Anda di halaman 1dari 15

EPISTEMOLOGI BAYANI, IRFANI DAN BURHANI AL-JABIRI DAN

RELEVANSINYA BAGI STUDI AGAMA UNTUK RESOLUSI KONFLIK DAN


PEACEBUILDING

Makalah Ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

ISLAM DAN MODERASI BERAGAMA

Dosen pengampu : Zamzam Mustofa

Disusun oleh :

Muhammad Naufal Hassegav (201220212)

Muhammad Shulhan Fauziddin (201220218)

Muhammad Muizul Hafid (201220208)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2023
LAMPIRAN HASIL TURNITIN

i
ii
DAFTAR ISI

LAMPIRAN HASIL TURNITIN ........................................................................................... i


DAFTAR ISI......................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 2
A. Profil Muhammad Abid Al-Jabiri ............................................................................... 2
B. Epistimologi Bayani ................................................................................................... 3
C. Epistemologi Irfani ..................................................................................................... 5
D. Epistemologi Burhani ................................................................................................. 6
E. Analisis epistemologi bayani, irfani dan burhani al-jabiri dan relevansinya bagi studi
agama untuk resolusi konflik dan peacebuilding ............................................................... 7
BAB III PENUTUP ............................................................................................................. 10
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam upaya penyesuaian pembelajaran agama untuk peacebuilding dan
resolusi konflik dengan menggunakan Epistomologi Bayani, Irfani, dan Burhani,
Muhammad Abid Al-Jabiri melakukan penelitian upaya pemecahan masalah yang
terjadi. Bentuk permasalahannya berbagai macam sehingga diperlukan pemilihan
yang sesuai dengan masalah yang terjadi pada saat itu.
Dalam kajian epistemologi Islam, khususnya epistemologi Bayani, Irfani dan
Burhani, masing-masing memiliki pandangan yang berbeda tentang ilmu
pengetahuan, sehingga perlu mengkaji banyak sumber yang ada. Khazanah
pemikiran Islam terus berkembang, salah satunya kontribusi al-Jabiri terhadap turats
(tradisi). Bagi al-Jabiri, turat lebih dari sekadar warisan budaya dan peradaban yang
terkubur dan dikurung para pemikir masa lalu. Turâts, baginya, masih membutuhkan
pemikirannya saat ini, terutama dalam menghadapi daya tarik peradaban lain di dunia
Muslim. .
Dalam kesempatan kali ini, akan membahas mengenai tiga epistomologi yaitu
Bayani, Irfani, dan Burhani terhadap relevansi pembelajaan agama untuk resolusi
konflik dan peacebuilding.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Profil Muhammad Abid Al Jabiri ?
2. Apa itu Epistimologi Bayani ?
3. Apa itu Epistimologi Irfani ?
4. Apa itu Epistimologi Burhani ?
5. Bagaimana Analisis epistemologi bayani, irfani dan burhani al-jabiri dan
relevansinya bagi studi agama untuk resolusi konflik dan peacebuilding ?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Profil Muhammad Abed Al-Jabiri


Muhammad Abid Al Jabiri adalah dosen filsafat dan pemikiran Islam di
Fakultas Sastra Universitas Muhammad V di Rabat, Maroko. Lahir di Figuig,
Maroko tenggara, pada tahun 1936. Mula-mula ia bersekolah di sekolah agama,
kemudian sekolah swasta nasional (madrasah hourra wathaniah) yang didirikan oleh
gerakan kemerdekaan. Dari tahun 1951 hingga 1953, ia bersekolah di sekolah
menengah atas yang sama dengan sekolah menengah umum di Casablanca. Sejalan
dengan kemerdekaan Maroko, ia melanjutkan pendidikan SMA setingkat Arab
College di bidang Sains (bagian sains). Pada tahun 1959, Al-Jabiri mulai belajar
filsafat di Universitas Damaskus, Suriah, tetapi setahun kemudian ia masuk ke
Universitas Rabat yang baru.
Sebagian besar pemikiran Al-Jabiri dilatarbelakangi oleh ajaran Marxisme
yang benar-benar berkembang di dunia Arab saat itu. Bahkan, dia mengidentifikasi
dirinya sebagai pengagum ajaran Marx. Metode yang digunakan Abed al-Jabiri
adalah dekonstruksi, yakni beralih dari tradisi yang kurang relevan dengan realitas
ke arah yang relevan. Sesuai metode yang digagasnya, al-Jabiri mulai mempelajari
budaya dan pemikiran Islam. Pendekatan yang digunakan oleh al-Jabiri ketika
melakukan penelitian terhadap obyek kajiannya adalah dengan menggunakan
pendekatan historis-filsafat. Hal ini sesuai dengan kemampuan keilmuan yang
dimiliki al-Jabiri. Memanfaatkan pendekatan filosofis yang mendasar bagi
pelatihannya, Jabri menawarkan solusi atas stagnasi yang melanda dunia Arab
selama lebih dari sepuluh abad.1

Al-Jabiri pada saat masih muda merupakan seorang aktivis politik yang
memiliki ideologi sosialis. Banyak karya tulis yang dihasilkan Al-Jabiri seperti
artikel, koran, majalah dan buku. Beliau mengangkat topik yang bervariasi sehingga
banyak ide-ide muncul seperti isu sosial dan politik. Selain kedua topik tersebut Al-
Jabiri juga mengangkat tentang filsafat dan teologi.

1
Damanik, Nurliana. Muhammad Abid Al-Jabiri, AL-HIKMAH Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam
Vol. 1 No. 2 Juni-November 2019, 117-119

2
3

Karya intelektualnya yaitu diawali oleh terbitnya buku Nahwu wa al-Turast,


dan sekitar 2 tahun kemudian buku yang berjudul Al-Khitab al-‘Arabi al-Mua’sir
Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah ikut diterbitkan. Dan kedua buku tersebut menjadi
pengantar proyek intelektualnya yakni ‘Naqd al-‘Aql al-‘Arabi atau yang bias disebut
sebagai Kritik Akal Arab. Kedua buku diatas diterbitkan dengan tujuan untuk
merubah pondasi awal pemikiran Arab-Islam dan mempelajari langkah-langkah yang
akan dilakukan untuk mengambil pemikiran yang berada di pemikiran Islam Klasik.2

B. Epistimologi Bayani
Secara etimologis, Bayan berarti menerangkan (to Explain). Sementara itu, dari
segi terminologi, bayan memiliki dua pengertian (1) sebagai kaidah penafsiran
tuturan, (2) sebagai syarat produksi tuturan. Berbeda dengan makna etimologis yang
sudah ada sejak awal peradaban Islam, makna etimologis ini baru lahir belakangan,
yakni pada era penyandian (tadwin). Bayani adalah cara berpikir khas Arab yang
menekankan otoritas teks (nas), baik secara langsung maupun tidak langsung.
Langsung berarti memahami teks dalam kerangka pengetahuan yang terbatas dan
langsung menerapkannya tanpa berpikir; Tidak langsung berarti memahami teks
sebagai pengetahuan mentah, sehingga perlu ditafsirkan dan disimpulkan.
Epistemologi Bayani Menurut al-Jabiri, Bayani adalah cara berpikir khas Arab yang
menekankan kewibawaan teks (nas) Arab, baik secara langsung maupun tidak
langsung.). Langsung berarti memahami teks sebagai pengetahuan dan
menerapkannya secara langsung tanpa berpikir. Tidak langsung berarti memahami
teks sebagai pengetahuan mentah, karenanya perlu interpretasi dan kesimpulan yang
lebih dalam .3
Jadi, sumber ilmu Bayani adalah teks (al-Quran dan Hadits). maka dari itu,
menurut al-Jabiri dalam Epistemologi Bayani, ia sangat menekankan pada
perpindahan teks dari satu generasi ke generasi lainnya. Konsep sistem dasar bayani
ini adalah mengkolaborasikan metode fikih yang dikembangkan Syafi'i dengan cara
retorika al jahiz. Epistemologi Bayani oleh pemikiran fikih dan kalam didukung.
Epistemologi Bayani bukannya tanpa kelemahan dalam perkembangan kajian
Islam, namun yang menurut Amin Abdullah akan terlihat jika tradisi pemikiran

2
Mugiyono, Konstruksi Pemikiran Islam Reformatif, TAJDID Vol. XIV, No.2, 2015, 206-207
3
Damanik, Nurliana. Muhammad Abid Al-Jabiri, 122-123
4

tekstual keagamaan berhadapan dengan teks-teks keagamaan milik komunitas,


budaya, bangsa dan pemeluk agama lain.4
Nash al-Quran sebagai sumber utama tidak selalu memberikan yang pasti,
namun ada 2 bagian nash dalam Al-Quran yakni Qathi’ dan Zhanni. Qathi’
merupakan nash yang tertuju kepada makna yang bisa dipahami dengan pemahaman
tertentu, tidak akan menerima tafsir, takwil, dan tidak ada arti lain selain itu.
Sedangkan Zhanni merupakan nash yang menunjukan makna namun masih ada
makna lain sehingga diperlukan takwil.5
Epitisme bayani berpola pikir dari asal dan cabang. Jadi mengikut sertakan
logika dan qiyas yang mempengaruhi kepada pemikiran Abu Hasan al-Asy’’ari yang
merupakan imam para mutakallim. Bayani merupakan jelas yang berarti jelas dalam
membicarakan sesuatu makna lafadz yang paling baik. Konstruksi bayani merupakan
nalar yang hanya mengedepankan terhadap teks atau dasar-dasar yang sudah
ditetapkan yang berupa al-Quran, sunnah, ijma, dan Qiyas. Proses penalaran bayani
yang merupakan dasar pemikiran bahasa arab dan bukan berasal dari al-Quran it
sendiri.
Penggunaan bahasa arab sebagai dasar bahasa dan pemikiran sejak pada zaman
jahiliyah sehingga menghasilkan karakter yang tidak jauh dari asal muasal rujukan
penalarannya. Bayani menganggap bahw akal merupakan aktifitas yang beraasal dari
hati yang dimana tidak dapat tumbuh sendiri sehingga wujud merupakan hasil dari
akal pikiran yang berasal dari hati, yang dimana ada dua hal yang dapat dicapai oleh
akal yaitu ada dan tidak ada. Kesimpulan yang dapat diambil dari nalar bayani
merupakan bahwa nalar bayani merupakan suatu pemikiran yang mendasar terhadap
teks dan sudah memiliki landasan yang kuat berupa al-Quran, sunnah, ijma’, dan
qiyas.6

4
Kusuma, Wira H. Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi Studi
Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding, Syi’ar Vol. 18 No. 1 Januari-Juni 2018, 3-5
5
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016,
191-192
6
Muhammadun, Kritik Nalar Al-Jabiri ; Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun Islamic Studies
Integrasi-Interkoneksi, Eduprof : Islamic Education Journal Volume1 Nomor 2, September 2019, 138dan149
5

C. Epistemologi Irfani
Irfani merupakan kelanjutan dari bayani, namun kedua ilmu ini
memiliki perbedaan. Bayani mengandalkan pengetahuannya tentang teks, sedangkan
'irfani mengandalkan pengetahuannya tentang kasf, yaitu wahyu rahasia tentang
Tuhan. Jadi, 'irfan diperoleh bukan atas dasar analisis tekstual, melainkan persepsi
murni, agar Tuhan mengungkapkan ilmu. Proses persepsi 'irfani' terletak pada
aktivitas pikiran yaitu pada proses intuisi, namun proses kognitif ini dipandu oleh
tanda-tanda Al-Qur'an dan tanda-tanda tuhan. Hal ini dapat dilihat dari cara
pengungkapan makna suatu teks. Menurut al-Jabiri, terlepas dari latar belakang
Irfani, ini merupakan yang mengakibatkan umat Islam berhenti atau tidak mampu
mengatasi persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat Islam khususnya agama
dan sesama manusia. Oleh karena itu, al-Jabiri menyarankan agar umat beragama
tidak terlalu mengacu dalam metode ini, sehingga dengan kondisi di masyarakat
zaman sekarang (al-hadatsah), metode ini terpinggirkan untuk menuju kebenaran,
sehingga agama Islam yang sejati menjadikan umat yang rahmatan lil 'alamin dan
siap menjawab segala masalah yang ada di lingkungannya .
Kajian irfani praktis mendiskusikan tentang kewajiban-kewajiban yang
dilakukan oleh seseorang dan mirip dengan ilmu etika. Perbedaan antara keduanya
yaitu irfani tidak berbicara tentang dirinya saja namun juga dengan tuhan, sedangkan
ilmu etika tidak berbicara dengan tentang hubungan dengan tuhan kecuali etika yang
berasal dari tuhan. Dan perbedaan lainnya bahwa irfan dalam melaksanakan proses
spiritual ada urutan-urutan yang harus dilakukan sedangkan didalam ilmu etika tidak
ada ketentuan-ketentuan yang berlaku. Perbandingan lainnya antara irfan, etika, dan
filsafat Yaitu:
1. Etika: Membahas hubungan antara manusia saja
Irfan: Membahas hubungan antarmanusia dan tuhan
Filsafat: Berpijak pada postulat-postulat (anggapan dasar)
2. Etika: Tidak ada tahapan-tahapan tertentu, seseorang dapat memilih apa yang
harus dilakukan
Irfan: Ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan
Filsafat: Eksistensi non-Tuhan sama nyatanya dengan Eksistensi tuhan
6

3. Etika: Unsur Spiritualnya terbatas


Irfan: Unsur spiritualnya luas
Filsafat: capaina tertinggi manusia merupakan dengan memahami semesta. 7
Bangunan pada epistomologi irfani yang mendasar sebagai sumber yaitu intuisi
dan bukan teks, keabsahan dan keaslian irfani selalu dipertimbangkan oleh para
pemikir bayani maupun burhani, epistomologi bayani mempetimbangkan dikarnakan
terlalu jauh untuk dijadikan sebagai pedoman yang telah ada di dalam teks,
sedangkan oleh pemikiran burhani dikarenakan tidak mengikuti aturan-aturan dan
analisa yang didasarkan kepada logika dan ilmiah.8
D. Epistemologi Burhani
Epistemologi Burhani adalah epistemologi yang didasarkan pada
pengetahuannya berdasarkan dua kekuatan manusia, pengalaman indrawi dan
penalaran rasional. Epistemologi ini merupakan perolehan pengetahuan dengan dua
metode gabungan deduktif dan induktif. Proses tersebut terdiri dari tiga, yaitu
pertama, proses percobaan atau pengalaman yaitu pengamatan terhadap realitas,
kedua, proses abstraksi yang menciptakan gambaran tentang realitas tersebut dalam
pikiran. , ketiga, ekspresi mengungkapkan realitas dalam kata-kata."
Epistemologi burhani sering digunakan dalam metode ilmiah, untuk
memecahkan suatu masalah empiris. Epistemologi ini banyak diajarkan di sekolah-
sekolah formal dan di universitas-universitas dalam penelitian dan pengembangan
(ilmiah). Jika epistemologi bayani berkaitan dengan al-ulum al-diniyah, maka
epistemologi burhani berkaitan dengan al-ulum al-aqliyah.9
Berbeda dengan epistemologi Bayani dan Irfani yang muncul bersamaan dan
lebih awal dari masa awal Islam, epistemologi Burhani muncul belakangan dengan
pengaruh filsafat Yunani kuno pada tradisi pemikiran Islam. Tradisi Burhani
mengandalkan sepenuhnya pada seperangkat kemampuan intelektual dan kekuatan
rasional untuk memperoleh pengetahuan. Pengaruh yang ditimbulkan oleh penetrasi
pemikiran Yunani adalah lahirnya nalar universal yang kemudian menjadi landasan
utama epistemologi Burhanian. Sementara metode konstruksi Bayani dan Irfani

7
Ibid, 200-202
8
Muhammadun, Kritik Nalar Al-Jabiri ; Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun Islamic
Studies Integrasi-Interkoneksi, Eduprof : Islamic Education Journal Volume1 Nomor 2, September 2019, 154
9
Yusuf, Moh Asror. Konstruksi Epistemologi Toleransi Di Pesantren, Bandung: CV CENDIKIA
PRESS, 2020, 110
7

sangat mementingkan teks, tidak demikian halnya dengan tradisi Burhani. Rumusan
metodologis Burhani sangat deduktif dan independen, mengutamakan penalaran
universal untuk mendapatkan pengetahuan presumtif.10
Metode rasional atau biasa disebut Burhani semakin berkembang dan
merupakan salah satu sistem yang ada didalam pemikiran Arab Islam. Akal
merupakan satu-satunya saran untuk mendapatkan pengetahuan tentang duniawi dan
konsep baik maupun buruk. Setiap ilmu yang didapatkan bukan berasal dari akal
maka pengetahuan tersebut hanya omong kosong, dugaan belaka, dan kebohongan
semata. Ilmu-ilmu filsafat yang menggunakan epistomologi Burhani memiliki
tingkatan yang lebih tinggi daripada ilmu-ilmu filsafat lainnya yang tidak
menggunakan metode Burhani. Seperti halnya ilmu-ilmu agama berikut Ilm al-
Kalam (teologi), dan Fiqh (yurisprudensi).
Pada fase berikutnya metode burhani banyak digunakan oleh kaum yang ada
diluar filosof seperti Al-Jahizh, dan Al-Syathibi. Dalam kalangan sufi filosof ada
Sahrawardi dan Ibn Arabi, bahkan tokoh tokoh yang menolak filsafat seperti Al-
Ghazali juga menggunakan metode burhani untuk melandingkan gagasan-
gagasannya.
Penalaran burhani menggunakan sistem utama yaitu silogisme, namun setiap
silogisme bukan berarti burhani. Silogisme merupakan pengumpulan suatu argumen
yang mirip sehingga memunculkan suatu keputusan. Metode burhani dianggap lebih
unggul dibanding dua epistomologi lainnya yaitu bayani dan irfani. Kedua
epistomologi tersebut ditemukan kekurangan yang dimana tidak dapat menggapai
seluruh kehidupan yang realistis. Ada sesuatu yang tidak dpat dicapai oleh pemikiran
dan penalaran rasional, meski rasio telah memberitahukan bahwa sesuai dengan
prinsip-prinsip segala sesuatu, bahkan silogisme rasional sendiri tidak dapat
menjelaskan maupun mendefiniskan sesuatuyang sudah diketahuinya.11

10
Bashori, Akmal., FILSAFAT HUKUM ISLAM Paradigma Filosofis Mengais Kebeningan Hukum
Tuhan, Jakarta: kencana, 2020, 325
11
Khudori Soleh, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, 219-224
8

E. Analisis Pemikiran Al-Jabiri Dan Relevansinya Bagi Studi Agama Untuk


Resolusi Konflik Dan Peacebuilding
Triad epistemologis yang dikemukakan oleh al-Jabiri, sebagaimana dijelaskan
di atas, mendapat tanggapan dari para pemikir Islam lainnya. Hal ini terlihat dari
reaksi sebagian pakar muslim yang khususnya berada di Indonesia terhadap
pemikiran al-Jabiri, baik positif maupun negatif. Namun dasar dari ketiga metode
tersebut sudah muncul dan telah dikembangkan sampai diimplementasikan oleh para
peneliti sebelumnya. Dengan berbagai car yang telah dilakukan, upaya al-Jabriri
merupakan upaya mensistematisasikan berbagai metode pemikiran Islam yang
tersedia.
Dalam sebutan lain, tiga epistemologi yaitu bayani, ifani, serta burhani
merupakan metode yang telah digunakan untuk memperoleh pengetahuan
(kebenaran) melalui cara dan jalannya masing-masing. Namun, al-Jabiri mengatakan
bahwa dari tiga epistemologi tersebut, nyatanya epistemologi Irfani-lah yang
menghambat atau menghentikan perubahan keilmuan Islam, karena ia meyakini
bahwa semua perkembangan dan proses perolehan ilmu itu semua atas kehendak
Tuhan. . . hadiah secara langsung atau melalui media penerangan (cahaya), yang
darinya akan ada konsekuensi atau setidaknya akan menimbulkan banyak
kontradiksi baru. Hal itu terjadi karena proses Irfani dalam memperoleh ilmu sangat
tidak rasional. sehingga membatasi fungsi akal .
Sedangkan epistemologi burhani menempati posisi paling penting atau
tertinggi, disusul dengan epistemologi bayani, karena menurut al-Jabiri, metode
burhani akan memperkuat metode hayani diantara keduanya dan setiap metode yang
digunakan dari proses menghasilkan sesuatu pengetahuan (fakta) berupa kebenaran
menurut sudut pandang masing-masing. Kebiasaan yang berupa kritik epistemologis
akan membuka tempat “kritik” pengetahuan yang siap, termasuk pemahaman tentang
agama. Pekerjaan mengkritisi kebenaran harus terus dilakukan karena tidak ada
kebenaran mutlak, termasuk kebenaran intelektual dan agama. Disiplin Islam dengan
metode dan cara kerjanya masing-masing. Dengan dilandasi epistemologis inilah
teks-teks al-Qur’an menjadi sumber ilmu pengetahuan. Karena itu pada dasarnya
tidak ada pemisahan antara sains dan agama.
Dalam konteks peacebuilding dan penyelesaian konflik, harus dipahami
sebagai negosiator, mediator (atau fasilitator) dan itu termasuk arbitrasi tradisional.
9

Karena setiap pengikut al-Jabri senang dan sangat antusias untuk mempertahankan
tradisinya, dan itu lumrah. Sebagai negosiator, mediator, arbiter atau seseorang yang
memiliki aspirasi atau impian perdamaian, mereka harus memahami tradisi orang
atau kelompok lain yang sedang berperang, karena mereka tidak memahami dengan
baik tradisi perdamaian (tradisi). Sehingga yang diinginkan hanya akan menjadi
tujuan. Dari ilustrasi singkat di atas, penting kiranya agar semua pelaku, yang cinta
damai atau menyelesaikan konflik, memahami hukum orang maupun kelompok yang
berbeda, dan juga seimbang dalam penerapan hukumnya sendiri terhadap pihak lain,
sehingga mereka tidak terbatas. lingkaran klaim kebenaran dan akan berdampak pada
konflik baru.
BAB III

KESIMPULAN

Muhammad Abid Al-Jabiri merupakan penggagas metode dekonstruktif yang


meneliti sebuah kebudayaan dan pemikiran islam. Kajian penelitian yang digunakan
adalah pendekatan historis-filosofis. Epistomologi Bayani yaitu penjelasan yang
menekankan nas (Al-Qur’an dan Hadits), Epistomologi Irfani merupakan kelanjutan dari
Bayani namun berasal dari kasf yang didapat dari hati Nurani dan akal. Dan yang terakhir
Epistomologi burhani merupakan pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman dan
penalaran terhadap akal. Dalam ilmiah metode ini untuk memecahkan suatu
permasalahan menggunakan akal.
Dengan menggunakan 3 epistomologi yaitu Bayani, Burhani, dan Irfani dapat
mencapai pengetahuan yang diinginkan. Al-Jabiri memberikan pendapatnya bahwa
Epistomologi Irfani yang membeuat umat Islam terhambat untuk berkembang. Untuk
mewujudkan peacebuilding serta resolusi konflik yaitu dengan memberikan pemahaman
kepada seseorang terhadap tradisi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Bashori, Akmal. 2020, FILSAFAT HUKUM ISLAM Paradigma Filosofis Mengais


Kebeningan Hukum Tuhan, Jakarta: kencana

Damanik, Nurliana. Muhammad Abid Al-Jabiri, AL-HIKMAH Jurnal Theosofi dan


Peradaban Islam Vol. 1 No. 2 Juni-November 2019

Kusuma, Wira H. Epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani Al-Jabiri dan Relevansinya Bagi
Studi Agama Untuk Resolusi Konflik dan Peacebuilding, Syi’ar Vol. 18 No. 1 Januari-
Juni 2018

Mugiyono, Konstruksi Pemikiran Islam Reformatif, TAJDID Vol. XIV, No.2, 2015

Muhammadun, Kritik Nalar Al-Jabiri ; Bayani, Irfani dan Burhani dalam Membangun
Islamic Studies Integrasi-Interkoneksi, Eduprof : Islamic Education Journal Volume1
Nomor 2, September 2019

Soleh, Khudori. 2016, Filsafat Islam Dari Klasik Hingga Kontemporer, Jogjakarta: Ar-Ruz
Media

Yusuf, Moh Asror. 2020, Konstruksi Epistemologi Toleransi Di Pesantren, Bandung: CV


CENDIKIA PRESS

11

Anda mungkin juga menyukai