BAB II
TRADISI DALAM PEMIKIRAN MOHAMMAD ARKOUN
1
Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan
Baru, terj. Rahayu Hidayat, INIS, Jakarta, 1994, hlm. 1
13
Afrika Utara dan Timur Tengah, bahasa Prancis merupakan bahasa pemerintahan
dan sarana pemasukan nilai dan tradisi ilmiah Barat yang disampaikan melalui
sekolah-sekolah Prancis yang didirikan penguasa penjajah, tidak tanpa kaitan
dengan suatu kebijakan devide et impera, dalam jumlah yang relatif besar di
Kabilia. Sampai batas tertentu juga, ketiga bahasa itu mewakili cara berfikir dan
memahami yang berbeda.2
Situasi tersebut mempengaruhi Mohammad Arkoun. Sejak kecil ia bergaul
secara intensif dengan ketiga bahasa tersebut. Bahasa Kabilia dalam kehidupan
sehari-hari, bahasa Prancis di sekolah dan dalam urusan administratif, dan
akhirnya bahasa Arab baru yang mulai di dalaminya ketika ia masuk sekolah
menengah atas di Oran, kota utama Aljazair bagian barat.3
Pendidikan Mohammad Arkoun dimulai pada sekolah dasar di desa
asalnya, kemudian sekolah menengah di kota pelabuhan Oran, dari tahun 1950 M
sampai 1954 M, ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir. Kemudian,
di tengah pembebasan Aljazair dari Prancis (yang berlangsung antara tahun 1954
M sampai dengan 1962 M) ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di Paris.
Sejak saat itu ia menetap di Paris. Namun bidang utama dari studi dan
penelitiannya (area of concern) tidak berubah, yaitu tetap meneliti bahasa dan
sastra Arab serta pemikiran Islam.4
Pada tahun 1961 M Mohammad Arkoun diangkat menjadi dosen
Universitas Sarbone di Paris, tempat ia memperoleh gelar Doktor5 sastra pada
tahun 1969 M dengan desertasi mengenai Humanisme dalam Pemikiran Etis
Miskawaih.6 Hasil penelitian ini kemudian diterbitkan dengan judul Traite
2
Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik dalam Islam dan Post
Modernisme, terj. Jauhari, Ibnu Hasan, Rosdiansah, al-Fikr, Surabaya, 1999, hlm. iii
3
Ibid, hlm. iv
4
Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 2
5
Gelar doktor tersebut merupakan pendidikan terakhir Mohammad Arkoun.
6
Ibnu Miskawaih merupakan seorang pemikir Muslim Persi dari akhir abad 10 hingga
awal abad ke 11 Masehi (w. 1030 M) di dunia Islam, Ibnu Miskawaih dikenal sebagai tokoh yang
menguasai berbagai bidang ilmu pengetahuan antara lain ilmu kedokteran dan filsafat serta
menekuni soal-soal persamaan dan perbedaan antara tradisi Islam dengan tradisi pemikiran
Yunani. Lihat Ibnu Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Helmi Hidayat, Mizan,
Bandung, 1994, hlm. 17-22
14
7
Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik…, op.cit., hlm. iv
8
Mohammad Arkoun adalah seorang dari sejumlah kecil ilmuwan Muslim, yang dengan
penuh kesungguhannya menganjurkan untuk mempelajari kebudayaan dan peradaban Islam
dengan memanfaatkan dan menggunakan pendekatan-pendekatan ilmu-ilmu sosial yang baru
muncul ke pentas keilmuan pada abad ke 19 dan ke 20. Sebuah metodelogi keilmuan yang belum
sempat terpikirkan, apalagi sampai dirumuskan, oleh para cerdik pandai dan para ulama Islam
klasik, era skolastik, bahkan modern sekalipun. Setidaknya ada empat pendekatan, yang
menurutnya patut dipertimbangkan untuk digunakan dalam studi kebudayaan dan peradaban Islam
era sekarang khususnya dan studi agama pada umumnya. Pendekatan tersebut adalah pendekatan
sejarah, antropologi, sosiologi, dan bahasa (linguistik). Lihat pengantar Amin Abdullah dalam
Mohammad Arkoun, Membongkar Wacana Hegemonik…, op.cit., hlm. iv
15
11
Ibid, hlm. 4
12
Mohammad Arkoun, Rethingking Islam, terj. Yudian W. Asmin dan Lathiful Khuluq,
LPMI, Yogyakarta, 1996, hlm. 23-29
17
abad IV/X: Miskawaih sebagai filosof dan sejarawan ), Paris, Vrin, P.U.F.,
1975
3. La pensee arabe (Pemikiran Arab), Paris, P.U.F., 1975. Sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Yudian W. Asmin
4. Ouvertures sur I ‘Islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami
Islam) Paris, Grancer, 1989. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dari
edisi ke dua buku tersebut oleh Robert D. Lee dengan judul Rethingking
Islam: Common Questions Uncommon Answer, Oxford, Westview Press,
1994
5. Al-Fikr al-Islam. Naqd wa Ijtihad, terj. Hasyim Salih, London, Dar al-
Saqi, 1990
6. Al-Fikr al-Islam. Qiro’ah Ilmiyyah, terj. Hasyim Shalih, Beirut, Markaz
al-Inma’ al-Qaumi, 1987
7. Al-Islam al-Akhlak wa as-Siyasah, terj. Hasyim Shalih, Beirut, UNISCO
dan Markaz al-Inma’ al-Qaumi, 1990
8. Tarikhiyyah al-Fikr al-Arabi al-Islam, terj. Hasyim Shalih, Beirut, Markaz
al-Inma’ al-Qaumi, 1986
9. Min Faishal at-Tafriqah al-Fashal al-Maqal…Aina Huwa al-fikr al-Islam
al-Mu’asir, terj. Hasyim Shalih, London, Dar al-Saqi, 1993
10. Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru,
terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta, INIS, 1994
Kebanyakan karya Mohammad Arkoun ditulis dalam bahasa Prancis. Ia
memang tidak banyak menulis dalam bahasa Inggris. Satu-satunya karya
Mohammad Arkoun dalam bentuk buku yang ditulis dalam bahasa Inggris adalah
Rethingkling Islam Today, 1987, buku kecil (hanya 27 halaman) yang semula
merupakan bahan ceramahnya di Center for Contemporary Arab Studies,
Universitas Georgetown, Amerika Serikat. Sedangkan dalam bahasa-bahasa lain,
karya-karya Mohammad Arkoun tersebar melalui usaha-usaha terjemahan.13
13
Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar Agama: Studi atas Pemikiran Mohammad
Arkoun, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000, hlm. 63
18
14
loc.cit
19
15
Nalar yang dimaksud adalah, cara kelompok tertentu berpikir lebih luas daripada akal.
Lihat Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 125-126
16
Sifat naif menurut Mohammad Arkoun dalam pemikiran Islam adalah umum, hal ini
dapat ditunjukkan secara khusus dalam karya sejumlah ulama dan fuqoha. Mohammad Arkoun
berpendapat bahwa neo-ijtihad yang dilakukan setelah pintu ijtihad dibuka kembali pada abad XIX
oleh para reformis dan modernis, yang disusul para pendukung pembebasan dan pembangunan
nasional, bersifat pragmatis dan belum membuka diri pada kemoderenan pemikiran yang
sebenarnya. Lihat Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, Ibid, hlm. 272
20
dan fikih tertentu. Pemikiran Islam juga tidak sadar akan berbagai faktor sosial,
budaya, psikis, politis dan lain-lain yang mempengaruhi proses aktualisasi
tersebut. Pemikiran Islam juga tidak menyadari bahwa dalam proses itu bukan
hanya pemahaman dan penafsiran tertentu ditetapkan dan diakui, melainkan
pemahaman dan penafsiran lain justru disingkirkan. Hal-hal itu baru didalami oleh
berbagai ilmu pengetahuan modern.17
Umat Islam bagi Mohammad Arkoun sebagian besar masih belum
beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan
tidak boleh diperdebatkan lagi. Oleh karena itu Mohammad Arkoun menyarankan
agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam
mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran al-Qur’an yang tidak boleh
dilepaskan dari konteks sejarah.
Mohammad Arkoun tentang pemikiran Barat modern, ingin mengambil
alih rasionalitas dan sikap kritisnya, yang memungkinkan untuk memahami
agama dengan cara lebih mendalam dan membongkar ketertutupan dan
penyelewengan. Untuk itu Mohammad Arkoun seringkali menunjukkan jasa yang
dapat diberikan oleh sejumlah perkembangan mutakhir dalam filsafat, ilmu
bahasa, dan berbagai ilmu sosial Barat. Namun rasionalitas pemikiran Barat
modern ini tetap harus digabungkan dengan angan-angan sosial, religiusitas dan
keterlibatan yang mencirikan dunia Islam tetapi angan-angan sosial itu kurang
terpelihara, bahkan kadang-kadang ditolak oleh dunia Barat. Melalui pemaduan
tersebut, Mohammad Arkoun ingin menciptakan suatu tantangan yang dihadapi
manusia Muslim di dunia modern dan menjadi sarana emansipasi manusia.18
17
Maksud Mohammad Arkoun adalah untuk menghargai dan mempertahankan semangat
keagamaan dan tempat penting yang diduduki angan-angan sosial dalam masyarakat Muslim,
sedangkan aspek negatif dari pemikiran Islam yang hendak dilampauinya adalah pembekuan dan
penutupan pemikiran Islam yang terjadi di dalamnya dan menghasilkan berbagai penyelewengan
dalam bidang sosial den politik.
18
Hal dimaksudkan, bahwa Mohammad Arkoun tidak hanya bersikap kritis terhadap
Islam saja, tetapi juga bersikap kritis terhadap Barat. Dia menyatakan, bahwa tidak ada
superioritas dari pemikiran Barat maupun Islam. Namun dari segi sejarah, pemikiran Islam telah
tereduksi, tidak lagi mau menerima perubahan dalam prosedur-prosedurnya dan dalam kegiatan-
kegiatannya. Sementara di Eropa, pemikiran Kristen dan sekuler terus bergerak maju semenjak
abad ke-16 sampai hari ini. Maka menurut Mohammad Arkoun, kita harus mengakui bahwa
selama empat abad pemikiran Islam tidak berdenyut sebagaimana pemikiran Eropa. Selanjutnya
21
baca keterangan Mohammad Arkoun, Menuju Pendekatan Baru Islam, dalam Jurnal Ulumul
Qur’an, no.7, vol.II, 1990.
19
Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 127
20
Mohammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog antar Agama, terj. Ruslani,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 65-95
22
21
Ferdinand de Saussure (1857-1913 M) seorang ahli bahasa berkebangsaan Swiss,
dikenal sebagai bapak linguistik modern dan gerakan strukturalis melalui bukunya cours de
linguistique generale (1916 M). Ferdinand de Saussure berasal dari keluarga terhormat di Jenewa,
keluarga Huguenot, yang bermigrasi dari Lorraine selama terjadi perang agama di Prancis pada
akhir abad ke-16. Buah pikirannya adalah dengan membedakan antara bahasa dengan percakapan.
Bahasa adalah sekumpulan kaidah atau kode yang diciptakan oleh massa, ia berafiliasi kepada
kumpulan besar sistem-sistem yang terdiri dari budaya, seni, mitologi, tulisan sastra dan obyek-
obyek kajian lainnya. Percakapan adalah perbuatan individual yang dilakukan dalam berbicara
dengan lawan bicaranya. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Prancis, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1996, hlm. 179-189
22
Claude Levi-Strauss, adalah seorang ahli antropologi yang lahir di Brussel, Belgia pada
tahun 1908 dari orang tua yahudi yang berkebangsaan Prancis. Salah satu karyanya adalah La vie
Familiale et Sociale des Indies Nambikwara (1948 M) (hidup keluarga dan hidup sosial Indian-
Indian Nambikwara). levi-Staruss dalam biografinya mengatakan bahwa pemikirannya
dipengaruhi oleh tiga guru besar yaitu filsafat Karl Max, psikoanalisa Sigmund Freud dan ilmu
geologi. Analisa Levi-Strauss yang pertama kali menarik perhatian dunia pelajar Internasional
adalah analisa dan penjelasan beliau tentang sistem-sistem kekerabatan primitif (kinship systems)
dengan memakai metode strukturalis. Ibid, hlm. 189-201
23
Jacques Lacan adalah seorang ahli psikiatri dan psikoanalis dan tokoh psikologi
strukturalisme, yang berusaha berafiliasi kepada pasca-Freudianisme. Lahir pada tahun 1901 di
Prancis. Ia menerbitkan bukunya Paranoiac Psychosis and Its Relationship with Personality pada
tahun 1932. Pemikiran Jacques Lacan berusaha mengintegrasikan linguistik, antropologi, logika
simbolik, meletakkan teori dan topologi (sistem formal dimana dia memberikan prioritas dalam
psikoanalisis) yang merupakan sumbangan terhadap strukturalisme dalam ilmu-ilmu humaniora.
Lihat M.A.W. Brauwer dan Puspa Heryadi, Sejarah Filsafat Barat dan Sezaman, Alumni,
Bandung, 1986, hlm. 221-225
24
Roland Barthes (1915-1980 M) adalah seorang tokoh yang memainkan peranan sentral
dalam strukturalisme pada tahun 60-an dan 70-an di Paris. Ia dilahirkan di Cherbourg dan
dibesarkan di Bayonne serta Paris. Ia dalam menganalisa menggunakan lima kode yaitu kode
hermeneutis dan aksional, kode semantis dan simbolis, dan kode refrensial, semua kode-kode
tersebut mencari relasi-relasi dengan realitas diluar teks. K. Bertens, Filsafat Barat…, op.cit., hlm.
208-212
25
Michel Foucault (1926-1984 M), lahir di Poiters. Ia merupakan seorang pemikir brilian
strukturalisme epistemologi. Karyanya yang paling monumental adalah L’archeologi du savoir
(arkeologi pengetahuan) dan Les Mots et les choses (kata-kata dan sesuatu), dalam kedua karyanya
tersebut Michel Foucault menggunakan metode arkeologi (sebuah metode yang biasa digunakan
oleh para ahli purbakala untuk menemukan benda-benda kuno yang telah terkubur oleh
panjangnya rentang waktu). Hal ini dimaksudkan untuk mengungkap kebenaran terhadap beberapa
epistema yang sudah tertutup debu sejarah. Ruslani, Masyarakat Kitab dan Dialog antar
Agama…, op.cit., hlm. 39-41
26
Jacques Derrida dilahirkan pada tahun 1930 M di El Biar, Aljir. Semua karyanya
mengungkapkan kritikannya terhadap tradisi filsafat Barat, ia beranggapan bahwa bahasa telah
tereduksi oleh asumsi-asumsi filosofis. Jacques Derrida dengan menggambarkan kondisi filsafat
yang dominan sejak plato sebagai metafisika kehadiran, dimaksudkan untuk hasrat parenial
terhadap jaminan kepastian, fondasi epistemologi mutlak atau sumber makna, sebuah hasrat yang
23
unsur tersebut diramunya sedemikian rupa sehingga menjadi kritik nalar Islami.
Studinya atas teks-teks klasik adalah untuk mencari makna lain yang tersembunyi
di balik teks-teks itu, dengan kata lain, untuk menuju rekonstruksi (konteks),
harus ada dekonstruksi (teks). Mohammad Arkoun tidak hanya berhenti pada
teks-teks klasik peninggalan para ilmuawan dan sarjana Muslim. Lebih dari itu,
teks-teks suci juga tidak lepas dari bacaannya.
Dalam pembacaan atas teks-teks ini, Mohammad Arkoun banyak mengacu
pada pandangan Francois Furet, seorang sejarawan prancis, yang banyak
membicarakan revolusi Prancis dalam bukunya, Panser la revolution francaise.
Furet berusaha untuk memikirkan secara kritis seluruh tumpukan literatur sejarah
revolusi Prancis, tidak saja yang ditulis dalam bahasa Prancis, tetapi dalam
bahasa-bahasa lain.27 Mohammad Arkoun menggunakan metode ini untuk
diterapkannya terhadap al-Qur’an, yaitu bagaimana memahami al-Qur’an secara
kritis dan mendalam dari berbagai segi serta metode yang berbeda dari yang
pernah dilakukan sebelumnya. Mohammad Arkoun memandang al-Qur’an telah
begitu banyak melahirkan teks-teks yang merupakan interpretasi terhadapnya
yang dapat memenuhi kebutuhan pada masa tertentu setelah turunnya al-Qur’an.
Tumpukan interpretasi terhadap al-Qur’an telah menyerupai lapisan geologi bumi.
Karenanya, kita tidak akan menembus peristiwa-peristiwa pembentukan pertama
(al-hadast al-ta’sisi al-awwal), ke peristiwa pembangunan awal (al-hadast al-
tadsyini) dalam keadaan yang masih segar dan kaya, kecuali jika telah mampu
membongkar seluruh literatur tafsir yang telah menghalangi pemandangan kita
darinya. Untuk melakukan pembongkaran, kita harus terlebih dahulu memahami
sejarah terbentuknya nalar Arab Islam yang masih menjadi rujukan utama dalam
penafsiran al-Qur’an hingga saat ini.
Mohammad Arkoun membagi terbentuknya nalar Arab Islam kepada tiga
tingkatan: klasik, skolastik, dan modern. Tingkatan klasik adalah sistem
di tampilkan dalam konsep-konsep semacam substansi, esensi, asal-usul, identitas, kebenaran dan
seterusnya. Semuanya itu dilakukan dengan mengelaborasi sebuah cara pembacaan teks, sebuah
strategi dekonstruksi yang memungkinkan dia mengidentifikasi asumsi-asumsi metafisis yang
pernah dilontarkan oleh para filosof. Lihat Joko Siswanto, Sistem Metafisika Barat dari Aristoteles
Sampai Derrida, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.159-167
27
Mohammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog…, op.cit., hlm. xi
24
pemikiran yang diwakili para pemula dan pembentuk peradaban Islam. Skolastik
adalah jenjang kedua dimana mulai meluasnya medan taqlid dalam sistem
berpikir umat. Sedangkan jenjang modern atau kontemporer adalah apa yang kita
kenal sekarang dengan kebangkitan atau revolusi.28 Maksud utama Mohammad
Arkoun dalam membagi epistema dalam sejarah Islam ke dalam beberapa
penggalan tersebut adalah untuk menjelaskan terma-terma “yang dipikirkan” (la
pensable atau thingkable), “yang tak terpikirkan” (l’ipense atau unthingkable),
dan “yang belum terpikirkan” (l’impensable atau not yet thought).29
“Yang terpikirkan”, maksudnya adalah hal-hal yang mungkin umat Islam
memikirkannya, yang demikian bisa dipikirkan, karena merupakan hal yang jelas
atau boleh memikirkannya. Sedangkan “yang tak terpikirkan” atau “mustahil
untuk memikirkannya” atau “belum terpikirkan” adalah hal-hal yang tidak saling
terikatnya antara ajaran agama dengan praktik kehidupan sehari-hari, atau jauhnya
aplikasi agama dari nilai dan norma transenden yang semestinya, seperti tidak
terkaitnya antara apa yang dilakukan para ilmuwan dan apa yang dikerjakan para
ulama, mekipun keduanaya memiliki kaitan intelektual (intelectual link).
Menurut Mohammad Arkoun, sebelum Imam Syafi’i membuat sistematika
konsep sunnah dan pembakuan kajian ushul kepada standar tertentu, aspek-aspek
pemikiran Islam masih banyak “yang terpikirkan”. Namun, beberapa aspek dari
“yang terpikirkan” itu kemudian berubah menjadi “yang tak terpikirkan” setelah
menangnya teori Imam Syafi’i dan terbentuknya qiraat-qiraat al-Qur’an kepada
sebuah mushaf resmi. Pembentukan qiraat kepada satu musqaf bukan hal yang
negatif bagi umat, hanya saja hal itu telah mereduksi kemungkinan lain untuk
mengetahui secara langsung urusan agama mereka melalui wacana qur’ani yang
pluralis, terlebih setelah banyaknya penghafal yang meninggal dunia. Dominasi
mazhab fiqh di hampir semua negara Muslim merupakan salah satu unsur
kelengahan umat Islam dalam memahami masalah berpindahnya “agama yang
28
Mohammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 126
29
Istilah yang terpikirkan pertama kali digunakan oleh filosof eksistensialis dan
fenomenolog jerman Martin Heidegger (1889-1976 M). Kemudian istilah itu digunakan Marleu-
Ponty (91908-1961 M), Foucault, lalu para penganut aliran strukturalisme. Lihat Linda Smith dan
William Raeper, Ide-Ide Filsafat Agama Dulu dan Sekarang, terj. Hardono Hadi, Kanisius,
Yogyakarta, 2000, hlm. 81-88
25
benar kepada ortodoks ideologi”, sehingga kemudian ketika agama telah benar-
benar berubah menjadi doktrin-doktrin mazhab fiqh dan dogma-dogma teologis
Asy’ari, umat tidak mampu lagi melihat segi-segi negatif yang dilahirkan oleh
dikotomi semacam ini, seperti masalah perpecahan mazhab, persaingan partai,
perselisihan jama’ah, bentrokan organisasi dan sebagainya.30
Daerah “yang tak terpikirkan” dalam tubuh umat Islam terus saja melebar,
terlebih ketika umat harus menghadapi tantangan dunia lain, maksudnya
modernitas Barat yang kini menjadi hegemoni di dunia. Oleh karena itu tidak ada
jalan lain kecuali menghentikan sedini mungkin melebarnya hal-hal “yang tak
terpikirkan”. Ironis memang, sementara dunia di belahan bumi lain sudah
mencapai puncaknya melalui modernitas intelektual di hampir semua bidang
kehidupan, sebagian besar umat Islam masih belum mampu membedakan antara
yang terpikirkan dengan yang tak terpikirkan.
Senada dengan Mohammad Arkoun, Fazlur Rahman mengajukan kritik
historis terhadap perkembangan-perkembangan teologi dalam Islam. Kritik ini
harus mengungkapkan lingkup ketidaksesuaian antara pandangan dunia al-Qur’an
dengan berbagai aliran spekulasi teologis dalam Islam dan menunjukkan jalan ke
arah teologi terbaru.31
Dengan nalar modern, Mohammad Arkoun memaksudkan nalar seperti
yang berkembang terutama di dunia Barat sejak meninggalkan “nalar abad
pertengahan”. Jadi, nalar modern adalah cara berpikir seperti yang berkembang
secara berangsur-angsur mulai dari Renaisans, Pencerahan dan seterusnya sampai
masa kini, dalam suatu proses yang belum selesai.
Mohammad Arkoun menolak sebagian besar ilmuwan Barat kontemporer
yang menganggap angan-angan (imaginaire) sosial sebagai sisa suatu bentuk
pemikiran yang terbelakang dan menyeleweng. Bahkan Wiliam C. Chittik
berpendapat bahwa orang-orang Barat lupa akan kemampuan angan-angan untuk
mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan pemahaman dan perasaan jiwa yang
tidak terjangkau oleh pemikiran rasional. Seluruh tradisi keagamaan, menurutnya
30
Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 127
31
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, Pustaka, Bandung, 2000, hlm. 116-139
26
32
Mohammad Arkoun, Nalar Islam dan Nalar Modern…, op.cit., hlm. 283-305
27
33
Mohammad Arkoun, Rethingking Islam…, op.cit., hlm. 79-82
28
34
Mohammad Arkoun, Membedah Pemikiran Islam…, op.cit., hlm. 278
29