Anda di halaman 1dari 6

UJIAN AKHIR SEMESTER

TAHUN AKADEMIK 2022/2023

Nama = Muhammad Rizki Azizi Mata Kuliah = Metodologi Studi Islam

NIM = 30122075 Dosen = Lia Afiani, M. Hum

Kelas = IAT B Semester = Genap/2022-2023

MUHAMMAD ABID AL-JABIRI

A. Profil Muhammad Abid Al-Jabiri

Muhammad Abid Al-Jabiri lahir di Figuig, Maroko, pada tahun 1936. Dia merupakan
seorang dosen filsafat islam di Fakultas Sastra Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko.
Awal mulanya dia menempuh pendidikan di sekolah agama, namun kemudian dia pindah ke
sekolah swasta nasional pada tahun 1951 yang dibangun oleh gerakan kemerdekaan. Dia
melanjutkan pendidikannya di sekolah lanjutan yang setara dengan sekolah menengah atas
milik pemerintah Kasablanka. Kemudian beriringan dengan merdekanya Maroko, dia
melanjutkan pendidikan sekolah setara dengan diploma di sekolah tinggi Arab di bidang Ilmu
Pengetahuan. Lalu di tahun 1959 Al-Jabiri mulai belajar filsafat di Universitas Damaskus
Suriah, tapi setahun setelahnya dia pindah ke Universitas Rabat. Di tahun 1967, dia
merampungkan ujian negaranya dengan tesis berjudul “The Philosophy of History of Ibn
Khaldun” (Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun dibawah bimbingan M. Aziz Lahbabi). Pada tahun
1970, dia menyelesaikan program doktoralnya di Universitas yang sama dengan disertasi
berjudul “Fikr Ibn Khaldun al-Asabiyyah wa ad-Daulah: Ma’alim Nazariyyah Khalduniyyah
fi at-Tarikh Al-islami” (pemikiran Ibn Khaldun dan Asabiyya).1

Dia yang dilahirkan dan dibesarkan di bekas pemerintahan Prancis membuat Al-Jabiri
tak memiliki masalah dalam mengakses buku serta pemikiran yang berbahasa Prancis.
Pemikiran Al-Jabiri saat itu banyak dilatarbelakangi oleh doktrin Marxisme yang naik daun di
dunia Arab. Oleh sebab itu dia memakai pendekatan strukturalis maupun post modern yang
mayoritas berasal di prancis.2

1
Muhammad ‘Abid Al-Jabiri, Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, alih bahasa, Burhan, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru,
2003), hlm. 6-8.
2
A. Khudori Soleh, M. Abid Al-Jabiri, Model Epistemologi Islam, dalam, A. Khudori Soleh, (edt), Pemikiran Islam Kontemporer,
(Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 232
Al-Jabiri mulai mempelajari pemikiran dan budaya islam berdasarkan metode yang
telah dirintisnya. Hanya saja dia hanya terbatas pada teks Arab Islam yang berbahasa Arab.
Disamping itu, dia juga terbatas pada pers epistemologi, yaitu mekanisme berpikir yang
berlaku dalam budaya Arab pada tahapan tertentu. Sehingga di dalam karya-karya Al-Jabiri
tidak ada pembahasan tentang topik-topik seperti wahyu, ortodoksi, imajiner, mitos, simbol,
dan topik teologis lainnya seperti dominant yang terdapat dalam karya tokoh lain seperti
Arkoun.3 Muhammad Abid Al-Jabiri memfokuskan analisanya pada proses sejarah, baik
ideologis maupun epistemologis, yang menjadikan lahirnya pemikiran bayani, irfani, dan
burhani.4

B. Latar Belakang Pemikiran Al-Jabiri

Kritik nalar Arab adalah pemikiran yang dirintis oleh Muhammad Abid Al-Jabiri.
Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan dan kegelisahan atas gagalnya kebangkitan
Islam pasca persinggungannya dengan kolonialisme Barat sejak abad ke-19. Pembaruan
pemikiran yang diharapkan mampu membangkitkan peradaban Islam tidak kunjung muncul.
Bahkan Dunia Arab makin dikejutkan dengan kekalahan perang melawan Israel pada tahun
1948 dan 1967. Hal ini menyebabkan beberapa intelektual Arab, termasuk Al-Jabiri,
merencanakan model pengembangan untuk mewujudkan kembali ambisi kebangkitan Islam
di masa yang akan datang.5

Al-Jabiri lalu membahas pemikirannya ini dalam trilogi bukunya, Bunyah al-Aql al-
Arabi, Al-Aql al-Siyasi al-Arabi, dan Takwin al-Aql al-Arabi. Kritik nalar Arab sendiri adalah
pemikiran yang digagas Al-Jabiri sebagai alat untuk memaksimalkan produk-produk teoritis
yang dibentuk oleh kebudayaan yang memuat sejarah peradaban Arab, mencerminkan
realitas, dan ambisi-ambisi masa depan. Fokusnya terletak pada pemahamaan bahwa
pemikiran sebagai perangkat berpikir, bukan pemikiran sebagai sebuah produk. Dengan
demikian, wilayah kritik yang dikembangkan oleh Al-Jabiri merupakan wilayah
epistemologi.6

3
A. Khudori, ibid, hlm. 232
4
Dedi Supriyadi, Mustofa Hasan, Filsafat Agama, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012), hlm. 55.
5
Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, terj. Imam
Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2018), hlm. 5.
6
Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, terj. Imam
Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2018), hlm. 23.
Al-Jabiri memberi usul supaya titik tolak sejarah keilmuan Arab adalah pada era
kodifikasi. Dengan itu, Al-Jabiri kemudian membagi sejarah nalar Arab menjadi masa
sebelum kodifikasi, selama kodifikasi, dan setelah kodifikasi. Setelah penelitian dan
penelusuran yang dilakukan Al-Jabiri, dia menemukan pengetahuan berupa epistemologi
yang disebutnya dengan bayani, irfani, dan burhani. Tiga epistemologi ini memang terlihat
saling tumpang tindih. Tapi dengan menguraikan latar epistemologinya berdasarkan
pemetaan era kodifikasi, tiga sistem pengetahuan ini dapat dilacak akar epistemologinya
dalam kebudayaan Arab ke masa yang jauh sebelum era kodifikasi yaitu era Arab kuno.
Kebudayaan Arab kuno inilah yang menjadi pondasi dasar pengembangan keilmuan pada era
kodifikasi.

C. Substansi Pemikiran Al-Jabiri

Menurut Al-Jabiri, terdapat tiga epistemologi, yakni bayani, irfäni, dan burhani.
Epistemologi yang dimaksud adalah cabang filsafat yang membahas sumber pengetahuan,
hakikat pengetahuan, dan cara memperoleh pengetahuan.

1. Bayani

Secara bahasa, bayan memiliki arti penjelasan. Dalam pandangan filsafat, Bayani
adalah metode pemikiran yang bersumber dari teks atau nash. Bayani adalah sistem
pengetahuan yang paling awal muncul pada era kodifikasi. Bayani merupakan epistimologi
yang mencakup bidang-bidang ilmu yang bersumber dari bahasa arab yaitu nahwu, fiqh,
balaghah, ilmu kalam, dll. Tiap bidang ilmu tersebut muncul dari satu sistem kesatuan bahasa
yang mengikat basis-basis penalarannya. Dalam epistimologi bayani, al Jabiri lebih
memfokuskan pada aspek pemahaman yang luas dalam memahami suatu teks dengan
mempelajari lebih jauh aspek kebahasaan dan lebih memprioritaskan kebenaran teks atau
wahyu daripada kebenaran yang dihasilkan melalui akal.7

2. Irfani

Irfan adalah pengetahuan yang didapat dari Tuhan melalui penyinaran hakikat kepada
hamba-Nya setelah berlangsungnya pengolahan ruhani yang dilakukan atas dasar cinta. 8

7
Mohammad Abed Al-Jabiri, Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Intereligius, terj. Imam
Khoiri, (Yogyakarta: LKiS, 2018), hlm. 150.
8
Reynold A. Nicholson, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman (Jakarta: Rajawali, 1987), hlm. 6.
Sumber utama ilmu pengetahuan dalam Irfani adalah pengalaman, berbeda dengan sumber
pokok ilmu pengetahuan dalam bayani yang berupa teks (wahyu). Menurut Al Jabiri,
epistimologi irfani tidak mudah dipakai sehingga ketika ingin menemukan kebenaran secara
cepat, lebih baik menghindari penggunaan metode ini.

Menurut Al-Jabiri, irfani adalah metode yang menjadikan umat Islam tertinggal dan
tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang terjadi di lingkungan masyarakat. 9
Menurutnya apa yang diajarkan irfani selevel dengan ajaran yang dipercaya oleh kaum kafir
Mekkah masa jahiliyah dimana mereka tidak meyakini potensi akal dalam memahami dan
menalar tentang ketuhanan namun mereka meyakini adanya perantara untuk bisa mencapai
tuhan melalui perantara pemahaman. Apalagi, ideologi itu bersumber pada asumsi dengan
menggunakan tingkatan nalar yang tinggi yang Al-Jabiri sebut sebagai “Nalar Menganggur”.
Itu disebabkan karena ideologi ini lebih mengutamakan akal, tapi pada akhirnya potensi akal
tidak mampu untuk memahami Tuhan dengan konsep realitas atau kejadian-kejadian yang
sifatnya natural.10

3. Burhani

Secara bahasa, al-burhan adalah argumen yang jelas. Dalam pengertian khusus,
burhani adalah aktivitas berpikir untuk mengetahui kebenaran sesuatu dengan metode
penalaran dan berpikir. Secara fundamental, ada tiga prinsip yang melandasi konstruksi
epistemologi burhani, yakni:

a) Rasionalisme (al-aqlaniyah)

b) Kausalitas (al-sababiyah)

c) Esensialisme (al-Mahiyyah)

Ketiga hal diatas dikembangkan melalui penggunaan metode utama yaitu deduksi dan
induksi. Penggunaan dua metode berbeda ini karena pengetahuan terkadang didapat melalui
indra dan terkadang melalui rasio. Jika sumber ilmu epistemologi Bayani adalah teks, dan
Irfani adalah pengalaman langsung, maka epistemologi Burhani bersumber dari realitas baik
realitas sosial, alam, humanitas, maupun keagamaan. Metode burhani sepenuhnya bertumpu

9
Wira Hadi Kusuma, “Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi Agama untuk Resolusi Konflik dan
Peacebuilding”, Jurnal Syi’ah Vol. 18 No. 1 Januari-Juni 2018, 11.
10
Ahmad Baso, Al-Jabiri, Eropa, dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara untuk Dunia, (Jakarta:Pustaka Afid, 2017), hlm. 44.
pada kemampuan intelektual manusia, baik melalui daya rasional, pengalaman, maupun
panca indera untuk mendapatkan pengetahuan tentang segala hal yang ada di dunia.11

Al-Jabiri memberikan kritikan kepada epistimologis bayani dimana aktivitas


penggunaan logikanya hanya terpaku pada teks dan sumber dasar yaitu Al-Qur’an, Sunnah,
ljma’, dan Qiyas. Burhani berada dalam posisi strategis untuk menutupi kekurangan bayani
karena menurut Al-Jabiri, burhani adalah jawaban dari pandangan tidak rasional tersebut.

D. Kelebihan dan kekurangan pemikiran Al-Jabiri

Al-Jabiri adalah filsuf yang dikenal karena selalu mengutamakan akal, pikiran, dan
rasional. Kelebihan dari pemikirannya mengenai akal adalah dia menyatakan bahwasanya
sangat penting untuk berpikir dan menggunakan akal dalam memecahkan berbagai masalah.
Akal dan pikiran adalah hal yang karunia terindah yang diberikan Allah kepada manusia,
karena hewan pun diberi nyawa namun tidak diberi akal dan pikiran. Manusia akan menjadi
pribadi yang lebih baik dan pintar jika mau berpikir menggunakan akalnya. Namun
penggunaan akal dan pikiran pun harus dengan batasan dan sesuai dengan syariat islam, dan
ini adalah salah satu kekurangan dari Al-Jabiri.

Al-Jabiri mengkritik metode Bayani yang dikembangkan oleh ulama fiqih dan ushul
fiqih dikarenakan lebih mengutamakan teks daripada substansi teks. Al-Jabiri gagal
memahami faktor sosiologis dan teologis yang menjadikan umat Islam berkeyakinan
demikian. Dia seolah-olah sengaja melupakan kesucian dan posisi sentral al-Qur’an dalam
akidah Islam. Padahal sangat wajar bila umat Islam selalu merujuk pada Al-Qur’an dalam
menghadapi berbagai masalah karena Al-Qur’an adalah Kalamullah dan mereka meyakini Al-
Qur’an sebagai pedoman dalam kehidupan mereka. Dia juga berusaha meruntuhkan status
teologis al-Qur’an dengan memberikan keraguan tentang otentitas Al-Qur’an. Sayangnya
sumber-sumber dan asumsi yang dia rujuk untuk meragukan otentitas al-Qur’an ini
mayoritas bersumber dari sudut pandang problematika Injil di Barat. Menurut saya, ini adalah
kesalahan fatal.

Al-Jabiri juga mengecam metode Irfani yang dia sambungkan dengan kaum Sufi dan
Syi’ah. Dia mengecam Ibnu Sina dan al-Ghazali. Menurut dia kedua filsuf ini adalah orang
yang bertanggungjawab dalam memasukkan sistem berpikir irfani ke dalam ranah pemikiran

11
M. Amin Abdullah, "At-Ta'wil Al-'Ilmi: ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci", Jurnal Al-Jami'ah Vol. 39 No. 2 thn 2001 ,
hlm. 379.
Islam yang membuat akal Arab Islam itu mandek. Padahal peran Ibnu Sina, al-Ghazali, dan
kaum Sufi sangat besar bagi peradaban Islam terutama yang bekaitan dengan hati dan jiwa.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. 2003. Kritik Pemikiran Islam Wacana Baru Filsafat Islam, terj.

Burhan. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.

Al-Jabiri, Mohammad Abed. 2018. Formasi Nalar Arab; Kritik Tradisi Menuju Pembebasan
dan Pluralisme Wacana Intereligius, terj. Imam Khoiri. Yogyakarta: LkiS.

Nicholson, Reynold. 1987. Tasawuf Menguak Cinta Ilahi, terj. A. Nashir Budiman. Jakarta:
Rajawali.

Soleh, A. Khudori. 2003. Pemikiran Islam Kontemporer. Yogyakarta: Jendela.

Supriyadi, Dedi, Mustofa Hasan. 2012. Filsafat Agama. Bandung: CV Pustaka Setia.

Abdullah, M. Amin. 2001. "At-Ta'wil Al-'Ilmi: ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran


Kitab Suci". Jurnal Al-Jami'ah Vol. 39 No. 2.

Kusuma, Wira Hadi. 2018.“Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan
Relevansinya Bagi Studi Agama untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding”. Jurnal Syi’ah
Vol. 18 No. 1.

Baso, Ahmad. 2017. Al-Jabiri, Eropa, dan Kita: Dialog Metodologi Islam Nusantara untuk
Dunia. Jakarta: Pustaka Afid.

Anda mungkin juga menyukai