipu. Contohnya; pada orang yang sakit malaria, gula rasanya
pahit danudara panas dirasakan dingin. Hal ini akan menimbulkan
pengetahuan empiris yangsalah.
c. Obyek yang menipu. Contohnya; ilusi, fatamorgana yang sebenarnya
obyeknya adanamun indera tidak bisa menjangkaunya.
d. Kelemahan yang berasal dari indera dan obyek sekaligus. Contohnya; indera
(mata)tidak mampu melihat seekor kerbau secara keseluruhan dan kerbau
itu juga tidakdapat memperlihatkan badannya secara keseluruhan. Jika
manusia melihat daridekat, maka yang kelihatan kepala kerbau, dan kerbau
pada saat itu memang tidakmampu sekaligus memperlihatkan ekornya.

3. Kritisisme

Antara rasionalisme dan empirisme telah terdapat pertentangan yang


sangat jelas,yakni antara rasio dan pengalaman sebagai sumber kebenaran
pengetahuan. Manakahyang sebenarnya sebagai sumber pengetahuan itu? Karena
kedua aliran tersebut salingmempertahankan pendapatnya masing-masing, maka
untuk “mendamaikan” pertentangan kedua aliran tersebut, tampillah Immanuel
Kant sebagai seorang filsufJerman (1724-1804). Kant mengubah kebudayaan
dengan menggabungkan aliranrasionalisme dan empirisme, sehingga terbentuk
aliran yang dikenal dengan kritisisme.Kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir
oleh Immanuel Kant dengan memulai perjalanannya menyelidiki batas-batas
kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuanmanusia, sekaligus kelemahan
kemampuan indera.
Kant bertanya secara kritis, apakah syarat-syarat pengetahuan manusia
itu?.Bilaorang-orang mengetahui syarat-syarat pengetahuannya maka tidak akan
terjerumus kedalam kekacauan kebenaran. Isi utama dari Kritisisme adalah
gagasan Immanuel Kanttentang teori pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan
tersebut muncul karena terdapattiga pertanyaan yang mendasar, yakni: Pertama,
apa yang dapat saya ketahui?(pengetahuan); Kedua, apa yang harus saya lakukan?
(etika); Dan ketiga, apa yang boleh saya harapkan? (estetika). Sehingga dari tiga
pertanyaan mendasar tersebutmaka memunculkan tiga karya besar yang
menunjukkan kritisismenya, yakni Critiqueof Pure Reason (1781), Critique of
Practical Reason (1788) dan Critique of Judgment(1790).

D. Perbedaan Epistemologi Islam dan Barat

Epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat. Perbedaan


tersebut diantaranya dalam mendefinisikan ilmu. Dalam epistemologi Barat,
bahwa yang dapat diketahui adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi
secara indrawi yang hanya dibatasi pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris
sedangkan hal lain yang bersifat nonindrawi, nonfisik, dan metafisika tidak
termasuk dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah. Berbeda menurut
epistemologi Islam, ilmu diterapkan dengan sama validnya baik pada ilmu-ilmu
yang fisik-empiris maupun non-fisik atau metafisis. Dalam bukunya Ihsha’
Al-‘Ulum (Klasifikasi Ilmu), Al-Farabi  memasukkan ke dalam klasifikasi
ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris seperti fisika, botani, mineralogi, dan
astronomi melainkan juga ilmu-ilmu nonempiris seperti konsep-konsep mental
dan metafisika.[12]

Hal di atas berarti, dalam epistemologi Islam berbeda dengan epistemologi Barat
yang telah meragukan status ontologis untuk objek-objek metafisik. Ilmuwan-
ilmuwan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status ontologis dari
bukan hanya objek-objek fisik yang kasat mata, tetapi juga objek-objek metafisik
yang gaib. Walaupun objek-objek metafisik tidak bisa dilihat indra, tetapi diyakini
memiliki status ontologis yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan
lebih riil daripada objek-objek indra.

Selain itu, epistemologi Islam sangat berbeda dengan epistemologi Barat yang
hanya mengandalkan empirisme atau rasionalisme tetapi epistemologi Islam
mengakui sumber ilmu tiga sekaligus yaitu indra, akal, intuisi. Akal dalam
menjalankan kinerjanya dibutuhkan peran hati dan bimbingan wahyu agar apa
yang dilakukan dan dipikirkannya menimbulkan kemaslahatan baik bagi dirinya
sendiri maupun bagi orang lain dan bukan sebaliknya.

Kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam hukum-hukum ilmu atau konsep
teoritik tidak boleh jatuh di bawah kekuasaan hawa nafsu karena berdampak pada
rusaknya segala sesuatu. Sebagimana firman Allah:

ِ R‫ ِذ ْك ِر ِه ْم فَهُ ْم عَن ِذ ْك‬R ِ‫اهُم ب‬RRَ‫لْ َأتَ ْين‬RRَ‫ات َواَْألرْ ضُ َو َمن فِي ِه َّن ب‬
‫ر ِهم‬R ُ ‫ َما َو‬R ‫الس‬
َّ ‫ت‬ َ R‫ق َأ ْه‬
ِ ‫ َد‬R ‫وآ َءهُ ْم لَفَ َس‬R ُّ R‫ َع ْال َح‬R َ‫و اتَّب‬R
ِ Rَ‫َول‬
َ‫ْرضُون‬ ِ ‫ُّمع‬
“Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya
binasalah langit dan bumi dan apa-apa yang ada di dalamnya bahkan Kami
telah datangkan kepada mereka peringatan (Al-Qur’an) tetapi mereka berpaling
dari peringatan itu”. (QS. Al-Mu’minun [23]: 71).

Selain itu, diantara perbedaan epistemologi Barat dan Islam, menurut para filosof
Islam ialah para filosof Barat tidak memisahkan antara induksi dan eksperimen
sedangkan para filosof Muslim memisahkan dua perkara itu dan keduanya
memang jelas harus dipisahkan. Induksi (istiqra’) berada pada posisi prasangka
atau dugaan sedangkan eksperimen (ikhtibar, tajribah) berada pada posisi
keyakinan dan argumentatif. Ini berarti terdapat perbedaan antara perasaan biasa
(induksi) dengan praktik (eksperimen) dan praktik dalam hal ini merupakan
aktivitas rasio.[13]

Jika dalam perkembangannya, kajian epistemologi dalam literatur Barat dapat


membuka perspektif baru dalam kajian ilmu pengetahuan yang multi-dimensional,
kecenderungan epistemologi dalam pemikiran Islam lebih tajam ke
wilayah idealisme hati dan rasionalisme dengan juga mempedulikan masukan-
masukan yang diberikan oleh empirisisme.

Al-Quran mengatakan tentang alam sebagai obyek indrawi (empirisisme) untuk


kepentingan hidup manusia sebagai makhluk yang berpikir untuk memanfaatkan
potensi yang ada di alam secara bijaksana, sebagaimana firman Allah:

‫اح‬R
ِ Rَ‫يف ال ِّري‬ َ ْ‫ ِه اَْألر‬R ِ‫ق فََأحْ يَا ب‬
ْ ‫ا َوت‬RRَ‫ َد َموْ تِه‬R‫ض بَ ْع‬
ِ ‫ ِر‬R‫َص‬ ٍ ‫ار َو َمآَأن َز َل هللاُ ِمنَ ال َّس َمآ ِء ِمن ِّر ْز‬
ِ َ‫ف الَّ ْي ِل َوالنَّه‬ ْ ‫َو‬
ِ َ‫اختِال‬
َ‫ات لِّقَوْ ٍم يَ ْعقِلُون‬
ٌ َ‫َءاي‬
“Dan pada pergantian malam dan siang, dan apa-apa yang diturunkan Allah
dari langit berupa rezeki, lalu Dia menghidupkan dengannya bumi seusdah
matinya, dan pada perkisaran angin, menjadi tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi kaum yang berpikir”. (QS. Al-Jatsiyah: 5).
Adapun prinsip-prinsip dari keduanya dapat dibedakan dari beberapa
aspek yang mana dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Epistemologi Islam Epistemologi Barat


1. Didasarkan kepada kejian 1. Didasarkan kepada praduga-
metafisika praduga
2. Sumber kepada wahyu, akal sehat, 2. Sumber hanya kepada akal (rasio)
panca indra dan intuisi dan data/fakta empiris
3. Pendekatannya bersifat tawhidy 3. Pendekatannya bersifat
dikothomi
4. Objeknya fisik dan sekaligus 4. Objeknya fisik, observable &
metafisik penalaran
5. Ilmu syarat dengan nilai (value 5. Ilmu bebas nilai (free value)
full)
6. Validitas kebenaran konteks (data 6. Validitas kebenarannya hanya
&     fakta) diselaraskan dengan teks bertumpu kepada rasio-empiris
(wahyu)
7. Berorientasi dunia dan akherat 7. Berorientasi kepada dunia semata
E. Kesimpulan Dan Penutup

Epistemologi sebagai bagian dari filsafat mengalami tarik-ulur dari aneka


ragam pemikiran yang dipengaruhi latar belakang masing-masing. Hal ini wajar
sebagaimanaterjadi dalam ruang filsafat yang memang lahir dan berkembang
dalam horizon pemikiran;yang subjektif, universal, radikal, dan kritis.
Epistemologi yang juga disebut dengan Teori Ilmu menempati ruang yang
sangat urgen di dalam pengembangan kemajuan sebuah kebudayaan bangsa atau
peradaban. Setiap peradaban dibangun oleh epistemologinya masing-masing
dengan berdasarkan kepada pandangan hidup (worldview) dari peradaban tersebut.
Sebab, epistemologi berkaitan erat dengan worldview. Jadi, setiap peradaban
memiliki epistemologi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, tak
terkecuali antara  epistemologi Islam dan Barat. Yang tentunya juga secara
spesifik memiliki prinsip-prinsip yang berbeda pula.

Dari sini dapatlah dipahami akan perbedaan dari keduanya yang sangat
jelas sebagai konsekuensi dari perbedaan worldview masing-masing sebagai
elemen yang paling mendasar dari keduanya yaitu Islam dan Barat. Selain itu,
uraian singkat dalam makalah ini juga dapat diperoleh suatu pemahaman bahwa
substansi epistemologi tidak sebagaimana yang dinyatakan oleh para ilmuan
kontemporer yang bertumpu pada metode ilmiah, akan tetapi lebih dalam lagi
yaitu epistemological belief yang terakumulasi dalam pikiran setiap orang yang
kemudian menentukan corak dari epistemologinya masing-masing.

Anda mungkin juga menyukai