Anda di halaman 1dari 18

TEORI DAN KONSEP DI BERBAGAI ASPEK KEHIDUPAN

MENURUT IBNU KHALDUN DALAM KITAB MUQADDIMAH


IBNU KHALDUN

Nurhamelia1 Dadan Rusmana2


Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
1
nur.hhamelia@gmail.com; 2dadan.rusmana@uinsgd.ac.id

ABSTRAK
Analisis tulisan ini bertujuan untuk melihat kembali atau me-review isi dari kitab
Muqaddimah Ibnu Khaldun yang memiliki banyak teori dan konsep kehidupan yang sangat
berpengaruh kepada kehidupan modern di dunia Timur dan Barat. Serta menyimpulkan
bahwa teori dan konsep Ibnu Khaldun dalam buku momentumnya ini telah menembus ruang
waktu yang luar biasa di area “modern”. Ibnu Khaldun seorang Bapak Sosiologi dan
Ekonomi Islam yang penuh dengan keluasan berpikir atas keilmuan pengetahuannya
mengenai hidup yang ia lewati dan jalani baik secara langsung atau tidak yang ia curahkan
dan bandingkan antara satu waktu dengan waktu lain. Hasil dari pengamatan yang Ibnu
Khaldun lakukan terdapat banyak sekali aspek kehidupan yang dijelaskan menjadi sebuah
kitab tebal dengan judul Muqaddimah Ibnu Khaldun. Bagaimana Ibnu Khaldun mulai
mencurahkan segala ide pemikirannya sampai ia menyelesaikan kitab tersebut dengan sangat
singkat. Begitu kaya mengenai keilmuan dan kebahasaan yang terdapat pada kitab pengantar
Ibnu Khaldun ini. Dengan menggunakan cara atau metode analisis sederhana terhadap kitab
muqaddimah yang dilakukan terhadap 15 jurnal yang didapat melalui portal Google Scholar.

Kata Kunci: Ibnu Khaldun, Muqaddimah, teori, konsep


PENDAHULUAN
Perkembangan sastra dimulai sejak masa Rasulullah SAW. Terus berkembang
hingga masa setelahnya (masa Khulafa al-Rasyidin, Bani Umayyah, Abbasiah, Bani
Umayyah Spanyol, Masa Transisi, hingga tahun 1800 M). Isi atau tema yang
dibicarakan dalam karya sastra pada zaman klasik dan semi-modern pasti tentunya
memiliki perbedaan. Dalam sastra muslim klasik hampir sebagian besar mengandung
pesan moral spiritual, politik, pujian atau ejekan pada saat itu. Sedangkan dengan
adanya perkembangan sastra muslim, tema sastra yang dimuat menjadi lebih luas lagi
hingga segi kehidupan nyata yang juga hal-hal yang bersifat filosofis.
Jika pada umumnya sastra biasanya dikatakan sebagai karangan fiksi yang
sama sekali tidak memuat hal yang bersifat fakta, padahal ada banyak jenis karya
sastra lain seperti laporan perjalanan, sejarah, atau biografi, dimana jenis-jenis ini
isinya memuat fakta bukan hanya karangan belaka. Jika kita menyetujui konsep
bahwa sastra merupakan khayalan manusia atau dunia yang dicipatakan dari ide
sastrawan seperti dalam puisi, prosa, novel, dan drama maka akan ada protes dari
umat Islam dan Kristen atas pemikiran tersebut. Pasalnya Nabi Muhammad SAW.
dan Isa Al-Masih─dua utusan Tuhan ini telah direndahkan derajatnya. Jika sastra
hanya hal yang fiksi saja, maka seluruhnya yang berkaitan dengan Muhammad dan
Isa hanyalah khayalan para sastrawan saja tanpa ada kaitan dengan kenyataan saat ini
(Damono, 2011).
Melalui peradaban Islam, kebiasaan kehidupan sehari-hari masyarakat Arab
dalam hal perdagangan yang mahsyur kala itu juga membawa sisi kesastraan Arab
menyebar luas ke daerah Timur Tengah bahkan Eropa melalui Bahasa Arab dan
tentunya agama Islam. Mudah diterimanya Sastra Arab oleh orang adalah karena
Sastra Arab tidak dibatasi dalam hal rangakaian atau pengulangan kata yang indah,
tetapi bersifat menyeluruh pada masalah-masalah manusia di segala aspek
kehidupannya (Has et al., 2020). Walaupun memuat fakta tentunya karya sastrawan
muslim tetap pada baris fungsi sastra itu sendiri yaitu menghibur serta mendidik.
Konsep ini juga hampir sama dengan pernyataan Esten (Al-Ma’ruf, 2003) bahwa
sebuah ide untuk karya sastra bersumber dari kenyataan hidup dalam masyarakat atau
realitas objektif. Setiap karya sastra yang dihasilkan harus memiliki nilai serta
memiliki fungsi untuk mengemukakan pendapat yang hidup dalam masyarakat.
Salah satu sastrawan muslim yang menghasilkan karya sastra yang bersifat
fakta adalah Ibnu Khaldun. Beliau sudah dikenal seantero dunia dengan julukannya
sebagai “Sejarawan” dan “Bapak Sosiologi Islam”. Ibnu Khaldun merupakan tokoh
muslim pada masa transisi di dunia Islam setelah masa Abbasiah dan Bani Umayyah
Spanyol. Sejak masa Abbasiyah ini para sastrawan dan kaum terpelajar mulai
mendalami tentang ilmu pengetahuan bahkan filsafat Yunani. Begitu pula dengan
yang dilakukan oleh Ibnu Khaldun pada karya terkenalnya kitab Muqaddimah. Kitab
Muqaddimah ini berisikan pendahuluan dari kitab al-‘Ibar. Dimana Ibn Khaldun
memuat berbagai aspek kehidupan, akidah Islam, historiografi, sosiologi, filsafat
sejarah dan politik, ekonomi hingga aspek ilmu alam.
BIOGRAFI IBNU KHALDUN
Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad
bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrahman bin Khaldun
adalah nama lengkap dari tokoh sejarawan sekaligus sastrawan muslim, Ibnu
Khaldun.beliau memiliki nasab yang digolongkan pada Muhammad bin Muhammad
bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Khalid. Nasab
ini merupakan alasan mengapa nama Ibnu Khaldun tidak seperti nasabnya yang
kesembilan itu, Khalid bin Usman. Ini terjadi berawal dari kakek buyutnya yang
merupakan orang pertama yang ikut bersama para penakluk bangsa Arab di
Andalusia dan menetap disana tepatnya di Carmona─sebuah kota kecil yang terletal
diantara segitiga Cordova, Sevilla, dan Granada (2003, p. 108). Maghribi; yaitu nama
marga di daerah Maghrin, Tunisia dimana Ibnu Khaldun lahir dan tumbuh (2016, p.
1), dan orang-orang Andalusia ini memiliki kebiasaan dalam kebahasaannya. Huruf
wau (‫ )و‬akan selalu ditambahkan atau direndengkan dengan huruf nun (‫ )ن‬dibelakang
nama-nama orang terkemuka─sebagai tanda penghormatan, maka dari itu nama
keturunan dari Khalid berubah menjadi Khaldun.
Panggilan kecil Ibnu Khaldun adalah Abdurrahman dan Zaid. Tetapi Zaid
merupakan panggilan dari keluarganya karena posisinya dengan anak sulung.
Waliyuddin sendiri bukan nama lahir dari tokoh sejarawan ini, melainkan nama gelar
kehormatan yang diberikan oleh raja Mesir kala ia diangkat sebagai ketua pengadilan
di Kairo, Mesir. Leluhur atau nenek moyang nasab keluarga Ibnu Khaldun ini berasal
dari Yaman Selatan─Hadramaut, yang hijrah ke daerah Hijaz. Menurut Ibn Hazm (Ii,
1979), dari garis keturunan yang kesembilan, Khalid bin Usman, diteruskan pada
keturunan ibn Usman ibn Hani ibn al-Khatab ibn Kuraib ibn Ma’dikarib ibn Harish
ibn Wail ibn Hujr. Yang mana garis keturunan ini masih tersambung sampai garis
sahabat Rasulullah, Wail ibn Hajar, yang terkenal dengan meriwayatkan kurang lebih
70 hadits dari Rasulullah SAW.
Lahir di Tunisia, Afrika Utara pada 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M dari
keluarga pendatang berbangsa Arab dari Andalusia (saat ini Spanyol) yang pindah ke
Tunisia pada pertengahan abad 7 H. Ibnu Khaldun tinggal di Tunisia tepatnya
disebuah rumah yang terletak di Jalan Turbah Bay, dan hingga saat ini rumah tersebut
masih berdiri utuh yang akhirnya dipergunakan untuk sekolah yang dinamakan
Idarah ‘Ulya. Ibnu Khaldun menghabiskan waktu hidupnya dalam jangka 18 tahun di
Tunisia─sekitar tahun 1332 hingga 1350. Guru pertama yang mengajari dan
mendidik dirinya mengenai dasar-dasar intelektual, agama Islam dan adat tradisional
keluarganya adalah ayahnya sendiri dan juga kakeknya. Ia juga diajarkan membaca
dan menghafal Alqur’an (qira’at) hingga dirinya menjadi seorang penghafal Alquran.
Beliau juga mempelajari berbagai jenis qira’at, tarfsir Alquran, fiqih, dan hadits-
hadits. Bagaimana ilmu tata bahasa, sastra dan retorika pun diajarkan kepadanya oleh
ulama paling terkenal di Tunisia. Alquran sendiri menurut Ibnu Khaldun adalah
pendidikan awal untuk dijadikan landasan dalam konsep Islam bagi hidupnya. Pada
dasarnya pun, seperti yang sudah kaum muslin muslimin ketahui bahwa Alquran tak
lain adalah hal yang paling penting dalam memandu hidup kamu muslim. Alquran
merupakan sumber utama pengetahuan dan bimbingan bagi umat manusia.
Sayangnya, masa pertumbuhan dirinya dengan ayahnya tidak berlangsung
lama dikarenakan ayah Ibnu Khaldun yang bernama Abu Abdullah Muhammad wafat
pada tahun 749 H/1348 M akibat wabah pes─wabah virus yang melanda Afrika
Utara, yang juga meniggalkan lima orang anak meninggal dunia. Ibnu Khaldun pada
saat itu masih berusia 18 tahun. Ayah Ibnu Khaldun merupakan seseorang yang
menekuni ilmu pengetahuan dan kesufian ilmu-ilmu agama setelah berhenti
menggeluti di bidang Bahasa dan Sastra Arab meski dirinya merupakan seorang ahli
dalam bidangnya. Sehingga keluarga Ibnu Khaldun dikenal dengan sangat terpandang
sebagai orang-orang yang mahir dalam sya’ir sufi, berpengetahuan luas, berpangkat,
banyak menduduki jabatan penting kenegaraan serta mahir dalam bidang-bidang
keilmuan lainnya (ES Marta et al., 2015, pp. 2–3).
Ayah Ibnu Khaldun yang berarti keturunan dari Khalid bin Usman yang mana
termasuk dalam kaum Bani Khaldun yang pertama kali berkembang di daerah kota
Qarmunah yang masih di Andalusia. Sebelum melakukan hijrah ke kota Isybilia, ini
merupakan kota terakhir yang dihijrahi yang menjadikan ketenaran Bani Khaldun
mulai bersinar. Pada saat itu (n.d., p. 20), jabatan-jabatan politik dipimpin oleh
Dinasti al-Muwahhidun. Ketika dinasti tersebut mengalami kemunduran akibat
kekuasaanya jatuh ketangan penguasa Kristen di Andalusia, Bani Hafs─ kaum yang
menguasai kota Isybilia, hijrah ke Tunisia, Afrika Utara. Karena posisi Bani Khaldun
berada di Kota Isybilia tersebut, Bani Khaldun pun ikut melakukan hijrah bersama
Bani Hafs. Seusai hijrah ke Tunisia kekuasaan Bani Hafs jatuh kepada Amir Abu
Yahya al-Lihyani yang merupakan pemimpin al-Muwahhidun pada dinasti
sebelumnya. Walaupun kekuasaan itu jatuh, anggota keluarga Bani Khaldun tetap
menduduki jabatan-jabatan penting. Abu Bakr─kakek ibn Khaldun, mengisi jabatan
gubernur bertugas mengatur urusan kenegaraan di Tunisia begitupula keturunannya
Muhammad ibn Abu Bakr, diangkat untuk mengurus urusan Hijabah atau kantor
urusan kenegaraan. Tetapi dalam mengisi jabatan-jabatan penting itu terhenti
sementara di kakek Ibnu Khaldun. Pasalnya, Abu Abdullah Muhammad atau ayah
Ibnu Khaldun memilih untuk tidak terjun ke ancah politik dan memilih untuk
mendalami dunia keilmuan dan pendidikan.
Secara alami (ES Marta et al., 2015, pp. 16–17), Ibnu Khaldun tumbuh dan
berkembang di lingkungan keluarga ilmuwan dan politikus. Kedua hal antara ilmu
pendidikan dan politik seolah telah menyatu dalam jiwa Ibnu Khaldun dalam
menyongsong pertumbuhan diri dan karirnya kedepan. Ayahnya seolah menurunkan
sikap yang menjauhkan diri dari dunia politik kepada Ibnu Khaldun. Beliau lebih
memilih bereksplorasi dalam bidang keilmuan dan pengajaran persis seperti ayahnya.
Semenjak kematian ayahnya saat ia berusia 18 tahun itu, Ibnu Khaldun mulai hidup
sebagai orang dewasa yang tidak menggantungkan diri pada keluarganya, hidup
mandiri dan bertanggung jawab. Sebelumnya Ibnu Khaldun mempelajari berbagai
ilmu keagamaan dari para gurunya di Tunisia. Dan masa pendidikan yang
sesungguhnya dimulai ketika masa Kesultanan Mariniyah yang dipimpin oleh Abu
Inan dari Fez, Maroko. Pada saat masa pendidikan Ibnu Khaldun, beliau
mendapatkan ilmu disetiap bidangnya itu melalui guru yang berbeda pula. Guru-
gurunya yang sangat berjasa dalam masa pendidikan Ibnu Khaldun ini antara lain:
Abu ‘Abdullah Muhammad ibnu Sa’ad bin Burral al-Anshari dan al-‘Abbas Ahmad
bin Muhammad al-Bathani yang mengajarinya ilmu Alquran (qira’at); Abu ‘Abdillah
bin al-Qushshar dan Abu ‘Abdillah Muhammad bin Bahr mengajarinya ilmu tata
bahasa Arab; Syamsuddin Muhammad bin Jabir bin Sulthan al-Wadiyasyi serta Abu
Muhammad bin Abdul Muhaimin bin Abdul Muhaimin al-Hadhramy yang
mengajarkan ilmu hadits; kemudian yang mengajari Ibnu Khaldun mengenai urusan
ilmu fikih dan kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik pada Abdullah Muhammad bin
Abdussalam adalah guru Abu ‘Abdillah Muhammad al-Jiyani dan Abu al-Qasim
Muhammad al-Qashir. Keilmuan yang Ibnu Khaldun pelajari tidak hanya pada
keilmuan agama saja, beliau juga mempelajari ilmu pengetahuan dunia seperti
filsafat, teologi, mantik, ilmu alam, matematika, juga astronomi. Keilmuan alam dan
lain-lain ini beliau dapatkan dari seorang guru bernama ‘Abdillah Muhammad bin
Ibrahim al-Abili. Tentu saja sesuai pernyataan diatas, Ibnu Khaldun pasti telah
banyak belajar dari banyak kitab yang ia baca. (2016, p. 6) Dari sekian banyak karya
yang dipelajarinya ialah kitab al-Lamiah fi al-Qiraat dan Raiah fi Rasmi Mushaf
karya Abi Faraj al-Isfahany; Muallat Kitab al-Hamasah li al-A’lam, Tha’ifah min
Syi’r Abi Tamam wa al-Mutabanny, dan sebagian besar kitab hadits dari Shahih
Muslim, serta Mutawatha’ karya Imam Malik; Iltaqasa li Ahadits al-Muwatha’ karya
Ibnu Barr; ‘Ulum al-Hadis karya Ibnu Shalah; Kitab al-Tahzib karya Barady;
Mukhtasar al-Mudawwanah li Sahnun fi al-Fiqh al-Maliki, Mukhtar Ibn Hajib fi al-
Fiqh wa al-Ushul, dan kitab al-Syair karya Ibnu Ishak.
Waktu yang Ibnu Khaldun lewati di Tunisia untuk masa belajarnya itu dalam
kurun waktu 18 tahun sekitar tahun 1332 samapai dengan 1350 M. Ibnu Khaldun
selalu menjadi murid terpuji bagi para gurunya karena kekagumannya pada
kepintaran Ibnu Khaldun. Dengan banyaknya kitab yang beliau pelajari dan berkat
didikan para guru beliau, itu semua menggambarkan bagaimana keluasan serta
kecerdasan seorang Ibnu Khaldun yang tak hanya sebatas dalam otaknya saja, tetapi
dari sikap beliau yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dari semua keilmuan yang
ia pelajarinya. Menurut Ibnu Khaldun, ada dua orang guru yang ia tempatkan pada
tempat istimewa dan ia merasa hormat karena dua guru ini karena keluasan ilmu
keduanya. Pertama, gurunya yang bernama Abu Muhammad bin Abdul Muhaimin
bin Abdul Muhaimin al-Hadhramy seorang imam ahli ilmu hadits dan ilmu nahwu
tentang keilmuan agama di Maroko. Beliau sangat luas sekali ilmunya mengenai
hadits, sirah sampai ilmu linguistik/kebahasaannya. Kedua, gurunya yang bernama
Abu ‘Abdilllah Muhammad bin al-Abili yang mengajarkan Ibnu Khaldun mengenai
ilmu filsafat, mantik, biologi, astronomi serta musik.
Pendidikan yang Ibnu Khaldun geluti tidak hanya bertempat di satu tempat,
Tunisia, saja. Ibnu Khaldun juga berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya seperti
di Fez, Granada, Bougie, Biskara, dan tempat-tempat lainnya dalam kurun waktu 32
tahun sekitar tahun 1350 hingga 1382 M. Kepindahannya yang pertama ke Fez,
Maroko terjadi ketika ia berusia 20 tahun karena wabah pes yang mematikan di tahun
749 H yang telah menyerang belahan dunia baik itu bagian Timur dan barat yang juga
membunuh kedua orang tua Ibnu Khaldun. Ia amat begitu tersiksa dan berduka cita
sampai-sampai ia menamakan tragedi tersebut dengan sebutan Tha’un Jaarif (wabah
yang membabi buta). Dan juga karena kawasan-kawasan yang ia pernah tempati kala
itu tidak pernah mengalami stabilitas dalam politiknya. Seringkali terjadinya kancah
perebutan bahkan pertarungan antar dinasti hingga kawasannya atau sebagian dari
kawasan itu berpindah kekuasaannya dari tangan ke tangan, dari satu dinasti ke
dinasti lain. Tetapi tak berputus asa, kekacauan politik tersebut mewarnai kehidupan
kan karir Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun pun pindah ke Maroko pada tahun 1354 M
mengikuti hijrah sebagian besar ulama dan sastrawan yang selamat dari wabah pes
tersebut. Ibnu Khaldun dengan sifat gigih dalam belajarnya, ia meneruskan
pendidikannya disana tidak hanya semata-mata hijrah karena wabah (Sciences, 2016).
Adapun guru-guru beliau saat di Fez, Maroko ini adalah Muhammad bin Ahmad
al-‘Alawi, Muhammad bin Abdul Salam, Muhammad bin Abdul Razaq, Muhammad
bin Yahya al-Barji, Ibnu al-Khatib, Ibrahim bin Zarrar, dan Abdul Barakat
Muhammad al-Ballafiqi. Memiliki peningkatan yang pesat dalam pendidikannya di
Fez, Maroko, Ibnu Khaldun sangat terlibat aktif dalam kegiatan ilmiah. Buku-buku
serta karya-karya ilmiah yang Ibnu Khaldun hasilkan begitu banyak. Sayang sekali
karya-karya tersebut secara umum sangat sulit untuk dilacak.
Tetapi, karena musibah wabah ini fokus bidang yang Ibnu Khaldun geluti pun
berubah, yang tadinya pada ilmu pendidikan menjadi ke bidang pemerintahan atau
politik. Ibnu Khaldun mulai tertarik pada kehidupan politik dikala umurnya yang ke-
20. Ibnu Khaldun juga diangkat menjadi sekretaris sultan saat di Maroko oleh Abu
Inan di tahun 755 H/1354 M yang tak lain karena kepandaian serta kecakapan Ibnu
Khaldun. Di Maroko, Ibnu Khaldun sering berpindah jabatan dan berganti tuan─ia
melakukannya tidak selalu karena perasaan terpaksa. Tak jarang beliau juga bergeser
loyalitas dari dinasti satu ke dinasti yang lain dengan sukarela dan berdasarkan
rencana perhitungan untung rugi pribadi. Singkatnya, ia juga melibatkan dirinya
dalam suasana perebutan politik di kawasan itu. Ketika ia menjabat sebagai sekretaris
sultan di Maroko itupun jabatannya tidak ia pangku lama, karena pada tahun 1357 M
Ibnu Khaldun terlibat persekongkolan dalam rangka menggulingkan kedudukan
sultan bersmaa dengan Amir Abu Abdullah Muhammad, beliau kahirnya ditangkap
dan dipenjarakan. Leganya, beliau tidak lama dipenjarakan, ia dibebaskan pada tahun
ketika Sultan saat itu pun meninggal dunia. Kekuasaan kesultanan diambil oleh al-
Mansur bin Sulaiman dan menterinya al-Hasan. Mengetahui hal itu, Ibnu Khaldun
pun menggabungkan diri dengan al-Mansur dan diangkat menjadi sekretaris
pribadinya. Sayangnya lagi karena ketidakstabilan kekuasaan politiknya, posisi Ibnu
Khaldun menjadi sekretaris saat itu pun tidak berlangsung lama karena adanya
pemberontakan istana pada tahun 762 H/1361 M. Ibnu Khaldun saat itu
mengundurkan diri sebagai sekretaris dan memilih pergi dari Fez ke Andalusia
bersama keluarganya pada tanggal 26 Desember 1362 M. Kedatangan Ibnu Khaldun
disambut baik oleh Raja Andalusia (n.d., p. 41) yang dimana merupakan penguasa
Granada yaitu Sultan Muhammad ibn Yusud dari Bani Ahmar dan perdana
menterinya, Ibn al-Khathib, dengan hangat. Karir Ibnu Khaldun berlanjut ketika tiba
di Granada, Andalusia (saat ini Spanyol). Beliau diangkat menjadi duta besar dan
ditugaskan langsung ke istana raja Pedro El Curel, seorang raja Kristen Castilla di
Sevilla setahun setelah kedatangannya untuk mengadakan perjanjian damai antara
Granada dan Sevilla. Keberhasilannya yang memukau sebagai diplomat saat itu
membuat Raja Muhammad memberikan imbalan tempat dan kedudukan yang
semakin penting di Granada. Karirnya yang semakin sibuk tak membuat diri Ibnu
Khaldun lupa akan keilmuan. Dia terus menyempatkan untuk mengajar di masjid-
masjid pemerintahan untuk melanjutkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya di sela
kesibukannya itu. Imbalan yang Raja Muhammad berikan memang menguntungkan
dan setimbal dengan jasa yang Ibnu Khaldun lakukan, tetapi imbalan tersebut
menyebabkan rasa iri dari beberapa pihak termasuk perdana menteri─yang mana itu
adalah sahabatnya sendiri, Ibn al-Khathib. Ibnu Khaldun merasakan adanya gelagat
yang ia rasa tidak akan menguntungkan dirinya maka dari itu Ibnu Khaldun kembali
ke Afrika Utara. Ibnu Khaldun kembali menjabat jabatan-jabatan politik yang
ditawarkan oelh para Amir (gubernur) di Afrika Utara dan berpindah tangan dari
penguasa satu ke penguasa lainnya.
Kejenuhan menimpa diri Ibnu Khaldun, (2003, p. 109) jam terbang yang
malang melintang dalam dunia politik praktis yang penuh dengan resiko dan
tantangan itu membuat Ibnu Khaldun menyimpulkan bahwa jika bergerak terus dalam
dunia ini, tak akan pernah membawa diri dan keluarga dalam ketentraman dan
kebahagiaan. Ketenangan lebih ia dapatkan dalam ilmu pengetahuan. Naluri
kesarjanaannya kembali memaksa diri Ibnu Khaldun untuk kembali dari kejenuhan
dunia politik yang penuh dengan dinamika yang bergejolak. Kondisi jiwa Ibnu
Khaldun yang seperti ini yang menetapkan dirinya pada suatu bagian tahapan dari
kehidupannya yaitu masa khalwat Ibnu Khaldun. Pada saat masa ini, Ibnu Khaldun
mengasingkan diri di suatu tempat terpencil yang dikenal dengan nama Qal’at Ibnu
Salamah. Disana ia merasakan kehidupan yang jauh lebih tenang yang jauh dari
kemunafikan politik. Selama pengasingan dirinya dari dunia politik, ia menumpahkan
segala pengalaman hidupnya selama ia memangku jabatan-jabatan politik yang penuh
lika-liku itu. Curahan kehidupannya ini menghasilkan karyanya yang berjudul al-
Muqaddimah, karya terbesar ini yang kemudian dikenal dengan Muqaddimah Ibn
Khaldun. Tak hanya kitab tersebut yang Ibnu Khaldun susun, ia juga menyusun kitab
lanjutan dari al-Muqaddimah ini, al-‘Ibar. Tetapi untuk menyelesaikan kitabnya yang
kedua ini ia perlu banyak referensi yang tidak ia dapatkan di Ibnu Salamah. Ibnu
Khaldun akhirnya kembali ke tanah kelahirannya, ke Tunisia. Selain melanjutkan
tulisan kitab al-‘Ibar setelah merampungkan kitab Muqaddimah pada tahun 1378 M,
Ibnu Khaldun juga tetap mengajar ilmu pengetahuan pada penduduk setempat.
Kerinduan Ibnu Khaldun pada tanah kelahirannya, Tunisia, juga merupakan salah
satu alasan ia kembali ke Tunisia.
Kerinduan Ibnu Khaldun ini sayangnya tak berlangsung lama karena beberapa
teman-temannya seolah memperlihatakan sikap ketidaksukaan atau bermusuhan pada
dirinya. Tak terganggu dengan hal itu, Ibnu Khaldun akhirnya lebih memilih utnuk
pergi menunaikan ibadah haji ke tanah Arab terhitung pada tanggal 28 Oktober 1382
M. Ia juga menyempatkan untuk singgah ke Kairo, Mesir sebelum menunaikan
ibadah hajinya. Secara historis, Kairo adalah destinasi akhir dari petualangan seorang
Ibnu Khaldun baik sebagai seorang sejarawan, sastrawan dan seorang politikus yang
telah banyak terlibat dalam kedinamikaan yang panas di dunia politik. Pada saat di
Mesir Ibnu Khaldun memberikan perkuliahan di Universitas Al-Azhar, Kairo. Cara
mengajar dan pengetahuan Ibnu Khaldun sangat diminati oleh banyak mahasiswa dan
ingin secara langsung mengetahui kedalaman ilmu dosennya, Ibnu Khaldun. Selama
dua tahun berada di Mesir, bidang yang ia geluti setelah menetap di Kairo bertambah
yang awalnya kembali pada dunia keilmuan, saat itu ditambah kegiatan yang
berkaitan dengan reformasi hukum. Ibnu Khaldun diangkat menjadi Hakim Agung
Madzhab Maliki pada Mahkamah Mesir oleh Sultan Mesir, al-Zahir Barquq pada
tanggal 8 Agustus 1384 M. Sebagai seorang hakim yang memangku jabatan yang
penuh tanggung jawab, Ibnu Khaldun memanfaatkan kesempatan ini untuk
melakukan reformasi di bidang hukum. Akan tetapi, reformasi yang beliau buat ini
ternyata telah membuat banyak pihak yang dirugikan sehingga pihak-pihak tersebut
yang marah, benci dan dengki terhadap Ibnu Khaldun. Meskipun Ibnu Khaldun tidak
terbukti bersalah akibat fitnah yang dituduhkan kepadanya, pada akhirnya ia tetap
diturunkan dari jabatannya sebagai seorang hakim agung oleh Sultan al-Zahir Barquq.
Meskipun beliau telah berhenti sebagai seorang hakim agung, beliau tetap melakukan
pekerjaannya sebagai pengajar di Universitas Al-Azhar. 3 tahun kemudian pada tahun
1387 M mengenai rencana ibadah haji Ibnu Khaldun yang tertunda, akhirnya bisa ia
tunaikan juga. Sepulangnya Ibnu Khaldun dari menunaikan ibadah hajinya, Ibnu
Khaldun diangkat lagi sebagai Hakim Agung Mahkamah Mesir oleh sultan yang
berkuasa pada saat itu─setelah masa Sultan al-Zahir Barquq, yaitu Sultan Nashir
Faraj yang merupakan putera dari Sultan al-Zahir Barquq. Pada masa nya saat itu,
Ibnu Khaldun sempat juga berkunjung ke Damaskus dan Palestina dalam rangka
menyertai sultan untuk mendatangi kunjungan mempertahankan kesultanannya dari
serangan para tentara Mongol. Sampai akhirnya, Ibnu Khaldun wafat di Kairo, Mesir
pada 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M dalam usia yang ke-76 tahun tepatnya di
sebuah desa yang terletak di Sungai Nil─sekitar kota Fusthath yakni tempat
keberadaan madrasah al-Qamhiah dimana sang filsuf, sejarawan, politisi dan guru ini
berkhidmat. Jenazah Ibnu Khaldun dimakamkan di pemakaman para sufi di luar Bab
al-Nashir, Kairo, Mesir.
SISI KESASTRAWANAN IBNU KHALDUN
Ini berawal dari cerita ketika kehidupan Ibnu Khaldun saat di Istana Fez.
Ketika saat itu kondisi politik benar-benar kacau bergejolak, kerajaan terus saling
berganti satu sama lain hanya untuk berebut kekuasaan antar kerajaan, Ibnu Khaldun
memutuskan untuk memulai kehidupan politiknya dalam sebuah negara. Sesuai
dengan sejarah biografinya, Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris pribadi Sultan
Abu Ishaq pada 751 H. Bertahan hanya sampai dua tahun sebagai sekretaris pribadi
Sultan Abu Ishaq karena terjadinya pergolakan politik oleh cucu Sultan Yahya yaitu
Abu Zaid seorang Amir Konstantin. Saat itu Abu Zaid bergerak pertama kali dengan
cara menaklukan Tunisia karena ingin warisan keluarganya kembali pada mereka
yang pada saat itu digenggam oleh genggaman Ibnu Tafrakin. Dan dalam pertikaian
ini pasukan Tunisia yang dipimpin Ibnu Tafrakin kalah dari pasukan yang dipimpin
oleh Abu Zaid. Mengetahui hal ini, Ibnu Khaldun diam-diam pergi meninggalkan
daerah Tunisia ke Ceuta─daerah di ujung utara Maghribi, Afrika Utara di pesisir
pantai Mediterania dekat selat Gibraltar. Tujuannnya untuk menyelematkan diri dari
serangan Abu Zaid. Setelah dari Ceuta, Ibnu Khaldu kembali ke Cafsa─sebuah
daerah kecil di Tunisisa yang menjadi tempat pengasingan faqih Tunisia yang diserbu
oleh Amir Konstatin, Sultan Abu al-Abbas yang kemudian Ibnu Khaldun ikut
bersama menemani para faqih Tunisia menuju Biskra─kota yang berada di daerah
selatan Aljazair. Setelah pemberontakan tersebut, didudukilah kesultanan Tunisia
oleh Sultan Abu Inan dan kemudian menduduki wilayah Fez setelah kepergian Sultan
Abu Hasan, raja Maroko yang meninggal dunia pada 11 Rabi’ul Awal 752 H.
Walaupun begitu, Sultan Abu Inan tidak langsung menggenggam kerajaan begitu
saja, Sultan Abu Inan melakukan penaklukan ke Barbary Tengah dan menduduki
kembali wilayah Tlemchen─yang pernah ditaklukan oleh ayahnya, Bani Abdul Wad.
Pada saat keberadaan Ibnu Khaldun di Biskra ini akhirnya diketahui oleh
Sultan Abu Inan dan Sultan Abu Inan mengutukan pasukan untuk pergi mendatangi
Ibnu Khaldun serta memberi tahu bahwa Sultan Abu Inan menghormati dirinya. Hasil
utusan Sultan Abu Inan pun membuahkan hasil karena Ibnu Khaldun segera pergi
menemui Sultan Abu Inan tersebut. Langsung saja ketika kesempatan itu terjadi,
nama Ibnu Khaldun diangkat untuk dijadikan anggota akademinya. Terus mengalami
promosi dari Sultan Abu Inan, Ibnu Khaldun akhirnya diangkat menjadi sekretaris
pribadi dan pengurus rumah tangga istananya. Bagi sebagian orang pasti merasa
pekerjaan tersebut adalah sebuah pekerjaan yang kedudukannya tinggi dan sangat
penting, berbeda dengan Ibnu Khaldun yang menganggap bahwa pekerjaan yang
sedang ia jalani ini rendah dan tidak penting. Karena ambisi pada dirinya yang
memang beasr, Ibnu Khaldun ingin membuktikan berbagai ambisinya tersebut.
Buktinya Ibnu Khaldun tetap bisa meneruskan pendidikannya selama di Fez serta
belajar dari beberapa cendekiawan terkenal yang datang dari negeri Andalusia juga
daerah-daerah lain di Afrika Utara. Kecerdasan, karakter, ambisi dan kemandirian
Ibnu Khaldun telah menuntunnya untuk mendapatkan kekuasaan yang lebih tinggi
lagi saat itu. Setelah dua tahun mengenyam posisi jabatan sekretaris, Ibnu Khaldun
mulai melibatkan dirinya dalam intrik-intrik politik. Bahkan ia tidak ragu untuk
berkonspirasi dengan tahanan istana Fez yang sebelumnya merupakan penguasa
Bougie yang tergulingkan yaitu Amir Abu Muhammad. Padahal Sultan Abu Inan
sendiri merupakan tuan serta pelindungnya yang seharusnya ia hormati karena
kebaikannya pada kehidupan Ibnu Khaldun. Konspirasi yang ia cipatakan dengan
Amir Abu Muhammad telah diketahui dan Sultan Abu Inan akhirnya memerintahkan
untuk menangkap lalu memenjarakan Ibnu Khaldun pada pasukannya. Menurut
sejarah pun Ibnu Khaldun tidak lama berada di penjara karena Ibnu Khaldun sering
mengirimkan permohonan kebebasan atas dirinya kepada Sultan Abu Inan dengan
sebuah puisi. Puisi tersebut berisikan 200 bait permohonan kemurahan hari dari sang
sultan.
Salah satu bait puisi tersebut dari 200 bait seluruhnya, sebagai berikut (1979,
p. 47):
”Bagaimana saya bisa memprotes waktu, dan nasib untung mana yang dapat saya
perangi? Saya mengadukan kepada pengadilan nasib, yang pada suatu saat
mendukung dan pada suatu saat yang lain melawan”
Pada puisi yang kali ini akhirnya Ibnu Khaldun dibebaskan oleh seorang
pejabat pengganti Sultan Abu Inan karena meninggal dunia pada Dzulhijjah 759 H,
Wajir al-Hasan ibn Umar. Wajir al-Hasan ibn Umar kembali membersihkan nama
Ibnu Khaldun dan mengangkat kembali Ibnu Khaldun menjadi pejabat kerajaannya.
KARYA-KARYA SASTRA IBNU KHALDUN
Tentu saja dengan banyaknya pengalaman Ibnu Khaldun dalam menghabiskan
seluruh hidupnya baik dalam bidang keilmuan ataupun sosial politik, pastinya ada
banyak karya yang Ibnu Khaldun ciptakan. Hanya saja banyak dari karyanya yang
belum ditemukan bahkan yang tidak diterbitkan sama sekali. Begitu pula dengan
kisah hidupnya yang melewati berbagai macam fase, salah satunya adalah ia harus
hidup dimana peradaban Islam mulai mengalami kehancuranya, tetapi Ibnu Khaldun
dengan menggunakan kecerdasan intelelektual dan didikan-didikan keluarganya
membuat dirinya tampil pada masa itu sebagai seorang ilmuwan muslim yang kreatif
hingga melahirkan pemikiran-pemikiran besar dalam banyak karyanya yang banyak
menginspirasi masyarakat modern hingga ke dunia Barat. Tetapi karya yang paling
dikenal dari Ibnu Khaldun adalah 3 kitab terbesarnya; al-Muqaddimah yang
merupakan pembuka dari kitab al-‘Ibar sebagai bagian isinya dan ditutup dengan
penutup yang berjudul al-Ta’rif. Karena panjangnya setiap kitab yang ada, dalam satu
kitab ini dibagi lagi dalam beberapa bab. Ada tujuh jilid besar yang merupakan
bagian dari kitab al’Ibar, yaitu:
1. Jilid kesatu atau kitab al-Muqaddimah
Sebagai pembuka atau pendahuluan dari kita al-‘Ibar, al-Muqaddimah
sendiri berisikan bahasan mengenai gejala-gejala masyarakat yang terjadi
dalam kehidupan di bidang pemerintahan, politik, kekuasaan, otoritas,
pencaharian, ilmu-ilmu pengetahuan, ekonomi, dan keahlian. Dalam
pendahuluan pastinya berisikan sebab-sebab atau alasan-alasan mengapa hal-
hal tersebut harus dimiliki. Tetapi inti dari seluruh persoalan yang ada dalam
kitab al-‘Ibar berada pada kitab pengantar ini. (Sciences, 2016) Kitab ini
benar-benar karya Ibnu Khaldun yang sangat monumental dari seluruh karya-
karya nya. Baik itu kitab pengantar (al-Muqaddimah), kitab al-‘Ibar, ataupun
kitab penutupnya (al-Ta’rif) memiliki bahasannya masing-masing, tidak
semata-mata dibahas dalam satu bahasan langsung. Kitab dijilid pertama ini
memiliki kekayaan intelektual yang sangat tinggi dari segi sastra Arabnya.
Bagaimana penelitian dari pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun yang luar biasa
dalam menempatkan metode gejala-gejala sosial beserta sejarahnya, maupun
aspek kehidupan lainnya.
Ketenaran kitab al-Muqaddimah ini sampai ke negeri Barat sepanjang
masa hingga saat ini. Salah satu yang menjadi kekaguman adalah Ibnu
Khaldun yang menyelesaikan kitab ini hanya dalam kurun waktu lima bulan
pada pertengahan tahun 779 H/1377 M yang kemudian direvisi dan memlitur
sampulnya. Selain waktu penyelesaian yang Ibnu Khaldun kerjakan juga
karena isi pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep yang Ibnu Khaldun
kemukakan. Maka dari itu, selain umat Muslim, kitab ini merupakan salah
satu legenda warisan bahasa Arab bagi para kritikus dan sejarawan modern.
Pada abad ke-15, historiografi di Eropa masih sangat terbelakang yang tidak
mengenal konsep dasar karakter seperti yang ada dalam buku al-Muqaddimah
Ibnu Khaldun ini yang membahas semua masalah yang ternyata di masa
sekarang dijadikan sumber bentuk pandangan dasar para sejarawan modern.
Bahasan mengenai apa saja isi dari kitab pengantar tersebut akan dibahas di
poin materi selanjutnya. Secara singkat, sudah jelas bahwa kitab ini memiliki
banyak bab lagi yang dimana menggambarkan dengan jelas betapa luas dan
beragamnya bidang kajian yang dikaji oleh Ibnu Khaldun walaupun masih
dalam bentuk pengantar saja. Kitab ini ditunjukkan untuk mengkritik sejarah
dalam upaya menemukan hukum sejarah yang terkait dengan kehidupan
sosial-politik.
2. Jilid kedua hingga jilid kelimanya disebut dengan kitab al-‘Ibar atau Tarikh
Ibnu Khaldun
Judul lengkap kitab ini adalah Kitab Al ‘Ibar wa Diwan Al Mubtada’
wa Al Khabar fi Ayyam Al ‘Arab wa Al ‘Ajam wa Al Barbar wa man
Asharuhum min Dzawi As Sulthani Al Akbar atau dalam Bahasa Indonesia
diartikan sebagai “Kitab Perjalanan dan Arsip Sejarah Zaman Pemulaan dan
Zaman Akhir yang Mencakup Peristiwa Politik Mengenai Orang-orang Arab,
Non-Arab dan Barbar, Serta Raja Besar yang Semasa dengan Mereka). Kitab
4 jilid yang menjelaskan mengenai sejarah Bangsa Arab dari generasi ke
generasi maupun dinasti ke dinasti sejak kelahiran Ibnu Khaldun hingga
beliau wafat. Dan juga sejarah-sejarah mengenai jumlah bangsa yang terkenal
dan orang-orang besarnya serta dalam dinasti apa pada saat itu seperti
Pontian, Turki, Persia, Romawi, Koptik (Mesir), Yunan, Yahudi (Israel),
Franka (orang-orang Eropa) dan juga Syiria sampai abad ke 8 H atau 14 M.
Karya sastranya yang satu ini adalah karya yang menggambarkan sosio-
historis yang sangat terkenal.
3. Jilid keenam dan ketujuh atau disebut dengan kitab al-Ta’rif
Kitab terakhir ini seringkali disebut dengan biografi Ibnu Khaldun
sendiri dan diselesaikan di awal tahun 797 H. Tetapi nyatanya selain biografi
Ibnu Khaldun kitab ini juga berisi mengenai sejarah bangsa dan suku-suku
yang dimana serperti suku Zanata, Nawatah, Masmudah, Baranis, bagaimana
asal-usul suku-suku tersebut sampai ke generasi generasinya. Lalu ada pula
sejarah tentang dinasti pada masa itu, Dinasti Bani Hafs, Dinasti Bani ‘Abdul
Wad, dan Dinasti Bani Mariyin (Marin). Kitab ini memiliki judul lengkap
dengan nama Al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun, Mu’allif Hadza al-Kitab wa Rihlatuh
Gharban wa Syarqan atau “Perkenalan dengan Ibnu Khaldun, Pengarang
Kitab ini dan perjalanannya ke Timur dan Barat”.
Berkat ketiga karya terbesar Ibnu Khaldun yang dibahas sebelumnya
(terutama, al-Muqaddimah) yang dimana berasal dari pemikiran-pemikiran
dan pengalaman hidupnya ini menjadikan Ibnu Khaldun sebagai salah satu
ilmuwan dunia yang pemikiran-pemikiran atau konsep-konsepnya masih terus
mengembara berpengaruh hingga masa kini. Bahkan ada salah satu CEO
Millenial sekarang yang secara terbuka mengatakan bahwa kitab al-
Muqaddimah telah ia baca dan sangat ia terpesona dan kagum hingga
rekomendasikan untuk para generasi muda baca dan pelajari demi
keberlangsungan kehidupan ke masa-masa selanjutnya. Ia adalah Mark
Zuckerberg seorang CEO dari media sosial Facebook.
Tetapi selain ketiga kitab terbesar itu, beberapa referensi lain juga ada
yang menyebutkan bahwa Ibnu Khaldun punya beberapa karya lainnya, yaitu:
1. Lubab al-Muhashshal fi Ushul al-Din─ikhtisar dari al-Muhashshal
Imam Fakhrudin al-Razi tentang teologi skolastik pada tahun 543-
606 H.
2. Syifa’ as-sail li Tahzib al-Masail─mistisme konvensional yang
berisi uraian tentang tasawuf serta apa hubungannya dengan ilmu
kejiawaan dengan masalah fikih atau syariat.
3. Burdah al-Bushairi
4. Buku kecil yang sekitar berisi 12 halaman tentang keterangan
negeri Maghribi atas permintaan Timur Lenk saat bertemu di
Syiria.
ANALISIS KARYA: MUQADDIMAH IBNU KHALDUN KARYA IBNU
KHALDUN
Intisari kitab pengantar ini mengenai sosiologi, filsafat sejarah, dan politik
yang juga menjadi sebuah bahan kajian para ilmuwan dan cendekiawan muslim di
timur dan bangsa Barat. Dengan mengikuti pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun yang
ia curahkan dalam buku pengantar ini seolah mengantarkan kita untuk menoleh ke
masa lalu, yakni (Khaldun, 1994) untuk memperlihatkan serta menawarkan gagasan
renovasi terhadap cakupan aspek kehidupan agar terinspirasi bagi terciptanya iklim
kehidupan politik yang bersih. Disambung dengan pengalaman dna hasil pegamatan
Ibnu Khaldun, ia menyusun konsep-konsep kritis yang berkaitan dengan hal sistem
kemasyarakatan dan kenegaraan. Seperti halnya sejarah menurut pemikiran Ibnu
Khaldun mempunyai fungsi dan tujuan yang multi dan mulia.
Menurutnya sejarah membuat kita mengenal bagaimana orang-orang
terdahulu menjalani hidup, sikap; perilaku dan moral masyarakat maupun penguasa-
penguasa sebelumnya. Dan pemikiran yang Ibnu Khaldun susun menjadi sebuah kitab
ternama ini tidak semata-mata hanya untuk mendokumentasikan sejarah, tetapi juga
untuk mengenal dan mempelajari gejala-gejala masa lampau sehingga bisa dipahami
untuk memecahkan persoalan di masa yang akan datang. Keluasan ide-ide Ibnu
Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah ini dibagi menjadi enam bab. Bab pertama
Ibnu Khaldun disini bercerita secara umum mengenai peradaban serta kebudayaan
manusia. Di bab pertama pun, masih termasuk lagi enam pengantar tambahan yang
berisikan tentang betapa pentingnya organisasi dalam sosial kemasyarakatan, juga
membahas tentang pengaruh iklim dan letak geografis baik itu terhadap warna kulit
secara fisik ataupun sifat dan sistem kehidupan masyarakat. Dan mengandung
beberapa hal yang dibahas tentang wahyu, mimpi, kesanggupan manusia mengetahui
hal ghaib secara alami atau melalui dulu pelatihan khusus. Masuk pada bab kedua,
Ibnu khaldun membahas mengenai hal yang berbau budaya. Dimana Ibnu Khaldun
mengamati kebudayaan suku Badui, bagaimana peradaban masyarakat pengembara,
lalu bangsa dan kabilah-kabilah liar serta bagaimana kehidupan mereka. Dalam kitab
al-Muqaddimah ini terdapat berbagai pasal disetiap bab mukaddimahnya. Dalam bab
kedua ini terdapat 29 pasal dimana sepuluh pasal pertama berisi tentang bangsa-
bangsa pengembara dan bagaimana pertumbuhan bangsa tersebut, keadaan
masyarakatnya, serta asal-usul kemajuan masyarakatnya. Prinsip-prinsip umum
pengendali masyarakat juga dibahas dipasal ini pada bab kedua ini dalam nuansa
sosiologi filsafat sejarah. Sembilan belas pasal sisanya menjelaskan tentang susunan
pemerintahan, politik, hukum, dan hal lain-lain yang terdapat pada bangsa-bangsa
yang dikaji.
Bab selanjutnya yaitu bab ketiga, membahas mengenai negara, kerajaan,
khilafah, jabatan kekuasaan, dan berbagai hal yang berkaitan dengan kenegaraan
tanpa lupa menekankan nuansa filsafat sejarah yang digunakan untuk mengetahui
bagaimana sebab-sebab munculnya sampai runtuhnya suatu kekuasaan negara.
Kenegaraan yang dibahas disini juga termasuk mengenai kedaulatan, dan sistem
pemerintahan yang digunakannya. Bab keempat Ibnu Khaldun membahas banyak hal
mengenai wilayah-wilayah pedesaan maupun perkotaan, bagaimana kondisi
wilayahnya, dan ada peristiwa apa saja yang terjadi, serta hal-hal utama yang harus
diperhatikan. Bab kelima berisikan berbagai hal bidang perekonomian negara, mata
pencaharian, perdagangan, industri dan ekonomi. Selain membahas tentang dunia
ekonomi, dalam bab kelima ini terdapat juga pasal-pasal yang membicarakan tentang
ilmu pengetahuan layaknya pertanian, pertenunan, pembangunan, kebidanan dan juga
pengobatan. Semenatra bab keenam membahas berbagai jenis ilmu pengetahuan
mulai dari cara pengajaran atau metode-metodenya, hingga berbagai aspek yang
berkaitan dengan masalah dengan pendidikan (ilmu pengetahuan) dalam tradisi Arab.
Dan untuk bab ini diakhiri dengan bahasan mengenai sastra Arab. Dalam menyusun
dan menyelesaikan kitab al-Muqaddimah ini, Ibnu Khaldun berpegang teguh pada
prinsipnya sehingga dalam kajian-kajiannya dalam kitab ini sangat diutamakan sekali
nilai-nilai kespiritualan disamping mengkaji ilmu-ilmu yang lain.
Isi buku ini pun diklaim setelah dibaca dan dianalisis oleh beberapa ahli
modern (1994) sebagai buku yang bisa mencetuskan atau mengilhami kembali empat
abad kemudian seperti Adam Smith atau David Ricardo, lalu setelahnya ada Karl
Marx atau John Maynard Keynes. Teori-teori Ibnu Khaldun dalam kitab al-
Muqaddimah ini yang menurut para ahli modern bisa disebut sebagai kerangka teori
dalam area “modern” untuk segi ukuran zaman saat itu. Seperti yang kita tahu bahwa
hal-hal yang Ibnu Khaldun tuliskan dalam bidang ekonomi saja sudah bisa dibilang
lengkap bagi segala persoalan ekonomi. Seperti ajaran mengenai tata nilai,
pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan
produksi, uang, pembentukan modal, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran
public, daur perdagangan, pertanian, industry dan perdagangan, hak milik dan
kemakmuran, dan lain sebagainya. Tak lupa Ibnu Khaldun pun membicarakan
mengenai bagaimana tahapan yang harus dilewati oleh masyarakat dalam
perkembangan ekonomi (Ulum, 2016).
Selain ekonomi, jelas banyak sekali bidang yang bisa di analisis. Salah
satunya kemudian adalah bidang pendidikan. Seorang pascasarja juga menganalisis
konsep pendidikan dari pemikiran Ibnu Khaldun yang termasuk juga tujuan
pendidikannya, materi pendidikannya, pendidiknya, peserta didiknya, metode
pendidikan serta lingkungan pendidikannya. Dimana dalam pemikirannya, Ibnu
Khaldun membahas bahwa pendidikan itu adalah bekal dasar bagi manusia untuk
membentuk generasi yang pandai dan juga berakhlak. Dan bagi para pendidik, bahwa
pendidik harus mengutamakan ilmu-ilmu pokok dibanding dengan ilmu alat. Juga
yang tak kalah pentingnya adalah hal metode pembelajaran yang Ibnu Khaldun
cetuskan. Konsep yang Ibnu Khaldun cetuskan salah satunya adalah konsep “Rihlah”.
Islam sendiri telah membekali umatnya dengan etika rihlah; dimana yang kesatu
adalah niat baik untuk mempelajari keilmuan hanya untuk mencari keridhaan Allah
SWT; kedua melakukannya ikhlas karena Allah SWT; ketiga berakhlak mulia;
keempat berhati-hati dan bersikap cermat; kelima dalam proses keilmuannya tidak
dicampur dengan kemaksiatan; dan keenam tidak lupa bahwa hanya kepada Allah
SWT lah kita meminta pertolongan termasuk dalam belajar. Etika rihlah yang Ibnu
Khaldun cetuskan dilihat sesuai dengan pedoman para perancang keilmuan atau
pendidik dalam merencanakan dan melakukan proses pembelajarannya. Ibnu Khaldun
juga memandang konsep ini sebagai hal pendukung yang penting untuk membantu
manusia meraih keberhasilan dalam menuntut ilmu pengetahuan. Karena dalam hal
ini seorang guru atau ulama memiliki peran penting dan memegang posisi terhormat,
dimana ia harus membimbing murid-muridnya untuk belajar banyak kepada dirinya.
Dan tak lepas dari cara mengajarnya itu sendiri yang salah satunya dengan terus
menanamkan nilai-nilai keislaman. Di dalam kitab al-Muqaddimah ini lah terlihat
bagaimana corak atau khas atas pemikiran Ibnu Khaldun. Di setiap pemikirannya,
sangat terlihat bahwa analisis dalam maslaahnya selalu tajam dan rasional dalam
menggabungkan fakta empirik dan rasional dengan wahyu (2015, pp. 232–234).
Ibnu Khaldun sangat menunjukkan betapa besarnya perhatian beliau terhdap
ilmu pengetahuan di sela-sela pembahasan beliau mengenai sejarah, dan sosiologinya.
Bagi Ibnu Khaldun, ilmu pengethuan merupakan sesuatu yang harus dimiliki setiap
bangsa. Karena dari keilmuan dan ilmu pengetahuan ini dapat mengatur negaranya
dengan baik pula. Begitu juga dengan konsep kemasyarakatan dalam kehidupan
sosial, bahwa keahlian manusia dalam kemasyarakatan tidak lain dan tidak mungkin
dimiliki tanpa adanya ilmu pengetahuan demi kemajuan dan kebebasan bangsa dan
negara. Dan untuk umat Islam saat itu pula sebagai pembelajaran bahwa kehidupan
umat Islam bisa berdiri sendiri tanpa harus berada dalam bayang-bayang hegemoni
Barat. Karena kemajemukan bidang ilmu pengetahuan, adanya proses
penklasifikasian agar umat Islam dapat menerima filsafat serta ilmu pengetahuannya
dapat dikaji dan berintegrasi dengan agama. Dan pembagian ilmu pengetahuan
menurut Ibnu Khaldun sendiri dibagi kedalam dua rumpun besar, yakni ilmu
naqliyyat dan ilmu ‘aqliyyat. Dimana ilmu naqliyyat merupakan ilmu-ilmu yang
merujuk pada sumber tak lain yakni syari’at agama Islam (Alquran dan sunnahnya).
Sedangkan ilmu ‘aqliyyat, yaitu ilmu-ilmu yang bersumber dari sifat alami manusia
melalui tuntunan akal pikirannya. Pengklafisikasian oleh Ibnu Khaldun ini
menggabungkan antara sumber keilmuannya dengan cakupan ilmunya. Yang
termasuk dalam ilmu naqliyyat sendiri adalah keilmuan yang berdasar pada Alquran
dan Sunnah sehingga peran akal dalam ilmu ini terbatas seperi ilmu Alquran, ilmu
hadits, ilmu kalam, ilmu fikih, ilmu faraidh, ilmu tasawuf, serta ilmu ta’bir mimpi.
Dan ilmu ‘aqliyyat yang dimana akal memiliki peran yang sangat besar dan penting
dibandingkan dengan ilmu naqliyyat diklasifikasikan menjadi ilmu logika, ilmu fisika
dan kimia, ilmu kedokteran, ilmu metafisika, dan ilmu matematika (R., 2019, pp.
180–197).
Dari bekal ilmu pengetahuan itu sendiri, manusia akhirnya dapat melakukan
proses interaksi dalam kemasyarakatan di kehidupan sosial. Pada masa ketika Ibnu
Khaldun hiudp, tentu saja diketahui bahwa kemasyarakatan zaman itu berdasar dari
jenis pemerintahan yang bersifat kerajaan atau kesultanan. Pemikiran Ibnu Khaldun
pun lahir di bidang kepemerintahan yang berangkat secara langsung dari berbagai
kondisi dan perkembangan politik yang ia temui dan ia lalui dengan metode
pendekatan sosiologis. Khilafah disebut sebagai model pemerintahan yang terbaik
menurut Ibnu Khaldun karena berlandaskan pada agama dalam memerintahkan
rakyatnya sesuai dengan petunjuk agama (hal duniawi dan akhirat). Teori Ibnu
Khaldun dalam bahasan pemerintahan ini tidak dapat dilepaskan dari teorinya
‘ashabiyyah. Kata ‘ashabiyyah sendiri secara bahasa memiliki arti semangat
golongan. Dan Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ‘ashabiyyah hanya bisa didapati
pada golongan yang dihubungkan dengan pertalian darah atau semacamnya.
‘Ashabiyyah dipisahkan menjadi dua pengertian menurut Ibnu Khaldun, yakni
pertama memiliki makna positif yang menunjuk pada konsep persaudaraan. Dimana
dalam sejarah peradaban Islam, konsep ini sudah terpercaya membentuk solidaritas
sosial kemasyarakatan Islam. Semantara itu pada konsep pengertian yang kedua
inilah yang tidak disarankan berada dalam sistem pemerintahan dan tata nilai dalam
masyarakat muslim. Karena jika ada dan diterapkan akan mengaburkan nilai-nilai
kebenaran agama Islam. Ibnu Khaldun menjelaskan mengenai perpektif dirinya akan
sistem dan struktur yang baik menurut syari’at Islam dalam bermasyarakat yang
diantaranya: 1) bahwa agama sebagai pemersatu, 2) agama sebagai pendorong
keberhasilan, 3) agama sebagai legitimasi sistem politik, dan 4) ‘Ashabiyyah dalam
pemerintahan Islam. Begitu kuat sekali kontribusi konsep ‘ashabiyyah ini terhadap
eksistensi suatu negara (Widayani, 2018). Dari semua bidang yang ia kaji dan tulis
dalam kitab al-Muqaddimahnya, Ibnu Khaldun selalu mengaitkannya dengan filsafat
sejarah. Dan ini masih berkaitan dengan konsep ‘ashabiyyah yang dianalisis beliau
dengan filsafat sejarah melalui awal pemikirannya bahwa zaman nomaden berakhir
setelah manusia menciptakan permukiman dan berubah menjadi sebuah negara atau
tempat bermukim. Nah dalam perubahan sosial tersebut terbangun karena adanya
persatuan antar-suku yang dilatar belakangi oleh konsep ‘ashabiyyah ini (Ihsan, 2020,
p. 17). Filsafat sejarah ini memang Ibnu Khaldun gunakan dalam setiap analisis
bidang dalam kitab pengantarnya agar secara menyeluruh diketahui bagaimana awal
mulanya atau sebab-akibat dari suatu gejala kehidupan.
Bahasan mengenai bahasa dan kebahasaan pun dibahas oleh Ibnu Khaldun.
Dalam sudut pandang Ibnu Khaldun (Gazali, 2019), konsep bahasa serta istilah
kebahasaan ada Lughah. Dimana definisi bahasanya sendiri terdapat didalam pasal 36
bab ilmu nahwi didalam kitab ini. dimana menurut pemahamannya ini merupakan
sebuah ungkapan orang yang berbicara atau sebuah aktivitas lisan (Khaldun, 1994).
Sebenarnya banyak sekali hal yang belum dibahas dalam analisis ini terhdap kitab al-
Muqaddimah Ibnu Khaldun ini, pada dasarnya kitab pengantar ini berisikan bahasan
yang saling berkaitan dari setiap bidangnya.
SIMPULAN
Dari sedikit banyaknya paparan yang telah dipaparkan diatas, Ibnu Khaldun
memang seorang yang cerdas atau seorang ilmuwan Muslim yang sangat berharga
yang menaruh perhatian besarnya dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan yang
dapat menjadikan kelompok kemasyarakatan yang rukun hingga tercipta sebuah
tempat atau negara yang diatur dengan sistem pemerintahan yang baik hingga
berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi umat. Ibnu Khaldun juga merupakan
salah satu ilmuwan muslim yang disebut sebagai seorang berintelektual tinggi yang
terkenal di dunia selain sebutannya sebagai Bapak Sosiologi Islam dan Bapak Ilmu
Ekonomi Islam. Sebuah proses pembelajaran yang menjadi cikal bakal kehidupan
sosial skala besar dengan dibimbing oleh konsep yang utuh yang dikenal dengan
sitilah rihlah. Yang kemudian menghasilkan kelompok masyarakat yang rukun atas
dasar pegangannya dari ilmu pengetahuan tersebut dan juga oleh konsep ‘ashabiyyah
atau semangat kelompok yang merupakan teori penting Ibnu Khaldun dalam
bahasannya di bidang sosial. Konsep itu pula yang menjadikan setiap individu terikat
melalui pertalian darah dan mengikat kuat sehingga setiap individu dalam eklompok
masyarakat tersebut bisa berbagi dan merasakan setiap kebaikan maupun kesakitan
yang menimpa kaumnya. Dimana konsep ‘ashabiyyah ini diharap bisa menjadi
sebuah tolak ukur dalam membangun masyarakat baik di dunia Timur ataupun Barat.
Dan juga ide-ide briliannya menegnai bahasa dan kebahasaan yang mampu melewati
dinamika konsep pengetahuan bahasa dimasanya yang bisa menembus masa modern
saat ini. Dari pengetahuan sosial-bahasa ini akan terjadi sebuah interaksi anatar
individu atau kelompok di bidang ekonomi juga yang dimana hal perekonomian
Islam telah dibahas lengkpa oleh Ibnu Khaldun ini tentang nilai uang dan harga, teori
distribusi dari gaji, laba dan pajak, hingga teori siklus populasi dan keuangan publik.
Secara garis besar, teori-teori Ibnu Khaldun yang ia bahasan dalam kitab
pengantarnya, Muqaddimah, ini memiliki bentuk pengulangan dari sejarah
bergantinya satu daulah ke daulah lain hingga menciptakan kemajuan peradaban yang
memberikan hasil konstan.

REFERENSI
Al-Ma’ruf, A. I. (2003). Metode Pengkajian Sastra: Teori dan Aplikasi. Makalah
Pada Diklat Pengkajian Sastra Dan Pengajaran: Perspektif KBK, 1980, 356.
Damono, S. D. (2011). PENGARANG, KARYA SASTRA DAN PEMBACA.
LiNGUA: Jurnal Ilmu Bahasa Dan Sastra, 1(1).
https://doi.org/10.18860/ling.v1i1.540
ES Marta, B., Khaldun, K. I., Khaldun, A. B. I., & Nasab, K. (2015). Biografi Dan
Karya-Karya Ibnu Khaldun. 2, 14–31.
Gazali, E. (2019). BAHASA DAN KONSEP KEBAHASAAN DALAM
MUQODIMAH KARYA IBNU KHALDUN (1332 M - 1406 M). Journal,
Indonesian Studies, Arabic Language, Arabic Iain, Adab Nurjati, Syekh, 1(2).
Has, Q., Arab, M. S.-: J. B. dan S., & 2021, U. (2020). Integrasi Sastra Arab dan
Islam serta Pengaruhnya Terhadap Sastrawan Muslim Modern. E-
Journal.Metrouniv.Ac.Id, 3(2), 140–156.
https://e-journal.metrouniv.ac.id/index.php/al-fathin/article/view/3099
Hidup, A. R., & Khaldun, I. (n.d.). Bab Ii Biografi Ibn Khaldun. 19–45.
Ihsan, K. (2020). Filsafat Sejarah Menurut Ibn Khaldun Dan Karl Marx. In
Repository.Uinjkt.Ac.Id.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/56989
Ii, B. A. B. (1979). KEHIDUPAN IBNU KHALDUN. 37–69.
Khaldun, I. (1994). Mukaddimah. In Khazanah Intelektual Islam.
Nama, T. (2003). Ibn Khaldun. 107–121.
R., E. (2019). Effendi - 2019 - ILMU PENGETAHUAN DAN PEMBAGIANNYA
MENURUT IBN KHAL. 18(2), 177–208.
Saepudin, J. (2015). Model Pembelajaran dalam Perspektif Ibnu Khaldun: Resepsi
Terhadap Kitab Muqaddimah. EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama
Dan Keagamaan, 13(2), 222–238. https://doi.org/10.32729/edukasi.v13i2.240
Sciences, H. (2016). BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4(1), 1–23.
Ulum, B. dan M. (2016). Kontribusi Ibnu Khaldun Terhadap Perkembangan Ekonomi
Islam Pendahuluan. Jurnal Ekonomi Syariah (IQTISHADIA), 1(September), 17–
32.
Widayani, H. (2018). Konsep Pemerintahan Islam dalam Pandangan Ibnu Khaldun
( Analisis terhadap Teori ’Ashabiyyah ). Jurnal Manthiq, 3(2), 8–20.

Anda mungkin juga menyukai