Anda di halaman 1dari 16

PEMIKIRAN EPISTEMOLOGI AL-JABIRI:

BAYANI, BURHANI, DAN ‘IRFANI

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Filsafat Ilmu: Topik-Topik Epistemologi

Dosen Pengampu: Sibawaihi, S.Ag., M.Si., Ph.D.

Oleh:

Wendi Saputra 23204011029

Elisa Putri Kholifah 23204011075

MAGISTER PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA

2023
A. Pendahuluan
Dewasa ini, pola pemikiran yang komprehensif dan mendalam sangat
dibutuhkan mengingat segala hal informasi bahkan pengetahuan dapat diakses
dengan mudah dan cepat. Faktanya, kebanyakan orang pada saat ini tidak teliti
dalam mencari informasi, dengan kata lain tidak memfilter informasi tersebut
yang kemudian mengakibatkan banyaknya informasi palsu yang tersebar serta
menjadi propaganda radikalisme di tengah masyarakat. Hal ini yang harus
menjadi pemahaman bahwa setiap manusia perlu terus berfikir, serta
membutuhkan suatu pemikiran yang kritis dan mendalam.
Secara epistemologis, teori pengetahuan atau theory of knowledge
memiliki pengertian pengetahuan dan logos yang artinya uraian, teori.
Sehingga, secara terminologinya epistemologi adalah salah satu cabang ilmu
filsafat yang mengkaji mengenai sumber, tatanan, metode, keabsahan,
pengetahuan iu sendiri. Dengan memahami unsur tersebut akan diperoleh
sebuah pengathuan yang mampu diafirmasi validitasnya sebagai sebuah
disiplin ilmu yang mampu dikembangkan. (Zulpa Makiah, 2002)
Secara umum, dalam konteks epistemologi islam terdapat tiga arah
pemikiran yang dominan, yakni bayani, burhani dan irfani. Muhammad Abid
Al-Jabiri, seorang pemikir kontemporer asal Maroko, secara signifikan
memperhatikan dan memetakan epistemologi ini sebagai studi ilmiah.
Menurutnya, pada masa keemasan budaya dan tradisi pemikiran islam, terdapat
tiga struktur epistemologi yang saling berkompetisi, yaitu bayani (penjelasan),
burhani (penyajian logis) dan ‘irfani (pengalaman mistis). Pendekatan
epistemologi bayani didasarkan pada teks keagamaan, sementara pendekatan
burhani menggunkaan logis filosofis dan pendekatan ‘irfani memanfaatkan
dimensi mistis. (Al-Jabiri, 2003)

Epistemologi Islam ini diharapkan menjadi alat yang ampuh untuk


memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang berdampak pada
lingkungan, termasuk lingkungan sosial, budaya, dan geografis. Dengan kata
lain, epistemologi Islam berfungsi sebagai media pemajuan ilmu pengetahuan

1
dan kemajuan teknologi. Pengetahuan Islam mempunyai karakteristik yang
berbeda secara mendasar dengan pengetahuan yang berkembang di Barat,
antara lain pengetahuan tentang daratan, lautan, langit, dan metodologi. Dalam
Islam, ilmu pengetahuan diperoleh melalui Al-Qur'an dan Sunnah; itu berasal
dari alam fisik dan metafisik; itu diperoleh melalui intuisi, akal, dan indra.
Cakupan ilmunya cukup luas; tidak hanya mencakup pengalaman manusia
tetapi juga mencakup pengalaman Ukraina. Oleh karena itu, bab ini akan
bermanfaat dalam menjawab permasalahan terkait pemahaman ilmu Islam,
epistemologi Islam, dan prinsip-prinsip Islam dalam kemajuan ilmu
pengetahuan dan aktivitas intelektual.(Jaenullah, n.d.)

B. Pembahasan
1. Sekilas Biografi Muhammad Abid Al-Jabiri
Muhammad 'Abid al-Jabiri lahir pada tahun 1936 di Maroko, di Figuig
(Bayan Tenggara). Ia tinggal di antara teman-teman yang mendukung partai
Istiqlal. Pendidikan Al-Jabiri dimulai di sekolah agama dan berlanjut ke
sekolah nasional (madrasah hurrah wataniyah) yang fokusnya adalah
membina kemerdekaan bangsa. Setelah itu, pendidikan Al-Janbiri
dilanjutkan di sekolah lanjutan (setingkat SMA) di Casablanca. Untuk
jenjang perguruan tinggi, al-Jabiri menempuh pendidikannya di Sekolah
Tinggi Arab dan mendapat gelar Diploma dalam bidang ilmu pengetahuan
(science) setelah Maroko merdeka. Pada tahun 1964, Al-Jabiri mulai
menjabat sebagai guru Filsafat di tingkat sekolah dasar dan juga berperan
aktif dalam evaluasi dan penelitian pendidikan. Di samping itu, ia juga
sering menerbitkan berbagai artikel tentang isu serta problem dalam
pendidikan (Al-Jabiri, 2003).
Selanjutnya, Pada tahun 1970, Al-Jabiri memperoleh gelar doktor dari
Universitas Muhammad V di Rabat, Maroko. Judul disertasinya adalah Fikr
Ibnu Khaldun al-Asabiyyah wa ad-Daulah: Mu'allim Nazariyyah
Khalduniyyah fi at-Tarikh al-Islami (Penetapan hubungan bangsa dengan
nabi: Rambu-rambu Paradigmatik Penetapan hubungan antara nabi dan

2
bangsa dalam hukum Islam). Dalam prosesnya, Al-Jabiri mendiskreditkan
Marx yang saat ini sedang mengalami kemunduran parah di dunia Arab. Dia
membaca dan mempelajari tulisan-tulisan Marx secara ekstensif. (Al-Jabiri,
2000).
Dalam perkembangannya, Al-Jabiri meragukan efektivitas pemikiran
Marx dalam konteks pemikiran Islam. Keraguannya semakin meningkat
setelah mempelajari buku Yves Lacoste yang berisi perbandingan pemikiran
antara Karl Marx (Barat) dengan Ibnu Khaldun (Islam). Dari situlah ia
mempertanyakan kembali asumsi-asumsi para orientalis yang menurutnya
terlalu dipaksakan dalam studi Islam, sehingga perlu untuk membuat
metodologi khusus. Metodologi tersebut adalah: (a) strukturalis, yaitu kajian
harus didasarkan pada teks sebagaimana adanya; (b) analisis sejarah, untuk
melihat cakupannya, aspek politik dan sosiologis; (c) kritik ideologi, untuk
mengidentifikasi fungsi ideologis dan fungsi sosial politik yang termuat
dalam suatu teks atau pemikiran tertentu. (Al-Jabiri, 2000).
Berdasarkan metodologi yang dibangunnya, Al-Jabiri mulai meneliti
tentang pemikiran dan kebudayaan Islam yang dibatasi pada Islam-Arab,
yaitu teks-teks berbahasa Arab dan tidak mencakup non-Arab. Di samping
itu, Al-Jabiri juga memberikan batasan hanya terkait pada epistimologi,
yaitu kerangka berpikir yang mendominasi pemikiran Arab dalam tahap-
tahap tertentu. Oleh karena itu, Al-Jabiri dalam karya-karyanya tidak
membahas berbagai permasalahan tentang wahyu, mitos, ortodoksi, dan
simbol atau yang terkait teologis yang banyak terdapat dalam karya-karya
M. Arkoun. (Soleh A. K., 2003).
Al-Jabiri telah menghasilkan banyak karya tulis berupa buku, artikel,
koran, dan majalah. Tema yang dibahasnya juga bervariasi, yaitu isu-isu
politik, sosial, teologi, dan filsafat. Perjalanan karir intelektualnya dimulai
dengan terbitnya buku Nahwu wa al- Turats (Nahwu dan Turats), kemudian
disusul dengan al-Khitab al-’Arabi al-Mua’sir Dirasah Naqdiyyah
Tahliyyah pada dua tahun berikutnya. Dua buku tersebut diasumsikan
sebagai persiapan pengantar pada proyek utama intelektualnya, yaitu ‘Naqd

3
al-’Aql al- ’Arabi (kritik akal Arab). Tujuan buku tersebut adalah untuk
mengupas kerangka awal pemikiran masyarakat Arab-Islam dan
mempelajari langkah-langkahnya. Karya tersebut juga telah menerbitkan
Takwim al-’Aql al-’Arabi, al-’Aq al-Akhalqi al Arabiyyah, Bunyah al-
’Aql-’Arabi, al-A’ql al-Siyasi-’Arabi, dan Dirasah Tahliliyah Naqdiyyah li
Nuzum al-Qiyam fi ath-Thaqafah al- Arabiyyah. (Kusuma, 2018).
Karya Al-Jabiri yang penting lainnya, yaitu al-Dimaqratiyyah, Durus
fi al-falsafah, al- Tasamuh, Turasth wa al-Hadatshah, Tahafual al-thafut
intisaran li ruh al-‘Ilmiyyah wa ta’sisan li akhlaqiyat al-Hiwar, Sira’ al-
Hadarat, Ishkaliyyah al Fikr al-’Arabi al- Mua’asir, al-Wahdah ila al-
Ahklaq, dan Qadaya al-Fikr al-Mu’asir Al’awlamah. Tahun 1996 yaitu, al-
Muthaqqafun fi al-Hadarah al-’Atabiyyah Mihnab ibn Hambal wa Nukkhah
Ibn Rusyd, Mas’alah al-Hawwiyah, al-Mashru al-Nahdawi al- ’Arabi
Muraja’ah naqdiyyah, dan al-Tahmiyyah al- Basyaraiyyah di al-Watan
al-‘Arabi al-Din wa al-Dawlah wa Thabiq al-Syari’ah (Kusuma, 2018).
2. Epistemologi Bayani
Dimulai dengan Beliau menjelaskan mengenai ayat-ayat yang sukar
dipahami oleh para sahabat. Bahan bayani telah dimulai dari masa
Rasulullah ‫ﷺ‬. Selanjutnya masyarakat membacakan ayat-ayat Al-
Qur'an berdasarkan tahapan kehidupan Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬melalui
tulisan atau teks. Selanjutnya para tabi'in mengumpulkan tulisan-tulisan
Rasulullah ‫ ﷺ‬dan para sahabat, yang darinya mereka memperoleh
penafsiran dengan kemampuan menulis puisi atau prosa, serta ijtihad
dengan teks sebagai upaya terakhir. Tabi'in generasi segerah dengan
menggunakan metode penafsiran, serupa dengan pendahulunya, tetapi
berlaku pada generasi lain.
Hingga saat ini, tantangan utama dalam pendidikan islam atau studi
islam adalah dominasi yang kuat dari pola pikir bayani. Disadari maupun
tidak, pendekatan tekstual atau bayani ini telah mengendalikan dan
membentuk arus utama pemikiran yang mendominasi di kalangan umat
islam (Abdullah: 2001). Secara lebih sederhana, bayani merupakan sebuah

4
epistemologi yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, seperti nahwu, fiqih,
kalam, dan balaghah yang berakaar pada bahasa arab dengan menggunakan
pendekatan lughawiyah. Pendekatan metodologi dalam bayani ini
bersumber dari teks, khususnya teks kitab suci yang memiliki otoritas dan
mengarahkan pada kebenaran. Akal berperan sebagai penjaga makna yang
terdapat dalam teks tersebut, yang bisa diamati melalui hubungan antara
makna dan kata-kata yang terungkap.
Metodologi yang digunakan dalam episteme bayani diklasifikasikan
menjadi empat yaitu pertama, ijtihadiyyah yang merupakan usaha untuk
menemukan hukum dengan cara memahami bahasa dari teks al-qur’an dan
hadits sebagai dua sumber utama pada hukum islam (Andrizal et al., 2023).
Kedua, istinbatiyyah merupakan metode dalam memahami dalil-dalil wahyu
yakni al-qur’an dan sunnah yang kemudian diturunkan dalam bentuk
hukum. Ketiga, istidlaliyah yang digunakan untuk menentukan dalil guna
menetapkan sebuah keputusan bagi yang ditunjukkan. Keempat, qiyas atau
analogi yang dimaksudkan untuk mencari serta menetapkan hukum baru
dengan cara merujuk secara analogis terhadap hukum ashl.(Farabi &
Irawan, n.d.)
Epistemologi bayani yang pada dasarnya telah digunakan oleh para
fuqaha’ (para fiqh), mutakallimun (theolog) serta ushulliyun (pakar ushul al
fiqh) dimana penggunaan bayani untuk:
a. Sebagai sarana memahami atau menganalisis teks untuk
mengidentifikasi makna yang terkandung atau diharapkan dari lafaz
tersebut di atas, atau dengan kata lain, tujuan pendekatan ini adalah
untuk mengidentifikasi makna yang zahir dari lafaz tersebut. itu juga
zahir.
b. Istinbat (pengkajian) dari hukum al-nushush al-diniyah (al-qur’an dan
hadis). (Hasyim, 2018).
Karena bayani terkait erat dengan teks tertulis, inti permasalahannya
berpusat pada hubungan antara kata-kata dan maknanya serta prinsip-prinsip
dasar (ushul-furu’) sebagai contoh, masalah timbul saat menginterpretasikan

5
sebuah teks sesuai dengan konteks atau makna aslinya (tauqif), serta
bagaimana melakukan analogi terhadap istilah yang tidak disebutkan secara
langsung dalam teks suci. Hal ini melibatkan penggunaan istilah khusus
dalam terminologi syari’ah, seperti istilah shalat, puasa, zakat.
Menurut Al-Jabiri dalam konteks ushul furu’, pengertian ushul tidak
merujuk pada fondasi hukum fiqih seperti Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan
qiyas. Namun, pengertian ushul lebih mengacu pada konsep umum bahwa ia
merupakan dasar dari proses penggalian pengetahuan. Ushul dianggap
sebagai titik puncak daru keterkaitannya dengan furu’ dan peran ushul dalam
konteks furu’ dapat diuraikan dalam tiga aspek:
a. Ushul berfungsi sebagai sumber ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui
proses istinbat. Istinbat merupakan upaya untuk menggali sesuatu yang
belum tersedia, sehingga nash berperan sebagai sumber pengetahuan
b. Ushul berfungsi sebagai landasan bagi ilmu-ilmu lain dan diterapkan
dalam konteks pertanyaan, baik melalui pertanyaan-pertanyaan dengan
pertanyaan illat seperti yang digunakan oleh para ulama fiqih, maupun
pertanyaan-pertanyaan yang lazim ditanyakan oleh para ulama.
c. Ushul dijadikan sebagai landasan perolehan ilmu, dan diterapkan melalui
prinsip-prinsip fiqh ushul dalam proses perolehan ilmu. (Hafizallah, 2019).
3. Epistemologi Burhani
Menurut etimologi, istilah “al-Burhan” berasal dari bahasa Arab
yang berarti penalaran yang jelas dan ringkas (al-Hujjah al-Fashilah al-
Bayyinah). Dalam bahasa Inggris, “al-Burhan” disebut demonstration,
berasal dari bahasa Latin demonsstratio, yang berarti bukti, sifat,
keterangan, dan menampakkan. Selain itu, “al-Burhan” juga dapat
digambarkan sebagai bukti yang jelas dan dalil yang meyakinkan.(Al-Jabiri,
1990).
Secara sederhana, al-Burhani (demonstrative) dapat didefinisikan
sebagai suatu proses berfikir melalui pendekatan deduktif untuk menetapkan
kebenaran qadhiyah (proposisi) dengan menghubungkan antara suatu
proposisi dengan proposisi yang lain yang kebenarannya telah dibuktikan

6
secara aksiomatik (Kulsum, 2020). Epistemologi Burhani memberi
eksperimentasi, konseptualisasi, indrawi, dan penekanan pada bawaan
manusia (naluriyah). Secara epistemologi, burhani akal berfungsi sebagai
alat analisis dan analisa kritis. Epistemologi Burhani dikenal juga sebagai
metode ilmiah yang digunakan untuk memahami fenomena keagamaan.
Dalam penyelidikannya, analisis historis, antropologis, sosiologis,
psikologis, filsafat, dan linguistik dapat digunakan dengan menggunakan
epistemologia Burhani (hermeneutika). (Hasyim, 2018).
Akal epistemologi sebagai sumber ilmu pengetahuan burhani. Akal
mampu memahami berbagai jenis ilmu, termasuk ilmu yang berkaitan
dengan agama, seperti benar dan salah (Kamal, 2006). Sejalan dengan hal
tersebut, Ibnu Bajjah sebagaimana dilansir Sirajuddin menegaskan bahwa
manusia mampu memahami suatu objek dengan akal, bahkan sampai pada
tingkat kebahagiaan dan Al-Qur'an (Zar,2012). Dalam bidang agama,
banyak penganut rasionalisme, seperti tokoh agama moderat dan mu'tazilah
firqah, yang menerapkan epistemologi.
Al-Jabiri dengan pemikirannya dalam epistemologi rasionalis yang
bersistem sebab akibat pengetahuan tentang hukum alam. Epistemologi
Burhani diperkenalkan ke dalam suatu sistem yang dihasilkan dari beberapa
keadaan di sekitar. (Shofan, 2006). Penggunaan metode burhani dibutuhkan
atas dasar tuntutan untuk menjawab pemikiran- pemikiran bebas, seperti
analisis wahyu atau hal-hal lain yang termasuk dalam kategori “zindiq”, dan
doktrin yang bersifat hiterodok dari India, Iran, Persia, dan sebagian Syam
seperti daerah Mazdiah dan Manikiah. Untuk menjawab tuntutan-tuntutan
tersebut, metode bayani yang sudah ada sebelumnya tidak relevan untuk
digunakan. Maka, sarjanawan muslim mencari kerangka berpikir yang
rasional dengan argumentasi yang masuk akal (Hafizallah, 2019).
Menurut Al-Jabiri sebagaimana yang dikutip oleh Hafizallah, bahwa
ketiadaan rasionalisme mengindikasikan adanya pengingkaran terhadap
kausalitas(Hafizallah, 2019). Menurut Suhrawardi, kekurangan epistemologi
burhani yaitu: (a) bahwa pendekatan burhani atau rasio tidak dapat

7
mencapai suatu kebenaran-kebenaran tertentu; (b) adanya eksistensi diluar
rasio yang tidak bisa dijelaskan burhani tetapi bisa dicapai secara nalar,
contohnya warna dan bau; (c) Prinsip Burhani menyatakan bahwa setiap
atribut yang tidak didukung oleh atribut lain akan menyebabkan proses
berakhir sebelum waktunya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa
deduksi rasionalitas dan demonstrasi tidak dapat membuka seluruh
kebenaran dan realitas sebagai dasar semesta. (Muthahhari, 1993).
4. Epistemologi ‘Irfani
Epistemologi ‘irfani merupakan salah satu bentuk penalaran
dalam keilmuan Islam klasik. Epistemologi ‘irfani ini digunakan dan
dikembangkan oleh masyarakat sufi (Zar, 2012). Istilah ‘irfan berasal
dari bahasa Arab yaitu ‘arafa-ya’rifu-‘irfan, bersinonim dengan kata
ma’rifat, yang artinya pengetahuan, namun berbeda dengan ilmu.
‘Irfan atau ma’rifat ini dikaitkan dengan pengetahuan dari Tuhan
yang diperoleh secara langsung (kasyf). Pengetahuan tersebut
diperoleh melalui olah rohani yang didasari cinta dan kemauan yang
kuat dalam pelaksanaannya. Adapun ilmu merupakan pengetahuan
yang didapatkan melalui rasionalitas (aql). (Zar, 2012).
Menurut Muthahhari (1920-1979 M) sebagaimana yang dikutip
oleh Soleh, ‘irfan terbagi pada dua aspek, yaitu aspek teoritis dan
aspek praktis. Dalam aspek teoritis, ‘irfan mengkaji hakikat manusia,
semesta, dan Tuhan sehingga ‘irfan pada aspek ini memiliki
persamaan dengan filsafat. Namun demikian, ‘irfan tetap berbeda
dengan filsafat dalam berbagai faktor, seperti argumentasi filsafat
didasarkan pada postulat dan aksioma, sedangkan ‘irfan didasarkan
pada intuisi dan visi. Selain itu, dalam pandangan filsafat eksistensi
alam disamakan dengan eksistensi Tuhan, sementara dalam
pandangan ‘irfan eksistensi Tuhan mencakup segala hal termasuk
sifat-sifat Tuhan.

8
Selanjutnya pada aspek praktis, ‘irfan membicarakan tentang
hubungan antara manusia dengan alam, dan hubungan antara
manusia dengan Tuhan. Contohnya, orang yang ingin mengenal
Tuhan harus menempuh perjalanan spiritual terlebih dahulu dengan
melalui proses dan keadaan tertentu. Bagi kaum ‘irfan, mengenal
Tuhan artinya mengenali keesaan-Nya. (Soleh, 2013).
Proses untuk memperoleh pengetahuan ‘irfani dilakukan melalui tiga
tahap, yaitu:
a. Persiapan
Tahap ini bertujuan untuk menyiapkan seseorang agar bisa
menerima limpahan pengetahuan (kasyf). Seseorang harus menempuh
tingkatan kehidupan atau maqom spiritual yang setidaknya ada tujuh
maqom, mulai dari bawah yang paling bawah menuju yang paling tinggi,
yaitu: (1) Taubat; (2) Wara’, menjauhi segala sesuatu yang syubhat; (3)
Zuhud, lebih mengutamakan kehidupan akhirat; (4) Faqir, mengosongkan
segala pikiran dan angan-angan, dan hanya mengehendaki Allah SWT;
(5) Sabar, berlaku sopan dan rela menerima segala bencana; (6) Tawakal,
percaya dengan segala ketentuan Tuhan; (7) Ridha, senantiasa bersyukur
atau gembira dan sukacita atas segala ketentuan Tuhan.
b. Penerimaan
Seseorang yang telah mencapai tingkat tasawuf tertentu akan
mampu menyerap ilmu pengetahuan dari Tuhan dengan cara yang
mencerahkan. Pada saat ini seseorang akan mengalami realitas mutlak
(kasyf), yang mana ia akan mampu melihat realitas dirinya sendiri
(musyahadah) sebagai objek yang dipahami. Namun realisasi kesadaran
dan kesadaran tersebut di atas sebenarnya adalah keberadaan yang sama,
atau lebih tepatnya, keduanya bukanlah hal yang berbeda; maka yang
dipahami adalah kesadaran yang memahaminya sendiri, kiranya benar
(ittihad). Dalam penelitian yang dilakukan Mehdi Yazdi, hal ini disebut
dengan “pengetahuan objek-diri” atau “pengetahuan hudhurian”.

9
c. Pengungkapan dengan lisan atau tulisan.
Yakni pengalaman mistik yang diartikan dan diungkapan melalui
lisan atau tulisan kepada orang lain. Namun demikian, pengetahuan
‘irfani tidak bisa dikomunikasikan dan tidak semua pengalamannya bisa
diungkapkan. Karena pengetahuan ‘irfani terkait dengan kesatuan diri
dalam Tuhan dan tidak termasuk dalam tataan konsepsi dan representasi
(Yazdi, 1994).
Menurut Ibn Thufail sebagaimana yang dikutip oleh
Sirajuddin, bahwa ‘irfan itu dimulai dari panca indra. Pengetahuan
indrawi dapat diperoleh dengan pengamatan dan pengalaman.
Sedangkan sesuatu yang dominan metafisis hanya dapat dirasakan
dengan intuisi. Pengetahuan‘irfani diperoleh melalui olah rohani
dengan dasar cinta dan kesungguhan. Semakin tinggi cinta dan
kesungguhannya, maka ‘irfani akan semakin jelas, dan semakin
tersingkap berbagai hakikat (kasyfuruhani). Hal tersebut merupakan
keadaan di luar kesadaran seseorang yang tidak bisa dideskripsikan
dengan lisan atau tulisan karena lisan dan tulisan hanya kata-kata
yang terbatas pada pengamatan indrawi. (Zar, 2012).
Secara keseluruhan, tahapan perkembangan 'irfani dapat
dikelompokkan ke dalam lima fase, sebagaimana dijelaskan oleh Kulsum
(2020). Fase pertama dimulai pada abad pertama hijriyah dan disebut
sebagai "periode pembibitan". Pada fase ini, indikatornya adalah sikap
zuhud. Thabathaba’i (1892-1981 M) menggambarkan tokoh-tokoh 'irfan
sebagai individu yang suci, meskipun mereka tidak secara terbuka
membahas konsep 'irfan. Sifat ini didasarkan pada ajaran Al-Qur’an dan
hadis, di mana mereka menjauhi urusan dunia untuk mencari pahala dan
menjaga diri dari ancaman neraka.
Fase kedua, yang dikenal sebagai "masa kelahiran", dimulai pada
tahun kedua kalender Islam dan menyaksikan sejumlah orang secara
bertahap memperoleh konsep 'irfan. Selain itu, beberapa karya ulama ‘irfan

10
juga pernah diterbitkan, seperti ‘Ri’ayat Huquq Allah’ karya Hasan Basri
(642–728) dan ‘Mishbah al-Syari’ah’ karya Fudhail ibn Iyadh (721–803).
Sejalan dengan perkembangan selanjutnya, konsep zuhud pun mengalami
perubahan. Hal ini tidak sebatas perasaan tidak nyaman dan takut akan
kematian, namun juga bermula dari keinginan untuk bertemu Tuhan.
Konsep ini dikembangkan oleh Rabiah Adawiyah (717-801 M).
Fase ketiga, terkadang disebut sebagai “masa transformasi”, dimulai
pada tahun ketiga hingga keempat kalender Islam. Selama ini, tokoh 'irfan
menyampaikan keprihatinan yang semakin meningkat terkait dengan aspek
keadilan dan moralitas. Dalam prosesnya, 'irfan menjadi manusia yang
berakhlak mulia dan beriman (akhlak). Oleh karena itu, pada penelitian
selanjutnya, tokoh irfan mulai menjelajahi pengetahuan yang diukung oleh
sarana dan metode tersebut.
Dengan cara ini, sepanjang fase ini, 'irfan telah mengeksplorasi isu-isu
moral, mengembangkan hubungan intuitif yang diam dengan Tuhan,
mengembangkan rasa empati dunia nyata yang kuat, dan mencapai tingkat
kerja sama yang tinggi. Selain itu, 'irfan juga menggunakan simbol-simbol
dalam menafsirkan realitas yang dihadirkan, seperti yang dipaparkan Dzun
Al-Nun Al-Misri (796–861). Konsep ini kemudian dijabarkan lebih lanjut
oleh Junaid Al-Baghdadi (830-910 M) dan sempat dibahas pada kaki
mimbar Abu Bakar Al-Syibli (861-946 M). (Zar, 2012).
Fase keempat, juga dikenal sebagai "periode puncak", dimulai pada
tahun kelima kalender Islam. Banyak anak muda di era ini yang ingin
belajar dan menulis tentang "irfan". Di antara mereka, Said Abu Khair
(967–1048 M) menciptakan lagu terkenal “Ruba’iyat”. “Kasyf al-Mahjub”
diproduksi oleh Ali Ibnu Utsman Al-Hujwiri (990–1077 M), sedangkan
“Manazil al-Sairin” adalah karya paling signifikan tentang ‘irfan, menurut
Abdullah Al-Anshari (1006–1088 M) . Pada masa ini, Al-Ghazali (1058–
1111 M) menulis “Ihya’ Ulumuddin”, sebuah risalah yang membedakan
fiqh (irfan dan bayani) dengan tasawuf. (Hakim & Saebani, 2008).

11
Fase kelima, juga dikenal sebagai "periode spesifikasi", dimulai pada
tahun keenam kalender Islam. Berdasarkan wawasan utama Al-Ghazali,
pemahaman umat Islam terhadap 'irfan semakin halus dan menyatu. Hal ini
memberikan banyak kesempatan bagi para sufi untuk mengamalkan tarekat-
tarekat yang kemudian mereka bacakan kepada tetangga Muslim mereka.
Abd Al-Qadir Al-Jailani (1077-1166 M), Ahmad Al-Rifa'i (1118-1181 M),
Abu Hasan Al-Syadzili (1196-1258 M), Abu Abbas Al-Mursi (1219-1286
M) , dan Ibnu Athaillah Al-Iskandari (1250-1309 M) adalah beberapa orang
yang mengamalkan amalan ini.(Soleh, 2013).
Pada zaman ini pula, beberapa ulama telah berupaya menghubungkan
'irfan dengan filsafat, seperti Suhrawardi (1153-1191 M) dengan karyanya
“Hikmah al-Isyraq”. Baik Ibnu Arabi (1165–1240 M) maupun Umar Ibn
Faridh (1181–1235 M) juga terlibat dalam perdagangan kecil-kecilan.
Padahal, saat ini, Suhrawardi dan Ibnu Arabi adalah pionir dalam
mengidentifikasi kekurangan mistik mereka sendiri, yang disebut dengan
“ilmu irfan”. Untuk itu pada era epistemologi ini, 'irfan mengembangkan
dua pilar. Pertama, “irfan Sunni” yang secara konsisten menitikberatkan
pada cara pelaksanaan (etika) berupa resep-resep. Selain itu, “irfan teoritis”
yang lebih banyak dipengaruhi oleh filsafat. (Soleh, 2013).
“Periode ringkasan,” juga dikenal sebagai “fase keenam,” terjadi pada
tahun kedelapan kalender Islam. Pada masa ini, pertumbuhan kaum 'irfan
dalam tradisi Sunni tidak mengalami kemajuan, bahkan dalam hal tertentu
mengalami kemunduran. Para tokoh menjadi tidak terlalu ragu untuk
memberikan umpan balik dan kritik terhadap praktik-praktik sebelumnya
dan lebih cenderung pada bentuk-bentuk formalistik dan seremonial.
Kadang-kadang, hal ini menyebabkan mereka menjauhkan diri dari
substansi pendidikan yang asli. Ternyata, teori 'irfan' yang lazim diajarkan
di kelas Syi'ah erat kaitannya dengan kecenderungan pesimis yang terus-
menerus dalam filsafat. Di alam terbuka, beberapa ulama seperti Hamzah
Fansuri (wafat 1590 M) dan Syamsuddin Sumatrani (wafat 1639 M)

12
mengembangkan teori teokritisisme yang disebut juga “martabat tujuh”.
(Soleh, 2013).

C. Kesimpulan
Muhammad Abid Al-Jabiri adalah seorang pemikir yang berperan penting
dalam memajukan penelitian ilmiah terkait dengan epitemologi bayani,
burhani dan ‘irfani. Epistemologi bayani didasarkan pada nash yaitu Al-
Qur’an dan al-sunnah, dengan akal hanya berfungsi sebagai pendukung teks
dan memiliki peran yang lebih rendah dibandingkan teks. Epistemologi
burhani menekannkan pada peran akal yang diarahkan dengan argumen logis,
menganggap akal sebagai sumber pengetahuan yang mampu menemukan
berbagai pengetahuan, termasuk di dalam bidang keagamaan. Sementara
epitemologi ‘irfani menitiberatkan pada otoritas al-kasyf yang berarti
pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan melalui proses
spiritual yang didasarkan pada cinta atau keinginan yang kuat.

13
D. Referensi
Al-Jabiri, M. A. (1990). Bunyah al-‘Aql al-‘Arabi . Beirut: Markaz Dirasah al-
Wihdah.
Al-Jabiri, M. A. (2000). Post-Tradisionalisme Islam terj. Ahmad Baso.
Yogyakarta: LKIS.
Al-Jabiri, M. A. (2003). Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju
Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interreligius, terj. Imam Khoiri.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Al-Jabiri, M. A. (2003). Kritik Kontemporer atas Filsafat Arab-Islam terj. M.
Nur Ichwan. Yogyakarta: Islamika.
Andrizal, M Saleh, M., & Bustami, Z. (2023). Ijtihad Bayani sebagai Metode
Penemuan Hukum Islam. Jurnal Hukum Resplubica Fakultas Hukum
Universitas Lancang Kuning, 2(22), 22.
Farabi, M. Al, & Irawan, R. (n.d.). Epistemologi Nalar Bayani, Burhani dan
Irfani dalam Pengembangan Studi Islam. 17(September 2021), 225–235.
Farabi, M. Al, & Irawan, R. (n.d.). EPISTEMOLOGI NALAR BAYANI,
BURHANI DAN IRFANI DALAM PENGEMBANGAN STUDI ISLAM.
17(September 2021), 225–235.
Farabi, M. Al, & Irawan, R. (n.d.). EPISTEMOLOGI NALAR BAYANI,
BURHANI DAN IRFANI DALAM PENGEMBANGAN STUDI ISLAM.

14
17(September 2021), 225–235.
Hafizallah, Y. (2019). Pemikiran Abed Al-Jabiri Terhadap Nalar Arab.
Mawa’Izh: Jurnal Dakwah Dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan,
10(1), 60–76. https://doi.org/10.32923/maw.v10i1.742
Hakim, A. A., & Saebani, B. A. (2008). Filsafat Umum: Dari Metodologi
sampai Teofilosofi. Pustaka Setia.
Hasyim, M. (2018). EPISTEMOLOGI ISLAM (BAYANI, BURHANI, IRFANI).
217–228.
Jaenullah. (n.d.). Epistemologi Islam (Sebuah Konsep Islam Tentang
Pengembangan Ilmu dan Gerakan Intelektual). 221–230.
Kamal, Z. (2006). Ibn Taimiyah Versus Para Filosof: Polemik Logika. Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Kulsum, U. (2020). Epistemologi Islam Dalam Tinjauan Filosofis. Urwatul
Wutsqo: Jurnal Studi Kependidikan Dan Keislaman, 9(2), 229–241.
https://doi.org/10.54437/urwatulwutsqo.v9i2.185
Kusuma, W. H. (2018). Epistemologi Bayani , Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan
Relevansinya Bagi. Syi’ar, 18(1), 19.
Kusuma, W. H. (2018). Epistemologi Bayani , Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan
Relevansinya Bagi. Syi’ar, 18(1), 19.
https://ejournal.iainbengkulu.ac.id/index.php/syiar/article/view/1510
Muthahhari, M. (1993). Tema-Tema Filsafat Islam. Bandung: Mizan.
Shofan, M. (2006). Jalan Pemikiran Islam. Jawa Timur: Universitas
Muhamadiyyah Gresik Press.
Soleh, A. K. (2003). M. 'Abed Al-Jabiri Model Epistemologi Islam.
Yogyakarta: Jendela.
Soleh, K. (2013). Filsafat Islam; dari Klasik hingga kontemporer. Yogyakarta:
Arruzz Media.
Yazdi, M. (1994). Ilmu Hudhuri. Bandung: Mizan.
Zar, S. (2012). Filsafat Islam: filosof dan filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.Andrizal, M Saleh, M., & Bustami, Z. (2023). Ijtihad Bayani
sebagai Metode Penemuan Hukum Islam. Jurnal Hukum Resplubica
Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, 2(22), 22.
Zulpa Makiah. (2002). Epistemologi bayani, burhani dan irfani dalam
memperoleh pengetahuan tentang.

15

Anda mungkin juga menyukai