Anda di halaman 1dari 24

Pemikiran dalam Islam, Perkembangan Pemikiran Teologis,

Falsafi dan Tasawwuf dalam Islam


Siti Aisyah
Yuli Azmiyati

Institut Agama Islam Nusantara Batang Hari


2023

ABSTRAK :

Menurut etimologinya, “berpikir” berasal dari kata kerja “fikir”.


"Fakara-Yafkuru-Fikran" adalah ungkapan asli bahasa Arab. Kata
"berpikir" dalam bahasa Indonesia adalah "p", dan huruf "f" diganti.
Pengertian “berpikir” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
“yang ada dalam hati, akal, ingatan, dan angan-angan”. Menurut
terminologi, berpikir adalah penggunaan akal atau daya rasional—
disebut juga qolbu, ruh, atau dzihnun—yang melekat pada diri
manusia. Percakapan teologis adalah diskusi yang penting. Kajian
teologis meliputi perbincangan mengenai keberadaan Tuhan,
persoalan keimanan dan perzinahan, siapa yang benar-benar muslim
dan tetap mengamalkan Islam, dan tasawuf filosofis adalah tasawuf
yang gagasan dan ajarannya disusun secara rumit melalui
penggunaan terminologi simbolik-filosofis. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika sebagian besar sufi yang memahami tasawuf
melaporkan mengalami keracunan spiritual, atau ekstasi, dan
mengeluarkan ucapan-ucapan yang terkesan tidak lazim (syathahat).
Sufisme filosofis menekankan akal budi dibandingkan intuisi, dan
ajarannya memadukan visi mistik dan intelektual. Hal ini lebih terfokus
pada teori-teori rumit yang memerlukan pemahaman lebih dalam.
Yang termasuk dalam kategori ajaran filsafat tasawuf adalah sebagai
berikut:
a. Fana' dan Baqa' yang berarti akhir dari kesadaran dan keabadian.
b. Ittihad, yaitu kesatuan Tuhan dan manusia.
c. Kesatuan hakikat ketuhanan dan hakikat manusia, atau Hulul.
d. Wahdah al-Wujud yang berpandangan bahwa Allah dan alam
adalah satu kesatuan.
e. Isyraq, yaitu penerangan atau pancaran Cahaya

Kata kunci: pemikiran Islam, Teologis, Falsafi dan Tasawwuf dalam Islam

PENDAHULUAN

Melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap tasawuf adalah tugas


yang menantang karena sifat topiknya yang luas dan beragam. Annemarie
Schimmel berpendapat bahwa pembahasan tasawuf harus mencakup tidak
hanya unsur historis dan fenomenologis, tetapi juga unsur subjektivitas yang
merupakan bagian integral dari dua unsur lainnya.1
Sebagai bagian dari ilmu pengetahuan Islam yang menekankan
dimensi batin atau spiritual hingga aspek eksternal sering kali
disembunyikan atau bahkan dianggap keliru, kemungkinan inilah yang
membedakan tasawuf dari praktiknya. Sebab tasawuf sering dikatakan
mengutamakan spiritualitas dibandingkan materialitas, atau menekankan
akhirat dibandingkan dunia dan mengutamakan sifat-sifat esoteris
(bathiniyah) dibandingkan eksoteris (nataliyah).
Berdasarkan logika tersebut, dapat diketahui bahwa tasawuf
mempunyai dua tujuan mendasar. Jiwa pada mulanya harus suci agar dapat
mendekatkan diri kepada Tuhan sebagai Yang Maha Suci dan mengikuti

1
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. S. Djoko Damono dkk. (Jakarta,
Pustaka Firdaus, 2003), h. xv, 1
jalan ketuhanan. Kedua, upaya pribadi untuk berkomunikasi dengan Tuhan
melalui serangkaian ritual yang ditentukan.2
Untuk mencapai tujuan tersebut, para sufi telah mengembangkan
banyak teori, gagasan, bahkan ritual. Variasi tersebut telah membentuk
kepribadian yang berbeda-beda, salah satunya adalah munculnya dua
bentuk tasawuf yang berbeda: tasawuf intelektual dan tasawuf Sunni.
Tasawuf yang menggunakan bahasa simbolik-filosofis yang rumit
untuk mengatur ajaran dan konsepnya dikenal sebagai tasawuf filosofis.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sebagian besar sufi yang
memahami tasawuf melaporkan mengalami keracunan spiritual, atau
ekstasi, dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang terkesan tidak lazim
(syathahat). Menurut Ibnu 'Arabi yang menggunakan slogannya "Ana al-
Haqq" Al-Hallaj, Ibnu 'Arabi, al-Jilli, Abu Yazid al-Busthami, dan lain-lain
merupakan tokoh tambahan.
Jika berbicara tasawuf, maka tasawuf Sunni diartikan sebagai tasawuf
yang menganut ajaran Al-Qur'an dan Sunnah Nabi SAW. Artinya, seorang
calon sufi harus terlebih dahulu memperoleh pemahaman syariat secara
menyeluruh, termasuk mempelajari fiqh dalam segala bidangnya secara
akurat dan benar sesuai dengan ajaran yang dikembangkan mazhab al-
arba'ah. Pemahaman dasar yang dapat diakses oleh semua kalangan
merupakan landasan pengalaman tasawuf. Dalam perkembangannya,
tasawuf Sunni berbentuk tarekat, dan tiga tokoh yang terkait dengannya: al-
Junaid al-Baghdadi, al-Qusyairi, dan al-Ghazali. Ketiga tokoh ini
menginspirasi banyak elemen fundamental tarekat.
PEMBAHASAN
Defenisi Pemikiran Islam
Menurut etimologi, kata kerja “berpikir” dan kata benda “fikir”
merupakan sumber kata “berpikir”. Bahasa Arab "fakara-yafkuru-fikran"
adalah sumbernya. Kata “berpikir” dalam bahasa Indonesia diucapkan “p”

2
Lihat Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 86
menggantikan huruf “f”. Sebagaimana dinyatakan dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan “pikiran” adalah perkataan batin,
buah pikiran, dan pertimbangan serta hal-hal yang ada dalam hati, budi,
ingatan, dan imajinasi.
Menurut terminologi berpikir adalah proses penggunaan daya logika (akal)
yang bersemayam dalam diri manusia sebagai qolbu, ruh, atau dzihnun,
disertai observasi dan kajian untuk memperoleh hukum-hukum, kaitan antar
benda, atau makna yang mendasari persoalan yang ada. diakui
keberadaannya. Cara lain untuk berpikir tentang pemikiran adalah sebagai
rangkaian konsep-konsep yang terkait atau sebagai upaya yang disengaja
untuk mengatur ulang peristiwa dan perilaku dengan sengaja.
Untuk mengungkap hubungan sebab-akibat suatu materi atau hakikat,
asal muasal kemunculannya, hakekat wujud atau keberadaan sesuatu yang
menjadi pokok pemikiran, dan detil terkait lainnya, umat Islam melakukan
aktivitas pencarian. untuk hubungan sebab akibat atau asal usul suatu materi
atau esensi. Inilah yang dimaksudkan untuk dipahami oleh pemikiran Islam.”3
Para akademisi dan intelektual Islam menjadikan Al-Quran dan Sunnah
sebagai landasan pemikiran dan pandangannya ketika menyikapi persoalan-
persoalan yang berkembang di masyarakat dan masyarakat pada umumnya.
Pemikiran Islam mengenal istilah al-tafsir dan al-ta'wil dalam konteks tafsir
Alquran. Istilah al-tafsir secara umum mengacu pada suatu pendekatan atau
metode penafsiran ajaran Al-Qur’an yang terutama didasarkan pada
penelitian bahasa. Sedangkan al-ta'wil mengacu pada pendekatan atau
prosedur yang melampaui kajian bahasa untuk memahami ajaran Al-Qur'an.
Dalam tradisi al-ta'wil ini terdapat dua aliran pemikiran: al-ta'wil al-'irfani (tafsir
mistik) dan tradisi al-ta'wil al-burhani (tafsir rasional).

3
Lihat definisi pemikiran dan pemikiran Islam dalam Longman Group, 1987, Longman
Dictionary of Contemporery English, England, hlm. 1105 dan Ibnu Khaldun, 1986,
Muqaddimah Ibnu Khaldun, terjemahan Ahmad Toha, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 523-
525.
Penelitian teori hukum Islam merupakan penekanan utama disiplin fiqh.
Maliki, Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali adalah empat aliran pemikiran dasar di
kalangan Sunni. Banyak madzhab juga terdapat di kalangan Syi'ah,
meskipun secara kolektif mereka umumnya disebut sebagai madzhab Ja'fari,
yang diambil dari nama Imam Ja'far al-Sadiq. Teori dan pendekatan
penalaran hukum yang berbeda membedakan berbagai aliran pemikiran satu
sama lain, yang pada gilirannya mempengaruhi variasi kesimpulan hukum
yang mereka ambil.
Dalam disiplin teologi dialektika, yang sering disebut ilmu kalam, filsafat
Islam menggunakan pendekatan logis untuk mengkaji perspektif Al-Qur'an
tentang Tuhan, alam, dan kemanusiaan. Hal ini menjawab pertanyaan
tentang apa yang dimaksud dengan Tuhan dan apa sifat-sifatnya, bagaimana
alam semesta terbentuk, dan bagaimana manusia menyesuaikan diri dengan
semua ini. Selain itu, pengetahuan manusia tentang hakikat realitas, ajaran
moral, tempat akal dan wahyu Ilahi dalam pengetahuan manusia, dan topik-
topik lainnya termasuk dalam lingkup ilmu Kalam. Dua mazhab ilmu Kalam
yang saling berdebat adalah Mu'tazilah dan 'Asy'ariyah.4

Perkembangan Pemikiran Teologis


Pikiran berdampak pada setiap perilaku manusia. Alam semesta pikiran
adalah bagian integral dari sifat manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, ide
dan orang saling terkait erat, baik kita mengakuinya atau tidak. Tidak
mungkin memisahkan keyakinan teologis seseorang atau suatu kelompok
dari kesalehan spiritual dan/atau sosialnya.
Istilah "teologi" tidak banyak digunakan dalam tradisi Islam; bahkan,
beberapa organisasi menganggap istilah tersebut kurang tepat dibandingkan
kalam. Etimologi Kalam dapat ditelusuri kembali ke bahasa Arab, dimana
istilahnya berarti. Hal ini menandakan bahwa kalam merupakan firman Tuhan

4
https://komunitasbambu.id/soekarno-dan-pemikiran-islam/
yang menjadi sumber perselisihan sengit di kalangan umat Islam pada abad
kedelapan dan kesembilan Masehi.
Percakapan yang berhubungan dengan teologi adalah hal yang
mendasar. Berbeda dengan fiqh, teologi adalah ilmu yang mempelajari ushul,
atau gagasan sentral atau landasan agama. Fiqh, sebaliknya, biasanya
bermuara pada furu' (cabang atau ranting). Kajian teologi tentu saja
mencakup pembicaraan tentang Tuhan, keimanan, dan orang-orang kafir,
serta mengidentifikasi siapa yang benar-benar Muslim, siapa yang
meninggalkan Islam, dan siapa yang benar-benar kafir. Selain itu,
pembicaraan tersebut mencakup peran yang dimainkan oleh umat Islam
yang mengikuti hukum haram dan oleh orang-orang kafir yang mengikuti
jalan yang lurus secara moral.
Diskusi teologis akhirnya dipicu oleh ciri-ciri masalah tersebut di atas.
Sebagai gambaran, aliran Khawarij yang memisahkan diri dari kelompok Ali
bin Abi Thalib menyatakan Mu’awiyah, Ali bin Abi Thalib, dan pengikutnya
kafir karena pelanggaran dan kekhilafannya yang berat. Kegagalan mereka
untuk mendasarkan keputusan (seperti aliansi dan pertempuran) pada hukum
Tuhan adalah dasar dari hal ini.
Tak lama kemudian, berdirilah aliran Murji'ah. sebuah aliran "moderat"
yang berupaya mempertahankan bahwa orang yang melakukan dosa berat
tetap menjadi orang Kristen karena hak Allah untuk memutuskan apakah
perbuatan tersebut termasuk dosa serius atau tidak. Oleh karena itu, Tuhan,
bukan manusia, yang berhak memutuskan apakah seseorang memilih untuk
percaya atau tidak. Menurut etimologi kata tersebut, 'raja-yarju' berarti
menunda atau menunda. Artinya, menunda pilihan sampai hari terakhir,
ketika Tuhan akan bertindak sebagai hakim dan mengambil keputusan akhir.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut di atas, akhirnya muncullah
aliran Mu'tazilah. aliran pemikiran 'rasionalis' yang berpendapat bahwa
individu yang melakukan kejahatan berat ditempatkan pada keadaan “netral”,
yaitu antara beriman dan tidak beriman atau antara beriman dan tidak
beriman. Sikap netral tersebut dikenal dengan sebutan al-manzilah bain al-
manzilatain (kedudukan antara dua kedudukan) dalam ajaran Mu'tazilah.
Adalah salah jika seseorang percaya bahwa dosa, kejahatan, atau
ketidakadilan berasal dari Tuhan karena, jika Tuhan tidak adil, maka Dia pasti
juga tidak adil.
Selain itu, mu'tazilah memahami konsep al-wa'd wa al-wa'id, atau janji
dan ancaman, yang berpandangan bahwa Tuhan pasti akan menepati
janjinya di hari akhir. Al-Adl (keadilan), al-Tauhid (Tuhan Yang Maha Esa),
dan al-'Amr bi al-Ma'ruf wa Nahy 'an Munkar (amanah berbuat baik dan
larangan menahan diri dari kemunkaran) adalah yang lainnya. tiga konsep.
Meski begitu, aliran Asy'ariat akhirnya menolak paham yang disodorkan
Mu'tazilah. Dikenal dengan sebutan al-kasb dalam mazhab Asy'ariah bahwa
tingkah laku manusia merupakan ciptaan Tuhan. Tenaga manusia tidak
mempunyai pengaruh dan pengaruh dalam mewujudkan kegiatan yang
diciptakan. Asy'ariyah menentang tafsir Mu'atazilah tentang keadilan Tuhan
(al-'Adl) dan al-wa'd wa al-wa'id (janji dan ancaman). Selain itu, sehubungan
dengan Mu'tazilah.
Tentu saja hal ini berujung pada berdirinya dua mazhab “raksasa”,
Qdariah dan Jabariah, yang hingga saat ini masih digunakan sebagai alat
analisis. Dua kelompok orang yang pendapatnya selalu bertentangan.
Menurut Qadariyah, manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas yang
mempunyai kemampuan untuk bebas memilih kegiatan dan kehendaknya
(free act). Pandangan Jabariah, sebaliknya, dicirikan sebagai fatalisme atau
predestinasi karena ia berpendapat bahwa Tuhan memaksakan perilaku
manusia dan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas.5
Tasawuf Falsafi Dalam Islam
Warisan mistik Islam disebut dengan tasawuf dalam pemikiran Islam.
'Irfan adalah kata lain dari tasawuf. Kaum Sunni banyak menggunakan istilah
tasawuf, meskipun kaum Syi'ah lebih sering menggunakan istilah 'irfan.

5
https://mathlaulanwar.or.id/2018/12/14/sejarah-asal-usul-aliran-teologi-islam/
Tasawuf yang dikenal juga dengan sebutan 'irfan, sangat menekankan pada
kemampuan lembaga mistik dalam mengantarkan seseorang kepada Yang
Esa, Yang Maha Benar, Maha Baik, dan Maha Indah, berbeda dengan filsafat
atau ilmu kalam yang lebih menekankan pada pada pemahaman rasional.
Tasawuf sendiri seringkali terbagi menjadi dua aliran: tasawuf filosofis, yang
juga menekankan pembahasan metafisika dan epistemologi, dan tasawuf
Akhlaqi, yang menekankan pada kesucian batin.6
Tasawuf intelektual adalah jenis tasawuf yang menggunakan bahasa
intelektual dan simbolik untuk menyusun ajaran dan konsepnya secara rinci.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika sebagian besar penganut
tasawuf yang memahami tasawuf mengalami ekstasi (kemabukan spiritual)
dan melontarkan ucapan-ucapan yang agak tidak lazim (syathahat). Senada
dengan ungkapan Ibnu ‘Arabi “Ana al-Haqq”. Al-Hallaj, Ibnu 'Arabi, al-Jilli,
Abu Yazid al-Busthami, dan lain-lain merupakan tokoh tambahan. Tasawuf
filosofis juga menekankan pentingnya mempermalukan, menolak, dan
menghilangkan aspek-aspek keji dalam diri, antara lain sikap merasa benar
sendiri, ketamakan, keangkuhan, putus asa, dan sifat-sifat nasutiyah lainnya.7
Ajaran tasawuf filosofis menekankan pentingnya menghadirkan visi dan
misi ketuhanan dalam segala bidang kehidupan, baik kehidupan berbangsa
dan bernegara, serta kehidupan pribadi, keluarga, dan masyarakat.8
Gagasan bahwa Tuhan adalah sumber segala sesuatu bermula dari
perkembangan teori estetika tentang Tuhan yang menyatakan bahwa ada
saluran hubungan timbal balik antara Tuhan dan manusia. Tuhanlah sumber
segala keindahan dan Dzat Yang Maha Indah lagi Indah, selain Dzat Yang
Maha Mulia dan Mulia. Dorongan untuk memuja Tuhan bersifat manusiawi
karena Tuhan adalah Yang Maha Indah, sesuai dengan salah satu kualitas
6
https://komunitasbambu.id/soekarno-dan-pemikiran-islam/
7
Teori-teori yang dilahirkan para tokoh tersebut seperti teori fana’, baqa’, dan ittihad yang
dicetuskan oleh al-Busthami, teori hulul yang dipelopori oleh al-Hallaj, teori wahdatul wujud
yang digawangi oleh Ibnu ‘Arabi, dan teori insan kamil yang dirumuskan oleh al-Jilli. M.
Sholihin, Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005),
h. 10.
8
https://kemenag.go.id/pojok-gusmen/gagasan-tasawuf-falsafi-kiai-said-an3jyh
mendasar manusia yaitu cinta akan keindahan dan keindahan. Keinginan
untuk merasakan cinta abadi dan keindahan Dzat Tuhan adalah satu-satunya
keinginan yang ada. Teori ini selanjutnya menegaskan bahwa kasih Tuhan
menjadi kekuatan pendorong di balik penciptaan alam semesta.
Sebagaimana telah dikemukakan secara singkat sebelumnya, tasawuf
filosofis adalah tasawuf yang ajarannya mengintegrasikan penjelasan
intelektual logis dengan pengalaman mistik dan pencerahan. Ajarannya sarat
dengan berbagai gagasan intelektual dari luar Islam, antara lain dari Yunani,
India, Persia, dan Kristen. Ini menggabungkan tasawuf dengan filsafat
dengan cara ini. Meski demikian, ia tetap berupaya menjunjung tinggi
otonomi ajaran Islam, khususnya dalam kaitannya dengan status sufi sufi
gagasan Islam, dengan menunjukkan keunikannya sebagai tasawuf
(mistisisme Islam). Karena memadukan filsafat dan tasawuf, maka tasawuf
filosofis disebut juga tasawuf teoretis karena menekankan pada gagasan
teoritis atau bagian pemikiran metafisika.9
Mazhab filsafat tasawuf membawa ilmunya tentang Tuhan (makrifat) dan
mengaplikasikan akal (filsafat) ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga
memungkinkan seseorang mewujudkan wihdatul wujud (kesatuan wujud),
yaitu setingkat di atas ilmu tentang Tuhan (makrifatullah). Atau, tasawuf
intelektual dapat diartikan sebagai tasawuf yang berakar kuat pada gagasan
filosofis. Dibandingkan dengan tasawuf Salafi atau Sunni, tasawuf filosofis
menggunakan metodologi yang sangat berbeda. Karena tasawuf filosofis
lebih menonjol pada ranah teoretis (‫ )يرطنال‬dibandingkan ranah praktis (‫)يلمعال‬,
maka tasawuf filosofis lebih menekankan prinsip akal dibandingkan teori
filsafat yang sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. khususnya untuk
orang biasa, atau bahkan bisa dikatakan mustahil.10
Keyakinan yang dianut oleh para sufi filosofis bahwa manusia dapat
mencapai kesatuan dengan Tuhan memunculkan konsep mistik semi filosofis
9
Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di Indonesia,
(Bandung: Mizan 2001), h. 120.
10
Shihab, Islam Sufistik…, h. 120.
“ittihad” dan “fana’-baqa” yang dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami,
konsep “hulul” yang dialami oleh Husein bin Mansur al-Hallaj, konsep
“wahdat al-wujud” menurut Ibnu ‘Arabi, konsep “isyraqiyah” yang
dikembangkan oleh Suhrawardi almaqtul, al-hikmah al-muta’aliyah yang
dimulai oleh Mulla Sadra, dan lain sebagainya. "
Sufisme Filsafat adalah bagian dari tasawuf yang mengintegrasikan visi
logis dan spiritual pendirinya. Tasawuf filosofis mengungkapkan dirinya
melalui bahasa filosofis yang bersumber dari berbagai ajaran yang
membentuk tokoh-tokohnya, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Sejujurnya, beberapa akademisi Muslim mengakui bahwa tasawuf juga
dipengaruhi oleh peradaban dan agama lain. Meskipun Al-Qur'an, Sunnah
Nabi, riwayat hidup para sahabat, dan Tabi'in merupakan teks-teks dasar
tasawuf, namun pengaruh eksternal telah membentuk ideologi tasawuf dalam
evolusinya di kemudian hari. Hal ini khususnya berlaku bagi tasawuf filosofis,
yang memperoleh pengaruhnya dari Persia (Yunani). Filsafat India bersifat
logis dan magis.11
Fazlur Rahman mengklaim bahwa keyakinan Kristen Ibnu Arabi dan
Grego-gnostik juga berdampak pada tasawuf filosofis ini. Teks 14 Oleh
karena itu tidak terbantahkan bahwa pada ekspedisi berikutnya pada abad
keenam dan ketujuh Hijriyah, berkembanglah wacana-wacana tasawuf yang
banyak mengandung nuansa filosofis atau tasawuf-filosofis, dan dimulai oleh
Suhrawardi (w. 587 H), Ibnu Arabi (w. 638 H), Ibnu Faridh (w. 632 H), dan
ulama lainnya. Meskipun Alquran dan Sunnah menjadi sumber utama
bimbingan para sufi, gagasan tasawuf berkembang selama periode ini dan
dipengaruhi oleh ide-ide non-Islam, khususnya filsafat Yunani.12
Sufisme bermula dari pertumbuhan pemahaman tentang pentingnya
pendirian Islam. Akhir-akhir ini ada kecenderungan masyarakat memandang

11
Komaruddin Hidayat, Wahyu di langit Wahyu di Bumi, (Jakarta: Paramadina, 2003), h. 10.
12
Taftazani, Sufi …, h. 30-47; Jamil, Cakrawala Tasawuf …, h. 18-26.
Islam secara lebih analitis, dimulai dari para Sahabat dan Tabi'in. Ajaran
Islam dilihat dari sudut pandang internal dan eksternal.13
Tentu saja, tasawuf intelektual masa kini sangat berbeda dengan tasawuf
para Sahabat dan Tabi'in, karena tasawuf pada dasarnya adalah produk
filsafat Neo-Platonis. Cendekiawan Muslim dengan keahlian di bidang filsafat
dan teologi juga tertarik pada tumbuhnya tasawuf sebagai sarana dan praktik
mewujudkan kemurnian batin dalam perjalanan menuju keintiman dengan
Allah. Ada beberapa aliran sufi filosofis atau sufi-filosofis yang muncul dari
kelompok ini (teologi dan filsafat). Sufisme Filsafat mengacu pada gagasan
mereka, yang merupakan cabang tasawuf yang kaya secara filosofis.
Biasanya, ideologi emanasi Neo-Plotinian adalah teori filosofis yang
digunakan untuk menganalisis tasawuf.
Para cendekiawan muslim yang berlatar belakang filsafat dan teologi juga
tertarik pada pengembangan tasawuf sebagai sarana dan amalan
mewujudkan kesucian batin dalam perjalanan menuju keintiman dengan
Allah SWT. Banyak filosof sufi atau sufi intelektual yang muncul dari
komunitas ini. Mereka menyebut tafsirannya terhadap tasawuf sebagai
tasawuf intelektual, atau tasawuf yang sarat dengan gagasan-gagasan
filosofis. Pemahaman emanasi Neo-Platonisme dalam segala bentuknya
merupakan prinsip filosofis yang paling sering diterapkan dalam kajian
tasawuf. Selain Abu Yazid Al-Bustami, Ibnu Masarrah (w.381 H) merupakan
tokoh teosofis terkenal lainnya dalam kelompok ini. baik sebagai pionir
maupun dari Andalusia.
Keyakinannya bahwa tasawuf memungkinkan manusia untuk
membebaskan jiwanya dari kendali tubuh (materi) dan memperoleh cahaya
surgawi secara langsung (ma'rifat sejati), berdasarkan pemahamannya
terhadap pengertian emanasi. Seorang Persia atau Iran bernama Suhrawardi
Al-Maqtul (w. 587 H) merupakan orang kedua yang memadukan pemikiran
filsafat dengan tasawuf. Meninggalkan doktrin emanasi, ia berpendapat

13
Lihat Anwar, Rosihon. Ilmu Tasawuf (Bandung, Pustaka Setia, 2006), h. 89
bahwa seseorang dapat kembali ke landasan pertama, alam Ilahi atau alam
malakut, dengan melakukan upaya yang keras dan serius seperti yang
dilakukan para sufi untuk membebaskan jiwanya dari jeratan jasmani. Al-
Isyraqiyah, teori komprehensif yang dikemukakannya dalam karyanya al
Hikmatul Isyraqiyyah, adalah nama yang diberikan untuk gagasan ini.
Al-Hallaj (w. 308 H) mengembangkan tesisnya dalam doktrin al-Hulul,
yang didasarkan pada premis yang sama dan menggambarkan kesatuan
spiritual hewan dan al-Khaliq atau manusia dan Tuhan. Al-Jilli (w. 832 H) al-
Insan Kamil adalah manusia (sufi) yang mampu mencapai inti jati dirinya
melalui ma'rifat. Pemikiran bahwa al-wahdatul wujud merupakan produk
intelektualitas mistik Ibnu ‘Arabi (w. 638 H) mewakili puncak tasawuf filosofis.
Sebelum Ibnu Arabi membuat tesisnya, Ibnu al-Farid, seorang penyair sufi
asal Mesir yang wafat pada tahun 633 H, menciptakan gagasan yang hampir
serupa yang disebut dengan al-wahdat al-syuhud. Pengadopsian gagasan
atau cara berpikir filsafat tasawuf oleh bangsa Persia.
Sejak Abu Yazid al-Busthami, pemikiran sufi tertarik pada gagasan
kesatuan mistik atau kesatuan wujud. Pada dasarnya, pelajaran yang dapat
diambil adalah bahwa Tuhan adalah realitas sejati dan bahwa dunia
fenomena hanyalah bayangan dari realitas tersebut. Tuhan, yang menjadi
landasan dan penyebab segala sesuatu yang terjadi, adalah satu-satunya
wujud esensial di alam semesta. Pada dasarnya ia merupakan realitas
tunggal karena alam semesta adalah suatu bayangan yang keberadaannya
bergantung pada keberadaan Tuhan. Perbedaan hakiki yang terbentuk
sehubungan dengan hal itu adalah akibat dari keterbatasan batin, namun
antara hakikat dan apa yang tampak bervariasi, nampaknya ada perbedaan,
sekadar kontras relatif. Keanekaragaman benda yang ada jelas-jelas tidak
lain hanyalah hasil dari terbatasnya daya pikir dan indera luar, yang tidak
mampu memahami kesatuan hakikat segala sesuatu. Gagasan tentang
Tuhan ini membuat mereka berpendapat bahwa seluruh alam, termasuk
manusia, merupakan pencurahan esensi ketuhanan. Manusia mengandung
aspek ketuhanan karena mereka adalah kecemerlangan Cahaya Ilahi, seperti
halnya matahari.
Akibatnya, jiwa manusia terus-menerus berada di jalan, kembali ke
sumbernya. Jika ma'rifat saat ini dipahami oleh para sufi sebagai maqam
tertinggi yang dapat dicapai manusia melalui ilmu Allah melalui qalbun, maka
untuk sementara manusia masih bisa melewati kondisi ma'rifat pada
kelompok sufi terakhir ini, yaitu bergabungnya dengan Tuhan, disebut juga
ittahad. Sejak kontemplasi tasawuf dimulai dan berkembang dengan cara ini,
diskusi tentang tasawuf telah mengambil arah yang lebih filosofis karena
mereka membahas topik-topik metafisik seperti konflik antara Tuhan dan
umat manusia dan proses penyatuan manusia dengan Tuhan.14
Dalam bukunya Al-Tashawwuf fi al-Syi'ri al-'Arabi yang dikutip Simuh,
Abdul Hakim Hasan mengatakan bahwa tasawuf adalah suatu proses berpikir
dan perasaan yang sulit diartikulasikan pada hakikatnya. Tashawuf seolah-
olah merupakan ikhtiar pikiran manusia untuk merasakan hubungan yang
erat dengan Allah SWT dan memahami hakikat segala sesuatu. Dimensi
filosofis dan teologis tasawuf masing-masing merupakan bagian pertama dan
kedua dari upaya ini. Meskipun kegiatan kedua bersifat praktis, kegiatan
pertama melibatkan kontemplasi dan meditasi. Lebih lanjut, sisi praktis
tasawuf berkembang sebelum sisi konseptualnya. Para sufi memulai
hidupnya bukan dengan introspeksi dan kontemplasi melainkan dengan
mujahadah dan riyadhah.
Para sufi percaya bahwa “hati” mereka adalah “tahta” bagi Allah SWT dan
karena itu lebih penting daripada pikiran mereka, pada kenyataannya, bagi
mereka, hati adalah segalanya. Latihan-latihan di atas menunjukkan bahwa
tasawuf dimulai dengan tindakan praktis. Amalan mujahadah yang utama
adalah itu. Beberapa pemimpin agama mendapati bahwa kebutuhan mereka
untuk bermeditasi dipicu oleh gagasan populer tentang hal gaib atau ajaran

14
Siregar,Rivay., Tasawuf, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1999) hal 141-146
agama tentang keberadaan Tuhan. Mereka mencari cara untuk memperoleh
inspirasi (wahyu) langsung dari Tuhan atau Makhluk gaib.
Hanya ketika segelintir dari mereka mampu memahami Tuhan dan
mendapat ilham barulah sebagian lainnya berusaha menciptakan filsafat atau
ajaran sufi mereka sendiri dengan memasukkan ide-ide dari gagasan mereka
sendiri atau dengan mengambil dan menata ulang ide-ide dari ajaran orang
lain. Ketika tasawuf berkembang misalnya, gerakan zuhud pertama kali
muncul. Hal ini memunculkan praktik zuhud mujahadah dan riyadhah yang
mula-mula dirintis oleh Ibrahim Bin Adham (w. 777 M/162 H), Rabi'ah al-
Adawiyah (w. 801 M/185 H), dan tokoh-tokoh lainnya. Pada periode inilah
ulama sufi terkemuka seperti Husain Bin Mansur al-Hallaj, Imam al-Ghazali,
Ibnu 'Arabi, dan lainnya menjadi terkenal. Para ahli pemikiran sufi mencapai
puncak kekaguman mereka terhadap kebijaksanaan setelah pemikiran
filosofis dalam tasawuf berkembang. Kemudian berusahalah untuk menarik
perhatian pada prinsip-prinsip Islam tertentu.
Dengan demikian berkembanglah pengertian wushul, wahdat al-wujud,
dan ittihad, antara lain. Kata-kata ini merujuk pada penilaian atau
pemahaman mereka terhadap penghargaan fana dan puncak makrifat.
Dalam hal ini, R.A. Nicholson menyatakan bahwa, apa pun terminologi yang
digunakan, pengalaman mental semakin terasingkan dari apa pun yang
bukan Tuhan atau diri sendiri mencapai puncaknya pada apresiasi kesatuan
(dengan Tuhan). Berbeda dengan gagasan tentang Nirwana, yang hanya
berarti tidak adanya keinginan diri sendiri, kaum Sufi percaya bahwa
kematian mereka dari dunia manifestasi menandakan keabadian dalam
keberadaan mereka yang sebenarnya. Siapa pun yang menyerah pada
nafsunya sendiri dan mati akan diterima oleh Tuhan; fana' adalah simbol
penyerahan diri dan dikaitkan dengan pencapaian hidup kekal.
Ajaran Pokok Tasawuf Falsafi
Para filsuf Muslim mengalami pengetahuan Helenisme dan merupakan
orang pertama yang mengintegrasikan filsafat dengan tasawuf. Misalnya,
para filsuf Muslim menggunakan gagasan neo-Plotinian seperti al-Kindi untuk
membahas Tuhan. Menurut teori emanasi Plotinus, ruh merupakan hasil
pertumbuhan Tuhan dan pada akhirnya akan kembali kepadanya.
Sebaliknya, Pythagoras berpendapat bahwa roh yang kehilangan
kemurniannya tidak dapat kembali kepada Tuhan setelah memasuki tubuh
manusia yang najis. Kalau ruh terus berusaha menyucikan diri, ia bisa
kembali kepada Tuhan, namun selama masih kotor ia akan tetap di bumi.
Oleh karena itu, gagasan ini dapat dikaitkan dengan filsafat sufi, yang
berpendapat bahwa cinta Tuhan diungkapkan dalam ciptaan alam semesta
dan tercermin dalam bentuk empiris atau sebagai kualitas madzohir yang
melekat pada Tuhan. agar jiwa atau ruh kembali kepada Tuhan, secara
alamiah dalam keadaan suci.
Tasawuf Filsafat secara garis besar adalah tasawuf yang ajarannya
memadukan pandangan mistik dengan pandangan rasional. Karena tokoh-
tokohnya telah dipengaruhi oleh beragam ajaran filsafat, maka tasawuf
menggunakan terminologi filsafat dalam tuturannya. Tasawuf filosofis lebih
mengutamakan akal dibandingkan mistisisme dan lebih berfokus pada teori-
teori kompleks yang memerlukan pemahaman lebih dalam. Ajaran mereka
memadukan visi mistik dan intelektual. Tasawuf filosofis mengajarkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Fana' dan Baqa' yang berarti akhir dari kesadaran dan keabadian.
b. Ittihad, atau keesaan Tuhan dan umat manusia.
c. Hulul, yaitu perpaduan hakikat manusia dan ketuhanan.
d. Wahdah al-Wujud, yang menyatakan Allah dan alam adalah satu.
e. Isyraq yang berarti penerangan atau pancaran cahaya.15

1. Fana’ dan Baqa’

15
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 1996), h. 132.
Al-fana adalah ungkapan linguistik yang menunjukkan sesuatu yang
kehilangan bentuknya. Fana tidak sama dengan al-fasad (rusak). Fana
adalah ketiadaan sesuatu, sedangkan al-fasad atau rusak adalah perubahan
sesuatu menjadi sesuatu yang lain.
Para sufi mendefinisikan fana dalam beberapa cara. Salah satu makna
yang mereka berikan adalah bahwa ini adalah posisi moral yang mulia, yang
menyatakan bahwa sifat jiwa adalah fana atau bahwa sifat-sifat yang
menjijikkan pada akhirnya akan hilang. Konsekuensinya, baqa adalah produk
fana. Meskipun baqa secara harfiah berarti "abadi", para sufi memahami
baqa untuk menunjukkan keabadian sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia
serta sifat-sifat terpuji.
Para sufi memandang fana dan baqa sebagai saudara kembar yang tidak
pernah terpecah dan tidak pernah bersatu kembali, menurut para ahli tasawuf
yang mengatakan bahwa "ketika cahaya baqa muncul, maka fanalah yang
tidak ada, dan baqa yang abadi”.16
Oleh karena itu, hilangnya kualitas kemanusiaan, moral yang keji,
kebodohan, dan perilaku tidak bermoral adalah apa yang seharusnya
dipahami ketika seseorang berbicara tentang fana. Secara bersamaan, baqa
mengacu pada sifat kekal dari sifat-sifat ketuhanan, etika yang terpuji,
kebijaksanaan, dan pembersihan diri dari maksiat dan dosa. Dibutuhkan
usaha untuk memperoleh baqa tersebut, antara lain taubat, dzikir,
pengabdian, dan menghiasi diri dengan keutamaan yang terpuji.
Ada yang mengatakan bahwa baqa menghasilkan sifat-sifat terpuji
sedangkan fana meninggalkan sifat-sifat keji. Oleh karena itu, seseorang
tidak akan lepas dari kedua sifat ini. Mustahil untuk mengidentifikasi adanya
salah satu saja dari kedua sifat tersebut, karena seseorang yang tidak
memiliki sifat tercela niscaya akan terlihat memiliki sifat positif. Barang siapa

16
Abuddin Nata, Akhlak…, h. 232
yang dikuasai oleh sifat-sifat keji, maka sifat-sifatnya yang terpuji akan
ditonjolkan.17
2. Ittihad
Para sufi bisa menyatu dengan Tuhan pada saat itu dalam kehidupan
fana mereka, mengambil bentuk al-Baqa, atau kehidupan tanpa akhir.
Campuran inilah yang dimaksud dengan ittihad; di sinilah ia menemukan inti
jati dirinya sebagai manusia keturunan Tuhan.18
Fana adalah penghilangan sensasi atau kebiasaan yaitu ciri khas
manusia yang penuh nafsu. Di dunia makhluk, seseorang dianggap fana
ketika ia telah dikuasai oleh hakikat ketuhanan hingga ia tidak dapat melihat
apa pun dari dunia ini. Fana adalah penyebab baqa. Meskipun kata baqa
secara harafiah berarti "kekal", para sufi memahaminya untuk menunjukkan
"kekekalan sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam diri manusia". Sifat-
sifat surgawi itulah yang bertahan karena sifat-sifat lainnya telah lenyap
(menjadi fana).19
Menurut terminologi sufi, ittihad berarti penyatuan dua entitas menjadi
satu. Dalam filosofi ittihad yang menyimpang, dua eksistensi dipaksa menjadi
satu sama lain. Akar kata ini adalah wahd, disebut juga wahdah, yang berarti
satu atau menyendiri. Dengan demikian, ittihad mengacu pada kesatuan
Tuhan dan umat manusia.
Oleh karena itu, dalam baqa dan fana, sesuai dengan pandangan Mustofa
Zahri bahwa baqa dan fana tidak dapat dibedakan ketika berbicara tentang
ittihad. Al-Baidawi menyatakan “hanya satu wujud yang terlihat, padahal
sebenarnya ada dua wujud yang saling terpisah” dalam ajaran ittihad, salah
satu aliran sufi. Pertukaran peran antara yang mencintai (manusia) dan yang
dicintai (Tuhan), atau lebih tepatnya antara sufi dan Tuhan, dapat terjadi

17
Afif Anshori. Tasawuf Filsafat Syaikh Hamzah Fansuri (Jakarta: Gelombang Pasang, 2004).
h. 167
18
Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta;
RajaGrafindoPersada, 1999), h. 152.
19
Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf (Jakarta; RajaGrafindo Persada,1996), h.232.
dalam ittihad ini karena apa yang terlihat dan apa yang dirasakan hanyalah
dua bentuk.20
3. Hulul
Secara harafiah, Hulul berarti Tuhan ada di dalam tubuh manusia tertentu,
yaitu manusia yang mampu melampaui kefanaannya dan segala sifat
manusia. Abu Nasr al-Tusi, yang dikutip oleh Harun Nasution dalam al-Luma,
berbicara tentang gagasan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu
untuk ada di dalamnya setelah kemanusiaan di dalam tubuh tersebut
dimusnahkan. Alasan keberadaan dan kelimpahan adalah cinta.
Sebelumnya, ketika Tuhan menciptakan sesuatu, Dia hanya dapat melihat
diri-Nya sendiri. Namun, setelah melihat dan mencintai hakikat-Nya sendiri,
Allah melihat yang lain.
Al-Hallaj sampai pada kesimpulan bahwa ada hakikat ketuhanan (lahut)
pada manusia dan sifat ketuhanan (nasut) pada Tuhan. Hulul terjadi ketika
hakikat manusia pada Tuhan menyatu dengan sifat ketuhanan pada
manusia.
Al-hulul menurut definisi di atas adalah tahap dimana Tuhan dan manusia
telah mencapai kesatuan spiritual. Dalam hal ini, Hulul pada dasarnya
hanyalah kata lain dari al-ittihad yang disebutkan sebelumnya. Tujuan dari
Hulul adalah untuk mewakili penjelmaan ketuhanan (lahut) menjadi manusia
(nasut), yang terjadi ketika batin seseorang disucikan dan disucikan dalam
perjalanan spiritualnya.
Demikian pula, setiap orang dilahirkan dengan sifat ketuhanan dan sifat
manusiawi (nasut dan lahut). Menurut bacaan Al-Hallaj terhadap surat al-
Baqarah ayat 34 yang menggambarkan kejadian Adam, hanya setan saja
yang tidak tunduk kepada Adam; dia berhati-hati dan ragu-ragu dan termasuk
orang-orang kafir. Karena Adam adalah kendaraan yang melaluinya Allah
mengambil wujud manusia, atau hulul, dalam wujud 'Isa (as), Allah
memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada Adam. Adam diciptakan

20
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1985), h. 236.
oleh Allah SWT sesuai dengan wujud-Nya, menjadikan Allah SWT sebagai
penjelmaan Allah. Sebuah hadits yang mempunyai pengaruh signifikan
terhadap kaum sufi dapat menjadi landasan pemahaman ini: Pada
kenyataannya, Adam diciptakan oleh Allah.”21
Para akademisi yang berbeda-beda mempunyai pandangan yang
berbeda-beda mengenai hakikat ajaran Hulul al-Hallaj. Al-Taftazani telah
berusaha untuk menentukan bahwa, alih-alih menjadi majazi dalam arti
sebenarnya, Hulul al-Hallaj adalah majazi. Al-Taftazani menegaskan bahwa
pemikiran Hulul al-Hallaj merupakan variasi dan kemajuan dari doktrin ittihad
yang disebarkan oleh Abu Yazid. Sebenarnya Hulul dan ittihad tidaklah
sama. Pada Hulul, hanya diri al-Hallaj yang tetap utuh, sedangkan pada
ittihad, diri Abu Yazid hancur dan hanya Allah yang hadir. Dalam pemahaman
Hulul, dua wujud menyatu menjadi satu tubuh, sedangkan dalam
pemahaman ittihad hanya terlihat satu wujud saja.
4. Wahdat Al-Wujud
Dua istilah, wahdat dan al-wujud, digabungkan membentuk pernyataan
wahdat al-wujud. Jika al-wujud mengacu pada keberadaan, wahdat berarti
kesendirian, ketunggalan, atau kesatuan. Dengan demikian kesatuan wujud
yang dimaksud dengan wahdat al-wujud. Setelah itu muncul penafsiran
berbeda terhadap kata wahdah. Ada akademisi kuno yang mendefinisikan
wahdah sebagai segala sesuatu yang hakikatnya tidak terpecah belah. Selain
itu, para filsuf dan sufi menggunakan istilah al-wahdah untuk merujuk pada
kesatuan antara materi dan roh, substansi dan bentuk, eksternal dan internal,
serta alam dan Tuhan, karena alam adalah esensinya, atau qadim, dan
berasal dari Tuhan.22
Dalam istilah awam, wahdat al-wujud mengacu pada keesaan Tuhan
dengan orang-orang yang dianggap suci atau yang telah mencapai dasar-
dasarnya. Alam semesta dan seluruh isinya diciptakan oleh Tuhan, sesuai
21
Asmaran, Pengantar…., h. 309.
22
Abd. Hakim Hasan, At-Tasawuf Asy’ir fi al-Arabi, (Cairo: Maktabah Anglo Masyriah, 1954),
h. 19.
dengan makna sebenarnya. Kita adalah bayangan Tuhan; Dialah Sang
Pencipta, Yang menjadikan umat manusia ada. Ada pula keyakinan lain,
yaitu wahdatul syuhud, yang pada hakikatnya identik dengan wahdatul wujud
dan berpandangan bahwa segala sesuatu termasuk diri kita adalah bagian
dari hakikat Tuhan.
Memang benar wahdatul wujud merupakan ilmu yang belum umum
diketahui masyarakat. Bagaimanapun juga, ini dimulai oleh orang-orang
kudus. Mengingat adanya kekhawatiran yang serius bahwa informasi
wahdatul wujud dapat menimbulkan fitnah dan penerimaan yang salah oleh
masyarakat umum. Ibnu Arabi dan al-Hallaj, misalnya, adalah wali yang
memulai hal ini. Orang-orang suci ini dihormati sebagai orang-orang suci
meskipun faktanya mereka tidak pernah mengaku sebagai dewa dan malah
diakui sebagai intelektual yang serius. Tuhan menciptakan alam semesta dan
segala isinya, sesuai dengan makna sebenarnya. Manusia adalah ciptaan
Tuhan, Sang Pencipta, dan kita adalah gambar-Nya. Keyakinan lain selain
wahdatul wujud yang secara praktis bersumber dari konsep yang sama
adalah bagian dari dzat Tuhan.
Memang benar wahdatul wujud merupakan ilmu yang belum umum
diketahui masyarakat. Bagaimanapun juga, ini dimulai oleh orang-orang
kudus. Mengingat adanya kekhawatiran yang serius bahwa informasi
wahdatul wujud dapat menimbulkan fitnah dan penerimaan yang salah oleh
masyarakat umum. Ibnu Arabi dan al-Hallaj, misalnya, adalah wali yang
memulai hal ini. Meskipun tidak pernah mengaku sebagai dewa, para suci ini
tetap dihormati sebagai orang terpelajar. Menurut komunitas sufi, wulus
adalah pengakuan bahwa kita ada dalam wujud Tuhan (wahdatul-wujud).
Syekh Sa'id Fudah menyatakan hal yang sama. Jadi, ini merupakan
penggabungan ittihad keberadaan kita dengan esensi Tuhan. Namun
menurut kelompok sufi, tidak ada ittihad dalam ahlus sunnah; Sebaliknya,
aqidah ahlus-sunnah wal jamaah adalah bertiqad dengan kemiskinan
makhluk terhadap Tuhan, sekaligus menjaga keberadaan kita berbeda dari
wujud Tuhan.23
5. Isyrak
Istilah Arab isyraq menunjukkan cahaya pertama di pagi hari, mirip
dengan cahaya dari timur (sharq), dan penerangan. Secara definisi, isyraqi
berarti kecerahan atau cahaya, dan umumnya dikaitkan dengan kualitas
seperti kekuatan, kebahagiaan, kejelasan, ketenangan, dll. Sebaliknya,
kegelapan dianggap sebagai representasi kejahatan, kemalangan,
keburukan, dan segala sesuatu yang menyebabkan penderitaan pada umat
manusia. Istilah "timur" tidak hanya mengacu pada lokasi suatu tempat tetapi
juga pada awal realitas dan cahaya.24
Al-Isyraq sebagai Ide Di antara konsep Suhrawardi al-Isyraq, tasawuf bisa
dibilang merupakan bentuk tasawuf filosofis yang paling inovatif. Mengingat
Suhrawardi al-Maqtul adalah pencipta konsep aslinya, perkiraan ini sangat
masuk akal. Nampaknya al-kasyf dan al-Isyraq dapat dipertukarkan. Al-Isyraq
artinya bersinar atau memancarkan cahaya. Di sisi lain, al-Isyraq lebih baik
dipahami sebagai pencerahan jika kita menelaah gagasan sentral ajarannya.
Nurul al-anwar, atau cahaya mutlak, adalah sumber segala keberadaan,
menurut Suhrawardi. Itu sebanding dengan matahari.
Syihabuddin Yahya bin Hafash Suhraward diakui sebagai tokoh aliran
Isyraq. Ia telah mempelajari Islam dan belajar Alquran sejak ia masih kecil. Ia
kemudian belajar pada Imam Mahyuddin Al Jilli di Maraghah, melanjutkan
belajar pada Zahiruddin Al Qari di Asfahan, dan belajar lagi pada Al Mardini.

23
Hasan, At-Tasawuf…, h. 21
24
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj, Suharsono dan
Jamaluddin MZ, (Yogyakarta: CIIS Press, 1995), h. 75. Sebagai bahan
bandingan dalam hal arti isyraqi dapat dilihat juga dalam, A. Khudori Shaleh, Wacana Baru
Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 119. Dan Taufik Abdullah, dkk, (edt),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1995), h. 215
Kesimpulan
Untuk mengungkap hubungan sebab-akibat suatu materi atau hakikat,
asal mula peristiwa, dan hakikat wujudnya, umat Islam melakukan aktivitas
mencari hubungan tersebut, serta asal muasal suatu materi atau hakikat.
Proses ini dikenal dengan pemikiran Islam. Umat Islam juga memanfaatkan
kegiatan ini untuk merenungkan bentuk-bentuk, baik materi maupun
hakikatnya. atau apa pun yang menjadi fokus pikiran agar benar-benar ada.
Penting sekali untuk membahas tentang teologi. Teologi adalah wacana
tentang bagian-bagian ushul yang merupakan gagasan sentral atau landasan
agama, sebagai lawan dari fiqh. Furu', yang berarti cabang atau ranting,
biasanya menjadi dasar fiqh. Membahas persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan Tuhan, keimanan, dan orang-orang kafir, serta mengidentifikasi
mereka yang benar-benar Muslim dan tetap dalam Islam dan mereka yang
benar-benar kafir dan meninggalkan Islam, tentu saja merupakan bagian dari
mempelajari teologi.
Tasawuf dengan kerangka konseptual yang mendalam dan penggunaan
bahasa simbolis-filosofis dikenal dengan tasawuf filosofis. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika sebagian besar sufi yang memahami tasawuf
melaporkan mengalami keracunan spiritual atau ekstasi dan melontarkan
komentar-komentar yang agak tidak lazim (syathahat).
Di antara ajaran tasawuf yang termasuk dalam kategori ini adalah:
a. Fana' dan Baqa', yang merujuk pada akhir kesadaran dan keberadaan.
b. Kesatuan Tuhan dan manusia dikenal dengan istilah ittihad.
c. Penyatuan sifat ketuhanan dan manusia dikenal dengan istilah Hulul.
d. Konsep bahwa Allah dan alam adalah satu dikenal dengan Wahdah al-
Wujud.
e. Aspek iluminasi atau pancaran cahaya Isyraq.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Hakim Hasan, At-Tasawuf Asy’ir fi al-Arabi, (Cairo: Maktabah Anglo


Masyriah, 1954),
Abdurrakhim, Perkembangan Pemikiran dalam Bintang Tasawuf. (Jakarta:
Pertja, 2001)
Abuddin Nata, Akhlak
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Grafindo Persada, 2006)
Abuddin Nata, Akhlaq Tasawuf (Jakarta; RajaGrafindo Persada,1996)
Afif Anshori. Tasawuf Filsafat Syaikh Hamzah Fansuri (Jakarta: Gelombang
Pasang, 2004).
Alwi Shihab, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di
Indonesia, (Bandung: Mizan 2001)
Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, Terj. S. Djoko Damono dkk.
(Jakarta, Pustaka Firdaus, 2003)
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf (Jakarta: Rajawali Pers, 1996)
Asmaran, Pengantar
Hasan, At-Tasawuf
https://kemenag.go.id/pojok-gusmen/gagasan-tasawuf-falsafi-kiai-said-an3jyh
https://komunitasbambu.id/soekarno-dan-pemikiran-islam/
https://mathlaulanwar.or.id/2018/12/14/sejarah-asal-usul-aliran-teologi-islam/
Jamil, Cakrawala Tasawuf Teori-teori yang dilahirkan para tokoh tersebut seperti
teori fana’, baqa’, dan ittihad yang dicetuskan oleh al-Busthami, teori hulul
yang dipelopori oleh al-Hallaj, teori wahdatul wujud yang digawangi oleh Ibnu
‘Arabi, dan teori insan kamil yang dirumuskan oleh al-Jilli. M. Sholihin,
Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2005)
Komaruddin Hidayat, Wahyu di langit Wahyu di Bumi, (Jakarta: Paramadina,
2003
Lihat Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003)
Lihat Anwar, Rosihon. Ilmu Tasawuf (Bandung, Pustaka Setia, 2006
Lihat definisi pemikiran dan pemikiran Islam dalam Longman Group, 1987,
Longman Dictionary of Contemporery English, England, hlm. 1105 dan Ibnu
Khaldun, 1986, Muqaddimah Ibnu Khaldun, terjemahan Ahmad Toha,
Jakarta: Pustaka Firdaus
Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu,1985),
Rivay Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, (Jakarta;
RajaGrafindoPersada, 1999)
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam Teologi, Filsafat dan Gnosis, terj,
Suharsono dan Jamaluddin MZ, (Yogyakarta: CIIS Press, 1995), h. 75.
Sebagai bahan bandingan dalam hal arti isyraqi dapat dilihat juga dalam, A.
Khudori Shaleh, Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 119. Dan Taufik Abdullah, dkk, (edt), Ensiklopedi Tematis Dunia
Islam Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1995),
Shihab, Islam Sufistik
Siregar,Rivay., Tasawuf, Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme, (Jakarta : Raja
Grafindo Persada, 1999)
Taftazani, Sufi …,;

Anda mungkin juga menyukai