Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FILSAFAT ISLAM KONTEMPORER

MUHAMMAD ABED AL-JABIRI: Trajektori, Kritik Nalar Arab, dan Epistemologi Islam
Disusun Untuk Memenuhui Tugas Filsafat Islam Kontemporer

Oleh Kelompok 3:

KARIMANISA (2015010017)

TEDI PUTRA ANANDA (2015010031)

SASNAWATI ( 2015010034)

Dosen Pengampu :
Dr. Amril, M.Ag.

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI IMAM BONJOL PADANG
Th 2023/ 1444 H

1
PENDAHULUAN

Ilmu filsafat islam sudah mulai berkembang pada zaman klasik sekitar mesir yang sudah
mulai sama dengan persia, di mesir memang tidak lahir filsuf muslim seperti alfarabi, al kindi ,
ibnu sina dan lain sebagainya, akan tetapi pada zaman kontemporer ini juga banyak di temukan
nya filsuf filsuf seperti yang terdapat pada zaman klasik seperti Fazlur rahman, Harun Nasution
dan lain sebagainya. Dan ada juga filsuf yang terkenal seperti ali Syari'ati ,Syihabuddin Syirazi
dan lain sebagainya yang lahir pada dunia islam syiah. Akan tetapi pada dunia islam sunni tidak
di temukan buku yang menjadi indikasi lahirnya filsuf filsuf muslim 1.

Filsafat islam merupakan bagian dari sejarah panjang khazana pemikiran islam yang
sesungguhkan nya merupakan suatu hal yang bukan lah mudah, Banyak hal yang berkaitan yang
harus di cermati dan di definisikan, jika tidak teliti dalam memilih dan memilah dalam persoalan
seperti ini akan menyebab kan kita salah dalam menilai dan dalam menyikapi sifat yang anti
filsafat di sebagian kalangan umat islam atau beranggapan bahwa filsafat islam ini berasal dari
yunani . salah satu penyebab nya adalah karna kurang ketelitian tersebut Krangka teori jika di
lihat pada filsafat ilmu mempunyai derajat yang sangat di butuhkan dalam keilmuan. Karna
merupakan keilmuawan yang rasionalitas 2.

Oleh karna itu dapat di tinjau ulang , dan di pahami kembali bahwasanya metode berfikir
dalam filsafat ilmu dalam pelajaran keislaman Abed al-Jabiri mengkonstruksi epistemologinya
dimali pada dasar pemikir para pendahulu seperti: Ibnu Manzhur, Imam Al-Syafi’i, al-Jahidz
(255 H.), al-Syatibi, al-Ghazali dan al-Muhasibi. Karena al- Jabiri memaknai arti dari bayani
berasal dari kata al-bayan, secara etimologis dilihat pada karya Ibnu Mandzur, dimana di
dalamnya terdapat materi-materi Arab sejak awal masa tadwin, yang masih memiliki makna asli
yang belum ternodai oleh pengertian lain, karena dari definisi awal yang belum ternodai dengan
pengertian lain, dari makna yang asli itulah akan diketahui watak dan situasi yang mengitarinya.
Maka al-Jabiri mengonstruksi epistemologinya dari al-bayan disini dengan empat pengertian,

1
M.Afrizal "Filsafat Islam di Mesir Kontemporer." (2014). 8-9.
2
A Khudori soleh. "Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam." Tsaqafah 10.1 (2014): 63-84.

2
sesuai dengan makna bahasanya yakni al-fashl wa al-infishal secara hieararkis sebagai metode
dan al-dzuhur wa al-idzhar sebagai visi ru’yah3.

Jika Minyinggung Tokoh Filsafat Islam yang telah di jelaskan oleh pemakalah
sebelumnya dan latar belakang diatas, maka pemakalah kali ini akan membahas tokoh Filsafat
Islam Kontemprore M Abed al-Jabiri yang dimana dalam materi ini, pemakalah akan
menguraikan bagaimana Riwayat Hiudup, kritik nalar Arab dan Epistemologi Islam.

3
Nurliana Damanik. "Muhammad Abid Al-Jabiri." Al-Hikmah: Jurnal Theosofi dan Peradaban Islam 1.2
(2019). Hlm. 116-117.

3
PEMBAHASAN
A. Trajaktori M Abed al-Jabiri
Al-Jabiri lahir pada tahun 1936 di Figuig, Maroko. Saat itu, evolusi politik di dunia Islam
masih belum pasti, terutama di negara-negara Maghreb, Maroko, Tunisia, dan Jajar. Maka
tak heran jika Jubairi muda tumbuh di kalangan politik, karena keluarganya adalah salah satu
pendukung terbesar partai Istiqlal. Aktivitasnya di bidang politik menjadi basis aktivitasnya
dan sangat berpengaruh dalam pemikiran politiknya, apalagi mengenai keadaan politik
negara-negara Arab terpinggirkan di Timur dan Barat. Al-Jabri berpendapat bahwa
keterbelakangan bangsa Arab bersumber dari kenyataan bahwa cara berpikir mereka tidak
semuanya sesuai dengan semangat ajaran Islam.
Ia menyelesaikan sekolah dasarnya di Al-Hurra dan Al-Yhania dan pendidikan
menengah dari tahun 1951 sampai 1953 di Casablanca. Setelah kemerdekaan, Maroko
memperoleh ijazah SMA dalam bahasa Arab. Ia menyelesaikan SI-nya di University of La
Paz dengan gelar masternya pada tahun 1957 dan gelar doktornya pada tahun 1970. Jabri
muda berada di bawah asuhan seorang politikus cakap, Mehdi Ben Barka, pemimpin sayap
kiri Partai Kemerdekaan yang kemudian membangun National Union of Popular Forces
(UNFP), lalu berganti nama menjadi Union of Socialist Popular Forces (USFP). Mahdi Al-
Jabri merekomendasikan bekerja untuk al-Alam, lalu menjadi propaganda Partai Istiqlal.
Pada tahun 1959, al-Jabiri mulai belajar filsafat di Universitas Damaskus di Suriah, tetapi
setahun kemudian dia masuk universitas baru di Rabat. Juli 1964, seperti rekan yang lainnya
di UNFP, dia dipenjara karena dituduh melakukan persekongkolan melawan Negara 4. Al-
Jabri adalah penulis puluhan karya tulis. Di antaranya: Kita dan Pusaka, Wacana Arab
Kontemporer: Kajian Desalinasi Kritis, Taurat dan Hadits, Problematika Pemikiran Arab
Muasher, Tahafut Al. - Tuhfat, penolakan akal Arab, dan terdiri dari tiga bagian, yaitu
pembentukan akal Arab, struktur akal Arab dan akal Arab dan politik 5.
Selama lima puluhan abad terakhir, Al - Jabri membaca dan mempelajari secara luas
doktrin Marxis yang lazim di dunia Arab pada saat masih belajar di Universitas Mohammed
V. beliau bahkan mengakui sebagai orang yang membela teori Marx. Ini merupakan fakta

4
Arini Izzati Khairina. "Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri." El-Wasathiya: Jurnal
Studi Agama 4.1 (2016): 103-114.
5
Nur Lailatul Musyafaah. "Filsafat Epistemologi Islam Muhammad Abid Al Jabiri." AL AFKAR: Jurnal
Kajian Keislaman 17.2 (2009): 12-21.

4
yang tidak mengherankan. Sebagai orang yang lahir dan besar di bekas protektorat Prancis,
al-Jabiri tidak memiliki masalah membaca buku atau gagasan dalam bahasa Prancis,
termasuk strukturalis. Poststrukturalis dan postmodernis lahir di Prancis di Mediterania.
Namun, ia kemudian mempertanyakan validitas pendekatan Marxis dalam konteks sejarah
pemikiran Islam.
Al-Jabri mulai mempelajari budaya dan pemikiran Islam. Dengan demikian ini terbatas
pada bahasa Arab Islam, yaitu teks-teks yang ditulis dalam bahasa Arab, kecuali teks-teks
non-Arab, seperti teks Persia, meskipun ditulis oleh para sarjana Muslim. Di luar itu, terbatas
pada persoalan epistemologis, yakni mekanisme pemikiran yang berlaku dalam kebudayaan
Arab pada masa-masa tertentu. Dengan demikian, karya al-Jubeiri tidak berurusan dengan
ortodoksi, wahyu, mitos, fantasi, simbolisme, atau persoalan teologis lain yang mendominasi
karya tokoh lain seperti Arkoun6.
Al-Jabri adalah pemikir Arab kontemporer yang berupaya menjembatani kesenjangan
antara tradisi Islam dan modernitas yang diinginkan bangsa Arab melalui perkembangan
alternatif. Di antara masalah utama bagi lingkungan pemikir Islam adalah rajutan turath
(tradisi) yang berkernbang seiring dengan perkembangan agama yang mensejarah, Karena
rajutan turath (tradisi) ini kadang menuntut "hak" untuk dianngap terhormat seperti halnya
dengan memperlakukan wahyu, Al-Jabiri melihat turath kebudayaan yang dilihat sebagai
bagian yang mendasar dari eksistensi dan kesatuan umat Islam maupun bangsa Arab. Maka
turath dapat dipahami bukan hanya sekedar warisan kebudayaa atau peninggalan masa
lampau, tetapi adalah bagian dari penyempurnaan akan kesatuan ruang lingkup kultur yang
terdiri dad doktrin, agama, datu syari'ah, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas masa
mendatang.
B. Kritik Nalar Arab
Nalar Arab merupakan la raison constituee (‘aql muqawwam), yaitu gumpalan prinsip
dan kaidah yang diberikan dari kultur Arab kepada para pengikutnya sebagai landasan untuk
mendapatkan pengetahuan atau sebagai aturan epistemologis, yakni sebagai gumpalan
konsep yang struktur dijadikan bawah sadar dari pengetahuan dalam masa sejarah tertentu.

6
Syamsul Rizal. "Epistemologi Filsafat Islam dalam Kerangka Pemikiran Abid Al-Jabiri." At-Tafkir 7.1
(2014): 100-130.

5
Nalar Arab sebagai sarana pemikiran serta pemahaman yang berupa penerapan teoritis yang -
karakteristiknya dibeuat dari peradaban tersebut, hal tersebut merupakan peradaban Arab.
Al-Jabiri mengatakan bahwa diskursus kebangkitan Arab tidak akan mencapai kemajuan
dalam mewujudkan kebangkitan peradaban, baik secara ideal maupun dalam konteks science
ilmiah. Al-Jabiri merumuskan langkah- langkah sistematisnya dengan cara:
1. kritik historis terhadap masalah yang ada pada masa lalu, lalu menselaah rentetan fakta-
fakta dari sejarah. Al-Jabiri menegaskan bahwa struktur Nalar Arab telah disamakan pada
masa pertengahan abad ke H, sehingga sebagai konsekuensinya, cara berfikir yang
dominan pada era tersebut memiliki sumbangan yang besar dalam menetapkan arah
pemikiran yang berkembang setelah itu, pada sisi lain mempengaruhi tanggapan kita
terhadap khazanah pemikiran yang berkembang pada masa sebelumnya.
2. pada masa kodifikasi yang kontemporer ini, (‘ashr al-tadwin al-jadid) peradaban Arab
dibawa oleh akal yang afektif bukan dari akal aktif . Akal afektif ditularkan dari:
Pertama, kesadaran akan prlawanan peradaban Barat yang memajukan dari diam dan
memposisikannya pada pinggiran lingkaran dengan Barat sebagai pusat rotasinya. Kedua,
tindakan kembali yang berusaha mencapai fondasi dari masa sebelumnya menjadikan
masa lalu sebagai pusat perputaran dan yang lain di pinggiran lingkarannya. Itulah
pengaruh kedua yang mendominasi pemikiran Arab modern, kecenderungan
bersembunyi di balik legitimasi salaf berbekal fikih dan perbandingan ideologis
deduktif7.
Dalam membentuk kritik nalar Arab, Al-Jabri berpedoman terhadap fakta bahwa
untuk menelaah warisan Islam, seseorang harus memeriksa semua khazanah Arabisme,
termasuk struktur, sejarah, dan ideologi. Al-Jabri kemudian mendirikan tiga landasan
untuk proyek tersebut, yaitu teori Bayani, Erfani dan Burhani.
C. EPISTEMOLOGI ISLAM
1. Epistemologi bayani
Secara etimologis, albayan berarti perbuatan muncul atau memperlihatkan (al-
Zhuhūr dan al-Izhar) dan kegiatan pemahaman atau pemahaman. Istilah al-bayan
menunjukkan sudut pandang umum. (pandangan dunia) dan pola epistemologi dengan
ciri khas Arab Makna terminologis al-bayan merupakan seperangkat aturan dan aturan

7
Ibid. hlm. 189.

6
untuk menafsirkan wacana yang terkandung dalam teks, atau dalam wacana al-Syafi'i, Ini
adalah aturan tentang memandang al -jauh.
Bayani memandang teks sebagai sumber pengetahuan, acuan, yang dalam
kedudukannya tidak diberikan kebebasan sepenuhnya kepada logika, tetapi menarik
kesimpulan tentang makna-makna tertentu dengan memasukkan penalaran logis. Pokok
utama dari Bayani yaitu Syari'at, Fiqh dan Ushul Fiqh. Kiya dan silogisme adalah metode
yang paling populer di bidang ini. al-Jabiri mengungkapkan bahwa epistemologi Bayani
banyak dipengaruhi dan berasal dari penalaran Baduy (a'rabi) yang disalahtafsirkan.
Dalam konteks ini, satu-satunya referensi otoritatif dianggap tidak hanya Al-Qur'an,
tetapi membacanya melalui kacamata masyarakat Arab nomaden pra-Islam, yaitu melalui
media bahasa Arab. Merupakan jalan satu-satunya perantara dan kerangka acuan. Bagi
al-Jabiri, ini adalah konstruk pemikiran yang diciptakan selama masa kodifikasi dan
digunakan untuk menjustifikasi berbagai prinsip pengetahuan. 8
Bahasa adalah sudah menjadi fokus Bayani. Kajian tradisi Arab tidak terlepas dari
kajian bahasanya dan karenanya mendasari lahirnya sistem ilmu pengetahuan dan
ideologi bahasa
2. Epistemologi ‘Irfani
Irfani berarti al-'Ilm (ilmu) dalam bahasa Arab. Kata 'irfan' memiliki berasal dari kata
yang sama dengan ma'rifat dan dalam konteks tassawuf berarti ilmu tertinggi yang
ditanamkan dalam akal melalui mekanisme kasyf (gnosis/wahyu sifat ketuhanan).
Menurut Aljabiri, Pencerahan Irfani, atau epistemologi Gnostik, berasal dari tradisi
Timur dan gagasan Hermetik yang sangat lampau sebelum Islam. Tradisi ini didasarkan
pada ekspresi yang disebut inspirasi batin. Selain itu, Irfani juga dikenal dengan tradisi
agama-agama besar non-Islam (Yahudi dan Kristen). Praktik-praktik ini termasuk
tasawuf, pemikiran Syiah, filsafat Ismaili, filsafat Pencerahan Timur, Teosofi, sihir, dan
interpretasi esoterik sufi. Menurut Al-Jabili, epistemologi pencerahan dan Gnostisisme
(Ilfani) berasal dari tradisi Timur dan Hermetik.
Al-Jabiri kemudian mengelaborasi lebih jauh pengaruh Hermetisisme terhadap
konstruksi pemikiran mazhab Ismailiyah yang tercermin dalam Jabir bin Hayyan, Abi
Bakar bin Zakariya al-Razi, dan Rasail Ikhwan al-Safa dan Rahat al-'Aql. Al Karmani (d.

8
Hasan Mahfudh. (2016). Dari ‘Abid Al-Jabiri Tentang Epistemologi Arab Islam. Dialogia, 13(1), 7.

7
1H). Hermetisisme juga mencakup Abi Hasyim al-Kufi (w. 150 H), Du Nun al-Masri (w.
25 H), Al Junaid (w. Ini juga memiliki pengaruh besar pada tasawuf. Dalam filsafat
Rawardi, al-Ghazali, dan Ibnu Sina. Arus hermetik semakin hegemonik di tengah budaya
Arab, memantapkan diri sebagai landasan epistemologis kekuatan gerakan-gerakan
Batiniyyah seperti Manichaeisme dan Kalamita dan Ismailiyah.Pada periode ini, gerakan
ini semakin memperkuat perlawanannya terhadap Kekhalifahan Abbasiyah. Untuk
melawan mereka, al-Makmun membutuhkan strategi politik ilmiah, melakukan serangan
mutajira rasionalitas, dan memfasilitasi penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa
Arab. Kindi (w. 252 H), filosof Arab pertama, muncul sebagai jawaban atas seruan para
penguasa, di satu sisi untuk menghancurkan basis epistemologi musuh-musuh negara,
tetapi di sisi lain fikih dan fikih dikalahkan. seseorang. Seorang teolog yang menentang
filsafat Yunani. Selain menggulingkan Hermetisisme Manichaeisme dan Syiah Batiniya,
Kindi menyelaraskan dan menyinergikan agama dan filsafat serta melawan eksklusivitas
dan tekstualitas Fukaha. Dalam kasus al-Jabiri, para sufi mengakui bahwa pengetahuan
memiliki dua komponen. Pengetahuan lahir dan batin. Pikiran menempati tempat yang
lebih tinggi dalam hierarki pengetahuan Gnostik. 9.
3. Epistemologi burhani
Al-Burhan berarti "al-hujjah al-fāsilah al-bayyinah" (Argumen Tegas dan Jelas)
dalam bahasa Arab. Jadi bisa juga disebut dengan demontrasi yang artinya gestur, fungsi,
deskripsi, dan tampilan. Secara epistemologis, al-Burhan bersifat aksiomatik (diterima
tanpa pembuktian lebih lanjut), baik dengan cara deduksi, maupun dengan
menghubungkan satu hal yang terbukti benar dengan yang lain.
Tesis Aljabiri di atas menunjukkan bahwa epistemologi Burhani (positif) berdasarkan
bukti inferensial berasal dari pemikiran Yunani, khususnya Aristoteles. Jika sumber
epistemologi Bayani adalah tekstual dan epistemologi Ilfani adalah pengalaman
langsung, maka epistemologi Burhani didasarkan pada realitas atau alwaki, baik realitas
alam, sosial, manusia maupun religi. Ilmu yang baru muncul disebut al-'ilm al-husuli.
Artinya, pengetahuan dikonseptualisasikan, disusun, dan disistematisasikan oleh premis
logis atau mantics.

9
Ibid hlm. 8

8
Dari tiga epistemologi nalar Arab, al-Jabili mengkritik nalar Arab, mengharapkan
penyatuan Bayani dan Burhani, di mana Burhani mendasari Bayani. Tujuannya agar cara kita
mengambil kembali pengetahuan tekstual (nash) berhasil dibebaskan dari tujuan utama
``verifikasi tekstual'' (khas bayani), tetapi yang kita temukan dalam kehidupan nyata
masyarakat Islam relevan dengan semua realitas. Dibimbing oleh akal dan pembuktiannya
(khas burhani). ), maka pemikiran Islam modern dapat dan cenderung terwujud dalam
menghadapi realitas aktual. Semoga Islam terus mengikuti perkembangan membaca, meneliti
dan mengonsep isu-isu kontemporer. . Ini tidak berarti bahwa Aljabiri adalah seorang
sekuler. Karena dia ngotot membela Bayani. Artinya, ia mengidealkan ilmu baru (burhani)
pada mata pelajaran baru, tetapi juga memiliki landasan spiritual (bayani). Namun, al-Jabiri
tidak bisa menjadi pembenar tekstual (bayani), terbukti dengan dorongan pemikiran Islam
untuk berinteraksi dengan ilmu-ilmu seperti sosiologi, antropologi, teknologi, dan filsafat 10.

10
Ibid. hlm. 10

9
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat simpulkan bahwa Dibandingkan dengan pemikir Islam
lainnya, pemikiran Islam yang dibawa oleh al-Jubeiri memiliki karakteristik dan kriteria tertentu.
Salah satu subjek pemikirannya adalah kritiknya terhadap teks. Itu tidak memperlakukan teks
sebagai objek yang statis dan tahan rusak. Menurutnya, teks merupakan subjek yang perlu dikaji
dengan metode struktural dan historis. Renungan Al-Jabri tentang keinginan untuk mematahkan
stagnasi yang melanda sebagian besar pemikir Arab adalah cita-cita kebangkitan bangsa Arab
dari dekadensi yang diasosiasikan dengan budaya Eropa.
Cita-cita tidak cukup jika tidak disertai dengan dialog yang beradab. Jika untuk menerima
budaya lain dan memperbarui lingkungan budaya Arab sendiri sangat penting apabila negara-
negara Arab ingin menjadi kekuatan yang sangat mempengaruhi dalam urusan dunia. Bagi Al-
Jabri, bahasa Arab dan Islam tidak dapat dipisahkan, bahkan jika tidak dapat diasimilasi dalam
kondisi tertentu, karena kebangkitan Arab akan membawa kemajuan besar bagi Islam itu sendiri.
Al-Jabiri mengakui bahwa mengkritisi logika Arab bukanlah tugas yang mudah. Pikiran
Arab hanya dapat diperbarui dengan mempertanyakan dan pada saat yang sama terlibat dalam
kritik global yang mendalam terhadap tradisi kuno.

10
DAFTAR PUSTAKA
Afrizal, M. (2014). "filsafat islam di mesir kontemporer."
Damanik, N. (2019). Muhammad Abid Al-Jabiri. Al-Hikmah: Jurnal Theosofi dan Peradaban
Islam, 1(2).
J. Muhammad Iqbal Juliansyahzen. ( 2019). "Rekonstruksi Nalar Arab Kontemporer Muhammad
‘Abed Al-Jabiri." IJIL: Indonesian Journal of Islamic Law 1.2.
Khairina, A. I. (2016). Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri. El-
Wasathiya: Jurnal Studi Agama, 4(1).
Mahfudh, H. (2016). Dari ‘Abid Al-Jabiri Tentang Epistemologi Arab Islam. Dialogia, 13.
Musyafaah, N. L. (2009). Filsafat Epistemologi Islam Muhammad Abid Al Jabiri. AL AFKAR:
Jurnal Kajian Keislaman, 17(2), 12-21.
Rizal, S. (2014). Epistemologi Filsafat Islam dalam Kerangka Pemikiran Abid Al-Jabiri. At-
Tafkir, 7(1), 100-130.
Soleh, A Khudori. ( 2014)"Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam." Tsaqafah 10.1.

11
DOKUMENTASI

12

Anda mungkin juga menyukai