Anda di halaman 1dari 17

Corak Filsafat Islam Modern:

Muhammad Arkoun dan Isma’il Razi Faruqi

A. Pendahuluan.
Dominasi Barat atas kultur-kultur negara-negara Muslim telah mengakibatkan
muncul berbagai reaksi. Dominasi tersebut terus berlangsung yang pada umumnya melalui
penjajahan negara-negara Barat atas negara-negara Muslim.
Dalam dunia pemikiran, pengaruh hal tersebut juga sangat terasa. Kajian para
pemikir-pemikiran Islam pada umumnya terfokus kepada modernisasi, rasionalisasi,
kemajuan ummat Islam dan yang semacamnya.
Begitulah corak umum pemikiran pada masa modern. Hal itu tentu saja
terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran dan budaya Barat yang menjadi pusat studi ilmu
pengetahuan.
Muhammad Arkoun dan Isma’il Raji al-Faruqi (kadang ditulis dengan “Razi”)
adalah dua orang pemikir dari kalangan ummat muslimin yang menginginkan kemajuan
bagi ummat Islam dengan teori yang berbeda.
Makalah ini akan mencoba mengkaji kedua pemikir tersebut sebagai wakil dari
pemikir-pemikir muslim pada masa modern.

B. Muhammad Arkoun.
1. Latar Belakang sosial dan Intelektual.
Mohammded Arkoun lahir pada 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, kabilia,
Aljazair. Kabilia merupakan daerah pegunungan berpenduduk Berber, terletak di sebelah
timur Aljir. Berber adalah penduduk yang tersebar di Afrika bagian utara. Bahasa yang
dipakai adalah bahasa non-Arab (‘ajamiyah).
Setelah Aljazair ditaklukan bangsa Arab pada tahun 682, pada masa kekhalifahan
Yazid bin Muawiyah, dinasti Umayah, banyak penduduknya yang memeluk Islam. Bahkan
di antara mereka banyak yang ikut dalam berbagai pembebasan Islam, seperti pembebasan
Spanyol bersama Toriq Bin Ziyad.
Gerakan islamisasi di daerah bekas jajahan Perancis ini juga diwarnai oleh nuansa
sufisme. Mahdi Bin Tumart dari dinasti Almohad pada abad 12 menggabungkan ortodoksi
Asy’arisme dengan sufisme. Ibn Arabi, tokoh sufisme yang terkenal itu, sempat berguru
kepada seorang sufi terkemuka di daerah ini, Abu Madyan. Di antara aliran tarekat yang
berkembang adalah Syaziliyah, Aljazuliyah, Darqowiyah, Tijaniyyah dan lain-lain.

1
Melalui berbagai kegiatan dan ritualisme sufisme populer, berbagai unsur
kepercayaan animistik Afrika Utara merasuk ke dalam Islam di Afrika. Misalnya, konsep
“manusia-suci atau pemimpin keagamaan (alfa) merupakan serapan budaya pemujaan
orang-suci sebelum Islam datang. Menurut Suadi Putro, dalam lingkungan hidup yang
sarat dengan sufisme dan nuansa spiritual inilah Arkoun dibesarkan.1
Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan kebudayaan merupakan
faktor penting bagi perkembangan pemikirannya. Sejak mudanya Arkoun secara intens
akrab dengan tiga bahasa: Kabilia, Perancis dan Arab. Bahasa kabilia biasa dipakai dalam
bahasa keseharian, bahasa Perancis digunakan dalam bahasa sekolah dan urusan
administratif, sementara bahasa Arab digunakan dalam kegiatan-kegiatan komunikasi di
mesjid. Sampai tingkat tertentu, ketiga bahasa tersebut mewakili tiga tradisi dan orientasi
budaya yang berbeda. Bahkan ketiga bahasa tersebut juga mewakili cara berpikir dan
memahami. Bahasa Kabilia, yang tidak mengenal bahasa tulisan, merupakan wadah
penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah mengenai kehidupan sosial dan
ekonomi yang sudah berusia beribu-ribu tahun. Bahasa Arab merupakan alat
pengungkapan tertulis mengenai ajaran keagamaan yang mengaitkan negeri Aljazair ini
dengan Timur Tengah. Bahasa Perancis merupakan bahasa pemerintahan dan menjadi
sarana akses terhadap nilai dan tradisi ilmiah barat. Karena itu, tidak mengherankan
kemudian kalau masalah bahasa mendapatkan perhatian besar dalam bangunan pemikiran
Arkoun.2

2. Pendidikan dan Pengalaman


Setelah tamat sekolah dasar, Arkoun melanjutkan ke sekolah menengah di kota
pelabuhan Oran, kota utama Aljazair bagian barat. Sejak 1950 sampai 1954 ia belajar
bahasa dan sastra Arab di universitas Aljir, sambil mengajar di sebuah sekolah menengah
atas di al-Harrach, di daerah pinggiran ibu kota Aljazair. Tahun 1954 sampai 1962 ia
menjadi mahasiswa di Paris. Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen di Universitas
Sorbonne Paris.Ia menggondol gelar doktor Sastra pada 1969. Sejak 1970 sampai 1972
Arkoun mengajar di Universitas Lyon. Kemudian ia kembali sebagai guru besar dalam
bidang sejarah pemikiran Islam.3
1
Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas, (Jakarta: Paramadina,
1996), h. 11-13.
2
Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran
Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993, h.94.
3
Ibid.

2
Ia menjabat direktur ilmiah jurnal studi Islam terkenal, Arabica. Ia juga
memangku jabatan resmi sebagai anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dan Ilmu
Pengetahuan Kehidupan dan Kedokteran. Ia juga anggota majelis nasional untuk AIDS,
dan anggota Legium Kehormatan Perancis. Belakangan, ia menjabat sebagai direktur
Lembaga Kajian Islam dan Timur Tengah pada Universitas Sorbonne Nouvelle (Paris III).4
Arkoun sering diundang dan menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di luar
Perancis, seperti Iniversity of California di Los Angeles, Princeton University, Temple
University di Philadelphia, Lembagai Kepausan untuk studi Arab dan Islam di Roma, dan
Universitas Katolik Louvain-La-Neuve di Belgia. Ia juga sempat menjadi Guru Besar tamu
di Universitas Amsterdam.
Konteks Pemikiran Pasca-Modernisme dan Karya-karyanya Pemikiran Arkoun
sangat kentara dipengaruhi oleh gerakan (post) strukturalis Perancis. Metode historisisme
yang dipakai Arkoun adalah formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para
pemikir (post) strukturalis Perancis.5 Referensi utamanya adalah De Sausure (linguistic),
Levi straus (antropologi), Lacan (psikologi), Barthes (smiologi), Foucault (epistemologi),
Derrida (grammatologi)., filosof Perancis Paul Ricour, antropolog seperti Jack Goody dan
Pierre Bourdieu.6
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk
kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus,
epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme, yang ter, tak dan dipikirkan, parole,
aktant dan lain-lain, adalah bukti bahwa Arkoun memang dimatangkan dalam kancah
pergulatannya dengan (post) strukturalisme. Arkoun memperlihatkan kepiawaiannya ketika
secara eklektik bisa “menari-nari” di atas panggung post strukturalisme itu, dan bila perlu
sekali-kali bisa mengenyahkan panggungnya. Ia, misalnya, bisa menerapkan analisis
semiotika ke dalam teks-teks suci dengan cara melampaui batas kemampuan semiotika itu
sendiri. Menurutnya, ini dilakukan karena selama ini semiotika belum mengembangkan
peralatan analitis khusus untuk teks-teks suci. Padahal, teks-teks keagamaan berbeda
dengan teks lainnya karena berpretensi mengacu pada petanda terakhir, petanda
transendental (signifie dernier).

4
Drs. Suadi Putro,MA, Mohammad Arkoun, h. 18
5
Luthfi Asysyaukani, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal Pemikiran
Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998., h. 62-63.
6
Haji Johan H. Meuleman, Nalar Islami, h. 12-13

3
Arkoun juga bisa mencomot konsep-konsep dari Derrida tanpa harus terjebak
pada titik paling ekstrim dari implikasi pemikiran Derrida: tidak ada petanda terakhir.
Bahkan dalam bangunan pemikirannya, Derrida yang berpendapat bahwa bahasa tulisan
lebih awal ketimbang lisan (dalam bidang filsafat bahasa) bisa disajikan, tanpa berbenturan
dengan Frye yang memandang bahwa bahasa lisan tentunya lebih awal ketimbang bahasa
tulisan (dalam bidang antropologi, perkembangan kebudayaan atau peradaban).
Secara cemerlang, Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan
bukan sebagai sejarawan-pemikiran. Sejarawan pemikiran bertugas hanya untuk menggali
asal-usul dan perkembangan pemikiran (sejarawan murni), sementara sejarawan-pemikir
dimaksudkan sebagai sejarawan yang setelah mendapatkan data-data obyektif, ia bisa juga
mengolah data tersebut dengan memakai analisis filosofis. Dengan kata lain, seorang
sejarawan-pemikir bukan hanya bertutur tentang sejarah pemikiran belaka secara pasif,
melainkan juga secara aktif bisa bertutur dalam sejarah.
Sementara itu, karya-karya Arkoun meliputi berbagai bidang. Di sini hanya
disebutkan karya-karya yang berkaitan dengan kajian Islam pada umumnya dan
metodologi “cara membaca Qur’an”nya pada khususnya: traduction francaise avec
introduction et notes du Tahdib Al-Akhlaq (tulisan tentang etika/terjemahan Perancis dari
kitab Tahdib al-Akhlaq Ibnu Miskawaih), La pensee arabe (Pemikiran Arab), Essais sur La
pensee islamique (esei-esei tentang pemikiran Islam, Lecture du Coran (pembacaan-
pembacaan Al-Qur’an, pour une critique de la raison islamique (demi kritik nalar islami),
Discours coranique et pensee scintifique (Wacana Al-Qur’an dan pemikiran ilmiah).
Kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa Perancis.

3. Kerangka Proyek Kritik Akal Islam Arkoun


Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana metode
historis modern menempati peran sentralnya. Proyek ini terkandung dalam bukunya yang
paling fundamental, Pour de la raison islamique, (Menuju Kritik Akal Islam). Buku ini,
yang semula akan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul “naqdu al-‘aqli al-
Islmiy”, kemudian diterjemahkan dengan judul “tarikhiyyatu al-Fikri al-Arabiy al-Islamiy”
(Historitas Pemikiran Arab Islam). Menurut Luthfi Assyaukany, karya tersebut bisa

4
mewakili pemikiran Arkoun secara keseluruhan, meskipun ia masih mempunyai banyak
karya lain. 7
Metode yang ditempuh Arkoun dalam buku ini adalah metode historisisme.
Historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan
relevensi antara teks dengan konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam
bentuk “kritik nalar islami”, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks).
Bila metode ini diterapkan pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah makna-
makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut.]
Luthfi Asysaukanie menggolongkan Arkoun ke dalam tipologi pemikir Arab
kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi wacana pemikiran ini masih
percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas. Arkoun, misalnya,
membedakan dua tradisi: 1) Tradisi dengan T besar yang berarti tradisi transendental,
abadi dan tak berubah; 2) tradisi dengan t kecil yang adalah produk sejarah dan budaya
manusia, baik yang merupakan warisan turun menurun maupun hasil penafsiran atas
wahyu tuhan lewat teks-teks suci. Bagi Arkoun, hanya tradisi kedualah yang dapat diuji
lewat kritisisme, dan karenanya ia mengabaikan tradisi yang pertama. Kelak, sebagaimana
akan dibahas, pembedaan Arkoun atas tradisi ini, juga terlihat dalam bangunan metodologi
“cara membaca Qur’an”nya.
Arkoun menganggap proyek kritik akal Islamnya sebagai tak lain dari perluasan
terhadap makna ijtihad klasik. Perpindahan dari ijtihad klasik ke kritik akal Islam adalah
usaha mematangkan dan memantapkan posisi ijtihad itu sendiri. Karena begitu sentralnya
“proyek kritik akal Islam” ini dalam bangunan pemikiran Arkoun, berikut ini disajikan
penjelasan Arkoun mengenai maksud dari kata “kritik” dan “akal”, dengan eksplorasi
penerapannya.
Menurut pengakuannya, istilah “kritik akal” dalam bukunya itu tidaklah mengacu
pada pengertian filsafat, melainkan pada kritik sejarah. Ketika mendengar kata kritik akal,
orang memang tidak gampang melupakan karya filosof besar Immanuel Kant, Critique of
pure Reason dan Critique of Practical Reason, dan karya Sartre, Critique of Dialectical
Reason. Tetapi, kata Arkoun, belakangan Francois Furet menggunakan istilah tersebut
untuk tujuan penelitian sejarah. Berbeda dengan Kant dan Sartre, Furet adalah seorang
sejarawan. Ia berusaha memikirkan (ulang secara kritis tentunya) seluruh tumpukan
7
Luthfi Assyaukany, ”Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju Kritik
Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 1, vol. V 1994, h. 25.

5
literatur sejarah mengenai revolusi perancis. Revolusi Perancis adalah peristiwa sejarah
yang amat kompleks serta mempunyai pengaruh yang begitu besar, sebegitu rupa sehingga
darinya lahir banjir bandang literatur komentar, interpretasi yang beragam dan bahkan
bertentangan. Menurut Arkoun keadaan ini bisa dibandingkan dengan peristiwa turunnya
wayhu Al-Qur’an yang telah melahirkan sekian banyak literatur, yang selain beragam juga
kadang saling bertentangan satu sama lain. Ia menegaskan: Peristiwa itu (Revolusi
Perancis) telah merangsang lahirnya komentar serta teori yang begitu luas serta teori yang
begitu luas sejak dua ratus tahun lampau hingga sekarang (1789-1989). Keadaan ini dapat
kita bandingkan dengan apa yang terjadi pada kita dengan teks Al-Qur’an.8
Adapun kata akal merujuk pada akal sebagai fakultas dalam diri manusia untuk
berpikir. Manusia berpikir dengan menggunakan alat-alat, yakni berupa kata-kata dari
suatu bahasa, kategori-kategori dari logika, postulat atau hipotesa tentang realitas. Akal
bisa berubah, seiring dengan perkembangan alat-alat berpikir yang ditemukan akal itu
sendiri, seperti dari penemuan-penemuan ilmiah yang revolusioner. Karena itu, Arkoun
menegaskan bahwa akal bukanlah konsep abstrak yang melayang-layang di udara, ia
adalah konsep konkret yang bisa berubah-rubah. Ia mempunyai sejarahnya dan memang
terus meyejarah.
Arkoun membedakan bahan dan postulat antara akal religius (religius reason) dan
akal filosofis (philosophical reason). Dalam diskursus religius misalnya, ada metafor-
metafor, simbol dan kisah-kisah mitis. Akal religius digunakan oleh kaum semitis: yahudi,
kristen dan islam, sementara akal filosofis digunakan oleh filosof Yunani. Menurutnya,
penemuan revolusioner Galileo dibidang astronomi (bahwa bumi mengitari matahari) pada
abad 16, revolusi Lutherian pada abad 18 yang menegakkan pendirian (otonomi) akal--dan
menempatkannya dalam posisi rasional—terhadap kitab suci, dan revolusi politik di
Inggris dan Perancis pada abad 18, telah merubah akal secara radikal dengan menghasilkan
akal “modern”. Tetapi, apa yang terjadi di Italia, Inggris, Perancis, spanyol itu tidak terjadi
dalam masyarakat-masyarakat Islam. Akibatnya, akal (atau alam pikiran) umat Islam
belum bisa lepas dari mental abad pertengahan yang kental dengan ortodoksisme dan
dogmatisme.
Untuk menelusuri sejarah pemikiran Islam, layaknya seorang arkeolog, Arkoun
menggali seluruh lapisan geologis pemikiran (akal) Arab-Islam dengan memakai “pisau”
8
Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V
1994, h. 157.

6
epistema Michael Foucault. Arkoun membagi tiga tingkatan sejarah terbentuknya akal
Arab-Islam: klasik, skolastik dan modern. Yang dimaksud dengan tingkatan klasik adalah
sistem pemikiran yang diwakili oleh para pemula dan pembentuk peradaban Islam.
Skolastik adalah jenjang kedua yang merupakan medan taklid sistem berpikir umat.
Sedangkan tingkatan modern adalah apa yang dikenal dengan kebangkitan dan revolusi.
Dengan membagi sejarah ke dalam tiga penggalan (ruputure) epistema ini, tampaknya
Arkoun bermaksud untuk menjelaskan term “yang terpikirkan” (le pensable/ thinkable),
“yang tak terpikirkan” (l’impinse/unthikable) dan “yang belum terpikirkan”
(l’impensable/not yet thought), untuk kemudian diterapkan dalam rangka membedah
sejarah sistem pemikiran Arab-Islam.
Yang dimaksud dengan “yang terpikirkan adalah hal-hal yang mungkin umat
Islam memikirkannya, karena jelas dan boleh dipikirkan. Sementara “yang tak terpikirkan
adalah hal-hal seputar tidak ada kaitannya antara ajaran agama dengan praktek kehidupan.9
Demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun pun
menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, sunnah dan Ushul. Bagi Arkoun, Al-Qur’an
tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity). 10 Baginya, lantaran Assyafi’i
berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul kepada standar tertentu
serta pembakuan Qur’an kepada sebuah mushaf resmi (kopus resmi tertutup/mushaf
Utsman), banyak ranah pemikiran yang tadinya “yang terpikirkan”, berubah menjadi hal-
hal yang tak terpikirkan. Sampai sekarang, di tengah tantangan barat modern, menurutnya,
daerah tak terpikirkan masih terus melebar.
Demikianlah, Arkoun melihat ortodoksisme (paham yang selalu menekankan
pada penafsiran nash-nash yang pasti benar, sehingga penafsiran orang lain salah, bid’ah)
dan dogmatisme abad skolastik (dogmatisme ditandai dengan pencampuradukkan antara
wahyu dengan non wahyu, atau masuknya non-wahyu ke dalam wilayah wahyu), masih
tetap bercokol dalam akal Arab-Islam dewasa ini.
Dengan kritik historisnya, Arkoun menemukan karakteristik umum akal-akal
islam. Pertama, ketundukan akal-akal kepada wahyu yang “terberi” (diturunkan dari
langit). Wahyu mempunyai kedudukan dan posisi yang lebih tinggi, sebab dihadapan akal-
akal itu ia memiliki watak transendentalitas (al-ta’ali, La trancendance) yang mengatasi
9
Mohammed Arkoun, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6 vol. V
1994, h. 157.
10
Dikutip dari Farid Esack, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of
Interriligious Solidarity against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), h. 69.

7
manusia, sejarah dan masyarakat. Kedua, penghormatan dan ketaatan kepada otoritas
agung. Imam mujtihid dalam setiap madzhab tidak boleh dibantah atau didebat, walaupun
di antara para mujtahid sendiri terdapat banyak perbedaan bahkan perselisihan. Para imam
mujtahid ini telah mematok kaidah-kaidah menafsirkan Al-Quran secara benar, termasuk
istimbath hukum. Otoritas ini menjelma dalam sosok para imam madzhab. Ketiga, akal
beroperasi dengan cara pandang tertentu terhadap alam semesta, yang khas abad
pertengahan, sebelum lahirnya ilmu astronomi modern.
Maka, bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan)
pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekontruksi terhadap epistema
ortodoksi dan dogmatisme abad pertengahan.
Dari kritik historisnya, Arkoun juga mendapati bahwa tumpukan literature tafsir
Al-Qur’an tak ubahnya seperti endapan lapisan-lapisan geologis bumi. Dalam konteks ini,
secara radikal Arkoun menganggap sejarah tafsir sebagai sajarah penggunaan Al-Qur’an
sebagai dalih: Jika kita lihat khazanah tafsir dengan seluruh macam madzhabnya, kita akan
tahu bahwa sesungguhnya Al-Qur’an hanyalah “alat” saja untuk membangun teks-teks lain
yang dapat memenuhi kebutuhan dan selera suatu masa tertentu setelah masa turunnya Al-
Qur’an itu sendiri. Seluruh tafsir itu ada dengan sendirinya dan untuk dirinya sendiri. Dia
merupakan karya intelektual serta produk budaya yang lebih terikat dengan konteks
kultural yang melatarinya, dengan lingkungan sosial atau teologi yang menjadi
“payungnya” nya daripada dengan konteks Al-Qur’an itu sendiri.
Menurutnya, pola hubungan yang terus-menerus antara teks pertama dan
ekploitasi teologis dan ideologis yang begitu beragam terhadapnya yang dilakukan oleh
berbagai latar kultural dan sosial yang berbeda itu, membuat teks kedua memiliki
sejarahnya sendiri. Sejarah tafsir adalah sejarah pernyataan yang diulang-ulang, secara
lebih kurang atau lebih bersemangat, mengenai sifat kebenaran, keabadian dan
kesempurnaan dari risalah yang diterima dan disampaikan Nabi Muhammad. Dengan
begitu, tafsir lebih bersifat “apologi defensif” daripada pencarian suatu cara memahami.
Padahal, kata Arkoun, Al-Qur’an tidak membutuhkan suatu apologi guna menunjukkan
kekayaan yang terkandung didalamnya.11 Karena itu, berbagai literatur tafsir, di satu sisi,
memang membantu mengantarkan kita untuk memahami Al-Qur’an; namun, di sisi lain,
kadang malahan merintangi pemandangan kita dari Al-Qur’an. Lantaran sejarah tafsir yang

11
St. Sunardi, Membaca Qur’an bersama…, dalam Johan Hendrik Meuleman, Tradisi, Kemodernan
dan Metamodernisme: Memperbincangkan Pemikiran Mohammed Arkoun, (Yogyakarta: LkiS, 1996), h. 60.

8
“menggeologis” itulah, barangkali, Arkoun memandang Al-Qur’an sekarang lebih banyak
menyebabkan kemandegan ketimbang pencerahan dan kemajuan: Jadinya sekarang, Kalam
Allah ditentang dan digagalkan oleh praktek masyarakat kita di masa kini; dihormati,
namun pada kenyataannya dihalangi oleh kaum muslim, dan direduksi oleh pengetahunan
ilmiah kaum orientalis menjadi kejadian budaya semata.12
Dalam konteks di atas, perlu segera dicatat bahwa yang dianggap tidak relevan
atau memandegkan bukanlah Al-Qur’an, melainkan pemikiran yang dipakai oleh para
teolog dan fuqaha dalam menafsirkan Al-Qur’an: Saya tidak mengatakan bahwa al-Qur’an
tidak relevan. Saya tidak berkata demikian. Harap berhati-hati. Yang saya katakan adalah
bahwa pemikiran yang dipakai oleh para teolog dan fuqoha untuk menafsirkan Al-Qur’an
tidak relevan. Sebab, sekarang kita ilmu baru seperti antropologi, yang tidak mereka
kuasai. Kita juga memiliki linguistik baru, metode sejarah, biologi—semuanya tidak
mereka kuasai.13
Demikian komplek dan peliknya sejarah tafsir, sehingga upaya restrukturisasi
(I’adat tarkib) dengan cara penulisan sejarahnya secara jernih dan kritis adalah sangat
mendesak. Berangkat dari persoalan ini, Arkoun merumuskan permasalahan:
Bagaimanakah kita dapat melakukan klarifikasi (al-idhahah at-tarikhiyyah) seperti terlihat
di atas? Bagaimana kita dapat membaca Al-Qur’an secara “baru”? Bagaimanakah kita
dapat memikirkan ulang pengalaman kesejarahan Islam sepanjang empat belas abad?

4. Kejayaan Islam Melalui Pluralisme Pemikiran


Mohammed Arkoun Arkoun menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika
umat Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam
hingga abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham
kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.
Menurut Arkoun dalam pembukaan seminar "Konsep Islam dan Modern tentang
Pemerintahan dan Demokrasi" di Jakarta, Senin (10/4), bahwa k olonialisme secara fisik
memang telah berakhir. Namun, paling tidak, pemikiran ummat muslim masih terjajah,
tidak ikut modern yang ditandai oleh kebebasan berpikir. Ini yang harus dilepaskan oleh
umat Islam,"

12
Mohammed Arkoun, Berbagai Pembacaan Qur’an, (Jakarta: INIS, 1997), h. 48.

13
Muhammed Arkoun, “Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, h.85.

9
Arkoun mengungkapkan, humanisme di Arab muncul pada abad ke-10 di Irak dan
Iran, pada saat munculnya gerakan yang kuat untuk membuka diri terhadap seluruh
kebudayaan di Timur Tengah yang didasarkan pada pendekatan humanis terhadap
manusia. Para ahli teologi, hukum, ilmuwan, dan ahli-ahli filsafat berkumpul dalam
Majelis Malam. Ketika berbicara dan bertukar pikiran, mereka saling berhadapan muka,
yang dikenal dengan istilah munadharah.
Namun, memasuki abad ke-13, umat Islam mulai melupakan filsafat maupun debat
teologi. Selama ini, umat Islam diajar bahwa Islam tidak memisahkan agama dan politik,
bahwa Islam adalah daulah (kerajaan). Dalam kapasitaasnya sebagai seorang ahli sejarah
peradaban Islam, ia mengatakan bahwa pemikiran tersebut adalah keliru.
Dalam Islam klasik, menurut Arkoun, ketika debat didasarkan pada pendekatan
keragaman budaya, keragaman pemikiran, dan keragaman teologi, terjadi perdebatan yang
seru bagaimana menginterpretasikan Alquran dan mengelaborasi dengan hukum yang
didasarkan pada teks suci.
Dengan tetap mempertahankan pluralisme, seseorang akan tetap menjadi kritis,
baik dalam filsafat maupun teologi. Pluralisme inilah yang hilang dalam Islam, kata
Arkoun. Islam dalam teologi harus mempertahankan kebebasan bagi setiap muslim untuk
berpartisipasi dalam ijtihad. Pemahaman ini penting untuk membangun demokrasi di
negara-negara Islam dan untuk memulihkan kembali kebebasan berpikir dalam Islam.
Menurut Arkoun, umat Islam bisa membandingkan dengan agama Kristen secara
teologis dan agama Katolik secara politik. Sampai revolusi Perancis, tidak ada legitimasi
politik yang tidak dikontrol oleh Gereja Katolik. Teologi Protestan merupakan teologi
modern, karena setiap orang mempunyai hak untuk mempelajari kitab suci.
Sebenarnya, umat Islam menemukan periode yang bisa memberikan harapan besar
akan munculnya kembali keragaman dalam berpikir pada saat munculnya negara-negara
baru pascakolonial. Namun, sayang, kesempatan itu hilang. Islam kemudian dipergunakan
lebih sebagai alat politik, bukan untuk berpikir dengan pendekatan humanis dan dalam
keragaman.
Arkoun berpendapat, pemulihan pengajaran sejarah akan memungkinkan Eropa dan
Islam membangun dan bekerja sama atas dasar filsafat dan nilai-nilai yang sama, di mana
membangun demokrasi tidak hanya berlandaskan pada negara-bangsa, tetapi pada
manusia. Menurut dia, munculnya Uni Eropa merupakan sebuah lompatan sejarah. Ada
sebuah ruang baru kewarganegaraan dengan membuka kesempatan manusia dari seluruh

10
belahan bumi untuk mendapatkan kewarganegaraan. Ada sebuah gaya baru pemerintahan
yang berdiri di atas bangsa.
"Ini revolusi dalam level politik," kata Arkoun seraya menambahkan bahwa model
ini bisa diadopsi oleh negara-negara muslim dan bertemu dengan pengalaman Eropa dalam
perspektif humanisme.
Arkoun juga menekankan pentingnya pendidikan yang didasarkan pada
humanisme. Dalam kaitan itu, di sekolah-sekolah menengah perlu diajarkan multibahasa
asing, sejarah ,dan antropologi, serta perbandingan sejarah dan antropologi agama-agama.
Ia mengajak terbuka pada semua kebudayaan dan terbuka pada semua pemikiran.
Menjawab pertanyaan tentang keinginan Presiden Abdurrahman Wahid
menghapuskan Ketetapan (Tap) No 25/MPRS/ 1966 tentang pembubaran PKI dan larangan
menyebarkan ajaran marxisme/komunisme, Arkoun mengatakan, komunis merupakan
model politik yang digunakan Uni Soviet untuk mengalahkan demokrasi modern yang
berkembang di Eropa. "Jika Anda membaca filsafat Karl Marx dan Hegel, Anda akan
berhenti mengutuk filsafat yang dijadikan dasar paham komunis. Ini yang mungkin
diperkenalkan Presiden Indonesia sebagai langkah awal menuju demokrasi yang modern,"
ujarnya.
Arkoun mencontohkan keinginan pemerintah Maroko meningkatkan status
perempuan. Partai Islam menolak rencana pemerintah, tetapi sebagian yang lain
menerimanya. Hukum modern didasarkan pada kedaulatan individu. Apakah kita mau
meninggalkan Sariat Islam dengan menghargai kedaulatan individu itu.
Dalam Islam, tegas Arkoun, ada yang disebut munadharah (tukar pikiran).
Munadharah adalah jantung demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa munadharah, karena
dalam munadharah setiap orang bebas mengeluarkan pendapatnya.14

C. Isma’il Razi al-Faruqi.


1. Sejarah dan Latar Belakang ar-Razi.
Nama besarnya telah membelah perhatian dunia intelektualisme universal. Konsep
dan teorinya tentang penggabungan ilmu pengetahuan telah mengilhami berdirinya
berbagai megaproyek keilmuan, semisal International Institute of Islamic Thougth (IIIT) di
Amerika Serikat dan lembaga sejenis di Malaysia.

14
Kompas, ed. Selasa, 11 April 2000

11
Berkat dia pula agenda besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan' hingga kini tumbuh dan
berkembang di berbagai negara, meski untuk itu harus menuai badai kritik dan kecaman.
Proyek Pan-Islamisme Jamaluddin Al Afghani pun dilanjutkannya, walau hasilnya tak
optimal.
Itulah antara lain kiprah Ismail Raji Al Faruqi. Sosok cerdik yang sangat dihormati
dan disegani berbagai kalangan intelektual dan ilmuwan, Islam dan Barat, ini dilahirkan di
daerah Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921. Saat itu, negerinya memang tak separah dan
setragis sekarang, yang menjadi sasaran senjata canggih pemerintahan zionis, Israel.
Palestina masih begitu harmonis dalam pelukan kekuasaan Arab, ketika Faruqi dilahirkan.
Al Faruqi melalui pendidikan dasarnya di College des Freres, Lebanon sejak 1926
hingga 1936. Pendidikan tinggi ia tempuh di The American University, di Beirut. Gelar
sarjana muda pun ia gapai pada 1941. Lulus sarjana, ia kembali ke tanah kelahirannya
menjadi pegawai di pemerintahan Palestina, di bawah mandat Inggris selama empat tahun,
sebelum akhirnya diangkat menjadi gubernur Galilea yang terakhir. Namun pada 1947
provinsi yang dipimpinnya jatuh ke tangan Israel, hingga ia pun hijrah ke Amerika Serikat.
Di negeri Paman Sam itu garis hidupnya berubah. Dia dengan tekun menggeluti
dunia akademis. Di negeri ini pula, gelar masternya di bidang filsafat ia raih dari
Universitas Indiana, AS, pada 1949, dan gelar master keduanya dari Universitas Harvard,
dengan judul tesis On Justifying The God: Metaphysic and Epistemology of Value
(Tentang Pembenaran Kebaikan: Metafisika dan Epistemologi Ilmu). Sementara gelar
doktornya diraih dari Universitas Indiana. Tak hanya itu, Al Faruqi juga memperdalam
ilmu agama di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir selama empat tahun.
Usai studi Islam di Kairo, Al Faruqi mulai berkiprah di dunia kampus dengan
mengajar di Universitas McGill, Montreal, Kanada pada 1959 selama dua tahun. Pada
1962 Al Faruqi pindah ke Karachi, Pakistan, karena terlibat kegiatan Central Institute for
Islamic Research.
Setahun kemudian, pada 1963, Al Faruqi kembali ke AS dan memberikan kuliah di
Fakultas Agama Universitas Chicago, dan selanjutnya pindah ke program pengkajian Islam
di Universitas Syracuse, New York. Pada tahun 1968, ia pindah ke Universitas Temple,
Philadelphia, sebagai guru besar dan mendirikan Pusat Pengkajian Islam di institusi
tersebut.
Selain itu, ia juga menjadi guru besar tamu di berbagai negara, seperti di
Universitas Mindanao City, Filipina, dan di Universitas Qom, Iran. Ia pula perancang

12
utama kurikulum The American Islamic College Chicago. Al Faruqi mengabdikan ilmunya
di kampus hingga akhir hayatnya, pada 27 Mei 1986, di Philadelphia.15

2. Pemikiran
Ilmuwan yang ikut membidani berbagai kajian tentang Islam di berbagai negara
--Pakistan, India, Afrika Selatan, Malaysia, Mesir, Libya, dan Arab Saudi-- ini sangat
terkenal dengan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama.16 Dalam
keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena,
katanya, ilmu dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran
dan Hadis.
"Bukan seperti sekarang, saat dunia Barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan,
namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tak lain karena adanya pemisahan dan
dikotomi antara ilmu pengetahuan dan agama," kilahnya.
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu,
yang ia kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan', 17 itu dituangkan dalam
banyak tulisan, baik di majalah, media lainnya, dan juga buku. Lebih dari 20 buku, dalam
berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari seratus artikel telah dipublikasikan.
Di antara karyanya yang terpenting adalah: A Historical Atlas of the Religion of The World
(Atlas Historis Agama Dunia), Trialogue of Abrahamic Faiths (Trilogi Agama-agama
Abrahamis), The Cultural Atlas of Islam (Atlas Budaya Islam), Islam and Cultural
(keduanya telah di Indonesiakan).
Gagasan 'Islamisasi ilmu pengetahuan' tak hanya ia perjuangkan dalam bentuk
buku, namun juga dalam institusi pengkajian Islam dengan mendirikan IIIT pada 1980, di
Amerika Serikat. Kini, lembaga bergengsi dan berkualitas itu memiliki banyak cabang di
berbagai negara, termasuk di Indonesia dan Malaysia. Namun pemikirannya juga
menimbulkan pro-kontra di kalangan ilmuwan Muslim dan Barat.
Hal demikian tak membuatnya larut dalam kritikan. Suara-suara sumbang itu malah
ia kelola sedemikian rupa sehingga berpotensi menjadi stimulasi pengembangan
pemikirannya tersebut. Tak cukup dengan IIIT saja, ia dirikan pula The Association of

15
Penulis, Isma’il Raji al-Faruqi, artikel dalam www.islamlib.com didownload pada 27 oktober
2007.
16
DR. Daud Rasyid, M.A, Harun Nasution, artikel dalam www.alislami.com didownload pada 27
oktober 2007.
17
Lihat jurnal "Al-Muslim al-Mu'ashir" edisi no 43, tahun 1985, hlm. 102).

13
Muslim Social Scientist pada 1972. Kedua lembaga internasional yang didirikannya itu
menerbitkan jurnal Amerika tentang Ilmu-ilmu Sosial Islam.
Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh pandangannya bahwa ilmu
pengetahuan dewasa ini benar-benar telah sekuler dan karenanya jauh dari tauhid. Maka,
dirintislah teori dan 'resep' pengobatan agar kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan
kebablasan di luar jalur etik, lewat konsep Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam
pendidikan dan pengetahuan.
Pemikirannya tentang Pan-Islamisme (Persatuan Negara-negara Islam) pun tak
kalah penting. Seakan tak merasa risih dan pesimis, pemikiran Pan-Islamismenya terus
didengungkannya di tengah berkembangnya negara-negara nasional di dunia Islam dewasa
ini. Al Faruqi tak sependapat dengan berkembangnya nasionalisme yang membuat umat
Islam terpecah-pecah.
Baginya, sistem khilafah (kekhalifahan Islam) adalah bentuk negara Islam yang
paling sempurna. "Khilafah adalah prasyarat mutlak bagi tegaknya paradigma Islam di
muka bumi. Khilafah merupakan induk dari lembaga-lembaga lain dalam masyarakat.
Tanpa itu, lembaga-lembaga lain akan kehilangan dasar pijaknya," tegasnya.
Dengan terbentuknya khilafah, jelasnya, keragaman tidak berarti akan lenyap.
Dalam pandangannya, khilafah tetap bertanggung jawab melindungi keragaman. Bahkan,
khilafah wajib melindungi pemeluk agama lain, seperti Kristen, Yahudi dan lain
sebagainya. "Tak ada paksaan dalam Islam," katanya. Menurutnya, negara-negara Islam
yang ada saat ini akan menjadi provinsi-provinsi federal dari sebuah khilafah yang bersifat
universal yang harus senantiasa diperjuangkan.
Dalam bidang perbandingan agama, kontribusi pemikiran Al Faruqi tak kecil.
Karyanya A Historical Atlas of Religion of the World, oleh banyak kalangan dipandang
sebagai buku standar dalam bidang tersebut. Dalam karya-karyanya itulah, ia selalu
memaparkan pemikiran ilmiahnya untuk mencapai saling pengertian antarumat beragama,
dan pemahaman intelektual terhadap agama-agama lain. Baginya, ilmu perbandingan
agama berguna untuk membersihkan semua bentuk prasangka dan salah pengertian untuk
membangun persahabatan antara sesama manusia.
Karena itu pula, Al Faruqi berpendapat bahwa Islam tidak menentang Yahudi.
Yang ditentang Islam adalah Zionisme. Antara keduanya (Yahudi dan Zionisme) terdapat
perbedaan mendasar. Ketidakadilan dan kezaliman yang dilakukan Zionisme, menurutnya,
begitu rumit, majemuk, dan amat krusial, sehingga praktis tidak terdapat cara untuk

14
menghentikannya tanpa suatu kekerasan perang. Dalam hal ini, negara zionis harus
dihancurkan. Sebagai jalan keluarnya, orang-orang Yahudi diberi hak bermukim di mana
saja mereka kehendaki, sebagai warga negara bebas. Mereka harus diterima dengan baik di
negara Muslim.
Lantaran pemikirannya inilah, kalangan Yahudi tidak senang dengannya. Nasib
tragis pun menimpa diri dan keluarganya, ketika meletus serangan teroris di Eropa Barat,
yang lalu merembet pada kerusuhan di AS pada 1986. Gerakan anti-Arab serta semua yang
berbau Arab dan Islam begitu marak dipelopori beberapa kalangan tertentu yang lama
memendam perasaan tak senang terhadap Islam dan warga Arab. Dalam serangan oleh
kelompok tak dikenal itulah, Al Faruqi dan istrinya, Dr Lois Lamya, serta keluarganya
tewas. Untuk mengenang jasa-jasa, usaha, dan karyanya, organisasi masyarakat Islam
Amerika Utara (ISNA) mengabadikan dengan mendirikan The Ismail and Lamya Al
Faruqi Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita 'Islamisasi ilmu
pengetahuan'

15
D. Penutup.
Muhammad Arkoun dibesarkan dalam lingkungan hidup yang sarat dengan
sufisme dan nuansa spiritual. Kehidupan Arkoun yang mengenal berbagai tradisi dan
kebudayaan merupakan faktor penting bagi perkembangan pemikirannya.
Arkoun banyak meminjam konsep-konsep kaum (post) strukturalisme untuk
kemudian diterapkannya ke dalam wilayah kajian Islam. Konsep-konsep seperti korpus,
epistema, wacana, dekontruksi, mitos, logosentrisme dan sebagainya.
Arkoun mengaku dirinya sebagai sejarawan-pemikir dan bukan sebagai
sejarawan-pemikiran. Mohammed Arkoun memiliki “proyek kritik atas akal Islam” dimana
metode historis modern menempati peran sentralnya
Metode yang ditempuh Arkoun adalah metode historisisme. Historisisme berperan
sebagai metode rekonstruksi makna melalui cara penghapusan relevensi antara teks dengan
konteks. Melalui metode historisisme, yang mewujud dalam bentuk “kritik nalar islami”,
teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi (konteks). Bila metode ini diterapkan
pada teks-teks agama, apa yang diburu Arkoun adalah makna-makna baru yang secara
potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Muhamamd Arkoun adalah tipologi
pemikir Arab kontemporer yang “reformistik-dekonstruktif”. Tipologi wacana pemikiran
ini masih percaya pada tradisi sejauh disesuaikan dengan tuntutan modernitas.
Mohammed Arkoun juga menyatakan, Islam akan meraih kejayaannya jika umat
Islam membuka diri terhadap pluralisme pemikiran, seperti pada masa awal Islam hingga
abad pertengahan. Pluralisme bisa dicapai bila pemahaman agama dilandasi paham
kemanusiaan, sehingga umat Islam bisa bergaul dengan siapa pun.
Isma’il Raji al-Faruqi adalah seorang pemikir yang sangat terkenal dengan
konsep integrasi antara ilmu pengetahuan (umum) dan agama. Dalam keyakinan
agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena, katanya, ilmu
dalam Islam asalnya dan bersumber pada nash-nash dasarnya, yakni Alquran dan Hadis.
Gagasan-gagasan cerah dan teorinya untuk memperjuangkan proyek integrasi
ilmu, yang ia kemas dalam bingkai besar 'Islamisasi ilmu pengetahuan'. Ide tersebut
muncul didorong oleh pandangannya bahwa ilmu pengetahuan dewasa ini benar-benar
telah sekuler dan karenanya jauh dari tauhid.

16
Daftar Pustaka

Arkoun, Mohammed, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6
vol. V 1994.

__________________, “Metode Kritik Akal Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, nomor 6
vol. V 1994.

__________________, Berbagai Pembacaan Qur’an. Jakarta: INIS, 1997.

__________________, Menuju Pendekatan Baru Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an.

Esack, Farid, Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious


Solidarity against Oppression. Oxford: Oneworld, 1997.

jurnal "Al-Muslim al-Mu'ashir" edisi no 43, tahun 1985.

Kompas, ed. Selasa, 11 April 2000.

Meuleman, Johan H., Nalar Islami dan Nalar Modern: Memperkenalkan Pemikiran
Mohammed Arkoun, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 4 vol. 1v 1993.

_________________, Tradisi, Kemodernan dan Metamodernisme: Memperbincangkan


Pemikiran Mohammed Arkoun. Yogyakarta: LkiS, 1996.

Penulis, Isma’il Raji al-Faruqi, artikel dalam www.islamlib.com didownload pada 27


oktober 2007.

Putro, Suadi, Mohammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta: Paramadina,
1996.

Rasyid, Daud, Harun Nasution, artikel dalam www.alislami.com didownload pada 27


oktober 2007.

Syaukani, Luthfi, Tipologi Pemikiran dan Wacana Arab Kontemporer, dalam jurnal
Pemikiran Islam vol. I nomor 1, Juli-Desember 1998.

______________, Islam dalam Konteks Pemikiran Pasca-Moderne: Pendekatan Menuju


Kritik Akal Islam”, dalam jurnal Ulumul Qur’an, nomor 1, vol. V 1994.

17

Anda mungkin juga menyukai