Anda di halaman 1dari 19

12

BAB II
TRADISI DALAM PEMIKIRAN MOHAMMAD ARKOUN

A. Biografi dan Karya-Karyanya


Untuk memahami pemikiran seorang pemikir, maka hal yang mutlak
dilakukan adalah mengetahui latar belakang pemikiran tokoh tersebut. Artinya,
bila pemahaman terhadap pemikiran seseorang tanpa mengetahui latar belakang
munculnya pemikiran tokoh tersebut, maka pemahaman yang demikian bukanlah
pemahaman yang komprehensif, karena pemikiran seorang tokoh tidak muncul
begitu saja, tetapi muncul sebagai suatu proses dan kelanjutan ataupun antitesis
terhadap pemikiran-pemikiran yang berkembang pada zamannya. Oleh karena itu,
penulis akan menguraikan terlebih dahulu mengenai latar belakang kehidupan dan
pemikiran Mohammad Arkoun, sebelum menguraikan pemikirannya.
a. Riwayat Hidup Mohammad Arkoun
Mohammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 M di Taourirt-
Mimoun, di Kabilia, suatu daerah pegunungan yang berpenduduk Berber di
sebelah timur Aljir. Kedaan itulah yang menghadapakannya sejak masa mudanya
pada tiga bahasa: bahasa Kabilia, salah satu bahasa Barber yang diwarisi Afrika
Utara dari zaman pra-Islam dan pra-Romawi, bahasa Arab yang dibawa ekspansi
Islam sejak abad pertama hijriyah dan bahasa Prancis yang dibawa oleh bangsa
yang menguasai Aljazair antara tahun 1830 M dan 1962 M.1
Sampai batas tertentu ketiga bahasa tersebut mewakili ketiga tradisi dari
orentasi budaya yang berbeda: bahasa Kabilia, yang kecuali beberapa usaha coba-
coba mutakhir tidak mengenal tulisan, merupakan wadah penyampaian
sehimpunan tradisi dan nilai pengarah yang menyangkut kehidupan sosial dan
ekonomi yang sudah beribu-ribu tahun lamanya, bahasa Arab merupakan alat
pengungkapan dan terutama melalui teks-teks tertulis, pelestarian tradisi dalam
bidang keagamaan, yang mengkaitkan Aljazair dengan daerah dan bangsa lain di

1
Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru, terj. Rahayu Hidayat, INIS, Jakarta, 1994, hlm. 1
13

Afrika Utara dan Timur Tengah, bahasa Prancis merupakan bahasa pemerintahan
dan sarana pemasukan nilai dan tradisi ilmiah Barat yang disampaikan melalui
sekolah-sekolah Prancis yang didirikan penguasa penjajah, tidak tanpa kaitan
dengan suatu kebijakan devide et impera, dalam jumlah yang relatif besar di
Kabilia. Sampai batas tertentu juga, ketiga bahasa itu mewakili cara berfikir dan
memahami yang berbeda.2
Situasi tersebut mempengaruhi Mohammad Arkoun. Sejak kecil ia bergaul
secara intensif dengan ketiga bahasa tersebut. Bahasa Kabilia dalam kehidupan
sehari-hari, bahasa Prancis di sekolah dan dalam urusan administratif, dan
akhirnya bahasa Arab baru yang mulai di dalaminya ketika ia masuk sekolah
menengah atas di Oran, kota utama Aljazair bagian barat.3
Pendidikan Mohammad Arkoun dimulai pada sekolah dasar di desa
asalnya, kemudian sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, dari tahun 1950 M
sampai 1954 M, ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir. Kemudian,
di tengah pembebasan Aljazair dari Prancis (yang berlangsung antara tahun 1954
M sampai dengan 1962 M) ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris.
Sejak saat itu ia menetap di Paris. Namun bidang utama dari studi dan
penelitiannya (area of concern) tidak berubah, yaitu tetap meneliti bahasa dan
sastra Arab serta pemikiran Islam.4
Pada tahun 1961 M Mohammad Arkoun diangkat menjadi dosen
Universitas Sarbone di Paris, tempat ia memperoleh gelar Doktor5 sastra pada
tahun 1969 M dengan desertasi mengenai Humanisme dalam Pemikiran Etis
Miskawaih.6 Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Traite

2
Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post
Modernisme, terj. Jauhari, Ibnu Hasan, Rosdiansah, al-Fikr, Surabaya, 1999, hlm. iii
3
Ibid, hlm. iv
4
Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 2
5
Gelar doktor tersebut merupakan pendidikan terakhir Mohammad Arkoun.
6
Ibnu Miskawaih merupakan seorang pemikir Muslim Persi dari akhir abad 10 hingga
awal abad ke 11 Masehi (w. 1030 M) di dunia Islam, Ibnu Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang
menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain ilmu kedokteran dan filsafat serta
menekuni soal-soal persamaan dan perbedaan antara tradisi Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani. Lihat Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, Mizan,
Bandung, 1994, hlm. 17-22
14

d’ethique, Damaskus, 1969 dan Contribbution a l’etude de l’humanisme Arabe


IVe/Xe sicle, edisi kedua, Paris, 1982. 7
Sejak Mohammad Arkoun menetap di Prancis, pengaruh berbagai
perkembangan mutakhir dalam bidang islamologi, filsafat, ilmu bahasa, dan ilmu-
ilmu sosial di dunia Barat, terutama Prancis, tampak sangat jelas dalam karyanya.8
Tahun 1970 M sampai tahun 1972 M Mohammad Arkoun mengajar di
Universitas Lyon dan selanjutnya kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah
pemikiran Islam. Selain itu Mohammad Arkoun seringkali memberikan ceramah
di luar termasuk di Aljazair atau menjadi dosen tamu di universitas luar negri.
Jenjang pendidikan formal yang dilalui Mohammad Arkoun ini
selanjutnya semakin mempererat pergaulannya dengan tiga bahasa (Kabilia, Arab,
Prancis) dan tradisi pemikiran terutama tradisi Islam, yang sebagian besar
diungkapkan dalam bahsa Arab serta tradisi Barat, terutama yang berkembang
dalam bahasa dan di negri Prancis. Selanjutnya dapat diketahui bahwa
Mohammad Arkoun menjalani kehidupannya diantara berbagai tradisi dan
kebudayaan. Keterlibatannya dalam ketiga bahasa di atas, kelak menjadi faktor
penting yang mempengaruhi perkembangan pemikirannya. Faktor inilah,
barangkali yang menyebabkan perhatiannya pada peran bahasa dalam pemikiran
dan masyarakat manusia demikian besar.
b. Latar Belakang Sosial Politik dan Keilmuan Mohammad Arkoun
Sebagai seorang intelektual yang bergulat secara intens dalam dunia
pemikiran (Islam) Mohammad Arkoun tentunya memiliki latar belakang sosial
politik dan keilmuan serta memiliki berbagai kegiatan yang berhubungan dengan
dunia akademis.

7
Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik…, op.cit., hlm. iv
8
Mohammad Arkoun adalah seorang dari sejumlah kecil ilmuwan Muslim, yang dengan
penuh kesungguhannya menganjurkan untuk mempelajari kebudayaan dan peradaban Islam
dengan memanfaatkan dan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial yang baru
muncul ke pentas keilmuan pada abad ke 19 dan ke 20. Sebuah metodelogi keilmuan yang belum
sempat terpikirkan, apalagi sampai dirumuskan, oleh para cerdik pandai dan para ulama Islam
klasik, era skolastik, bahkan modern sekalipun. Setidaknya ada empat pendekatan, yang
menurutnya patut dipertimbangkan untuk digunakan dalam studi kebudayaan dan peradaban Islam
era sekarang khususnya dan studi agama pada umumnya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan
sejarah, antropologi, sosiologi, dan bahasa (linguistik). Lihat pengantar Amin Abdullah dalam
Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik…, op.cit., hlm. iv
15

Ketika menjadi mahasiswa di Paris, Mohammad Arkoun sempat bekerja


sebagai agrege bahasa dan kesusastraan Arab di Paris. Dia juga pernah menjadi
guru SMA (lycee) di Strasbourg, suatu daerah yang terletak di timur laut Prancis,
disamping itu ia juga diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas
Strasbourg (1956-1959).
Pada tahun 1961 Mohammad Arkoun diangkat menjadi dosen di
Universitas Sorbonne di Paris, tempat ia memperoleh gelar doktor sastra. Dari
tahun 1970 sampai 1972 Mohammad Arkoun mengajar di Universitas Lyon dan
kemudian kembali ke Paris sebagai guru besar sejarah pemikiran Islam selain itu,
Mohammad Arkoun seringkali diundang sebagai penceramah di luar Prancis. Ia
bahkan menjadi dosen tamu di berbagai Universitas ternama di luar negri seperti
Universitas of California di Los Engeles, lembaga kepausan untuk studi Arab dan
Islam di Roma, Universitaas Katolik Louvain la Neuve di Belgia dan Princeton
Universitas di Philadelphia. Akhirnya pada tahun 1993 Mohammad Arkoun
diangkat menjadi guru besar tamu di Universitas Amsterdam. Sejak keterbukaan
politis di Aljazair pada akhir tahun 1988 M yang dihentikan kembali pada bulan
Januari 1992 M, Mohammad Arkoun sering juga diundang sebagai penceramah
oleh berbagai partai politik Aljazair atau diwawancarai media cetak dan televisi
Aljazair. Namun, ia tidak pernah melibatkan diri dengan partai politik tertentu.9
Selain sebagai pengajar, Mohammad Arkoun menduduki sejumlah jabatan
penting lain. Ia adalah direktur ilmiah majalah Islam terkemuka Arabica. Ia juga
pernah diangkat menjadi chevalier de la Legion d’honneur (anggota Legiun
Kehormatan Prancis) dan meduduki sejumlah jabatan resmi seperti kedudukan
anggota panitia nasional Prancis untuk etika dalam ilmu pengetahuan kehidupan
dan kedokteran serta kenaggotaan Majlis Nasional untuk AIDS serta Officier de
Palmes Academiques, yaitu suatu gelar kehormatan Prancis untuk tokoh
terkemuka di dunia akademik.10
Mohammad Arkoun sempat mengunjungi Indonesia pada kesempatan
seminar tentang Contemporary Expressions of Islam in Building di Yogyakarta
9
Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, terj. Ahmad Baiquni, Mizan, Bandung, 2000,
hlm. 169
10
Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 2
16

pada bulan Oktober 1990 M, Internasional Confrence on Cultural Taurism di


Yogyakarta pada bulan November 1992 dan dalam rangka pemberian
penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur di Yogyakarta dan Solo pada bulan
November 1995. Ia juga sempat berceramah di IAIN Yogyakarta dan Jakarta di
depan forum LKIS dan beberapa lembaga lain.11
Mohammad Arkoun juga berperan aktif dalam dialog antar agama,
khususnya dialog Islam-Kristen, selama lebih dari 20 tahun. Selam waktu tersebut
Mohammad Arkoun telah menghadiri berbagai pertemuan, konfrensi dan seminar,
memberikan beberapa kuliah dan ceramah dan menulis buku-buku dan artikel
yang berhubungan dengan kondisi ilmiah dan kultural dari dunia modern, berupa
pandangan kritis mengenai warisan keagamaan dari komunitas tiga agama
monoteistik.
c. Karya-Karya Mohammad Arkoun
Mohammad Arkoun adalah seorang ilmuwan yang sangat produktif. Ia
telah menulis banyak buku penting terutama menghasilkan sejumlah besar artikel
yang diterbitkan dalam berbagai majalah terkemuka, seperti Maghreb-Machreq
(Paris), Islamochristiana (Vatikan), Diogene (Paris), Arabica (Leiden/Paris)
Studia Islamica (Paris) dan berbagai kumpulan makalah dan karya bersama lain.
Sebagian dari artikel Mohammad Arkoun yang membahas berbagai aspek dari
pokok persoalan umum yang sama, diterbitkan kembali dalam sebuah judul buku.
Berikut ini hanya akan disebutkan beberapa judul buku yang penting
sekali:12
1. Traite d’ethique (traduction francaise avec introduction et notes du
Tadhib al-Akhlaq de Miskawayh) [tulisan tentang etika (terjemahan
Prancis dengan pengantar dan catatan-catatan dari Tahdzib al-Akhlak
karya Miskawaih), Damaskus, 1969
2. Contribution a l ‘etude de I humanisme arabe au IVe/Xe siecle: Miskawayh
philosophe et historien (sumbangan pada pembahasan humanisme Arab

11
Ibid, hlm. 4
12
Mohammad Arkoun, Rethingking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq,
LPMI, Yogyakarta, 1996, hlm. 23-29
17

abad IV/X: Miskawaih sebagai filosof dan sejarawan ), Paris, Vrin, P.U.F.,
1975
3. La pensee arabe (Pemikiran Arab), Paris, P.U.F., 1975. Sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Yudian W. Asmin
4. Ouvertures sur I ‘Islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami
Islam) Paris, Grancer, 1989. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari
edisi ke dua buku tersebut oleh Robert D. Lee dengan judul Rethingking
Islam: Common Questions Uncommon Answer, Oxford, Westview Press,
1994
5. Al-Fikr al-Islam. Naqd wa Ijtihad, terj. Hasyim Salih, London, Dar al-
Saqi, 1990
6. Al-Fikr al-Islam. Qiro’ah Ilmiyyah, terj. Hasyim Shalih, Beirut, Markaz
al-Inma’ al-Qaumi, 1987
7. Al-Islam al-Akhlak wa as-Siyasah, terj. Hasyim Shalih, Beirut, UNISCO
dan Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1990
8. Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi al-Islam, terj. Hasyim Shalih, Beirut, Markaz
al-Inma’ al-Qaumi, 1986
9. Min Faishal at-Tafriqah al-Fashal al-Maqal…Aina Huwa al-fikr al-Islam
al-Mu’asir, terj. Hasyim Shalih, London, Dar al-Saqi, 1993
10. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta, INIS, 1994
Kebanyakan karya Mohammad Arkoun ditulis dalam bahasa Prancis. Ia
memang tidak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Satu-satunya karya
Mohammad Arkoun dalam bentuk buku yang ditulis dalam bahasa Inggris adalah
Rethingkling Islam Today, 1987, buku kecil (hanya 27 halaman) yang semula
merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab Studies,
Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Sedangkan dalam bahasa-bahasa lain,
karya-karya Mohammad Arkoun tersebar melalui usaha-usaha terjemahan.13

13
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi atas Pemikiran Mohammad
Arkoun, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000, hlm. 63
18

Mohammad Arkoun juga ikut menyumbangkan tulisan dalam


Encyclopedia Universalis, Paris: Encyclopedia Universalis France S.A., 1992
dalam Entri “Islam les expressions de l’Islam dalam sub A “la connassance de
l’Islam: problemes epistemoloques.14
Karya-karya Mohammad Arkoun yang menonjol adalah ia menghimbau
para peneliti Islam agar melampaui batas studi Islam tradisional (baik di Barat
maupun di dunia Islam) yang mendekati Islam melalui karya tulis berbagai tokoh
klasik yang dianggap respensif dalam pemikiran Islam. Walaupun begitu,
kebanyakan karya Mohammad Arkoun sendiri tampaknya memusatkan
perhatiannya pada berbagai teks dari tokoh kalasik besar, seperti Miskawaih atau
berturut-turut Abu Hassan al-Amiri, as-Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Ibnu
Khaldun, al-Maqrizi, as-Syatibi, dan at-Thobari, atau juga beberapa tokoh lebih
modern yang mewakili tradisi besar tertentu, seperti al-Junaidi, as-Sayyid Husain
Yusuf Makki al-Amili, dan Abu Zahrah yang merupakan pokok pembahasan
dalam buku Islam al-Akhlak wa as-Siyasah, Nalar Islam dan Nalar Modern:
Berbagai Tantangan dan Jalan Baru maupun Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi al-
Islami. Namun, cara Mohammad Arkoun menganalisis teks itu melewati batas
tradisi studi Islam sebelumnya karena meminjam berbagai unsur filsafat, ilmu-
ilmu sosial dan humaniora Barat mutakhir yang belum diterapkan dalam studi
Islam terdahulu.
Ciri lain dari karya Mohammad Arkoun adalah bahwa ia, meskipun
seringkali menekankan hubungan yang erat antara pemikiran dan perkembangan
sosial dan politis yang mengambil alih unsur tertentu dari ilmu sosial dan sejarah,
tetapi tetap tidak menampakkan diri sebagai seorang sosiolog, antropolog,
ilmuwan politik atau sejarawan. Ia bertindak sebagai seorang pengritik pemikiran
Islam. Kritik dimaksudkannya dalam arti folosofis: penelitian mengenai dasar dan
batas pemikiran atau dengan kata lain mengenai syarat-syarat keabsahan
pemikiran tertentu, kritik dalam arti tersebut, yang menggunakan berbagai hasil
pemikiran Barat mutakhir, dianggapnya sebagai jalan tepat melampaui kekakuan
pemikiran Islam.

14
loc.cit
19

Menurut Mohammad Arkoun, perkembangan intelektual, sosial dan politis


erat hubungannya. Hal itu berlaku jika kita memandang baik ke depan maupun ke
belakang. Dengan demikian, dalam proses pembekuan dan penutupan pemikiran
yang menurutnya telah mengenai dunia Islam pada tahap dini, faktor sosial dan
politis memainkan peranan yang sangat penting. Sebaliknya, tujuan akhir dari
proses pembukaan kembali pemikiran Islam yang ingin diwujudkan Mohammad
Arkoun adalah emansipasi kultural, ekonomi dan politik umat manusia, terutama
Islam dari berbagai perbudakan yang dibuatnya sendiri dan yang tidak terbatas
pada bidang intelektual belaka.
B. Tradisi dalam Pemikiran Mohammad Arkoun
Sastra dan pemikiran Islam merupakan bidang studi yang ditekuni
Mohammad Arkoun, adapun dengan segala ceramah dan tulisannya tujuan utama
yang ingin dicapainya adalah pemaduan dari unsur yang paling mulia dalam
pemikiran Islam dan unsur yang paling berharga dalam pemikiran Barat Modern.
Mohammad Arkoun dalam konteks ini memakai istilah nalar Islam dan nalar
modern. 15
Mohammad Arkoun menilai bahwa pemikiran Islam, kecuali dalam
beberapa usaha pembaharuan kritis yang bersifat sangat jarang dan mempunyai
ruang perkembangan yang sempit sekali, belum membuka diri pada kemoderenan
pemikiran dan karena itu tidak dapat menjawab tantangan yang dihadapi oleh
16
umat Islam kontemporer. Pemikiran Islam dianggapnya naif karena mendekati
agama atas dasar kepercayaan langsung dan tanpa kritik. Pemikiran Islam tidak
menyadari jarak antara makna potensial terbuka yang diberikan dalam wahyu
Ilahi dan aktualisasi makna itu dalam sejumlah makna yang diaktualisasi dan
dijelmakan dalam berbagai cara pemahaman, penceritaan dan penalaran khas
masyarakat tertentu ataupun dalam berbagai wacana ajaran khas aliran teologis

15
Nalar yang dimaksud adalah, cara kelompok tertentu berpikir lebih luas daripada akal.
Lihat Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 125-126
16
Sifat naif menurut Mohammad Arkoun dalam pemikiran Islam adalah umum, hal ini
dapat ditunjukkan secara khusus dalam karya sejumlah ulama dan fuqoha. Mohammad Arkoun
berpendapat bahwa neo-ijtihad yang dilakukan setelah pintu ijtihad dibuka kembali pada abad XIX
oleh para reformis dan modernis, yang disusul para pendukung pembebasan dan pembangunan
nasional, bersifat pragmatis dan belum membuka diri pada kemoderenan pemikiran yang
sebenarnya. Lihat Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, Ibid, hlm. 272
20

dan fikih tertentu. Pemikiran Islam juga tidak sadar akan berbagai faktor sosial,
budaya, psikis, politis dan lain-lain yang mempengaruhi proses aktualisasi
tersebut. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan
hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan
pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh
berbagai ilmu pengetahuan modern.17
Umat Islam bagi Mohammad Arkoun sebagian besar masih belum
beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan
tidak boleh diperdebatkan lagi. Oleh karena itu Mohammad Arkoun menyarankan
agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam
mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran al-Qur’an yang tidak boleh
dilepaskan dari konteks sejarah.
Mohammad Arkoun tentang pemikiran Barat modern, ingin mengambil
alih rasionalitas dan sikap kritisnya, yang memungkinkan untuk memahami
agama dengan cara lebih mendalam dan membongkar ketertutupan dan
penyelewengan. Untuk itu Mohammad Arkoun seringkali menunjukkan jasa yang
dapat diberikan oleh sejumlah perkembangan mutakhir dalam filsafat, ilmu
bahasa, dan berbagai ilmu sosial Barat. Namun rasionalitas pemikiran Barat
modern ini tetap harus digabungkan dengan angan-angan sosial, religiusitas dan
keterlibatan yang mencirikan dunia Islam tetapi angan-angan sosial itu kurang
terpelihara, bahkan kadang-kadang ditolak oleh dunia Barat. Melalui pemaduan
tersebut, Mohammad Arkoun ingin menciptakan suatu tantangan yang dihadapi
manusia Muslim di dunia modern dan menjadi sarana emansipasi manusia.18

17
Maksud Mohammad Arkoun adalah untuk menghargai dan mempertahankan semangat
keagamaan dan tempat penting yang diduduki angan-angan sosial dalam masyarakat Muslim,
sedangkan aspek negatif dari pemikiran Islam yang hendak dilampauinya adalah pembekuan dan
penutupan pemikiran Islam yang terjadi di dalamnya dan menghasilkan berbagai penyelewengan
dalam bidang sosial den politik.
18
Hal dimaksudkan, bahwa Mohammad Arkoun tidak hanya bersikap kritis terhadap
Islam saja, tetapi juga bersikap kritis terhadap Barat. Dia menyatakan, bahwa tidak ada
superioritas dari pemikiran Barat maupun Islam. Namun dari segi sejarah, pemikiran Islam telah
tereduksi, tidak lagi mau menerima perubahan dalam prosedur-prosedurnya dan dalam kegiatan-
kegiatannya. Sementara di Eropa, pemikiran Kristen dan sekuler terus bergerak maju semenjak
abad ke-16 sampai hari ini. Maka menurut Mohammad Arkoun, kita harus mengakui bahwa
selama empat abad pemikiran Islam tidak berdenyut sebagaimana pemikiran Eropa. Selanjutnya
21

Mohammad Arkoun menganggap bahwa turats (tradisi) dan modernitas


adalah baik. Masalahanya adalah bagaimana menyikapi keduanya dengan adil dan
bijak. Adalah salah memprioritaskan satu hal dan merendahkan yang lain, karena,
kedua-duanya bukan milik kita: turats milik orang lampau dan modernitas milik
orang Barat. Mengambil yang satu dan membuang yang lain adalah gegabah, dan
membuang kedua-duanya adalah konyol, yang adil dan bijak adalah bagaimana
mengharmonisasikan keduanya dengan tidak menyalahi akal sehat dan standar
rasional.
Mohammad Arkoun melakukan apa yang disebutnya kritik nalar Islam,
nalar Islami sebagaimana berkembang dan berfungsi pada periode tertentu, yang
mulai pada periode klasik dari as-Syafi’i, at-Thobari dan lain-lain dirumuskan dan
menguasai dunia Islam sampai sekarang. Nalar Islam, dapat dikritiknya, karena
nalar Islami menurut Mohammad Arkoun bukan satu-satunya cara berpikir dan
memahami yang mungkin terjadi di dalam Islam. 19
Mohammad Arkoun menggunakan kritik sejarah (man-hajiyyat an-naqd
at-tarikiy) untuk melakukan kritik nalar Islam tersebut. Mohammad Arkoun
melihat perlunya metode kritik buat membaca sejarah, khususnya sejarah
pemikiran Arab Islam. Mohammad Arkoun berangkat dari masalah bacaan sejarah
atau problem historisisme dan masalah interpretasi (hermeneutis). Mohammad
Arkoun dengan historisisme bermaksud hendak melihat seluruh fenomena sosial
budaya lewat prespektif historis, bahwa masa lalu harus dilihat menurut strata
historikalnya. Kajian historis harus dibatasi menurut runtutan kronologis dan
fakta-fakta nyata. Artinya, historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi
makna lewat penghapusan relevansi antara teks dan konteks. Jika metode ini
diaplikasikan terhadap teks-teks agama, apa yang dibutuhkan, menurut
Mohammad Arkoun adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam
dalam teks-teks tersebut.20

baca keterangan Mohammad Arkoun, Menuju Pendekatan Baru Islam, dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, no.7, vol.II, 1990.
19
Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 127
20
Mohammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog antar Agama, terj. Ruslani,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 65-95
22

Metode historisisme yang dipakai Mohammad Arkoun adalah salah satu


formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern yang direkayasa oleh pemikir-pemikir
(pasca) strukturalis Prancis. Refrensi utamanya adalah Ferdinand de Saussure
(linguistik),21 Levi-Strauss (antropologi),22 Lacan (psikologis),23 Barthes
(semiologi),24 Foucault (epistemologi)25 dan Derrida (garammatologi).26 Semua

21
Ferdinand de Saussure (1857-1913 M) seorang ahli bahasa berkebangsaan Swiss,
dikenal sebagai bapak linguistik modern dan gerakan strukturalis melalui bukunya cours de
linguistique generale (1916 M). Ferdinand de Saussure berasal dari keluarga terhormat di Jenewa,
keluarga Huguenot, yang bermigrasi dari Lorraine selama terjadi perang agama di Prancis pada
akhir abad ke-16. Buah pikirannya adalah dengan membedakan antara bahasa dengan percakapan.
Bahasa adalah sekumpulan kaidah atau kode yang diciptakan oleh massa, ia berafiliasi kepada
kumpulan besar sistem-sistem yang terdiri dari budaya, seni, mitologi, tulisan sastra dan obyek-
obyek kajian lainnya. Percakapan adalah perbuatan individual yang dilakukan dalam berbicara
dengan lawan bicaranya. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1996, hlm. 179-189
22
Claude Levi-Strauss, adalah seorang ahli antropologi yang lahir di Brussel, Belgia pada
tahun 1908 dari orang tua yahudi yang berkebangsaan Prancis. Salah satu karyanya adalah La vie
Familiale et Sociale des Indies Nambikwara (1948 M) (hidup keluarga dan hidup sosial Indian-
Indian Nambikwara). levi-Staruss dalam biografinya mengatakan bahwa pemikirannya
dipengaruhi oleh tiga guru besar yaitu filsafat Karl Max, psikoanalisa Sigmund Freud dan ilmu
geologi. Analisa Levi-Strauss yang pertama kali menarik perhatian dunia pelajar Internasional
adalah analisa dan penjelasan beliau tentang sistem-sistem kekerabatan primitif (kinship systems)
dengan memakai metode strukturalis. Ibid, hlm. 189-201
23
Jacques Lacan adalah seorang ahli psikiatri dan psikoanalis dan tokoh psikologi
strukturalisme, yang berusaha berafiliasi kepada pasca-Freudianisme. Lahir pada tahun 1901 di
Prancis. Ia menerbitkan bukunya Paranoiac Psychosis and Its Relationship with Personality pada
tahun 1932. Pemikiran Jacques Lacan berusaha mengintegrasikan linguistik, antropologi, logika
simbolik, meletakkan teori dan topologi (sistem formal dimana dia memberikan prioritas dalam
psikoanalisis) yang merupakan sumbangan terhadap strukturalisme dalam ilmu-ilmu humaniora.
Lihat M.A.W. Brauwer dan Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman, Alumni,
Bandung, 1986, hlm. 221-225
24
Roland Barthes (1915-1980 M) adalah seorang tokoh yang memainkan peranan sentral
dalam strukturalisme pada tahun 60-an dan 70-an di Paris. Ia dilahirkan di Cherbourg dan
dibesarkan di Bayonne serta Paris. Ia dalam menganalisa menggunakan lima kode yaitu kode
hermeneutis dan aksional, kode semantis dan simbolis, dan kode refrensial, semua kode-kode
tersebut mencari relasi-relasi dengan realitas diluar teks. K. Bertens, Filsafat Barat…, op.cit., hlm.
208-212
25
Michel Foucault (1926-1984 M), lahir di Poiters. Ia merupakan seorang pemikir brilian
strukturalisme epistemologi. Karyanya yang paling monumental adalah L’archeologi du savoir
(arkeologi pengetahuan) dan Les Mots et les choses (kata-kata dan sesuatu), dalam kedua karyanya
tersebut Michel Foucault menggunakan metode arkeologi (sebuah metode yang biasa digunakan
oleh para ahli purbakala untuk menemukan benda-benda kuno yang telah terkubur oleh
panjangnya rentang waktu). Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap kebenaran terhadap beberapa
epistema yang sudah tertutup debu sejarah. Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar
Agama…, op.cit., hlm. 39-41
26
Jacques Derrida dilahirkan pada tahun 1930 M di El Biar, Aljir. Semua karyanya
mengungkapkan kritikannya terhadap tradisi filsafat Barat, ia beranggapan bahwa bahasa telah
tereduksi oleh asumsi-asumsi filosofis. Jacques Derrida dengan menggambarkan kondisi filsafat
yang dominan sejak plato sebagai metafisika kehadiran, dimaksudkan untuk hasrat parenial
terhadap jaminan kepastian, fondasi epistemologi mutlak atau sumber makna, sebuah hasrat yang
23

unsur tersebut diramunya sedemikian rupa sehingga menjadi kritik nalar Islami.
Studinya atas teks-teks klasik adalah untuk mencari makna lain yang tersembunyi
di balik teks-teks itu, dengan kata lain, untuk menuju rekonstruksi (konteks),
harus ada dekonstruksi (teks). Mohammad Arkoun tidak hanya berhenti pada
teks-teks klasik peninggalan para ilmuawan dan sarjana Muslim. Lebih dari itu,
teks-teks suci juga tidak lepas dari bacaannya.
Dalam pembacaan atas teks-teks ini, Mohammad Arkoun banyak mengacu
pada pandangan Francois Furet, seorang sejarawan prancis, yang banyak
membicarakan revolusi Prancis dalam bukunya, Panser la revolution francaise.
Furet berusaha untuk memikirkan secara kritis seluruh tumpukan literatur sejarah
revolusi Prancis, tidak saja yang ditulis dalam bahasa Prancis, tetapi dalam
bahasa-bahasa lain.27 Mohammad Arkoun menggunakan metode ini untuk
diterapkannya terhadap al-Qur’an, yaitu bagaimana memahami al-Qur’an secara
kritis dan mendalam dari berbagai segi serta metode yang berbeda dari yang
pernah dilakukan sebelumnya. Mohammad Arkoun memandang al-Qur’an telah
begitu banyak melahirkan teks-teks yang merupakan interpretasi terhadapnya
yang dapat memenuhi kebutuhan pada masa tertentu setelah turunnya al-Qur’an.
Tumpukan interpretasi terhadap al-Qur’an telah menyerupai lapisan geologi bumi.
Karenanya, kita tidak akan menembus peristiwa-peristiwa pembentukan pertama
(al-hadast al-ta’sisi al-awwal), ke peristiwa pembangunan awal (al-hadast al-
tadsyini) dalam keadaan yang masih segar dan kaya, kecuali jika telah mampu
membongkar seluruh literatur tafsir yang telah menghalangi pemandangan kita
darinya. Untuk melakukan pembongkaran, kita harus terlebih dahulu memahami
sejarah terbentuknya nalar Arab Islam yang masih menjadi rujukan utama dalam
penafsiran al-Qur’an hingga saat ini.
Mohammad Arkoun membagi terbentuknya nalar Arab Islam kepada tiga
tingkatan: klasik, skolastik, dan modern. Tingkatan klasik adalah sistem

di tampilkan dalam konsep-konsep semacam substansi, esensi, asal-usul, identitas, kebenaran dan
seterusnya. Semuanya itu dilakukan dengan mengelaborasi sebuah cara pembacaan teks, sebuah
strategi dekonstruksi yang memungkinkan dia mengidentifikasi asumsi-asumsi metafisis yang
pernah dilontarkan oleh para filosof. Lihat Joko Siswanto, Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles
Sampai Derrida, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.159-167
27
Mohammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog…, op.cit., hlm. xi
24

pemikiran yang diwakili para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik
adalah jenjang kedua dimana mulai meluasnya medan taqlid dalam sistem
berpikir umat. Sedangkan jenjang modern atau kontemporer adalah apa yang kita
kenal sekarang dengan kebangkitan atau revolusi.28 Maksud utama Mohammad
Arkoun dalam membagi epistema dalam sejarah Islam ke dalam beberapa
penggalan tersebut adalah untuk menjelaskan terma-terma “yang dipikirkan” (la
pensable atau thingkable), “yang tak terpikirkan” (l’ipense atau unthingkable),
dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable atau not yet thought).29
“Yang terpikirkan”, maksudnya adalah hal-hal yang mungkin umat Islam
memikirkannya, yang demikian bisa dipikirkan, karena merupakan hal yang jelas
atau boleh memikirkannya. Sedangkan “yang tak terpikirkan” atau “mustahil
untuk memikirkannya” atau “belum terpikirkan” adalah hal-hal yang tidak saling
terikatnya antara ajaran agama dengan praktik kehidupan sehari-hari, atau jauhnya
aplikasi agama dari nilai dan norma transenden yang semestinya, seperti tidak
terkaitnya antara apa yang dilakukan para ilmuwan dan apa yang dikerjakan para
ulama, mekipun keduanaya memiliki kaitan intelektual (intelectual link).
Menurut Mohammad Arkoun, sebelum Imam Syafi’i membuat sistematika
konsep sunnah dan pembakuan kajian ushul kepada standar tertentu, aspek-aspek
pemikiran Islam masih banyak “yang terpikirkan”. Namun, beberapa aspek dari
“yang terpikirkan” itu kemudian berubah menjadi “yang tak terpikirkan” setelah
menangnya teori Imam Syafi’i dan terbentuknya qiraat-qiraat al-Qur’an kepada
sebuah mushaf resmi. Pembentukan qiraat kepada satu musqaf bukan hal yang
negatif bagi umat, hanya saja hal itu telah mereduksi kemungkinan lain untuk
mengetahui secara langsung urusan agama mereka melalui wacana qur’ani yang
pluralis, terlebih setelah banyaknya penghafal yang meninggal dunia. Dominasi
mazhab fiqh di hampir semua negara Muslim merupakan salah satu unsur
kelengahan umat Islam dalam memahami masalah berpindahnya “agama yang

28
Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 126
29
Istilah yang terpikirkan pertama kali digunakan oleh filosof eksistensialis dan
fenomenolog jerman Martin Heidegger (1889-1976 M). Kemudian istilah itu digunakan Marleu-
Ponty (91908-1961 M), Foucault, lalu para penganut aliran strukturalisme. Lihat Linda Smith dan
William Raeper, Ide-Ide Filsafat Agama Dulu dan Sekarang, terj. Hardono Hadi, Kanisius,
Yogyakarta, 2000, hlm. 81-88
25

benar kepada ortodoks ideologi”, sehingga kemudian ketika agama telah benar-
benar berubah menjadi doktrin-doktrin mazhab fiqh dan dogma-dogma teologis
Asy’ari, umat tidak mampu lagi melihat segi-segi negatif yang dilahirkan oleh
dikotomi semacam ini, seperti masalah perpecahan mazhab, persaingan partai,
perselisihan jama’ah, bentrokan organisasi dan sebagainya.30
Daerah “yang tak terpikirkan” dalam tubuh umat Islam terus saja melebar,
terlebih ketika umat harus menghadapi tantangan dunia lain, maksudnya
modernitas Barat yang kini menjadi hegemoni di dunia. Oleh karena itu tidak ada
jalan lain kecuali menghentikan sedini mungkin melebarnya hal-hal “yang tak
terpikirkan”. Ironis memang, sementara dunia di belahan bumi lain sudah
mencapai puncaknya melalui modernitas intelektual di hampir semua bidang
kehidupan, sebagian besar umat Islam masih belum mampu membedakan antara
yang terpikirkan dengan yang tak terpikirkan.
Senada dengan Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman mengajukan kritik
historis terhadap perkembangan-perkembangan teologi dalam Islam. Kritik ini
harus mengungkapkan lingkup ketidaksesuaian antara pandangan dunia al-Qur’an
dengan berbagai aliran spekulasi teologis dalam Islam dan menunjukkan jalan ke
arah teologi terbaru.31
Dengan nalar modern, Mohammad Arkoun memaksudkan nalar seperti
yang berkembang terutama di dunia Barat sejak meninggalkan “nalar abad
pertengahan”. Jadi, nalar modern adalah cara berpikir seperti yang berkembang
secara berangsur-angsur mulai dari Renaisans, Pencerahan dan seterusnya sampai
masa kini, dalam suatu proses yang belum selesai.
Mohammad Arkoun menolak sebagian besar ilmuwan Barat kontemporer
yang menganggap angan-angan (imaginaire) sosial sebagai sisa suatu bentuk
pemikiran yang terbelakang dan menyeleweng. Bahkan Wiliam C. Chittik
berpendapat bahwa orang-orang Barat lupa akan kemampuan angan-angan untuk
mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan pemahaman dan perasaan jiwa yang
tidak terjangkau oleh pemikiran rasional. Seluruh tradisi keagamaan, menurutnya

30
Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 127
31
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung, 2000, hlm. 116-139
26

memiliki pandangan tentang angan-angan, walaupun tidak selalu dengan sebutan


itu. Mohammad Arkoun menekankan secara khusus pentingnya angan-angan
sosial, yaitu angan-angan bersama suatu kelompok: angan-angan sosial memberi
identitas pada kelompok dan makna pada sejarahnya. Angan-angan sosial
dibangun dari berbagai unsur sejarah nyata, realitas sosial dan lingkungan fisik
kelompok yang bersangkutan, tetapi unsur ini diungkapkan kembali menjadi
berbagai citra, cerita dan nilai.
Nalar modern, dilain pihak, dicirikan terutama oleh sikap kritis dan
rasionalnya. Pada prinsipnya tidak ada yang terletak di luar jangkauan kritik nalar.
Sebagai alat, kritik nalar menjadi sarana utama untuk menentukan kebenaran.
Mohammad Arkoun menyadari bahwa tradisi berpikir tersebut berkembang secara
berangsur-angsur dalam proses berabad-abad yang belum selesai. Semakin
banyak pendapat, dogma, dan kepercayaan yang dijadikan objek kritik dari nalar
sebagai alat menguraian, maka cara berpikir umat akan menjadi semakin tajam
dan canggih.32
Mohammad Arkoun sebenarnya tidak pernah merumuskan batasan
modernitas, apalagi tantangan yang dibawanya. Meskipun demikian, pandangan
Mohammad Arkoun mengenai persoalan modernitas ini dapat disimak dari
berbagai tulisannya. Sikap Mohammad Arkoun yang tidak memberikan batasan
terhadap modernitas itu cukup bijaksana, sebab jika ia mendefinisikannya
sebagaimana dipahami sekarang, maka tidak dapat ditentukan secara pasti, kapan
dan dimana modernitas itu mendapatkan momentumnya. Karena itu, Mohammad
Arkoun cenderung membatasinya dengan masa.
Oleh karena itu salah satu tantangan bangsa-bangsa Muslim dalam usaha
mendorong modernisasi adalah membebaskan diri dari suasana psikologis masa
lalu yang serba traumatik, dan menggantinya dengan kesanggupan untuk melihat
keadaan secara obyektif, tanpa pertentangan dan kesalahpahaman. Selanjutnya,
adalah sangat penting mempertanyakan keabsahan pernyataan bahwa Timur itu
sufistik, misterius, dan terbelakang, sementara Barat itu realis dan rasionalis.

32
Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 283-305
27

Dalam konteks modernisasi, peran yang dimainkan oleh tradisi sangat


signifikan. Bagi Mohammad Arkoun, tradisi memiliki dua pengertian: tradisi
dengan t kecil dan tradisi dengan T besar. Tradisi dengan t kecil memiliki arti
umum dan kuno, yang terdapat pada semua masyarakat manusia sebelum
datangnya agama-agama wahyu. Sedangkan tradisi dengan T besar adalah tradisi
Ilahi yang tidak dapat dirubah oleh manusia. Tradisi ini merupakan pengungkapan
kenyataan abadi yang mutlak. Tradisi yang terakhir ini selama dua puluh tahun di
Makah dan Madinah telah bergumul dalam kancah sosial dan budaya yang
menentangnya, setelah itu menjelma menjadi tradisi Islam yang berkembang
dengan sejarahnya sendiri.33
Dalam melakukan studi terhadap masyarakat kontemporer, menurut
Mohammad Arkoun, akan dijumpai semacam persaingan antara tiga kekuatan,
yaitu dua macam tradisi di atas dan modernitas itu sendiri. Modernitas cenderung
menolak atau bersikap alienatif terhadap dua kekuatan terdahulu, walaupun
sebenarnya ketiganya terlibat dalam sebuah dialektika sosial sesuai dengan
lingkungannya sosial, budaya, dan sejarah masing-masing masyarakat.
Tradisi (dengan T besar) kedua pada mulanya, tampak sebagai sebuah
modernitas aktual, karena ia meletakkan semua tradisi sebelumnya dalam
kungkungan kebodohan dan kekacauan. Dengan demikian, secara implisit dapat
dipahami bahwa salah satu ciri modernitas, dalam pandangan Mohammad
Arkoun, adalah setiap perubahan prinsipil dalam dunia pemikiran atau dalam
bidang-bidang kehidupan yang lain. Masuknya pemikiran Yunani pada masa
klasik Islam, atau pengenalan pemikiran Barat yang dimulai pada abad ke-19,
merupakan semacam bentuk modernitas, sebagaimana kemunculan Islam di
jazirah Arab.
Dari semua itu ada dua kutub yang harus diperhatikan dalam rangka
melihat modernitas, baik di dunia Islam maupun di dunia Barat Kristen: pertama
kutub lama, yang kuno, tradisional, klasik dan kedua kutub masa depan: inovasi,
orentasi masa depan, keputusan dengan cakrawala jauh. Antara keduanya terdapat
keterkaitan sedemikian rupa, sehingga perubahan-peruibahan yang menghasilkan

33
Mohammad Arkoun, Rethingking Islam…, op.cit., hlm. 79-82
28

modernitas sebenarnya merupakan perpaduan dari berbagai potensi. Kutub masa


depan tidak terputus dari kutub lama (tadisi). Dari yang tradisional akan menjadi
modern dan yang modern, dalam perjalanan masa, akan mejadi tradisional,
demikian seterusnya.
Karena itu, kini cocok lagi pandangan geneologis (‘ilm al-ajnas) yang
menghadapkan masyarakat Barat yang penuh dinamika dengan masyarakat
primitif yang terpuruk dalam tradisi ritual. Terdapat kemajuan-kemajuan dalam
masyarakat yang lebih primitif, namun bersamaan dengan itu muncul sikap anti
rasionalisme, pengakuan kenabian baru, serta khurafat di sejumlah negara yang
disebut modern. Artinya, dalam setiap masyarakat sesungguhnya selalu terdapat
gejala rasional, irasional dan anti rasional. Dalam masyarakat manapun selalu ada
kelompok yang berpegang teguh pada penalaran rasional ilmiah, ada kelompok
yang percaya pada kebenaran intuitif, dan ada juga yang percaya kepada
kekuatan-kekuatan gaib di luar diri manusia. Sehingga, sebenarnya gejala-gejala
itu bukan merupakan tahap-tahap dari perkembangan pemikiran manusia, tapi ia
merupakan jenis-jenis pemikiran yang ada dalam setiap masyarakat.
Dari penegasan di atas, Mohammad Arkoun menyatakan bahwa
pengertian filosofis yang mendasari modernitas lebih dari sekedar pengertian
historis maupun sosiologis. Mohammad Arkoun membedakan antara modernitas
“material” dan modernitas “intelektual” atau “kultural”. Yang pertama berarti
berbagai kemajuan yang terjadi pada bingkai luar dari wujud manusia, sedangkan
yang kedua mencakup metode, alat analisis, dan sikap intelektual yang memberi
kemampuan untuk lebih mendalami realitas. Penggunaan modernitas material dan
segala hasilnya sangat berkaitan dengan bentuk modernitas pemikiran yang
berlaku.
Menurut Mohammad Arkoun, masuknya modernitas ke dunia Islam
melewati suatu proses yang disebut serbuan (l’irruption), atau melalui kekerasan
militer. Untuk pertama kalinya hal itu terjadi melalui peristiwa sejarah yang sudah
sangat populer, yaitu ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir (1798-1801 M).34

34
Mohammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam…, op.cit., hlm. 278
29

Semenjak itu modernitas tidak saja menimbulkan implikasi positif di dunia


Islam, tetapi juga sejumlah problem dan tantangan, apalagi mengingat sudah
sedemikian banyaknya kemajuan Barat “yang tak terpikirkan” oleh kaum Muslim.
Tantangan tersebut juga akan bertambah banyak seiring dengan pesatnya
kemajuan ilmu pengetahuan di Barat. Barat sendiri yang merupakan tempat
buaian modernitas, kini bahkan tengah mempertanyakan pada dirinya sendiri
dampak positif dan negatif pengalaman yang telah di laluinya. Diantara konsep-
konsep yang dipertanyakan itu adalah nominalisme yang tercermin dalam
pemikiran Thomas Hobbes (1588-1679) kedaulatan subjek yang ditegaskan dalam
Cogito ergo sum-nya Rene Descartes, historisisme, teori relativisme, sekularisme,
rasionalisme, dan positivisme August Comte, materialisme dialektisnya Karl Max,
dan lain-lain. Ini berarti bahwa modernitas telah menimbulkan sejumlah persoalan
yang tidak hanya dihadapi oleh kaum Muslim, tetapi bahkan oleh kaum Barat.
Meskipun bagi kaum Muslim problem yang dihadapi jelas lebih berat.
Prablem yang ditimbulkan oleh modernitas di lingkungan kaum Muslim
itu semakin terasa berat karena sejumlah faktor berikut, yaitu: adanya tekanan
demografis yang menimpa masyarakat Islam sejak tahun 1950-an yang tidak ada
bandingannya dalam sejarah dunia, despotisme lembaga politik dan ekses ideologi
luar (seperti liberalisme, sekularisme, komunisme dan sebagainya) yang tidak
sesuai dengan kebutuhan kaum Muslim. Serbuan kemajuan yang dicapai oleh
Barat setelah dunia Islam lepas dari cengkraman imprelialisme yang begitu lama,
pemikiran Islam yang tidak memiliki sistem, sumber daya, dan kekuatan
intelektual. Semuanya menumpuk di Barat dengan nama “modernitas”, sehingga
muncul berbagai tindak kekerasan sebagai wacana beberapa gerakan Islam
kontemporer dan ketercerabutan para petani dan penduduk kampung dari akar-
akar budaya mereka. Ini menyebabkan mereka menjadi kaum proletear yang
melakukan pekerjaan kasar di kota-kota. Adanya monopoli kekuasaan di tangan
suatu partai atau penguasa, semuanya merupakan faktor yang menimbulkan
berbagai penyakit sehingga memicu munculnya berbagai perkembangan dan
reaksi yang tidak terkendali.
30

Anda mungkin juga menyukai