Anda di halaman 1dari 3

Salah satu pemikir Arab yang banyak dijadikan rujukan dalam pembaruan dalam Islam adalah

Muhammad ‘Abid al-Jabiri. Pemikir asal Maroko ini baru saja meninggal 3 Mei 2010 lalu, pada
usia 75 tahun. Di Indonesia, ide-idenya banyak dikaji. Sebagian kalangan – tanpa mengkaji
dengan cermat – bahkan ada yang menelan mentah-mentah gagasan Jabiri tentang kategorisasi
episteme, yaitu metode Bayani, ‘Irfani, dan Burhani.

Mulanya, Jabiri tidak ikut-ikutan mengkritik al-Quran, sebagaimana pemikir liberal lainnya.
Tapi, pada 2006,  terbit bukunya, Madkhal ila al-Qur’an al-Karim, yang mengisyaratkan ada
yang “tercicir” dari al-Qur’an yang ada di tangan kaum Muslim  sekarang ini.

Dalam analisis dan usulannya, Jabiri banyak mengadopsi perangkat dan teori yang
dikembangkan oleh Michel Foucault, Jacques Derrida, Karl Marx, Anthony Gramsci, Gaston
Bachelard, dan beberapa ahli filsafat Barat lain. Dari Foucault dia meminjam konsep episteme
Foucault untuk mengembangkan teori episteme Arab yang kemudian dikenal dengan Bayani,
’Irfani, dan Burhani.

Inti kajian Jabiri sebenarnya tidak banyak berbeda dengan banyak pemikir liberal lain, seperti
Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Adonis, Fatima Mernisi, dan lain-lain. Ia menolak metode
Bayani yang dikembangkan oleh para Fuqaha’ dan ’ulama Ushul Fiqh karena dianggap lebih
mengedepankan teks dari pada substansi teks. Jabiri pun ”menyerang” Imam Syafi’i, kerena
dianggap orang bertanggung jawab meletakkan dasar berpikir tersebut melalui karya
monumentalnya, al-Risalah.

Al-nizam al-‘ma’rifi al-bayani dikembangkan oleh para fuqaha’. Sistem berpikir ini sangat
bergantung pada teks; teks berada diatas akal (filsafat). Ilmu fiqh, Tafsir, Filologi, merupakan
produk episteme ini yang disebutnya sebgai al-ma’qul al-dini (rasionalitas keagamaan).
Karakteristik utama episteme ini adalah ketergantungannya pada teks, bukan pada akal. Yang
dimaksudkannya dengan teks disini adalah al-Qur’an dan Sunnah. Episteme ini menurut Jabiri
sangat kuat sekali mendominasi pemikiran Arab Islam sehinggakan sejak dari awal kelahirannya
sampai sekarang ia tidak menglami perkembangan.

Jabiri juga mengkritisi metode Irfani yang dia asosiasikan dengan Syi’ah dan kaum Sufi. Disini,
dia mengkritisi habis-habisan Ibn Sina dan al-Ghazali, dua tokoh yang selama ini dianggap
antagonis. Menurutnya kedua pemikir inilah yang bertanggung jawab memasukkan sistem
berpikir irfani ini kedalam ranah pemikiran Islam yang sekaligus menjadikan akal Arab-Islam itu
mandek.  

Adapun episteme burhani adalah episteme yang dibangun oleh filsafat Arab yang berekembang
si Afrika Utara dan Spanyol. Ibn Rushd dianggap sebagai sosok yang paling sempurna
merepresentasikan tipe burhani ini. Tipologi sistem ini tidak berpegang pada nash semata, juga
tidak pada intuisi, tapi pada akalnya Ibn Rushd dan eksperimen-nya Ibn Khaldun. Sesungguhnya,
katanya lagi, inilah yang membuat Barat maju seperti sekarang ini. Para saintis Barat dengan jitu
mengaplikasikan semangat rasionalisme Ibn Rushd dan empirisismenya dalam sistem peradaban
mereka. Oleh sebab itu, lanjutnya, kalau kita ingin maju bersaing dengan realitas yang ada kita
harus dapat mengembangkan semangat rasioanlisme dan juga empirisisme.
Dengan mengagungkan Ibn Rusyd, sebenarnya Jabiri ingin mengatakan bahwa kemajuan itu
hanya bisa ditempuh dengan rasionalisme. Baginya, akallah yang bisa mengantar peradaban
manusia ke puncak kegemilangannya. Sayangnya,”akal”  yang disebut Jabiri itu  adalah akal
yang dikonsepsikan oleh Barat, yaitu akal positivis yang hanya berpaut pada data-data
eksperimental. Disamping itu Jabiri sepertinya sengaja melupakan bahwa rasionalisme abad
Pencerahan itu sendiri saat ini sedang mendapat kritikan tajam, bukan hanya dari kalangan
ilmuwan Muslim tapi juga dari kalangan intelektual Barat sendiri.

Jabiri juga lupa, bahwa  revolusi sains (sceintific revolution) terjadi di Barat karena orang-orang
seperti Bacon, Descartes, dan Newton melakukan terhadap teori-teori fisika Aristotle. Artinya
Barat maju bukan karena mereka mengadopsi padangan-pandangan Ibn Rusyd yang Aristotelian,
tapi sebaliknya, sains mereka berkembang justru karena mereka meninggalkan teori-teori fisika
Aristotle.

Meskipun sempat menarik banyak perhatian, gagasan pembaruan Jabiri pun menuai banyak
kritik mendasar. Misalnya,  untuk mempertahanakan rasionalitas mazhab ala Arab Maghribi,
dimana dia menjadi bagian daripadanya, Jabiri sering melakukan pemilahan atas turats-turats
yang hanya mendukung pendapatnya saja. Lebih fatal lagi, menurut George Tarabisi, Jabiri telah
melakukan praktik plagiat,  karena tidak menyebutkan sumber rujukan ide-idenya,  meskipun
secara jelas ide itu berasal dari orang lain. Jabiri, kata Tarabisi, sering memplintir tulisan orang
lain -- secara sadar atau tidak --  sesuai dengan keinginannya. Kajiannya tidak orisinil. Oleh
sebab inilah, banyak penulis seperti ‘Ali Harb yang menilai bahwa kajian turats Jabiri penuh
dengan muatan ideologis, Arab centrism. (Ali Harb, Naqd al-Nass (Bayrut: Al-Markaz al-
Thaqafi al-‘Arabi, 1993)).

Toha Abdurrahman, dalam Kitabnya, Tajdid, misalnya, adalah salah seorang yang paling kritis
menilai bangunan epistemologi dan metodologi Jabiri dalam mengkritisi turats. Bahkan, ia
berkesimpulan, Jabiri sendiri inkosisten.  Jabiri mengajak untuk membaca turats secara
komprehensif. Tapi, ia sendiri membaca turats dengan parsial. Kata dia, epistemologi Bayani,
misalnya, telah menghasilkan fiqh, usul fiqh, tafsir, dan kalam. Sementara metode Irfani
melahirkan tasawwuf, dan Burhani menelurkan filsafat. Itu artinya, dia bersikap parsial
(tajzi’iyyah). Padahal dia menyatakan, bahwa Fiqh, Usul Fiqh, Tafsir, Nahwu, Balaghah adalah
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Artinya,  seorang ahli fiqh bisa berpikir dalam kerangka Bayani, Irfani, dan Burhani. Seorang al-
Ghazali adalah pemikir yang menggunakan epistemologi Bayani, Irfani dan Burhani sekaligus.
Kenyataan ini berlawanan dengan pernyataannya yang mengkategorikan pemikiran Ghazali
kepada bentuk Bayani dan Irfani, dan tidak Burhani sama sekali.

Masih banyak lagi kelemahan-kelemahan model yang ditawarkan Jabiri untuk mengkaji Turats
yang telah dibahas oleh para intelektual lain.  Sehingga Prof. Nuruddin al-Ghadir berkesimpulan
bahwa sesungguhnya buku-buku Jabiri itu tidak layak terbit, karena pada prinsipnya kajian-
kajiannya dalam turats bukan untuk merekonstruksi turats, tapi malah menghancurkannya.
Ghadir menuliskan “berdasarkan fakta ini,  proyek Jabiri pada akhirnya hanya akan mencabik-
cabik turats,  bahkan mencabik ekistensi budaya ummat Islam.” (wa bihadha fainna al-Jabiri fi
nihayah mahsru’ihi yasilu ila tajazzu’i al-turats fi ab’ad mustawiyatihi, bal wa tajazzu’i kiyan
al-ummah al-islamiyyah al-thaqafi).

Jadi, memang patut disayangkan, orang seperti Jabiri akhirnya bukan berhasil melakukan tajdid,
tetapi ia pun tenggalam dalam taghrib (pem-Barat-an) Islam

Ke -2

MODEL-MODEL EPISTEMOLOGI ISLAM


A Khudori Soleh
Abstract

As well as in the West and the Orient, Islam also recognizes system of thought which include foundation,
method, and application. There are at least three models of epistemology in Islamic thought system that is

Bayani, Burhani, and Irfani.


Bayani is the system of thought, which based his way of thinking on

the text, whileburhani is the system of thought which based on ratio, and ‘irfani based on intuition. They use
methods; exploration of text meaning forbayani,

Those three models of epistemology have much contribution on developing Islamic knowledge and
sciences.Bayani emergesfiqh and Islamic theology, whileburhani comes out Islamic Philosophy, andirfani appears
whereasburhani uses trick of ratio, and irfani works on heart purified.Sufism.

Keywords: Bayani, Burhani andIrfani

Dalam kajian epistemologi Barat, dikenal ada tiga aliran pemikiran, yakni empirisme,
rasionalisme dan intuitisme. Sementara itu, dalam pemikiran filsafat Hindu dinyatakan bahwa kebenaran
bisa didapatkan dari tiga macam, yakni teks suci, akal dan pengalaman pribadi. 1

Dalam kajian pemikiran Islam terdapat juga beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan teori
pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model system berpikir dalam Islam, yakni

bayâni, irfânidan burhâni, yang masing-masing mempunyai


pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan. 2
Epistimologi Bayani.

Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash), secara
langsung atau tidak langsung Secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan
langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran; secara tidak

1 Swami Nikhilananda, Hinduism It's Meaning for the Liberation of the Spirit, (New York,
Harper, 1958), 4.
2 Lihat al-Jabiri, Bunyah al-Aql al-Arabi, (Beirut, al-Markaz al-Tsaqafi al-Arabi, 1991). Al-
Jabiri ini Guru Besar Filsafat Islam pada Universitas Muhammad V, Rabat, Maroko.

Anda mungkin juga menyukai