Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

Tokoh Pencetus Epitisme Mohammed al-jabiri

Dosen Pengampu :

Oleh :

Al-fiat Akbar (2041913062)

UNINERSITAS MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

20202
DAFTAR ISI

PENDAHULUAN........................................................................................................................

BAB I PEMBAHASAN..............................................................................................................

A. Nalar Al-jabiri......................................................................................................................

B. Tiga Nalar Episteme.............................................................................................................

C. Metode Irfani, Burhani, dan Bayani..................................................................................

PENUTUP....................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................
PENDAHULUAN

Hasil pembahasan makalah ini adalah epistemologi ilmu pengetahuan tidak lepas dari tiga hal
yaitu mendasarkan pada akal (rasionalis), data kongkrit (empiris), dan mengkompromikan akal
dan pengalaman (modernis), bahwa pengetahuan merupakan produk bahkan konstruk akal
pikiran manusia dan bukan hanya hasil dari penampakan (disclosure) dari wujud yang telah ada
sebelumnya, karena ilmu pengetahuan terkait dengan fenomena yang harus ditangkap melalui
pengalaman dan kecerdesan akal. Bayani adalah sebuah metode berfikir yang berdasarakan pada
teks kitab suci (Al-quran). pendekatan bayani melahirkan sejumlah produk hukum islam (fiqih
islam) dan bagaimana cara menghasilkan hukum dimaksud (ushul fiqih) dengan berbagai
variasinya.

selain itu juga melahirkan sejumlah karya tafsir Al-quran. Irfani adalah model penalaran yang
berdasarakan atas pendekatan dan pengalaman spiritual langsung atas realitas yang tampak. bidik
irfani adalah esoterir atau bagian batin, oleh karena itu, rasio yang dugunakan hanya untuk
menjelaskan pengalaman spritual. metodologi dan pendekatan irfani mampu menyusun dan
mengembangkan ilmu kesufian. Burhani adalah kerangka berfikir yang tidak didasarakan atas
teks suci maupun pengalaman spritual melainkan berdasarkan keruntutan logika. kebenaran
dalam spekulatif metodologi ini persis seperti yang diperagakan oleh metode keilmuan yunani
yang landasanya murni pada cara kerja empirik. kebenaran harus dibuktikan secara empirik dan
diakui menurut penalaran logis.
BAB I

PEMBAHASAN

A. Nalar Al-jabiri

Mohammed Abed al-Jabiri tak hanya menjadi filsuf yang paling banyak dikonsumsi anak muda
di dunia Arab, tapi juga di kalangan intelektual Indonesia, khususnya Nahdlatul Ulama. Proyek
intelektualnya yang berjilid banyak, “Kritik Nalar Arab,” menggugah generasi muda untuk
bangkit. Pertanyaan retoris dalam jilid pertama proyek itu sekaligus mengandung makna
terdalamnya: “Apakah mungkin membangun renaisans dengan akal yang tidak progresif?”

Syarat renaisans ialah intelek yang progresif. Apa yang diupayakan Jabiri, sebagaimana Hassan
Hanafi, tak terlepas dari kebutuhan untuk membaca ulang tradisi Arab-Islam dalam berhadapan
dengan modernitas. Ini masih dalam kerangka dekolonisasi pengetahuan dan mentalitas paruh
kedua abad ke-20 supaya ‘pesona abadi dari modernitas’—meminjam ungkapan pakar semiotik
Walter Mignolo (2002) yang diserap dari istilah Weberian—tidak menggerus tradisi yang
‘kehilangan pesonanya’.

Maka kedua tradisi yang hidup mesti dikawinkan: sang aku dari tradisi Arab-Islam dan sang
liyan modernitas Barat. Ini dalam rangka membebaskan tradisi dari cengkeraman kolonialitas
yang paling mendasar di tingkat estetik, budaya, dan epistemik, tak hanya dalam bidang ekonomi
dan politik. Singkatnya: mengatasi kemunduran dan rasa rendah diri berhadapan dengan Barat.
1. Metode Irfani

Perkembangan irfani secara umum dibagi dalam 5 fase. Pertama fase pembibitan, terjadi pada
abad pertama hijriyah. Apa yang disebut baru ada dalam bentuk prilaku zuhud. Kedua, Fase
kelahiran terjadi pada abad kedua hijriyah. Jika awalnya zuhud dilakukan atas dasar takut dan
mengharap pahala, dalam periode ini, ditangan Robiah al – Adawiyah ( 801 M ) zuhud dilakukan
atasa dasar cinta pada Tuhan, bebas dari rasa takut atau harapan mendapat pahala. Ketiga fase
pertumbuhan terjadi abad 3 – 4 H, para tokoh sufisme mulai menaruh perhatian terhadap hal hal
yang berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku, sehingga sufisme menjadi ilmu moral keagamaan (
akhlak ).

Pengetahuan irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan
analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan
melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian
dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan irfani setidaknya
diperoleh melalui tiga tahapan: 1) persiapan; 2) penerimaan; 3) pengungkapan, dengan lisan atau
tulisan.

Al-Jabiri mendekatinya melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi


berpikir yang khas, bukan menurut terminologi mantiqi> dan juga tidak dalam pengertian umum,
dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abad-abad pertengahan menempati
wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang mendampingi epistemologi baya>ni> dan
`irfa>ni>

pistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah,
inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi (al-h}iss, al tajribah wa muh}a>kamah 'aqli>ya

Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu
pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk
menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk
mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tansin dan tawbih). Epistemologi burhani ini
dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah dan
ulama-ulama moderat
3. Metode bayani

adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nas}), secara
langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi
(istidla).

Oleh karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti
memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski
demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya,
tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu
memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran
bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat)

PENUTUP

1. Kesimpulan

Al-Jabiri mendekatinya melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi


berpikir yang khas, bukan menurut terminologi mantiqi> dan juga tidak dalam pengertian umum,
dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abad-abad pertengahan menempati
wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang mendampingi epistemologi baya>ni> dan
`irfa>ni>
DAFTAR PUSTAKA

1. 0Ibid, hlm.42. 216ROHK³M. `Abed Al-Jabiri: Model Epistimologi Islam¥KOP

2. Abdul Wahab Khalaf bahwa nash berarti al-Quran dan al-Hadits. Lihat Abd. Wahab Khalaf, Ilm Ushul
Fiqh, terj. Madar Helmi, (Bandung: Gema Risalah Press, 1996), hlm. 60.

3. Nirwan Syafrin, ³3HPLNLUDQ Muhamm ad Abed Al--DELUL¥lihat http://istaviz.co.cc/?p= 32. Diakses


pada tanggal 6 Juni 2009.

Anda mungkin juga menyukai