Anda di halaman 1dari 21

PARADIGMA BAYANI DALAM KAJIAN ILMU-ILMU KEISLAMAN KLASIK

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah: Pendekatan Ilmu-ilmu Keislaman
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Muslih, M.A

Disusun Oleh:

R.A. Elok Husna Irfaniya (2003038016)

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Paradigma dipahami sebagai kerangka berpikir dalam menjelaskan sudut
pandang suatu fakta yang melingkupi kehidupan manusia. Paradigma keilmuan Al-
Jabiri banyak berinteraksi dengan tradisi postmodern Barat. Terutama pemikiran-
pemikiran filosofis yang mencoba membongkar bangunan keilmuan (klasik) Islam
dengan pisau atau pendekatan analitis yang bisa dikatakan jarang digunakan oleh para
ilmuwan muslim lainnya.
Pemikiran Bayani lebih dikenal sebagai tradisi keilmuan yang berorientasi pada
otoritas teks (nash), secara langsung maupun tidak langsung. Namun, hal ini tidak
berarti bahwa akal atau rasio dapat dengan bebas menentukan makna dan tujuannya,
akan tetapi juga bergantung pada teks.
Di dunia Islam khususnya Ilmu-ilmu Keislaman klasik menjadi warisan (turâts)
peradaban yang ditransmisikan dan dikaji ulang secara intensif dan simultan oleh para
cendekiawan Muslim dari masa ke masa sehingga menciptakan tautan mata rantai
kebudayaan yang hidup (a living culture). Kajian Islam sesungguhnya merupakan
bidang kajian yang cukup lama. Ia telah ada bersama dengan adanya agama Islam.
Kajian Islam sebagai sebuah ilmu yang tersusun secara sistematis, ilmiah dan dibangun
sebagai sebuah ilmu yang mandiri baru muncul dalam beberapa dekade belakangan.
Sehingga munculah paradigma-paradigma keislaman klasik yang pada kali ini akan
dibahas mengenai paradigma-paradigma kajian keislaman klasik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian paradigm bayani dalam kajian imu-ilmu keislaman klasik?
2. Bagaimana sejarah bayani dalam kajian ilmu-ilmu keislaman klasik?
3. Bagaimana metode bayani dalam kajian ilmu-ilmu keislaman klasik?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Paradigma Bayani dalam Kajian Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

Paradigma secara etimologis berarti matriks, disiplin, model atau pola pikir,
pandangan dunia, konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, prosedur, dan tema
pemikiran. Sedangkan secara terminologis, ada banyak pengertian paradigma, antara
lain seperangkat asumsi, tersurat maupun tersirat, yang menjadi dasar pemikiran
ilmiah, model dasar atau kerangka pemahaman yang digunakan untuk mengatur suatu
pengamatan dan penalaran, dan seperangkat asumsi metafisik. ontologis,
epistemologis, teoretis, hukum, teknik aplikasi, dan sistem nilai yang diadopsi oleh
komunitas ilmiah sebagai kerangka konseptual untuk memahami dan menafsirkan
fenomena eksperimental dan realitas sosial dalam kerangka acuan yang sama,
sehingga mereka dapat berkomunikasi satu sama lain. 1
Istilah bayani dalam bahasa Arab berarti jelas, penjelasan (explanation).
Secara terminologis dapat diartikan dan mengungkapkan serta menjelaskan sesuatu,
yaitu menjelaskan makna suatu percakapan dengan menggunakan lafaz terbaik. Ini
juga dapat disebut sebagai upaya untuk mendapatkan ekspresi dari keraguan menjadi
kejelasan. Sebagai suatu sistem pengetahuan, bayani muncul pada awal periode
kodifikasi yang bercirikan budaya lisan dan sejarah ke budaya tulis dan nalar atau dari
proses bawah sadar menuju kesadaran, atau dari tidak terencana (tidak sistematis,
budaya pra-ilmiah) ke budaya dan pengetahuan ilmiah.2
Menurut al-Jabiri, gaya epistemologi bayani secara historis merupakan sistem
epistemologi yang paling awal muncul dalam pemikiran Arab. Secara leksikal-
etimologis, istilah bayani atau bayan mengandung berbagai makna, yaitu kontinuitas
(al-washl), pemisahan (al-fashl), jelas dan terang (al-zhuhur wa alwudhuh) dan
kemampuan untuk membuat terang dan jelas. Epistemologi Bayani muncul bukan
sebagai entitas budaya historis, tetapi memiliki akar sejarah yang panjang dalam
tradisi pemikiran Arab. Seperti diketahui, bangsa Arab sangat mengagungkan
bahasanya, apalagi setelah diyakini sebagai identitas budaya dan bahasa wahyu
Tuhan. Maka wajar dan wajar jika Jabiri menyebutkan bahwa determinan sejarah

1
Ichwansyah Tampubolon, Struktur Paradigmatik Ilmu-Ilmu Keislaman Klasik: Dampaknya Terhadap
Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku Keagamaan, MIQOT, (Vol. XXXVII, No.2, Juli-Desember 2013), hlm.274.
2
M. Abid al-Jabiri, Naqd al-„Aql al-„Arabi (2), Bunyah al-Aql al-Arabi, Dirasah Tahliliyyah li Nuzum
ats-Tsaqafi al-Arabi, (Beirut: al-Markaz as-Saqafial„ Arabiyyah, 1990) hlm.14

3
peradaban Islam awal adalah sinergi bahasa dan agama, yang menghasilkan
intelektual linguistik dan ilmu agama.
Para ulama Balagah mendefinisikan al-bayan sebagai ilmu yang dapat
mengetahui satu makna melalui beberapa cara atau metode seperti tasybih
(persamaan), majaz dan kinayah. Namun, dalam epistemologi Islam, bayani adalah
metode berpikir khas Arab yang menekankan otoritas teks secara langsung atau tidak
langsung, dan dibenarkan oleh penalaran linguistik yang digali melalui inferensi
(istidlal). Dengan demikian, epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh
para fuqaha (ahli fiqhi), mutakallimun (ahli agama) dan ushulliyun (ahli ushul alfiqh).
Dimana mereka menggunakan bayani untuk: Memahami atau menganalisis teks untuk
menemukan atau mendapatkan makna yang terkandung atau diinginkan dalam
pengucapan, dengan kata lain pendekatan ini digunakan untuk menghilangkan makna
zahir dari lafaz zahir juga. Istinbat} (Kajian) hukum hukum dari al-nusus aldiniyah
(al-Qur'an dan Hadits) (Soleh, 2017). Menurut al-Jabiri, gaya epistemologi bayani
secara historis merupakan sistem epistemologi yang paling awal muncul dalam
pemikiran Arab.
Al-Jabiri merangkum istilah bayani dalam kerangka bahasa aslinya yang
berfungsi sebagai pemisah dan pemisah, kejelasan dan penjelasan. Jika bayan
didefinisikan atas dasar pembedaan antara metode dan pemikiran dalam sistem
pengetahuan bayan, maka bayan sebagai 'metode' berfungsi untuk memisahkan dan
memisahkan, dan bayan dalam konteks 'pemikiran' berfungsi untuk kejelasan dan
penjelasan, demikian seterusnya. Kurang lebih al-Jabiri mengartikan istilah bayan jika
dilihat dari segi metode dan tingkat pemikirannya. 3
Pada periode selanjutnya muncul Imam al-Syatibi memperbarui epistemologi
bayani.Menurutnya bayani belum dapat memberikan pengetahuan yang qoth’i (pasti),
tapi baru derajat dzonni (dugaan) sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
rasional. Dalam bayani terdapat dua teori utama, yaitu istinbath dan qiyas. Keduanya
masih bersifat dzonni, padahal penetapan hukum harus bersifat qoth’i sehingga beliau
menawarkan tiga teori untuk memperbarui bayani. Yaitu (1) al-Istintaj, sama dengan
silogisme yaitu menarik kesimpulan berdasarkan dua premis yang mendahului,
berbeda dengan qiyas bayani yang menyandarkan furu’ pada ushul, yang dianggap

3
M. Abid al-Jabiri, Naqd al-„Aql al-„Arabi (2), Bunyah al-Aql al-Arabi, Dirasah Tahliliyyah li Nuzum
ats-Tsaqafi al-Arabi, (Beirut: al-Markaz as-Saqafial„ Arabiyyah, 1990) hlm.20.

4
tidak menghasilkan pengetahuan baru. Menurut al-Syathibi pengetahuan Bayani
harus dihasilkan melalui proses silogisme, karena semua dalilnya mengandung dua
premis (nadzoriyah atau premis minor yang berbasis pada indera, rasio, penelitian,
penalaran dan naqliyah atau premis mayor yang berbasis pada proses transmisi. (2)
al-Istiqra’, atau disebut juga tematic education merupakan penelitian terhadap
teks/nash yang se-tema kemudian diambil tema pokoknya. (3) Maqashid al-syar’i
merupakan diturunkannya syariat itu memiliki tujuan tertentu, yaitu ada tiga: (a)
tujuan primer (dharuriyah), (b) tujuan sekunder (hajiyah), (c) tujuan tersier
(tahsiniyah).4
Bayani dalam bahasa Arab berarti penjelasan (explanation). Makna asal kata
tersebut adalah mengungkapkan dan menjelaskan sesuatu, yaitu menjelaskan maksud
suatu pembicaraan dengan menggunakan lafadz (komunikatif) yang terbaik. Para ahli
ushul fiqh memberikan pemahaman bahwa bayan adalah upaya mengungkapkan
makna suatu percakapan (kalam) dan menjelaskan secara rinci hal-hal yang
tersembunyi dari percakapan tersebut kepada mukallaf. Ini berarti bahwa hal itu dapat
disebut sebagai upaya untuk memperjelas ekspresi keraguan.
M. Abed Al-Jabiri memaknai al-Bayan secara etimologis, dengan mengacu
pada kamus Lisan al-Arab karya Ibnu Mandzur, yang didalamnya terdapat bahan-
bahan bahasa Arab sejak awal masa tadwin, yang masih memiliki makna aslinya yang
belum tercampur dengan bahasa lain. makna, karena dari makna aslinya akan
diketahui watak dan situasi yang melingkupinya. Makna al-Bayan di sini mengandung
empat makna, yaitu al-fasl wa al-infishal dan al-dzuhur wa al-idzhar, atau jika harus
disusun secara hierarkis atas dasar pemisahan antara metode (manhaj) dan visi
(ru'yah) dalam epistemologi. Bayani, dapat dikatakan bahwa al-bayan sebagai metode
berarti al-fasl wa al-infishal, sedangkan al-bayan sebagai visi berarti al-dzuhur wa al-
idzhar.
Secara terminologi, kajian Bayani terbagi menjadi dua, yaitu: kaidah penafsiran
wacana (qawanin al-tafsir al-khithabi) dan syarat-syarat untuk menghasilkan wacana
(syurut intaj al-khithabi). Penetapan makna ilmiah bayan (-istilah) juga menandai
babak baru, yang tidak hanya dipahami sebagai penjelasan (al-wudhuh/al-idzhar),
tetapi lebih dari itu, sebagai epistemologi ilmiah yang "definitif". Meskipun sebenarnya

4
M. Abid al-Jabiri, Naqd al-„Aql al-„Arabi (2), Bunyah al-Aql al-Arabi, Dirasah Tahliliyyah li Nuzum
ats-Tsaqafi al-Arabi, (Beirut: al-Markaz as-Saqafial„ Arabiyyah, 1990) hlm.30.

5
kegiatan bayani ini sudah ada sejak masa awal Islam, namun hanya upaya menyebarkan
bayani secara tradisional. Karena itu bukan upaya ilmiah, dalam arti identifikasi ilmiah
dan meletakkan aturan untuk menafsirkan teks.
Secara etiomologis, term bayani mengandung beragam arti yaitu
kesinambungan ( al-waslu) , keterpilahan ( al-fashlu), jelas dn terang ( al-zhuhur wa
al-wudlhuh) dan kemampuan membuatkan terang dan genetik. Sebagai sebuah
epitesme, keterpilahan dan kejelasan tadi mewujud kedalam al-bayan “perpektif” dan
“metode” yang sangat menentukan pola pemikiran tidak hanya dalam lingkup “esstetik-
susastra” , melainkan juga dalam lingkup “logic-diskursif”. Dengan arti lain kata bayan
berubah menjadi sebuah terminologi yang disamping mencakup arti segala sesuatu
yang melengkapi tindakan memahami, 5
Menurut Amin Abdullah, bayani adalah model metodologi berpikir berbasis
teks. Teks-teks suci yang memiliki otoritas penuh untuk memberikan kebenaran.
Sedangkan rasio hanya berfungsi sebagai penjaga keamanan otoritas teks. Dalam Islam
hakikat kebenaran tentu saja segala sesuatu yang berasal dari Yang Maha Kuasa yaitu
apa yang dinyatakan dalam ayat-ayat-Nya dan hadits nabi-Nya, oleh karena itu segala
sesuatu yang bertentangan dengan keduanya tidak dapat dikatakan benar atau benar.6
Kemudian daripada itu, berbeda dengan pola pikir tekstual-bayân di bidang
Kalam dan Fikih, di bidang Filsafat, nalar rasional (logika) digunakan dalam membahas
dan menganalisis masalah yang dikajinya. Filsafat diposisikan sebagai alat
intelektualisme yang menanamkan kebiasaan dan melatih pikiran untuk bersikap kritis-
analitis dan mampu melahirkan gagasan-gagasan segar yang sangat diperlukan bagi
perkembangan filsafat itu sendiri maupun bagi pengembangan disiplin ilmu lainnya,
termasuk persoalan-persoalan. berhubungan dengan filsafat. religius dan teologis.
Filsafat memfokuskan pembahasannya pada premis-premis logis di balik teks. Filsafat
lebih menitikberatkan pada pencarian makna, substansi, dan esensi pesan dalam teks
melalui penalaran logis. 7
Filsafat lebih menitikberatkan pada penekanan pembahasan pada premis-premis
logis di balik teks. Filsafat lebih menitikberatkan pada pencarian makna, substansi, dan

5
Mahmud Arif, Pertautan Epistemologi Bayani dan Pendidikan Islam , Al-Jami’ah, Vol.40.No.1
Januari Juni 2002), hlm.13.
6
Fatimah Rahma Rangkuti, Implementasi Metode Tajribi, Burhani, Bayani, dan Irfani dalam Studi
Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman, (Vol.. 1, No.2, Januari-Juni 2019), hlm.47.
7 Ichwansyah Tampubolon, Struktur Paradigmatik Ilmu-ilmu Keislaman Klasik, MIQOT, . (Vol.
XXXVII No. 2 Juli-Desember 2013), hlm.279.

6
esensi pesan dalam teks melalui penalaran logis. Lebih lanjut, tasawuf lebih
mengedepankan intuisi/kemampuan rasa (qalb). Di satu sisi, muncul sebagai reaksi atas
penyatuan pola pikir Kalam dan Fiqh yang dianggap terlalu kering dan formal. Di sisi
lain, muncul sebagai upaya untuk mengkritisi pemikiran filosofis yang dianggap terlalu
mementingkan akal dan mengabaikan hati (qalb) dan rasa (dzauq).8
Bayani merupakan metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas
teks (nash), secara langsung maupun tidak langsung, dan dibenarkan oleh penalaran
linguistik yang digali dengan inferensi. langsung berarti memahami teks sebagai
pengetahuan yang sudah jadi dan langsung menerapkannya tanpa perlu pemikiran:
secara tidak langsung memahami teks mentah tanpa perlu interpretasi dan penalaran.
Namun demikian, bukan berarti nalar atau nalar bebas menentukan makna atau maksud,
tetapi tetap harus bersandar pada teks. dalam bayani, rasio atau akal tidak memiliki
kemampuan untuk menyampaikan pengetahuan tanpa mengandalkan teks.15 Sasaran
metode bayani ini adalah aspek eksoteris (syariat). Dengan demikian, sumber ilmu
Bayani adalah teks atau nash (al-Quran dan Hadits).9
Sedangkan Islam klasik berkaitan dengan periode Islam yang berkembang
setelah Nabi wafat hingga sekitar abad ke-13 Masehi. Periodisasi Islam sering mengacu
pada periodisasi yang disusun oleh Harun Nasution. Menurutnya, periode klasik
dihitung sejak wafatnya Nabi hingga akhir tahun 1250 M, yaitu antara 650-1250 M.
Periode selanjutnya disebut periode tengah, yaitu dari tahun 1250-1800 Masehi. Dalam
pandangan Saleh Putuhena, era klasik Islam terjadi antara abad VII sampai abad XIII
Masehi. Masa ini dijuluki sebagai masa keemasan Islam (masa kejayaan Islam). 10
B. Sejarah Paradigma Bayani dalam Kajian Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

Dalam khazanah filsafat Islam dikenal tiga metodologi pemikiran, yaitu bayani,
irfani dan burhani. Bayani adalah model pemikiran metodologis berbasis teks. Irfani
merupakan model metrologi yang didasarkan pada pendekatan dan pengalaman
langsung terhadap realitas spiritual keagamaan. Burhani adalah model pemikiran

8
M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm.
142-143.
9
Muhammad `Abed Al-Jabiri, Bunyah al`Aql al-Arabi (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi alArabi, 1991),
hlm. 38.
10
Ibrahim, Filsafat Islam Klasik Dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Modern Di Eropa, (Jurnal
Aqidah-Ta Vol. III No. 1 Thn. 2017), hlm. 15

7
metodologis yang tidak didasarkan pada teks atau pengalaman, tetapi atas dasar
koherensi logis. 11
Sejarah peradaban dan pemikiran Islam setelah kodifikasi (al-asr at-tad-win)
sejak abad 2/3 H. Dapat digolongkan menjadi dua wilayah, yaitu wilayah timur (al-
Mayriq) meliputi Persia, Mesir, Suriah dan beberapa wilayah lainnya. . Di wilayah
ini, pemikiran Islam memiliki corak, atau corak dan karakter khusus yang sejalan
dengan para pemikir (mufakkir) yang lahir di sana. Dalam bidang filsafat, kita
mengenal Ibnu Sina dan beberapa tokoh dalam bidang tertentu seperti Al-Ghazali, Al-
Asy'ari, dan As-Syafi'i. Wilayah Barat (al-magrib), termasuk Maroo dan Andalusia
(Spanyol) dengan segudang prestasi keilmuannya, telah banyak memberikan
kontribusi bagi perkembangan intelektual Islam. Dari sini kita mengenal para pemikir
seperti Ibnu Hazm dan Ibnu Rusyd dalam bidang hukum dan filsafat, Ibnu Khaldun
dikenal sebagai bapak sosiologi Islam dan tokoh-tokoh lainnya.
Melihat kemajuan ilmu pengetahuan, nampaknya tidak akan sampai ke bangsa
yang memiliki tradisi keilmuan. Barat sendiri, maju dalam ilmu pengetahuan dan
memberikan banyak kontribusi bagi peradaban dunia karena memiliki semangat
ilmiah. Para filosof muslim telah banyak berkontribusi untuk mencapai kemajuan ilmu
pengetahuan yang sangat cemerlang dan memberikan kontribusi yang sangat berarti
bagi peradaban dunia. Hal ini dikarenakan bangunan tradisi keilmuan dibangun
dengan karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu perlu dilakukan ijtihad untuk
membangun tradisi keilmuan tertentu.
Dengan menggunakan pendekatan historis-filosofis, budaya dan tradisi
pemikiran Islam dapat diamati dari terjadinya perubahan, pergeseran, dan kristalisasi
struktur tipologisnya akibat pengaruh dinamika konteks sejarah yang melingkupinya.
Struktur tipologi yang bersaing adalah bayani, irfani, dan burhan dimana epistemologi
bayani pertama kali menandai konstruksi intelektual Islam dengan ulama bayani dan
menghasilkan produk intelektual ulama ulum an-naqliyyah atau yang sering disebut
ilmu istidlali, karena sebagai suatu proses atau produk, Bayani berasal dari dan
berakhir di teks.12

11
Wira Hadi Kusuma, Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding, Syi’ar (Vol. 18 No. 1 Januari-Juni 2018), hlm. 2
12
Mahfud Junaedi, “Pengembangan Paradigma Keilmuan Perspektif Epistimologi Islam”, (Jakarta:
Kencana, 2019), hlm.198.

8
Kegiatan Bayani sudah dimulai sejak munculnya pengaruh Islam tetapi belum
merupakan kajian ilmiah seperti identifikasi ilmiah dan peletakan aturan untuk
menafsirkan teks. Tahap selanjutnya adalah munculnya upaya-upaya untuk
meletakkan kaidah-kaidah untuk memaknai wacana bayani. Namun, upaya ini
terbatas pada peningkatan karakteristik ekspresi bayani dalam Al-Qur'an. Sedangkan
dalam bahasa Arab, bayani terbatas pada tinjauan bahasa dan tata bahasa saja. Al-
Shaf'i berhasil membakukan cara berpikir tentang hubungan antara penjara dan makna
serta hubungan antara bahasa dan teks Al-Qur'an. Ia juga berhasil merumuskan
kaidah-kaidah bahasa Arab sebagai acuan untuk menafsirkan Al-Qur'an. Ia
menjadikan Al-Qur'an, hadits dan ijma' serta qiyas sebagai sumber nalar yang sahih
untuk menjawab persoalan-persoalan di masyarakat. Kemudian al-jahiz mencoba
mengembangkan bayani yang tidak sebatas pemahaman seperti yang dilakukan
Syafi'i, tetapi mencoba membuat pendengar atau pembaca memahami wacana
tersebut.13
Perkembangan makna bayani dari makna tradisional menjadi makanan baru,
yaitu sebagai epistemologi ilmiah sejalan dengan perkembangan tradisi Arab-Islam.
Dalam hal ini, dari budaya lisan dan sejarah ke budaya dan penalaran tertulis atau,
menurut Jabiri, dari proses yang tidak disadari atau tidak direncanakan (al-La'i-) ke
keadaan sadar (al-Wa'i), atau dengan kata lain dari budaya umum ke budaya ilmiah
(akademik).14
Proses peletakan kaidah tafsir wacana dalam bentuk bakunya dan tidak hanya
pada aspek kebahasaannya, pertama kali dilakukan oleh al-Syafi'i (w.204 H.) yang
kemudian dianggap sebagai landasan bagi kaidah penafsiran wacana bayani. Al-Jabiri
menempatkan tokoh ini sebagai perumus nalar Islam atau lebih tepatnya nalar Arab-
Islam. Karena di tangannyalah hukum-hukum bahasa Arab dijadikan sebagai acuan
untuk menafsirkan teks-teks suci, khususnya hukum qiyas, dan dijadikan sebagai
sumber nalar yang sahih untuk memaknai persoalan-persoalan keagamaan dan sosial.
Jadi dalam konteks ini yang menjadi acuan utama adalah teks-teks atau teks-teks suci.
Al-Syafi'I menempatkan al-ushul al-bayaniyyah sebagai faktor penting dalam kaidah
tafsir wacana. Jadi berpikir atau nalar, menurutnya, adalah berpikir dari segi teks.

13
Fatimah Rahma Rangkuti, Implementasi Metode Tajribi, Burhani, Bayani, dan Irfani dalam Studi
Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman,……………. Hlm..48.
14
Mohammad Muslih, “Filsafat Ilmu (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu
Pengetahuan)”, (Yogyakarta: LESFI, 2016), hlm.198.

9
Imam Syafi’i merupakan salah satu pioneer utama ulama al-bayan yang
meriorientari epitisme bayani sebagai mana terformulasikan dalam pemikiran ushul
fikihnya. Dengan pemikiran fundamentalnya tentang empat prinsip dasar: al-qur’an, al-
sunnah, ijma’, qiyas, ia telah merumuskan kerangka berfikir yang menjadi basis tentang
epistimologi bayani. Dari Al-Syafi’i (w.204 H.) kemudian kita mengenal hirarki bayan,
khususnya berkaitan dengan bayan terhadap al- Qur’an dalam lima tingkatan yaitu:
1) Bayan yang tidak butuh penjelasan lanjut berkenaan dengan sesuatu yang telah
dijelaskan Tuhan dalam al-Qur’an sebagai ketentuan bagi makhlukNya.
2) Bayan yang beberapa bagiannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
3) Bayan yang keseluruhannya masih global sehingga butuh penjelasan sunnah.
4) Bayan sunnah sebagai uraian atas sesuatu yang tidak terdapat dalam al Qur’an.
5) Bayan Ijtihad yang dilakukan dengan Qiyas atas sesuatu yang tidak terdapat
dalam al Qur’an maupun sunnah. Dari lima derajat bayan tersebut, Syafi’I
kemudian menyatakan bahwa yang pokok ada tiga yaitu al Qur’an, sunnah dan
qiyas, kemudian ditambah ijma. 15
Upaya yang dilakukan oleh al-Syafi’i, kemudian mendapat tanggapan dari al-
Jahidz (255. H). Menurut al-Jahidz, usaha al-Syafi’i baru pada tingkat memahami teks,
belum berorientasi pada bagaimana cara membuat orang paham. Al-Bayan menurutnya
adalah sebuah usaha membuat pendengar paham akan wacana atau bahkan sebagai
usaha memenangkan sebuah perdebatan. Dia melihat al-bayan dari sisi yang lain,
sehingga unsur pendengar harus dilibatkan, bahkan sebagai tujuan. Dalam hal ini al-
Jahidz memberikan syarat yakni harus ada keharmonisan antara lafadz dan makna. Bagi
al-Jahidz, untuk mendapatkan makna yang tepat perlu ditetapkan syarat-syarat di dalam
pengambilan kesimpulan, yaitu: 1) bayan dengan mensyaratkan kefasihan ucapan
sebagai penentu makna; 2) bayan dengan seleksi huruf dan lafadz; 3) bayan dengan
makna terbuka. Dalam hal ini makna bisa diungkap dengan salah satu dari lima bentuk
penjelas, yaitu lafadz, isyarah, tulisan, keyakinan, dan keadaan/nishbah; dan 4) bayan
dengan syarat keindahan.
Perkembangan selanjutnya adalah Ibnu Wahb. Ia menambahkan pemahaman
tentang bayan dengan merumuskannya dari segi tingkat kepastian atau
pengangkatannya. Dalam hal ini Ibnu Wahab menyebutkan bahwa ada empat tingkatan,

15
Rasyid Ridlo, Penerapan Epistemologi Bayani dan Burhani sebagai Metode Pembelajaran di
Madrasah Ibtidaiyah, Jurnal Pendidikan Agama Islam Pascasarjana STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh
(Volume 01 Nomor 1 Tahun 2020), hlm 29.

10
yaitu: 1) penjelasan tentang sesuatu dengan menunjukkan bentuk materi dari
pernyataan (bayan bi al-I'tibar). 2) penjelasan tentang sesuatu dengan pemahaman
batin (bayan bi al-qalb). 3) penjelasan tentang sesuatu dengan editorial lisan (bayan bi
al-'ibarat); 4) penjelasan tentang sesuatu dengan editorial tertulis (bayan bi al-kitab).16
Berdasarkan analisis sosio-historis perkembangan nalar Arab, sebagaimana
disebutkan di atas, al-Jabiri menggunakan istilah bayan sebagai nama salah satu
'struktur pemikiran' (episteme) yang menurut rekonstruksinya mendominasi bahasa
Arab- Gerakan budaya Islam yang berlandaskan pada keyakinan agama (Islam). ) dan
dibangun di atas teks (nash), ijma' dan ijtihad. Representasi 'struktur pemikiran' ini
ditemukan dalam disiplin fiqh (hukum), kalam (teologi), nahwu (tata bahasa), dan
balaghah. Pengumpulan berbagai disiplin ilmu dalam satu kerangka epistemologi
didasarkan pada kesamaan karakter masing-masing disiplin ilmu, baik dari segi
metodologi dan pendekatan maupun lainnya dalam menggali ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan epistemologi irfani yang menjadikan kashfi sebagai satu-satunya cara
memperoleh ilmu dan berorientasi pada keesaan Tuhan, dan ilmu burhani yang
bertumpu pada kekuatan pengetahuan kodrat manusia berupa indera, pengalaman dan
kekuatan rasional, tanpa yang lain, dalam mencari dan memperoleh ilmu. , maka ilmu
bayani ini menjadikan teks sebagai acuan utama dengan tujuan membangun konsepsi
alam semesta untuk memperkuat keyakinan agama.17
C. Metode Paradigma Bayani dalam Kajian Ilmu-ilmu Keislaman Klasik

Bayani merupakan metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada


otoritas teks (nash), secara langsung maupun tidak langsung, dan dibenarkan oleh
penalaran linguistik yang digali dengan inferensi. langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan yang sudah jadi dan langsung menerapkannya tanpa perlu
pemikiran: secara tidak langsung memahami teks mentah tanpa perlu interpretasi dan
penalaran. Namun demikian, bukan berarti nalar atau nalar bebas menentukan makna
atau maksud, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Dalam bayani, akal atau nalar
tidak memiliki kemampuan untuk memberikan pengetahuan tanpa mengandalkan
teks.

16
Mohammad Muslih, “Filsafat Ilmu (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan)”, ………………hlm.202
17
Mohammad Muslih, “Filsafat Ilmu (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan)”, …………hlm.202.

11
Sasaran metode bayani ini adalah aspek eksoteris (syariat). Dengan demikian,
sumber ilmu Bayani adalah teks atau nash (al-Quran dan Hadits). Oleh karena itu,
menurut al-Jabiri dalam epistemologi Bayani, ia menaruh perhatian besar pada
transmisi teks dari generasi ke generasi. Sebagai sumber pengetahuan, benar atau
tidaknya transmisi teks menentukan diambil atau tidaknya ketentuan hukum tersebut.
Hal ini dapat ditemukan terutama pada masa tadwin hadits, para ilmuwan begitu ketat
dalam memilih teks yang dapat diterima. Misalnya Bukari, salah satu syarat
diterimanya teks hadis adalah harus ada informasi positif tentang perawi yang
menjelaskan bahwa mereka saling bertemu muka dan siswa belajar langsung dari
guru. Selain itu juga ditemukan beberapa kriteria perawi yang dapat diterima antara
lain harus adil, takwa, akal sehat, kuat hafalan dan lain-lain.
Berdasarkan fakta bahwa bayani terkait dengan teks dan hubungannya dengan
"kenyataan", masalah utama di dalamnya terkait dengan makna lafaz dan 'usul-furu'.
Menurut al-Jabiri, persoalan lafaz-makna muncul tiga persoalan, yaitu: Pertama,
makna sebuah kata, berdasarkan konteksnya atau pada makna aslinya (tauqifi).
Pemberian makna terhadap suatu makna muncul sebagai akibat dari perdebatan antara
para ahli Mu'tazilah dengan para ahli Sunnah. Bagi kaum Mu`tazilah makna sebuah
kata harus ditafsirkan sesuai konteks dan istilahnya, sedangkan bagi para ahli Sunnah
makna sebuah kata harus sesuai dengan makna kata aslinya. Oleh karena itu, bagi
sunnah, kata-kata dalam sebuah teks harus dipertahankan apa adanya, karena
perubahan redaksional teks berarti perubahan maknanya. Kedua, analogi bahasa, hal
ini diperbolehkan, tetapi hanya pada sisi logika bahasa, bukan pada pengucapan atau
editorial. Sebab, setiap bahasa memiliki istilahnya masing-masing dan memiliki
kedalaman yang berbeda-beda. Seperti kata nabiz (gandum yang diperas) dengan
khamr (anggur yang diperas). Ketiga, pengertian asma` ash-syar`iyyah. Dalam
maknanya harus dimaknai sesuai dengan budaya Arab, tidak bisa didekati dengan
budaya dan bahasa lain. Karena Alquran diturunkan dalam tradisi dan bahasa Arab.
Adapun cara memperoleh ilmu dari teks, metode Bayani menempuh dua cara.
Pertama, berpegang pada lafaz (redaksi) teks, dengan menggunakan kaidah-kaidah
Arab, seperti nahwu dan sharf sebagai alat analisis. Kedua, berpegang pada makna
teks dengan menggunakan logika, penalaran atau rasio sebagai alat analisis. Dalam
kajian ushl al-fiqh, qiyas diartikan sebagai pemberian keputusan hukum atas suatu

12
masalah berdasarkan masalah lain yang memiliki kepastian hukum dalam teks, karena
kesamaan illat.18
Menurut Jabiri, metode qiyas sebagai cara menimba ilmu dalam epistemologi
bayani digunakan dalam tiga aspek. Pertama, qiyas dalam kaitannya dengan status dan
derajat hukum yang ada baik asl maupun furû`. Bagian ini mencakup tiga hal: (1)
qiyâs jal, dimana far` memiliki masalah hukum yang kuat dibandingkan dengan asl,
(2) qiyâs fî ma`na al-nash, dimana asl dan far` memiliki derajat hukum yang sama,
(3) qiyâs al-khafi, dimana illat asl tidak diketahui secara jelas dan hanya menurut
perkiraan mujtahid. Contoh qiyas jal seperti hukum memukul orang tua (jauh`). Tidak
ada hukum tentang masalah ini dalam nash, sementara ada larangan mengatakan "Ah"
(ashl). Perbuatan memukul lebih berat hukumnya daripada mengatakan “ah”.
Ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam melakukan qiyas: (1) adanya al-
ashl, yaitu kitab suci yang memberi hukum dan dijadikan ukuran, (2) al-far`, sesuatu
yang tidak ada hukumnya di dalam qiyas. teks, (3) hukm al-ashl, ketentuan hukum
yang diberikan oleh ashl, (4) illat, syarat-syarat tertentu yang dijadikan dasar untuk
menentukan hukum asl. Contoh qiyas adalah tentang hukum meminum anggur dari
kurma. Arak dari sari kurma disebut far` (cabang) karena tidak ada ketentuan hukum
dalam nash, dan itu akan menjadi qiyased di khamer. Khamer itu ashl (pokok) karena
ada dalam nash (nash) dan hukumnya haram, berperang (illah) karena memabukkan.
Akibatnya, arak haram karena ada persamaan antara arak dan khamer, yang keduanya
memabukkan. 19
Kedua, berkaitan dengan illat di asl dan jauh`. Bagian ini mencakup dua hal:
(1) qiyâs al-illat, yaitu menentukan illat asl yang ada sampai jauh`, (2) qiyâs al-
dilâlah, yaitu menentukan petunjuk (dilâlah) yang ada di dhulu sampai jauh`, bukan
illat. Ketiga, qiyas berkaitan dengan potensi atau kecenderungan untuk menyatukan
antara asl dan far` yang menurut al-Ghazali dibagi menjadi empat tingkatan: (1)
perubahan hukum baru, (2) keselarasan, (3) kesamaan (shibh), (4 ) jarak (keras).
Adapun cara kedua, penggunaan logika, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara
lain: Pertama, berpegang teguh pada tujuan utama (al-maqashid ad-duryriyyah)
turunnya nash yang termasuk darurat al-khamsah. yang bertujuan untuk menjaga

18
Wira Hadikusuma, Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding, Syi’ar (Vol. 18 No. 1 Januari-Juni 2018), hlm 6.
19
Wira Hadikusuma, Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding, Syi’ar (Vol. 18 No. 1 Januari-Juni 2018), hlm 6.

13
keselamatan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta benda. Di sinilah letak penalaran
rasional. Kedua, tetap berpegang pada teks illat. Untuk mengetahui atau mengetahui
keberadaan teks illat dapat digunakan atau memerlukan penalaran. yang disebut
masalik al-illah. Biasanya ada tiga cara illat yang populer, yaitu: (1) nash; (2) ijma`;
(3) as-sibru wa at-taqsim dengan cara merangkum sifat-sifat yang baik untuk
dijadikan illat pada asalnya (nash), kemudian illat tersebut dikembalikan kepada sifat-
sifat tersebut.
Konsep dasar dari sistem bayani ini adalah menggabungkan metode fikih
yang dikembangkan oleh Syafi`i, dengan metode retorika al-Jahiz. Epistemologi
bayani ini didukung oleh pola pikir fiqh dan kalam. Epistemologi Bayani bukan tanpa
kelemahan dalam perkembangan studi Islam, menurut Amin Abdullah, hal ini akan
sangat terlihat jika tradisi pemikiran tekstual keagamaan ini harus berhadapan dengan
teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat, budaya, bangsa, dan umat
beragama lain..20
Kerangka qiyas digunakan untuk mencari kejelasan hukum dari contoh-contoh
serupa yang ditemukan dalam Al-Qur'an atau hadits Nabi. Asy-Syafi'i kemudian
menyarankan bahwa langkah-langkah qiyas harus didasarkan pada dua hal: pertama,
jika Allah dan Rasul-Nya telah melarang atau membenarkan sesuatu yang tertulis,
karena suatu alasan maka muncul masalah atau kasus yang tidak ditemukan dalam Al-
Qur'an. atau hadits, maka dapat diberikan hukum keharaman atau kehalalannya
berdasarkan pada hakikatnya sama dengan yang telah ditentukan status hukumnya
dalam Al-Qur'an dan hadits sebelumnya. Kedua, jika ada dua kasus yang hampir
identik, maka analogi tersebut harus didasarkan pada kemiripan yang paling lengkap,
terutama dari sudut pandang lahiriah.
Pola pikir yang dibangun dalam episteme Bayani berupa asal dan cabang, serta
logika qiyas juga mempengaruhi pemikiran Abu Hasan al-Asy'ari sebagai imam
mutakallim. Menurut Ibnu Khaldun, Asy'ari mengambil posisi tengah dengan
berbagai cara, ia menolak antropomorfisme (tashbih), kemudian menetapkan empat
sifat Allah yaitu ma‟nawiyyah, dan pendengaran (sam„un), penglihatan dan kalam

20
Burhan (Pengantar Penerjemah), dalam Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam: Wacana
Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003), hlm.13.

14
Allah. Penetapan tersebut dilakukan dengan kombinasi naql dan “aql, yaitu
pembuktian berdasarkan al-Qur’an-sunnah dan logika qiyas. 21
Dalam metode penelitian untuk mencari ilmu pengetahuan, dengan berusaha
semaksimal mungkin untuk membaca, memahami, mempelajari dan mengkaji
penjelasan nash-nash al-Qur'an dan Sunnah untuk menangkap pesan-pesan yang
terkandung di dalamnya. Dengan demikian, metode bayani ini sangat diperlukan
untuk memahami pesan-pesan yang terkandung dalam wahyu, baik yang dibacakan
dari al-Qur'an maupun yang tidak dibacakan oleh hadits. Selain itu, alasan lain
perlunya metode bayani adalah karena nash-nash atau yang sering disebut dengan
nash-nash al-Qur'an memiliki aspek eksternal dan spiritual atau simbolik yang
masing-masing mengandung pesan-pesan yang harus diungkapkan dengan baik dan
benar. 22
Metode bayani juga merupakan metode yang menggunakan teks dalam
memperoleh ilmu pengetahuan. Metode ini sangat mengandalkan teks dalam mencari
kebenaran. Apa pun fenomena yang terjadi dalam realitas dunia akan dicari bimbingannya
dalm teks. Dalam konteks pemikiran Islam, metode bayani adalah metode tafsir atau
takwil yang diterapkan oleh para mufasir dalam menggali ilmu dari Alquran dan hadis.
Dengan sedikit perbedaan, dalam pandangan al-Jabiry, corak epistemology bayani
didukung oleh pola pikir fikih dan kalam.23
Dalam epistemologi Islam, tradisi menggali makna teks atau apa yang disebut
dengan tafsir merupakan salah satu metode ilmiah yang diakui sebagai sumber ilmu.
Melalui metode tafsir ini sang mufasir menggali makna yang tersembunyi di balik teks
Tuhan yang sesuai dengan kecenderungan sang mufasir. Itulah sebabnya dalam kitab-
kitab tafsir ditemukan informasi yang beragam tentang dasar-dasar ilmu. Seperti
pembahasan mufasir tentang dasar-dasar religious science, natural science, social
science dan humaniora science.24
Selain interaksi dengan teks wahyu, dari aspek ilmu-ilmu keislaman, ditemukan
juga metode ilmiah -dalam konteks berinteraksi dengan teks- yang lain yang patut
diketahui untuk diimplementasikan oleh ilmuwan Muslim dalam aktivitasnya ketika

21
Muhammadun, Kritik Nalar Al-Jabiri ; Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun Islamic Studies
Integrasi-Interkoneksi, (Volume 1 Nomor 2, September 2019) hlm. 137.
22
Duski Ibrahim, Metodologi dalam kajian Islam, Jurnal Intizar,(Vol.20. No.2, 2014) , hlm.255-256.
23
M. Amin Abdullah, “Islamic Studies di perguruan tinggi: Pendekatan integratif-interkonektif”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 202.
24
Charles Rangkuti, Implementasi Metode Bayani, Burhani, Tajribi, dan ‘Irfani dalam Studi Filsafat
Pendidikan Islam, Jurnal WARAQAT, (Vol. 1, No.2, Juli-Desember, 2016), hlm. 3.

15
menggeluti ilmu sesuai bidangnya masing-masing. Misalnya, ilmu ushul al-Fiqh, takhrij
al-Hadis dan al-Jarh waat-Ta’dil. Dengan ilmu ushul al-Fiqh seorang pakar hukum Islam
dapat memperoleh pedoman dalam mengeluarkan hukum Islam, dan dengan ilmu takhrij
al-Hadis seorang pakar Islam mendapat bimbingan ketika mengeluarkan statemen tentang
ilmu-ilmu keislaman
Di sisi lain, yang membidangi rumpun ilmu lain selain agama juga diharuskan
untuk mengetahui dan berinteraksi dengan teks dalam Islam. Karena dengan interaksi para
ilmuwan Muslim terhadap teks maka ilmu mereka akan tetap terbimbing dan terarah
dalam bingkai ajaran Islam. Metode nalar bayani ini dapat dilacak akar perintahnya dalam
Alquran.
Dalam perkembangannya, keragaman pola kolaborasi sistem dan pola pikir
dalam tradisi keilmuan Islam klasik pada gilirannya berdampak terhadap terbentuknya
institusiinstitusi keagamaan yang saling bergesekan atau berhadap-hadapan antara satu
dengan yang lain. Bahkan, secara hegemonik antarpenganut epistemologi masing-masing
tidak jarang saling mengkafirkan, saling memurtadkan, dan saling mensekulerkan.
Fenomena tersebut dapat diperhatikan dalam sejarah pemikiran Islam klasik yang tumbuh
dan berkembang tergantung pada konteks dan cuaca pergumulan sosial-politik yang
sedang dihadapi oleh umat Islam pada suatu era dan wilayah.
Pola pikir tekstual-bayani lebih dominan secara politis dan membentuk
pemikiran keislaman yang hegomonik. Sebagi akibat pola pemikiran keagamaan
Islam model bayani menjadi kaku dan rigid. Otoritas teks dan otoritas salaf yang
dibakukan dalam kaidah-kaidah metodologi usul fiqih klasik lebih diunggulkan dari
sumber otoritas keilmuwan yang lain seperti alam (kawniyyah), akal (aqliyyah) dan
intuisi (wijdaniyyah). Dominasi pola pikir tekstual-ijtihadiyyah menjadikan sistem
epistemologi keagamaan Islam kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang
bersifat konstektual-bahthiyyah. Kelemahan yang paling mencolok dari tradisi nalar
epistemologi bayani atau tradisi berfikir tekstual-keagamaan adalah ketika ia harus
berhadapan dengan teks-teks keagamaan yang dimiliki oleh komunitas, kultur, bangsa
atau masyarakat yang beragama lain. Dalam berhadapan dengan komunitas lain
agama, corak argumen berfikir keagamaan model tekstual-bayani biasanya
mengambil sikap mental yang bersifat dogmatik, defensif, apologis dan polemis,
dengan semboyan kurang lebih semakna dengan “right or wrong my country”. Itulah
jenis pengetahuan agama keagamaan yang biasa disebut-disebut sebagai al-ilm

16
altawqifi, yang dibedakan dari alilm al-hudhuri dan al-ilm al-husuli dalam tradisi
pemikiran Islam klasik. 25
Secara teoretis, pendekatan tekstual-bayani cenderung menggiring seseorang
kepada pola pikir keagamaan yang bersifat absolut, yaitu klaim kebenaran terhadap
pemikirannya sendiri secara mutlak. Model pemikiran ini selalu mengambil jarak sejauh
mungkin dari campur tangan dan intervensi orang lain. Pola pikir model ini sangat kaku
dan tidak mengenal kompromi. Model pemikiran ini mudah terjebak dalam pensakralan
pemikiran keagamaan (taqdisal-afkar al-dini). Pola pikir model ini melupakan dimensi
ruang dan waktu kesejarahan (tarikhiyyat) dari pemikiran keagamaan.
Dalam skala yang lebih luas, khususnya ketika berhadapan dengan perubahan
dan perkembangan zaman modern, pola pikir deduktif-tekstual-skriptual-bayânî
sebagaimana yang biasanya mewarnai pola pikir kalam dan Fikih akan mengalami
kesulitan yang luar biasa. Dominasi pola pikir ini menjadikan sistem epistemologi ilmu-
ilmu keislaman klasik kurang begitu peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat
kontekstual, aktual, dan faktual. Kalau pun dipaksakan, sudut pandangnya kurang tajam
dalam melihat dan mencermati fenomena alam, budaya, dan sosial kemasyarakatan yang
selalu berubah dan berkembang dengan sangat cepat dan massif. Oleh karena itu,
pengembangan metodologi ilmu-ilmu keislaman klasik sangat dimungkinkan dan harus
dilakukan agar tidak mengalami penyempitan horizon cara pandang terhadap realitas
keberagamaan manusia di dunia kekinian yang semakin kompleks dan global.
Metode bayani digunakan dan diterapkan oleh para ulama (fuqaha,
mutakallimun dan ushuliyun) yang bertujuan untuk:
1. Memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan
makna yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz. Dengan kata lain,
pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari
lafadz dan ‘ibarah yang zahir pula.
2. Mengambil istinbath hukum-hukum dari al nushush ‘an diniyyah dan Al-
Qur’an khususnya. Makna lafadz yang terkandung dalam nash (Al-
Qur’an dan Hadits), dikehendaki oleh dan diekspresikan melalui teks
dapat diketahui dengan mencermati hubungan makna dan lafadz. Al-
Jabiri menyatakan bahwa metode bayani yang digunakan dalam
pemikiran Arab baik dalam fiqh, nahwu atau teologi didasarkan pada

25
Luthfi Hadi Aminuddin, Integrasi Imu dan Agama: Studi atas Paradigma Integratif Interkonegtif uin
Sunan Kalijaga Yogyakarta, KODIFIKASIA Jurnal Penelitian Islam, (Vol. 4, No.1, 2010), hlm.92.

17
mekanisme yang menjadi landasan bagi metode fuqaha. Hal ini
dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum berbagai cabang ilmu
yang sesuai dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah ilmu.26

Sebagai pendekatan, bayani merupakan kajian filosofis tentang sistem


pembangunan pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai kebenaran
mutlak. Adapun akal hanya menempati posisi sekunder, yaitu bertugas menjelaskan dan
mempertahankan teks yang ada. Kekuatan pendekatan ini terletak pada bahasa, baik
tata bahasa, struktur, maupun nilai sastranya. Metode analisis bayani berpijak pada
pemahaman makna lafzh sebagai bahan perumusan pesan yang dikemukakan oleh
seorang lafzh.
Secara umum metode analisis bayani ada empat macam. Pertama, dilihat dari
perspektif kedudukan lafzh (al-wadh’). Metode analisis ini sesuai bentuk dan cakupan
maknanya. Berkaitan dengan ini penggunaan analisis lafzhamr dan nahy,’âm dan
khâsh,muthlaq dan muqayyad, serta lafzh musytarak adalah sesuatu yang penting.
Kedua, dilihat dari perspektif penggunaan lafzh (al-isti’mâl). Metode analisis ini sesuai
dengan maksud pembicara dalam menyampaikan pembicaraannya. Berkaitan dengan
ini penggunaan kaidah analisis haqiqi dan majazi sharih, dan kinayah harus
diperhatikan. Ketiga, dilihat dari perspektif derajat kejelasan suatu lafzh (darajah al-
wudhûh) ,penggunaan analisis wadhih dan mubham, muhkam dan mutasyabih, mujmal
dan mufassar, zhahir, dan khafi menjadi skala prioritas. Keempat, dilihat dari perspektif
dalalah (kandungan makna) suatu lafzh (thariqah al-dalâlah), digunakan analisis
dengan melihat konteks, sehingga dapat dibedakan menjadi: dilalahal-’ibarah, dilalah
al-isyarah, dilalahal-nash, dan dilalahal-iqtidha’.
Bayani mengutamakan qiyas dan bukan mantiq melalui silogisme dan premis
logis. Epistemologi tekstual-lughawiyah lebih diutamakan daripada epistemologi
kontekstual-bahtsiyyah dan spiritualitas-irfaniyyah batiniyyah. Selain itu, nalar
epistemologis bayani selalu mencurigai akal, karena dianggap jauh dari kebenaran
tekstual. Sehingga sampai pada kesimpulan bahwa wilayah kerja pikiran perlu dibatasi
sedemikian rupa dan perannya digeser menjadi pengatur dan pengekang hawa nafsu,
bukan untuk mencari sebab akibat melalui analisis ilmiah yang akurat.27

26
Imam Anas Hadi, Berdialog Dengan Teks (Kajian Hermeneutik dengan Metode Bayani), Jurnal
Inspirasi, (Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2020), hlm88.
27
Imam Anas Hadi, Berdialo Dengan Teks (Kajian Hermeneutik dengan Metode Bayani), Jurnal
Inspirasi, (Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2020), hlm. 92.

18
Hasil akhirnya adalah sebuah teori pengetahuan yang dalam setiap levelnya
bersifat bayani. Dalam logika internalnya, teori pengetahuan (epistemologi) ditentukan
oleh konsep bayani yang termasuk gaya bahasa puitik, ungkapan oral, pemahaman,
komunikasi, dan penangkapan secara penuh. Hal yang sama juga terdapat dalam ranah
materi pengetahuan, yang terutama disusun dari al-Qur’an, hadits, tata bahasa, fiqh,
serta prosa dan puisi Arab. Begitu juga dengan ranah ideologi, karena kekuatan
otoritatif yang menetukan, yaitu dogma Islam , ada di belakang ranah ini. Oleh karena
itu, sejak awal ada batasan atau larangan tertentu untuk menyamakan pengetahuan
dengan keimanan kepada Tuhan. Sistem ini juga diterapkan dalam ranah epistemologi,
di mana manusia dipahami sebagai makhluk yang diberkati kapasitas bayan dengan dua
tipe “nalar”; pertama dalam bentuk bakat, dan yang lain adalah hasil pembelajaran.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Paradigma dikenal sebagai gagasan ilmiah yang digunakan sebagai


kerangka konseptual untuk memahami dan menafsirkan fenomena
eksperimental dan realitas sosial dalam kerangka acuan yang sama, sehingga
dapat saling berkomunikasi. Islam klasik berkaitan dengan periode Islam yang
berkembang setelah Nabi wafat hingga sekitar abad ke-13 Masehi. Periodisasi
Islam sering mengacu pada periodisasi yang disusun oleh Harun Nasution.
Menurutnya, periode klasik dihitung sejak wafatnya Nabi hingga akhir tahun
1250 M, yaitu antara 650-1250 M. Periode selanjutnya disebut periode tengah,
yaitu dari tahun 1250-1800 Masehi. Dalam pandangan Saleh Putuhena, era
klasik Islam terjadi antara abad VII sampai abad XIII Masehi. Masa ini dijuluki
sebagai masa keemasan Islam (masa kejayaan Islam. Imam Syafi'i merupakan
salah satu pelopor utama ulama al-bayan yang mengorientasikan epitisme
bayani sebagaimana dirumuskan dalam pemikiran ushul fiqhnya. Dengan
pemikiran fundamentalnya pada empat prinsip dasar: al-qur' an, al-sunnah,
ijma', qiyas, ia telah merumuskan kerangka berpikir yang menjadi dasar
epistemologi bayani.

B. Saran

19
Maka dari itu, saya membuat makalah ini, mengingat keterbatasan
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki penulis, sehingga untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif, disarankan agar pembaca
membaca literatur yang telah dilampirkan pada daftar pustaka. Penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam penyajian makalah ini. Oleh karena
itu, kritik dan saran sangat dibutuhkan agar makalah selanjutnya dapat lebih
baik lagi. Semoga makalah yang penulis sajikan dapat bermanfaat bagi para
pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Amin Islamic Studies di Perguruan Tinggi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,


2006)
Al-Arabi, M. Abid al-Jabiri, Naqd al-Aql (2), Bunyah al-Aql al-Arabi, Dirasah
Tahliliyyah li Nuzum ats-Tsaqafi al-Arabi, (Beirut: al-Markaz as-Saqafial„
Arabiyyah, 1990
Al-Jabiri, Muhammad `Abed Bunyah al`Aql al-Arabi (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi
alArabi, 1991)
Amin, M. Abdullah, “Islamic Studies di perguruan tinggi: Pendekatan integratif-
interkonektif”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012).
Anas, Imam Hadi, Berdialo Dengan Teks (Kajian Hermeneutik dengan Metode
Bayani), Jurnal Inspirasi, (Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2020).
Arif, Mahmud. Pertautan Epistemologi Bayani dan Pendidikan Islam , (Al-Jami’ah,
Vol.40.No.1 Januari Juni 2002).
Burhan (Pengantar Penerjemah), dalam Muhammad Abed Al-Jabiri, Kritik Pemikiran
Islam: Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka, 2003).
Hadi, Luthfi Aminuddin, Integrasi Imu dan Agama: Studi atas Paradigma Integratif
Interkonegtif uin Sunan Kalijaga Yogyakarta, KODIFIKASIA Jurnal Penelitian
Islam, (Vol. 4, No.1, 2010).

20
Hadikusuma, Wira, Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan
Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding,
Syi’ar (Vol. 18 No. 1 Januari-Juni 2018).
Ibrahim, Duski, Metodologi dalam kajian Islam, Jurnal Intizar, (Vol.20. No.2, 2014).
Ibrahim, Filsafat Islam Klasik Dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Modern Di
Eropa, (Jurnal Aqidah-Ta Vol. III No. 1 Thn. 2017).
Junaedi, Mahfud , “Pengembangan Paradigma Keilmuan Perspektif Epistimologi
Islam”, (Jakarta: Kencana, 2019).
Muhammadun, Kritik Nalar Al-Jabiri, Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun
Islamic Studies Integrasi-Interkoneksi, (Volume 1 Nomor 2, September 2019).
Muslih, Mohammad, “Filsafat Ilmu (Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan)”, (Yogyakarta: LESFI, 2016).
Rahma, Fatimah Rangkuti, Implementasi Metode Tajribi, Burhani, Bayani, dan Irfani
dalam Studi Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial dan Keislaman,
(Vol.. 1, No.2, Januari-Juni 2019).
Rangkuti, Charles, Implementasi Metode Bayani, Burhani, Tajribi, dan ‘Irfani dalam
Studi Filsafat Pendidikan Islam, Jurnal WARAQAT, (Vol. 1, No.2, Juli-
Desember, 2016).
Ridlo, Rasyid, Penerapan Epistemologi Bayani dan Burhani sebagai Metode
Pembelajaran di Madrasah Ibtidaiyah, Jurnal Pendidikan Agama Islam
Pascasarjana STAI Syamsul 'Ulum Gunungpuyuh (Volume 01 Nomor 1 Tahun
2020).
Soleh, A.K. Epistemologi Islam: integrasi agama, filsafat, dan sains dalam perspektif
Al-Farabi dan Ibnu Rusyd. Jakarta: Ar-Ruzz Media. (2017).
Tampubolon, Ichwansyah ,Struktur Paradigmatik Ilmu-Ilmu Keislaman Klasik:
Dampaknya Terhadap Pola Pikir, Sikap, dan Perilaku Keagamaan, MIQOT,
(Vol. XXXVII, No.2, Juli-Desember 2013).

21

Anda mungkin juga menyukai