Anda di halaman 1dari 19

Mengenal Tokoh Filsafat Pendidikan Islam Dan Pemikirannya

(Ibnu Khaldun)

DISUSUN OLEH:
MEISY PERMATA SARI
2230211007

MATA KULIAH: Filsafat Pendidikan Islam

DOSEN PENGAMPU:

Dr. Ismail Sukardi. M. Ag

Dr. Abu Mansur M. Pd.I

PROGRAM MAGISTER (S2)

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH

PALEMBANG

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan proses membimbing, membina, mengajarkan manusia agar
manusia dapat mengetahui berbagai hal, dan dapat mengetahui apa yang seharusnya
dilakukan olehnya sebagai mahluk yang disebut manusia, oleh karena itu pendidikan
merupakan kebutuhan setiap manusia, dengan adanya pendidikan manusia akan mampu
melakukan apapun yang dia inginkan, dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan
potensi dalam dirinya serta mengembangkan akal pikirannya sehingga dalam melakukan
segala sesuatu manusia tidak mengalami kesalahan yang fatal. Pendidikan terhadap
manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang diantaranya faktor keluarga, dan
lingkungan tempat manusia hidup dan bergaul.
Pendidikan yang baik akan menjadikan manusia tersebut baik pula dan sebaliknya
pendidikan yang buruk akan mengakibatkan buruk pula bagi manusia yang mengalaminya.
Pendidikan dapat terlaksana dengan baik manakala didalamnya terdapat faktor-faktor
pendidikan yang baik pula. Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya telah merumuskan
konsep-konsep tentang pendidikan.
Mengenai pendidikan banyak sekali pemikiran-pemikiran para cendikiawan
mengenai pendidikan terhadap manusia baik cendikiawan Islam ataupun cendikiawan non-
Islam. Pemikiran para ahli mengenai pendidikan sangat beragam, namun banyak pula
kesamaan pemikiran. Namun dalam tulisan ini penulis akan menganalisa satu pemikiran
pendidikan yaitu pemikiran seorang cendikiawan Islam yang karyanya sangat terkenal
yaitu Ibnu Khaldun. Dalam tulisan ini akan dijelaskan mengenai pemikiran Ibnu Khaldun
tentang pendidikan.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini yaitu:
1. Bagaimana riwayat hidup Ibnu Khaldun?
2. Bagaimana pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan?
3. Apa konsep dan tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun?
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari makalah ini sebagai berikut:
1. Mengetahui riwayat hidup Ibnu Khaldun.
2. Mengetahui pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan.
3. Mengetahui apa konsep dan tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Hidup Ibnu Khaldun


1. Riwayat hidup Ibnu Khaldun
Nama lengkap Ibnu Khaldun adalah Abd al-Rahman bin Muhammad bin
Muhammad bin Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibrahim bin Abd al-Rahman bin
Khaldun. Beliau lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 732 H (1332 M), dan meninggal di
Kairo Mesir pada tanggal 25 Ramadhan 808 H (1406 M).1
Nama Ibnu Khaldun diambil dari nama kakeknya yang kesembilan, Khalid bin
Usman. Anak cucu Khalid bin Usman membentuk satu keluarga besar dengan nama Bani
Khaldun. Dari bani inilah asal nama Ibnu Khaldun. Bani itu lahir dan berkembang di kota
Oarmunah (kini Carmona) di Andalusia (Spanyol) sebelum hijrah ke kota Isybillia
(Sevilla). Di kota yang terakhir ini Bani Khaldun berhasil menduduki beberapa jabatan
penting. Sewaktu kecil Ibnu Khaldun sudah menghapal Al-Qur'an dan mempelajari
tajwid.2
Guru pertama Ibnu Khaldun adalah ayahnya. Dia belajar membaca dan menghafal
Al-Quran. Dia fasih dalam qiraah sab’ah (tujuh cara membaca Al-Qur’an). Dia
memperlihatkan perhatian yang seimbang dan merata antara mata pelajaran Tafsir, Hadis,
Fiqh, dan Gramatika bahasa Arab yang diperoleh dari beberapa guru di Tunisia. Waktu
itu, Tunisia merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan dan sastra Arab. Kemudian
secara khusus mendalami Ilmu Hadis dan Fiqh Mazhab Maliki, di samping ilmu bahasa,
sastra, mantik, dan filsafat.3
Pada usia delapan belas tahun, terjadilah dua peristiwa penting yang kemudian
memaksa Ibnu Khaldun berhenti menuntut ilmu. Pertama, berkecamuknya wabah kolera
dengan sebutan the Black Death di banyak bagian dunia pada tahun 749 H (1348 M), telah
banyak menelan korban jiwa, di antaranya ayah dan ibu Ibnu Khaldun dan sebagian besar
guru-guru yang pernah dan sedang mengajarnya. Kedua, setelah terjadinya malapetaka
tersebut, banyak ilmuwan dan budayawan yang selamat dari wabah itu pada tahun 1350
M, berbondong-bondong meninggalkan Tunisia pindah ke Afrika Barat Laut. Dengan
terjadinya dua peristiwa itu, berubahlah jalan hidup Ibnu Khaldun. Dia terpaksa behenti
1
Syamsuri Akil, “PERADABAN INFRASTRUKTUR IBNU KHALDUN (Perspektif Perpindahan Ibu
Kota Negara Republik Indonesia),” Rausyan Fikr 16, no. 2 (2020): hlm. 219.
2
A Imam Malik, “Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam , Ensiklopedi Hukum Islam 3 (Jakarta: PT Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1994), 139. 41” 3 (n.d.): 41–66.
3
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara (Jakarta: UI Press, 1993), hlm. 90.
belajar dan mengalihkan perhatiannya pada upaya mendapatkan tempat dalam
pemerintahan.4
Waktu itu Afrika Utara dan Andalusia sedang diguncang oleh banyak peperangan.
Dinasti al-Muwahhidun sejak permulaan abad ke-5 H telah mendekati masa
kehancurannya. Dari dinasti besar ini muncul banyak dinasti dengan negara dan wilayah
kekuasaan kecil. Dinasti yang terkenal di antaranya adalah Dinasti Hafs di Maghrib Dekat
(Tunisia). Pada tahun 751 H (1350 M), dalam usia 21 tahun, Ibnu Khaldun diangkat
sebagai sekretaris sultan Dinasti Hafs, al-Fadl, yang berkedudukan di Tunisia.
Tetapi kemudian ia berhenti dari jabatan pertama itu karena penguasa yang
didukungnya kalah dalam suatu pertempuran pada 753 H, dan dia pun terdampar di
Baskarah, sebuah kota di Maghrib Tengah (Aljazair). Dari sana ia berusaha bertemu
dengan sultan Abu Anan, penguasa Bani Marin yang sedang berada di Tilmisan (ibu kota
Maghrib Tengah), dan berusaha untuk menarik kepercayaan sultan. Pada 755 H, ia
diangkat menjadi anggota Majelis Ilmu Pengetahuan dan setahun kemudian menjadi
sekretaris sultan. Dengan dua kali diselingi pemenjaraannya, jabatan itu didudukinya
sampai tahun 763 H (1361-1362 M), ketika Wazir Umar bin Abdillah murka kepadanya
dan memerintahkannya untuk meninggalkan negeri itu.5
Pada tahun 764 H, ia berangkat ke Granada. Oleh sultan Bani Ahmar, ia diberi tugas
menjadi duta negara di Castilla (kerajaan Kristen yang berpusat di Sevilla) dan berhasil
dengan gemilang. Akan tetapi, tidak lama setelah itu, hubungannya dengan sultan menjadi
retak. Pada tahun 766 H (1364 M), ia pergi ke Bijayah (daerah pesisir Laut Tengah di
Aljazair) atas undangan penguasa Bani Hafs, Abu Abdillah Muhammad, yang kemudian
mengangkatnya menjadi perdana menteri dan pada waktu yang sama juga berperan
sebagai khatib dan guru.
Namun, setahun kemudian Bijayah jatuh ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad,
gubernur Qasanthinah (sebuah kota di Aljazair). Untuk beberapa lama, Ibnu Khaldun
menduduki jabatan yang sama di bawah penguasa ini, tetapi kemudian ia berangkat ke
Baskarah. Dari Baskarah ia berkirim surat kepada Abu Hammu, sultan Tilmisan dari Bani
Abdil Wad. Kepada sultan ia menjanjikan dukungan. Sultan menyambutnya dengan baik
dan memberinya jabatan penting. Ibnu Khaldun menolak jabatan itu karena ia akan
melanjutkan studinya secara otodidak, tetapi bersedia berkampanye untuk mendukung
Abu Hammu.

4
Ibid., hlm. 91.
5
Malik, op. cit.
Setelah berhasil, ia pergi ke Tilmisan. Tatkala Abu Hammu diusir oleh Sultan Abdul
Aziz (bani Marin), Ibnu Khaldun beralih berpihak kepada Abdul Aziz dan tinggal di
Baskarah. Namun dalam waktu singkat, Tilmisan kembali direbut oleh Abu Hammu.
Maka Ibnu Khaldun menyelalamatkan diri ke Fez pada 774 H (1372 M). Ketika Fez jatuh
ke tangan Sultan Abul Abbas Ahmad (776 H/1374 M). Ibnu Khaldun pergi ke Granada
untuk kedua kalinya. Tetapi sultan Bani Ahmar di Granada meminta Ibnu Khaldun untuk
meninggalkan wilayah kekuasaannya dan kembali ke Afrika Utara.
Sesampainya di Tilmisan, Ibnu Khaldun tetap diterima Abu Hammu, meskipun ia
sudah pernah bersalah kepada penguasa Tilmisan itu. la berjanji pada diri sendiri untuk
tidak terjun lagi dalam dunia politik. la akhirnya menyepi di Qalat Ibnu Salamah dan
menetap di sana sampai 780 H (1378 M). Disinilah ia mengarang kitab monumentalnya
Kitab al-'Ibar wa Diwan al-Mubtada' wa al-Khabar fi Ayyam al-'Arab wa al-'Ajam wa al-
Barbar, atau al-'lbar (Sejarah Umum), terbitan Cairo tahun 1284. Kitab ini (7 jilid) berisi
kajian sejarah, didahului oleh Muqaddimah (jilid I), yang berisi pembahasan tentang
masalah-masalah sosial manusia.6
Pada tahun 780 H (1378 M), Ibnu Khaldun kembali ke tanah airnya, Tunisia, untuk
menelaah beberapa kitab yang dibutuhkan sebagai bahan revisi atas kitab al-'Ibar. Pada
tahun 784 H (1382 M), ia berangkat ke Iskandaria (Mesir) dengan maksud menghindari
kekacauan dunia politik di Maghrib. Setelah sebulan di Iskandaria, ia pergi ke Cairo. Di
Cairo, para ulama dan penduduk menyambutnya dengan gembira. Di alAzhar ia
membentuk halaqah, memberi kuliah. Pada tahun 786 H, raja menunjuknya menjadi dosen
dalam ilmu fikih Mazhab Maliki di Madrasah al-Qamhiyah.
Beberapa waktu kemudian ia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan. Tetapi
setahun kemudian, keluarganya mendapat musibah. Kapal yang membawa istri, anak-
anak, dan harta bendanya tenggelam tatkala merapat di Iskandaria. Maka ia mengundurkan
diri dari jabatannya, tetapi raja segera mengangkatnya kembali menjadi dosen di beberapa
madrasah, termasuk di Khanqah Beibers, semacam tarekat. Pada 789 H (1387 M), ia pergi
menunaikan ibadah haji dan kembali ke Cairo tahun berikutnya. Pada tahun 801 H 1399
(1399 M), Ibnu Khaldun memusatkan perhatiannya pada bidang hukum dengan
menduduki jabatan penting sebagai ketua pengadilan Mesir hingga akhir hayatnya pada
tahun 1406 di Cairo.7

6
Ibid.
7
Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam (surabaya: Jawara, 2007), hlm. 326.
Sebelumnya pada tahun 803 H (1401 M), ia ikut menemani sultan ke Damascus
dalam satu pasukan untuk menahan serangan Timur Lenk, penguasa Mogul. Setelah
kembali ke Kairo, ia kembali ditunjuk untuk menduduki jabatan ketua pengadilan
kerajaan, dan tetap dalam jabatan itu hingga akhir hayatnya. Selama di Mesir, Ibnu
Khaldun kembali merevisi dan menambah pasal kitab Muqaddimah (al-'Ibar). Peristiwa-
peristiwa terbaru dimasukkannya, demikian juga temuan-temuan ilmiahnya, seperti
konsep-konsep sosiologis.
Selain kitab al-'Ibar, Ibnu Khaldun juga menulis sejumlah kitab yang juga bernilai
sangat tinggi, di antaranya at-Ta'rif bi Ibn Khaldun, sebuah autobiografi, catatan dari kitab
sejarahnya. Ia juga-menulis sebuah kitab teologi, yaitu Lubab al-Muhassal fi Usul ud-Din,
yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkar al-Mutaqaddimin wa al-
Muta'akhkhirin (karya Imam Fakhruddin ar-Razi) dan memuat pendapat-pendapatnya
tentang masalah teologi.8

2. Karir Pendidikan Ibnu Khaldun


Karir Ibnu Khaldun dimulai dengan mengabdi di pemerintahan Abu Muhammad bin
Tafrakin pada tahun 751 H/1349 M. Ibnu Khaldun bekerja sebagai penulis kata
alhamdulillah dan al-syukrulillah dengan pena, serta tulisan basmalah yang mengawali
surat atau instruksi. Pekerjaan ini membutuhkan suatu keahlian merumuskan konsep,
sehingga rangkaian kata-kata syukur dan isi surat dapat berpadu menjadi satu kesatuan
tulisan yang serasi.9
Ibnu Khaldun meniti karir dalam bidang pemerintahan dan politik, di kawasan
Afrika Barat Laut dan Andalusia selama hampir seperempat abad. Dalam kurun waktu itu
lebih sepuluh kali berpindah jabatan. Jabatan pertama yang diemban adalah masuk
menjadi keanggotaan majelis ilmuwan Sultan Abu Inan pada Dinasti Bani Marin yang
berkedudukan di Fez. Kemudian diangkat menjadi sekretaris Sultan dengan tugas
mencatat semua keputusan Sultan terhadap permohonan-permohonan dari rakyat, dan
dokumen-dokumen lain yang diajukan ke Sultan.10
Pada zaman Sultan Abu Salim, Ibnu Khaldun diangkat menjadi sekretaris negara,
kemudian mutasi sebagai pejabat tinggi kepercayaan sultan untuk mengelola peradilan
Mazhalim, yang khusus menangani pengaduan terhadap negara atau pejabat negara dan

8
Malik, op. cit.
9
Ali Abdul Wahid Wafi, Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hlm. 4.
10
Malik, op. cit.
tindak pidana yang tidak tercakup oleh hukum Islam. Ketika Sultan Abu Salim berhenti
jadi raja, berakhir pula karir Ibnu Khaldun di pemerintahan Bani Marin. Setelah itu,
berangkatlah ke Andalusia. Selama di Andalusia, Ibnu Khaldun pernah mendapat
kepercayaan sebagai utusan khusus atau duta besar untuk menyelesaikan masalah dengan
negara tetangga. Lebih satu tahun diemban jabatan ini, tiba-tiba mendapatkan jabatan
perdana menteri di Tunisia, dibawah pemerintahan Abu Abdullah.11
Di Tunisia, terjadi suksesi kepemimpinan dari Abu Abdullah ke Sultan Abu Abbas.
Sultan ini meminta Ibnu Khaldun untuk menyertainya dalam suatu ekspedisi militer.
Setelah selesai ekspedisi, Ibnu Khaldun berangkat ke tanah suci Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Dia meninggalkan Tunisia, berlayar menuju Aleksandria Mesir,
pada tahun 1382 M. Dengan keberangkatannya dari Tunisia, berakhirlah karir politik dan
birokrasi Ibnu Khaldun di Afrika Barat Laut.
Berselang berapa hari sebelum kedatangan Ibnu Khaldun, di Mesir berlangsung
pengangkatan sultan yaitu Malik al-Zahir Burquq. Ibnu Khaldun segera dekat dengan
penguasa yang baru. Mula-mula ia diberi kesempatan untuk memberi kuliah di Universitas
al-Azhar. Ketika ada lowongan, ia diangkat oleh Sultan Burquq menjadi guru besar luar
biasa pada tanggal 19 Maret 1834.12 Di universitas tersebut, Ibnu Khaldun mengajar hadis
dan hukum Islam menurut Mazhab Maliki. Ia menguraikan teorinya tentang masyarakat,
‘ashabiyah, dasar-dasar kekuasaan negara, bangkit dan runtuhnya suatu negara, dan
masalah-masalah lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pelajaran-pelajaran itu membuktikan luasnya pendidikan dan kemahirannya dalam
mengajar.13
Di Kairo, Ibnu Khaldun diangkat sebagai dosen fiqh mazhab Maliki pada Lembaga
Pendidikan Qamhiyah. Para pejabat tinggi dan ulama diutus oleh Sultan Malik al-Zahir
Burquq untuk menghadiri kuliah perdana Ibnu Khaldun di lembaga itu. Para peserta sangat
kagum dengan penguasaan pada bidang keilmuan yang dipercayakan kepadanya.
Beberapa bulan kemudian, Ketika hakim agung Mazhab Maliki, Syekh Jamaluddin Abd
al-Rahman bin Sulaiman bin Khair Maliki, diberhentikan oleh Sultan, Ibnu Khaldun
diangkat menggantikannya.14
Ibnu Khaldun menerima kepercayaan sebagai hakim agung untuk Mazhab Maliki,
dengan penuh semangat, namun tanpa mengingat bahwa dia belum lama tinggal di Mesir.
11
Sjadzali, op. cit., hlm. 92.
12
Biyanto, Teori Siklus Peradaban : Perspektif Ibnu Khladun (Surabaya: Lpam, 2004), hln. 38.
13
A. Mukti Ali, Ibnu Chaldun Asal Usul Sosiologi (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1997), hlm. 13.
14
Ali, op. cit.
Dia langsung melaksanakan reformasi dalam aparat dan pelaksanaan peradilan Mazhab
Maliki. Ini kemudian menimbulkan kemarahan orang-orang yang dirugikan, dan mereka
berhasil memfitnah Ibnu Khaldun sampai dipecat dari jabatan hakim agung, yang hanya
satu tahun diembannya. Setelah dipecat diangkat lagi untuk menduduki jabatan hakim
agung, sehingga terdapat akumulasi sebanyak lima kali memangku jabatan hakim agung.

3. Karya-Karya Dari Ibnu Khaldun


Sebenarnya Ibn Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis menulis
semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan kemudian
dilanjutkan Ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintah. Diantara karangannya
diwaktu muda adalah Lubab Al-Muhadal Fi Usul al-Din (sebuah kitab tentang
permasalahan filsafat dan pendapat-pendapat teologi), yang merupakan ringkasan dari
kitab Muhassal Afkar Al-Mutaqaddimin wa al-Muta al-Akhirin karya imam Fakruddin al-
Razi. Selain itu Ibn Khaldun juga mengarang risalah Tasawwuf, sehingga terdapat
kesimpulan pemikiran Ibn Khaldun khususnya dalam sikap keagamaan sangat dipengaruhi
al-Gazali dan Teologi Asy’ariyah. Buku Tasawwuf tersebut berjudul Syifa As-Sail li
Tahzib al-Masail.15
Meskipun Ibnu Khaldun hidup pada masa di mana peradaban Islam
mulai mengalami kehancuran atau menurut Nurkholis Madjid, pada saat umat Islam telah
mengalami anti klimaks perkembangan peradabannya, namun ia mampu tampil sebagai
pemikir muslim yang kreatif, yang melahirkan pemikiran-pemikiran besar yang
dituangkan dalam beberapa karyanya, hampir seluruhnya bersifat orisinil dan kepeloporan.
Berikut ini beberapa karya Ibnu Khaldun yang cukup terkenal, antara lain:16
1. Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun
Kitab Muqaddimah yang merupakan buku pertama dari kitab al-I’bar yang terdiri
dari bagian muqaddimah. Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti dari
seluruh persoalan dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu Khaldun
menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala sosial dan
sejarahnya.
2. Kitab al-I’bar wa Dhuan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam alA’rab wa al-‘Ajam wa
al-Barbar wa man ‘Asharahiim min Dzawi alSuthan al-Akbar.
15
MUHAMMAD ZA’IM, “Perspektif Sosio-Progresif Studi Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun
Perspektif Sosio-Progresif,” 2013, hlm. 98.
16
https://www.academia.edu/35217608/TUGAS_MAKALAH_IBNU_KHALDUN. DI Akses pada hari
selasa tanggal 01 november 2022, pukul 11:39.
Karya yang dilihat dari judulnya mempunyai gaya sajak yang tinggi ini dapat
diterjemahkan menjadi; Kitab kitab pelajaran dan arsip sejarah zaman permulaan dan
zaman akhir yang mencakup peristiwa politik mengenai orang-orang arab, non arab dan
Barbar, serta raja-raja besar yang semasa dengan mereka. Oleh karena judulnya terlalu
panjang, orang sering menyebutnya dengan kitab al-‘Ibar saja, atau kadang cukup
dengan sebutan Tarikh Ibnu Khaldun.
Kitab I’bar yang terdiri dari tiga buku. Buku pertama adalah sebagai kitab
Muqaddimah atau jilid pertama yang berisi tentang masyarakat dan ciri-cirinya yang
hakiki, yaitu pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian
dan ilmu pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri
dari empat jilid yaitu jilid kedua, ketiga, keempat dan kelima yang menguraikan tentang
sejarah bangsa arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti mereka. Disamping
itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal dan negara yang sezaman
dengan mereka, seperti bangsa Persia, Syiria, Yahudi, Yunani, Romawi, Turki dan
Eropa. Kemudian buku ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid ke enam dan ketujuh yang
berisi tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka
khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika-Utara).
3. Kitab al-Ta’rif Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu Garban wa Syarqan
 Atau disebut al-Ta’rif, dan oleh orang-orang barat disebut dengan Autobiografi.
Merupakan bagian terakhir dari kitab al-I’bar yang berisi tentang beberapa bab
mengenai kehidupan Ibnu Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis
dengan menggunakan metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling
berhubungan antara satu dengan yang lain.
4. Karya-karya lain
Selain karya yang telah disebutkan di atas, Ibnu Khaldun sebenarnya memiliki
karya-karya lainnya seperti: Burdah al-Bushairi, tentang logika dan aritmatika dan
beberapa resume ilmu fiqih. Sementara itu masih ada dua karya Ibnu Khaldun yang
yang masih sempat dilestarikan yaitu sebuah ikhtisar yang ditulis Ibnu Khaldun dengan
tangannya sendiri ini berjudul Lubab al-Muhashal fi Ushul ad-Din. Dan kitab Syifa al-
Sailfi Tahdzib al-Massat yang ditulis Ibnu Khaldun ketika berada di fez (bagian utara
pedalaman Maroko), adalah karya pertama yang berbicara tentang teologi skolastik dan
karya kedua membahas tentang mistisisme konvensional.

B. Konsep dan Pemikiran Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan


Pemikiran Ibnu Khaldun merupakan ide-ide pemikiran pendidikan yang masih
aktual sampai hari ini. Pemikiran pendidikannya bukan sebagai suatu aktifitas yang
semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari aspek-aspek pragmatis di
dalam kehidupan. Melainkan pemikirannya tentang pendidikan merupakan fenomena
nyata yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya dalam tahapan
kebudayaan.
Ibnu Khaldun mengatakan pendidikan tidak pernah mengenal batas usia, tempat dan
waktu. Hal ini karena pada hakekatnya manusia akan selalu berpikir, berkreasi dan
beraktifitas untuk dapat mencapai tujuan-tujuan kehidupan yang ingin diraih dengan cara-
cara dan metode tertentu. Maka selama tujuan-tujuan hidup (kebahagiaan dunia dan
akhirat) tersebut belum tercapai, makhluk manusia akan terus melakukan proses
pendidikan dan pembelajaran (Long life education).
Ibnu Khaldun juga mengatakan, ilmu pengetahuan dan pendidikan merupakan hal
yang sudah alami di tengah masyarakat dan sudah menjadi suatu tabiat/ciri khas manusia.
Pemikiran Ibnu Khaldun ini, sesuai dengan pemikiran para ahli pendidikan. Seperti yang
telah dijelaskan Hery Jauhari Muchtar17, pendidikan adalah segala usaha yang dilakukan
untuk mendidik manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang serta memiliki potensi
atau kemampuan sebagaimana mestinya.
Dalam konsep pendidikan Ibnu Khaldun membagi menjadi 3 bagian, yaitu:18
pandangan tentang manusia didik, pandangan tentang ilmu, metode pengajaran.
1. Perspektif Manusia Didik
Jika membicarakan tentang manusia, Ibnu Khaldun tidak terlalu menekankan
pada segi kepribadiannya, sebagaimana yang telah dibicarakan dari para filosof, baik
itu Islam ataupun di luar Islam. Ia lebih melihat manusia dalam hubungannya dengan
kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Ia mempunyai asumsi-asumsi
kemanusiaan sebelumnya lewat pengetahuan yang ia peroleh dalam ajaran Islam.
Banyak konsepsi kemanusian dari Ibnu Khaldun yang berasal dari hasil penelitian dan
pemikiran Ibnu Khaldun untuk membuktikan dan memahami asumsi dari AlQur’an
melalui gejala dan aktivitas kema nusiaan.
Ibnu Khaldun memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dengan
berbagai mahluk lainnya. Menurut Ibnu Khaldun manusia adalah makhluk berpikir.
Oleh karena itu, manusia mampu mengembangkan berbagai pengetahuan dan
17
Heri Jauhari Mukhtar, Fikih Pendidikan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 67.
18
YAYAT HIDAYAT, “Pendidikan Dalam Perspektif Ibnu Khaldun,” Jurnal Pendidikan Islam Al-Ilmi
2, no. 1 (2019): hlm. 14., doi:10.32529/al-ilmi.v2i1.261.
teknologi. Sifat seperti ini tidak bisa dimiliki oleh makhluk lain kecuali hanya manusia
semata. Lewat kemampuan berpikirnya manusia mampu membuat suatu kehidupan
dengan pola kehidupan masing-masing dan juga mampu menaruh perhatian terhadap
berbagai cara guna memperoleh makna hidup. Proses seperti ini yang akan mampu
melahirkan suatu peradaban.
Menurut Ibnu Khaldun, untuk mencapai pengetahuan yang bermacam-macam
tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya suatu keahlian
dalam satu bidang ilmu atau disiplin ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.
2. Perspektif Ilmu
Ibnu Khaldun membagi ilmu pengetahuan menjadi tiga macam, yaitu:19
a. Ilmu Lisan (bahasa) yaitu ilmu tentang tata bahasa (gramatika) sastra atau bahasa
yang tersusun secara puitis (sya’ir).
b. Ilmu Naqli, yaitu ilmu yang diambil dari kitab suci dan sunah Nabi, sanad dan hadits
yang pentashihannya (pembenarannya) serta pengambilan keputusan tentang kaidah-
kaidah fiqih. Dengan ilmu, manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah
yang diwajibkan kepada manusia. Dari Al-Qur’an itulah akan didapati ilmu-ilmu
tafsir, ilmu hadits, ilmu ushul fiqih yang dapat dipakai untuk menganalisa hukum-
hukum Allah itu melalui cara pengambilan keputusan.
c. Ilmu Aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya pikir atau
kecerdasannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk dalam
kategori ilmu ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmuilmu
teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku (behavior) manusia, termasuk juga ilmu sihir
dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggap
sebagai ilmu fasid, karena ilmu ini dapat dipergunakan untuk meramalkan segala
kejadian sebelum terjadi atas dasar perbintangan. Hal itu merupakan sesuatu yang
batil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tak ada yang
menciptakan kecuali Allah sendiri.
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa setiap ilmu naqli dari agama-agama sebelum
Islam telah terhapuskan dan usaha untuk mengkajinya dilarang. Dasar yang
digunakan oleh Ibnu Khaldun untuk melarang tersebut adalah hadist Nabi yang
artinya : “Janganlah kalian benarkan ahli kitab dan jangan kalian bohongi mereka
dan katakan, sesungguhnya kami beriman kepada (Kitab) yang diturunkan kepada
kami dan Tuhan kalian adalah satu. Pernah Nabi melihat sehelai lembaran kitab
19
Ibid., hlm. 15.
Taurat di tangan Umar r.a, Nabi marah lalu berkata; Tidaklah aku telah datang pada
kalian dengan membawa (Kitab Taurat itu) dalam keadaan putih bersih? Demi Allah
seandainya Musa masih hidup, tak lapang ia kecuali menjadi pengikutku.”
Dari beberapa urian tersebut, maka pemikiran Ibnu Khaldun mengenai ilmu
pengetahuan, berorientasi kepada:20
1. Tidak adanya pemisahan antara ilmu praktik dengan teoretis. Tampak pada penjelasan
Ibnu Khaldun tentang malakah yang terbentuk dari pengajaran ilmu atau pencarian ilmu
ketrampilan, yang tidak lain adalah buah dari suatu aktivitas; intelektual fisik, di dalam
suatu waktu. Dengan demikian pandangannya sejalan dengan pandangan yang
mengatakan bahwa belajar harus melibatkan akal dan fisik secara serempak dan belajar
tidak akan bisa benar apabila hal tersebut tidak terjadi.
2. Orientasi pada keseimbangan ilmu agama dengan ilmu aqliyah. Walaupun Ibnu
Khaldun meletakkan ilmu agama pada tempat pertama jika dilihat dari segi keguruan
bagi murid karena membantu untuk lebih baik.
3. Orientasi pada pendapat bahwa tugas mengajar adalah alat terpuji untuk memperoleh
rizki.
4. Orientasi menjadikan pengajaran yang lebih bersifat umum yang mencakup beberapa
aspek dari ilmu pengetahuan.
Orientasi Ibnu Khaldun ini ternyata banyak perbedaan dengan pemikir-pemikir
muslim sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa hasil pemikir-pemikir dari masa ke masa
akan berkembang terus sesuai dengan pertumbuhan pemikiran dengan pengalaman serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan demikian ilmu pengetahuan
berperan sebagai pengembangan potensi manusia agar manusia dapat hidup dan
berkembang dalam masa yang semakin maju sesuai dengan arus perkembangan zaman.
3. Perspektif Metode Pengajaran
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa mengajarkan pengetahuan kepada siswa hanyalah
akan bermanfaat apabila dilakukan dengan berangsur angsur, setapak demi setapak dan
sedikit demi sedikit. Pertama kalinya siswa harus diberi pelajaran tentang soal-soal
mengenai setiap cabang pembahasan yang dipelajarinya. Di beri keterangan yang sesuai
dengan kekuatan pikiran siswa dan sesuai dengan kesanggupan dalam memahami tentang
apa yang diberikan kepada siswa.
Apabila dengan jalan tersebut seluruh pembahasan telah dipahami, maka siswa telah
memperoleh keahlian dalam cabang ilmu pengetahuan tersebut. Hasil keseluruhan dari
20
HIDAYAT, op. cit.
keahliannya belum sempurna karena masih belum lengkap. Oleh karena itu jika dirasa
pembahasan pokok belum tercapai dengan baik, maka harus diulangi terus menerus
sampai ia dapat menguasainya dengan baik. Banyak guruguru yang tidak tahu sama sekali
tentang cara mengajar akan tetapi mereka tetap mengajar dengan pengetahuan mereka
yang masih kurang, akibatnya mereka memberikan pengetahuan yang kurang cocok
dengan metode pengajaran yang telah ada.
Dalam hubungannya dengan mengajarkan ilmu kepada siswa, Ibnu Khaldun
menganjurkan agar para guru mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswa dengan
metode yang baik. Menurut Ibnu Khaldun seseorang yang dahulunya diajarkan dengan
cara kasar, keras dan cacian akan dapat mengakibatkan gangguan jiwa pada siswa. Siswa
yang demikian akan cenderung menjadi siswa yang pemalas, pendusta, pemurung dan
tidak percaya diri.
Ibnu Khaldun menganjurkan agar pendidik bersikap sopan dan halus kepada
muridnya baik dalam proses pembelajaran atau tidak dalam proses pembelajaran. Hal ini
juga harus ada dorongan dari pihak orang tua anaknya, karena orang tua adalah pendidik
yang lebih utama.
C. Tujuan Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Pendidikan pada dasarnya adalah proses untuk menghasilkan sesuatu yang dapat
mengarahkan kepada pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi dan
mempunyai disiplin tinggi. Rumusan pendidikan yang dikemukakan Ibnu Khaldun
merupakan hasil dari berbagai pengalaman yang dilaluinya sebagai seorang ahli filsafat
dan sosiologi yang mencoba menghubungkan antara konsep dan realita.
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun pun hampir sama dengan para pemikir
Islam lainnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh H.M. Arifin. Beliau mengemukakan
bahwa tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan nilai-nilai islami dalam pribadi
manusia didik yang diikhtiyarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang terminal pada
hasil (produk) yang berkepribadian Islam yang beriman, bertakwa, dan berilmu
pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.21
Pandangan Ibnu Khaldun tentang pendidikan berpijak pada konsep dan pendekatan
filisofis-empiris. Melalui pendekatan ini, ia memberikan arahan terhadap visi tujuan
pendidikan Islam secara ideal dan praktis. Menurut Ibnu Khaldun ada tiga tingkatan tujuan
yang hendak dicapai dalam proses pendidikan, yaitu:22
21
M. H Arifin, Ilmu Pendidikan Islam tinjauan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan
Interdispliner (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), hlm. 80.
22
Ibid., hlm. 16.
1. Pengembangan kemahiran (al-malakah atau skill) dalam bidang tertentu. Seseorang
pasti mempunyai pengetahuan dan pemahaman akan tetapi kemahiran tidak dapat
dimiliki oleh tiap orang tanpa adanya usaha untuk mengembangkannya. Untuk
memiliki kemahiran tertentu diperlukan usaha yaitu dengan pendidikan yang dilakukan
dengan cara terus menerus sampai mendapatkan apa yang diinginkan.
2. Penguasaan keterampilan profesional sesuai dengan tuntutan zaman. Pendidikan
seharusnya dipergunakan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi
tertentu. Hal ini dapat menunjang kemajuan zaman. Pendidikan seharusnya meletakkan
keterampilan sebagai salah satu tujuan yang akan dicapai, supaya dapat
mempertahankan dan memajukan peradaban sesuai tuntutan kemajuan zaman.
3. Pembinaan pemikiran yang baik. Dengan pembinaan diharapkan dapat mencapai tujuan
pendidikan yang sebenarnya, karena dengan adanya pemikiran yang baik dapat
menciptakan peserta didik yang mampu berpikir secara jernih karena didasarkan pada
pengetahuan dan kemampuan berpikir yang baik.
Ramayulis23 mengemukakan ada tiga tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun.
Antara lain:
1. Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kecerdasan manusia dan kemampuan
berpikir. Pendidikan memberikan kesempatan kepada akan untuk lebih giat dalam
melakukan aktivitas. Dengan menuntut ilmu dan keterampilan, seseorang dapat
meningkatkan potensi akalnya.
2. Pendidikan bertujuan untuk peningkatan kemasyarakatan. Ilmu dan pengajaran sangat
diperlukan dalam masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup menusia kearah yang
lebih baik lagi. Pendidikan juga menentukan kesejahteraan suatu masyarakat. Sebab
semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan dinamis
pula keterampilan pada masyarakat.
3. Pendidikan bertujuan meningkatkan kerohanian manusia. Dengan pendidikan manusia
akan dapat melaksakan dan menjalankan praktek ibadah dengan yang benar, zikir,
khalwat menyendiri, mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk
bertujuan beribadah sebagaimana yang dilakukan para sufi.
Sementara dalam tujuan pendidikan Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang
Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3
menyatakan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
23
Ramayulis, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), hlm. 283.
kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. Kedua, Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa pendidikan mendidik
manusia untuk membangun kehidupan sosial. Artinya, memiliki kemampuan untuk
meningkatkan taraf hidup bermasyarakat karena merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari masyarakat. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun memberikan kontribusi bahwasanya
pendidikan merupakan sarana dalam meningkatkan kemampuan seseorang untuk hidup
sosial di lingkungan masyarakat yang memahami tugas dan tanggung jawabnya di
masyarakat.24
Begitu pula dengan tujuan pendidikan dalam sisdiknas yang tertuang dalam Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3
menyatakan bahwa, tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Dengan demikian tampak jelas adanya relevansi
pemikiran Ibnu Khaldun tentang tujuan pendidikan Islam. Ibnu Khaldun mengaharapkan
konsep tersebut tidak hanya bersifat teoritis belaka tetapi juga bersifat praktis sehingga
mempengaruhi komponen-komponen pendidikan yang lainnya.25
Dari beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan diatas dapat kita simpulkan
bahwa tujuan pendidikan untuk mencerdaskan dan mengembangkan potensi di dalam diri
para peserta didik. Dengan pertumbuhan kecerdasan dan potensi diri maka setiap anak bisa
memiliki ilmu pengetahuan, kreativitas, sehat jasmani dan rohani, kepribadian yang baik,
mandiri, dan menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab.
Tujuan pendidikan dapat mengarahkan kepada segala aktivitas manusia untuk
berusaha. Dalam meneruskan tujuan pendidikan harus berorientasi pada hakikat
pendidikan yang meliputi beberapa aspek, antara lain:
a. Tujuan dan tugas manusia
Manusia hidup di dunia ini bukan karena kebetulan saja. Ia diciptakan dengan
membawa tugas dan tujuan hidup tertentu yaitu sebagai Khalifah Allah di muka bumi
ini. Oleh karena itu, manusia diciptakan oleh Allah dengan mempunyai otak untuk
berpikir agar bisa menjadi khalifah atau pemimpin di muka bumi.

24
Mhd Rasid Hamdi, “Pemikiran pendidikan islam ibnu khaldun 1332m,” n.d., hlm. 132-133.
25
Hamdi, op. cit.
b. Memperhatikan sifat-sifat dasar manusia
Konsep tentang manusia bahwa ia diciptakan Allah sebagai khalifah di muka
bumi ini dan untuk beribadah kepada Allah. Penciptaan itu dibekali dengan berbagai
macam fitrah manusia yang dimilikinya.
c. Tuntutan masyarakat
Tuntutan ini baik berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga
dalam kehidupan suatu masyarakat maupun pemenuhan terhadap tuntutan kehidupan
dalam mengantisipasi perkembangan zaman.
d. Dimensi-dimensi kehidupan ideal
Islam Kehidupan ideal Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara hidup
duniawi dan ukhrawi. Adanya keseimbangan antara kehidupan di dunia dan akhirat
dimaksudkan supaya kedua kepentingan ini menjadi daya tangkal terhadap pengaruh
negatif dari berbagai aspek kehidupan yang menggoda ketentraman hidup manusia baik
yang bersifat spiritual, sosial dan ekonomi dalam kehidupan pribadi manusia
BAB III
KESIMPULAN
Dapat kita ketahui Bersama bahwa Ibnu Khaldun adalah seorang penulis yang
terkenal pada zamannya, dan karyanya masih terkenal hingga sekarang. Adapun karya-
karya Ibnu Khaldun anatara lain, Kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun, Kitab al-I’bar wa
Dhuan al-Mubtada’ wa al-Khabar fi Ayyam alA’rab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man
‘Asharahiim min Dzawi alSuthan al-Akbar, dan kitab al-Ta’rif Ibnu Khaldun wa Rihlatuhu
Garban wa Syarqan,
Pada hakikatnya pendidikan menurut Ibnu Khaldun merupakan suatu yang natural
fitrah, pendidikan merupakan kebutuhan manusia yang alami, sama seperti naturalnya
kebutuhan manusia terhadap makanan. Naturalnya pendidikan ini tidak hanya bertepuk
sebelah tangan. Yakni tidak hanya dari insting manusia sebagai seorang subyek
pendidikan atau sebagai pribadi saja, tapi lingkungan sosial masyarakat juga di pandang
Ibnu Khaldun memiliki insting mendidik secara natural.
Untuk mencapai tujuan pendidikan, Ibnu Khaldun berpijak dari konsep pendekatan
filosofis keseimbangan, sehingga tercapai tujuan pendidikan yang ideal dan praktis. Dalam
tujuan pendiidkannya, Ibnu Khaldun menginginkan agar manusia menjadi manusia yang
sempurna (Insan Kamil), yakni sempurna dari segi lahir dan batin serta dapat menjadi
manusia yang selamat dunia akhirat.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah F Hasan. Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam. surabaya: Jawara, 2007.

Ali, A. Mukti. Ibnu Chaldun Asal Usul Sosiologi. Yogyakarta: Yayasan Nida, 1997.

Arifin, M. H. Ilmu Pendidikan Islam tinjauan teoritis dan praktis berdasarkan pendekatan
Interdispliner. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008.

Biyanto. Teori Siklus Peradaban : Perspektif Ibnu Khladun. Surabaya: Lpam, 2004.

Hamdi, Mhd Rasid. “Pemikiran pendidikan islam ibnu khaldun 1332m,” n.d., 121–36.

HIDAYAT, YAYAT. “Pendidikan Dalam Perspektif Ibnu Khaldun.” Jurnal Pendidikan


Islam Al-Ilmi 2, no. 1 (2019): 11–22. doi:10.32529/al-ilmi.v2i1.261.

Malik, A Imam. “Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam , Ensiklopedi Hukum Islam 3 (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), 139. 41” 3 (n.d.): 41–66.

MUHAMMAD ZA’IM. “Perspektif Sosio-Progresif Studi Pemikiran Pendidikan Ibnu


Khaldun Perspektif Sosio-Progresif,” 2013.

Mukhtar, Heri Jauhari. Fikih Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.

Ramayulis. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.

Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press, 1993.

Syamsuri Akil. “PERADABAN INFRASTRUKTUR IBNU KHALDUN (Perspektif


Perpindahan Ibu Kota Negara Republik Indonesia).” Rausyan Fikr 16, no. 2 (2020):
213–41.

Wafi, Ali Abdul Wahid. Ibnu Khaldun Riwayat dan Karyanya. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.

Anda mungkin juga menyukai