Anda di halaman 1dari 18

PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM IBNU KHALDUN

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah


Perkembangan Pemikiran Pendidikan Islam
Dosen Pengampu : Dr. Abdullah Aly, M.Ag

Disusun Oleh :

Rohmat Roi Waldi (G000150013)

Hidayati Nur Haryani (G000150019)

Asri Nur Halimah (G000150204)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

FAKULTAS AGAMA ISLAM


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

2018

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan adalah bentuk usaha yang dilakukan manusia untuk
membentuk karakter yang baik. Dalam Islam karakter itu disebut dengan
Akhlak. Dengan terbentuknya Akhlakul Karimah ini diharapkan nanti manusia
mampu mengembangkan potensi yang dimiliki dan menjadikan pedoaman
dalam menjalankan perannya dimasyarakat.
Pendidikan Islam yang sekarang ini tidak terlepas dari peran dari ilmuan
muslim yang mana telah mencurahkan gagasannya dalam pemikirannya serta
konsep-konsepnya tentang pemikiran pendidikan Islam. Yang bertujuan untuk
menyempurnakan peran pendidikan Islam menjadi pendidikan yang baik.
Salah satu ilmuan muslim yang berperan dalam pendidikan Islam yaitu adalah
Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun adalah seorang Ilmuan muslim yang memiliki
karya monumental yaitu Muqoddimah, yang didalamnya terdapat berbagai
pembahasan. Baik pembahasan tentang Sosiologi, poliki, filsafat, dan juga
pendidikan. Dia adalah ilmuan muslim yang terkenal mimiliki multikeilmuan
dan keahlian. Baik ahli dibidang sosiologi, politik, dan filsafat.1 Namun dalam
pada pembahasan kali ini tidak akan terfokus pada semua keilmuan yang telah
dijelaskan tadi. Akan tetapi pembahasan kali ini akan mengkaji pemikiran
pendidikan Islam menurut pandangan Ibnu Khaldun. Adapaun latar belakang
ini dibuat guna untuk mengetahui tentang.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah singkat dari Ibnu Khaldun?
2. Bagaimana Konsep Pemikikiran Pendidikan Islam menurut Ibnu Khladun?
3. Bagaimana metode pengajaran menurut Ibnu Khaldun
1
Muhammad Kosim, Jurnal Tarbiyah, Vol. 22, No. 2, Juli-Desember 2015,( IAIN Imam Bonjol),
hal. 338
4. Bagaimana Konsep Kurikulum Pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun?
5. Serta bagaimana guru dan murid menurut pemikiran pendidikan Ibnu
Khaldun?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui konsep pemikiran pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun.
2. Mengetahui Metode, kurikulum, pendidikan dan peserta didik menurut Ibnu
Khaldun.
BAB II

PEMABAHASAN
A. Biografi Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad
bin Abi Bakar bin Muhammad bin Al-Hasan dilahirkan di Tunisia pada tanggal 1
Ramadhan 732 Hijriah atau 27 Mei 1332 Masehi.
Pada tahun 755 H dan diangkat sebagai anggota akademinya (Dewan
Ulama). Dan diperintahkan untuk ikut shalad bersama Sultan Abu Enan. Sultan
terus mempromosikannya hingga akhirnya dia diangkat menjadi salah seorang
sekretaris dan pengurus rumah tangga istananya. Ibnu Khaldun mampu
melanjutkan pendidikannya selama tinggal di Fez. Ia belajar kepada beberapa
cendekiawan terkenal yang dating dari Andalusia ke Fez dan kota-kota lain di
Afrika Utara.
Sejak itulah Ibnu Khaldun menjadi tokoh terkenal dalam sejarah negara-
negara di Afrika Utara. Ia turut aktif mengembangkan negara-negara ini dan
lingkungannya masing-masing, suatu saat ikut serta dalam sejarah naik-turunnya
tahta , dan pada saat-saat lain terlibat dalam api persaingan, intrik dan perang
diantara mereka.
Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam
yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal
sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori
ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam
Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori
ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah
menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir
karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat
yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-
tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.2

2
Muhammad Abdullah Enan, Biografi Ibnu Khaldun, (2013), Jakarta: Penerbit Zaman, Hlm. 14-
15
Ia pernah menduduki jabatan penting di Fes,
Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-
Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyahharum dan dikenal di
berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu
Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan
hidup beliau.
Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang
ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih
madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.
Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari
para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan
Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian
besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir.
Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai
posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun,
akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan
ke dalam penjara.
Periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang
penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang
telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-‘ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan
ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-‘Ibar
wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa
Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar.
Kitab al-i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada
tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun
pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890,
yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-
sosiolog German dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog
modern.
Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-
Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya);
Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-‘ibar yang bercorak sosiologis-historis,
dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang
permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari
kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam
Fakhruddin ar-Razi).
Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia
menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan
ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan
memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas,
yang di adaptasi oleh situasi dan kondisi.
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang
sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan
Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti
tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim
dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran. Sebagaimana
dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama
yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan
Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran
Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.”
Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya,
disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat,
atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual.
Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan
yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan
Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan
tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.3
B. Pandangan dan Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun
1. Tujuan Pendidikan
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah:
3
Toto Suharto, Epistimologis Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, (2003), Bantul: Fajar Pustaka Baru.
Hlm. 35-53
a. Memberikan kesempatan kepada pikiran untuk aktif bekerja, mengingat
karena hal ini penting untuk terbukanya pikiran dan kematangan
seseorang yang akhirnya dapat bermanfaat bagi masyarakat.
b. Memperoleh ilmu pengetahuan untuk mewujudkan masyarakat yang
maju dan berbudaya.
c. Memperoleh pekerjaan untuk mencari penghidupan.4
Adapun yang dikemukakan oleh Muhammad Kosim sebagaimana dia
memadanga dalam karya Ibnu Khaldun, tentang tujuan pendidikan Islam
adalah:
a. Dari segi struktur kepribadiannya, pendidikan sialam bertujuan untuk
mengembangkan potensi jasmnai dan rohani (akal, nafs, dan ruh) secara
optimal seehingga eksistensi kemanusiaanya menjadi sempurna.
b. Dari segi tabiatnnya sebagai makhluk sosial, pendidikan islam bertujuan
untuk mendidik manusia agar mampu hidup bermasyarakat dengan baik
sehingga dengan dan kemampuannya yang dimilikinya, ia mampu
membangun masyarakat yang maju.
c. Dari segi fungsi dan perannya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya di
muka bumi, penidikan islam bertujuan untuk mendidik manusia agar
mmapu melakukan aktivitas yang bernilai ibahdah sekaligus mmapu
mengemban amanah sebagai khalifah fil arfdhi dalam memelihara bumi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan
Ibnu Khaldun mendominasikan antara tujuan agama dan akhlak sehingga
dapat mencapai berbagai tujuan, metode, alat, dan tekniknya bercorak agama,
termasuk segala hal yang diajarkan dan diamalkan dalam lingkungan agama
dan akhlak. Dalam Lisnawati (2017) yang menyimpulkan bahwa tujuan
pendidikan Ibnu Khaldun secara lebih rinci yaitu :
a. Mempersiapkan individu dari bidang keagamaan yaitu mengajarkan syiar
agama menurut Alqur’an dan Hadis, sebab dengan demikian potensi
yang ada baik potensi iman maupun yang lainnya diperkuat. Maka

4
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, 241.
apabila telah diperkuat maka akan menjadi mendarah daging dan menjadi
fitrah.
b. Menyiapkan individu agar menjadi masyarakat yang baik serta mampu
menghadapi berbagai persoalan yang ada.
c. Menyiapkan individu dari segi vokasional, dikatakannya bahwa mencari
dan menegakkan hidupnya mencari pekerjaan sebagaimana ditegaskan
sangat pentingnya pekerjaan untuk kelangsungan hidup, sedangkan
pendidikan dan pengajaran dianggapnya termasuk diantara ketrampilan
itu.
d. Menyiapkan individu menjadi orang yang berakhlak mulia.
e. Menyiapkan individu dari segi pemikiran, sebab dengan demikian
seseorang akan dapat memegang berbagai pekerjaan.
f. Menyiapkan individu untuk menjadi seniman yang islami.
C. Metode Pengajaran
Bagi Ibnu Khaldun, metode pengajaran hendaklah mengikuti metode
bertingkat
1. (Tathbiq, level).
Metode pengajaran secara berperingkat ini dapat menghilangkan
ketidakjelasan pelajar terhadap pengajaran guru. selain itu, pengajaran secara
berperingkat ini dapat menambahkan pemahaman, mengurangi kekliruan, dan
menguatkan pikiran pelajar.
2. Metode berulang (drill)
Diyakini dapat memberikan penjelasan yang lebih baik kepada pemikiran
anak. Di mana anak dapat menerima pengajaran dan mempraktikkannya
secara langsung, Apa yang dimaksud disini adalah, ketika anak menerima
pengajaran melalui metode ini maka ia diharapkan dapat mengamalkan ilmu
yang dimilikinya dalam kehidupan sehari-hari.
Metode ini sesuai untuk digunakan dalam pengajaran kontemporer karena
anak tidak dapat menerima pengajaran secara terus menerus disebabkan
karena tahap pemikiran mereka yang berbeda-beda. Apabila pengajaran
secara berperingkat dan berulang-ulang dilaksanakan, maka anak yang berada
pada tahap pemikiran awal dapat mengikuti pengajaran dengan baik. Metode
pengulangan dapat membantu memudahkan pelajar dalam proses berfikir.
Tidak dapat dinafikan, metode pengulangan ini dapat membantu pelajar
dalam membetulkan atau mengubah pemahaman mereka dalam menerima
pengajaran. Selain itu, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa metode pengulangan
ini dapat membawa pelajar kepada kurikulum pendidikan modern dan
menyusun pengalaman mereka sendiri. Melalui metode pengulangan tersebut
mereka dapat pengalaman yang berbeda sesuai dengan peringkat
perkembangan pembelajaran mereka. Ahli psikologi menyatakan bahwa
metode ini merupakan bentuk pengajaran yang baik karena dapat
menyampaikan pengetahuan secara terperinci pada awal pengajaran.5
3. Metode hafalan
Metode hafalan menjadi salah satu metode yang sering dipergunakan dalam
pendidikan Islam. Namun menurut Ibn Khaldun (1993: 481) metode ini
hanya digunakan dalam bidang-bidang tertentu saja, terutama dalam belajar
bahasa, seperti dalam pengajaran bahasa Arab Mudhar—bahasa Arab yang
asli dan dengannya al-Qur’an diturunkan—sebaiknya dimulai dengan
menghafalkan ucapan purba bangsa Arab, yang berasal dari al-Qur’an dan
hadis, ucapan orang salaf, dan pidatonya orang-orang Arab serta sajak-sajak
dan sya’ir-sya’ir.
4. Metode dialog
Ibn Khaldun (2000: 537-538) berpendapat bahwa metode yang paling tepat
untuk menguasai suatu disiplin ilmu adalah metode dialog. Bahkan metode
ini lebih dibutuhkan dari pada metode hafalan. Sebab, metode hafalan tidak
akan membuat peserta didik menguasai tentang suatu persoalan sehingga ia
tidak akan memiliki kemampuan (malakah) tentang suatu ilmu tersebut.
Kemampuan (malakah) yang diperoleh melalui metode diskusi bersifat
eksklusif dan hanya dimiliki oleh sarjana atau orang yang benarbenar
mendalami disiplin ilmu pengetahuan.
5. Metode Widya Wisata
5
Abd. Rachman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam: Hadharah Keilmuan Tokoh Klasik
sampai Modern, (2013), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Hlm. 139-140.
Ibn Khaldun menceritakan bahwa pada masanya, orang menuntut ilmu
dilakukan melalui 2 cara, yaitu: 1). Belajar mendapatkan ilmu dari kitab-kitab
(buku-buku) yang dibacakan oleh guru-guru yang mengajar, lalu mereka
mengistimbatkan permasalahan ilmu pengetahuan tersebut kepada murid-
muridnya, dan 2) dengan jalan mengikuti para ulama terkenal yang
mengarang kitab-kitab tersebut serta mendengarkan secara langsung pelajaran
yang mereka berikan. Dari dua cara ini, Ibn Khaldun lebih menganjurkan cara
kedua, yaitu melakukan perjalanan (rihlah) untuk menuntut ilmu, karena
dengan cara ini anak didik akan mudah mendapatkan sumber-sumber
pengetahuan yang banyak sesuai dengan karakteristik eksploratif anak.
Pengetahuan mereka yang berdasarkan observasi langsung itu akan
berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan
lewat pengetahuan inderawinya (Ibn Khaldun, 2000: 765).6
D. Proses Pembelajaran
Ibnu Khaldun memandang bahwa pengajaran dipandang sebagai skill.
Karenanya, ia melakukan suatu reaksi dan rekonstruksi terhadap keformalan
kosong metodologi pengajaran pada zamannya. Metode yang lazim dipakai
pada saat itu adalah drill dan penghafalan (tahfiz). Menurutnya pengajaran
secara umum terdiri dari tiga tahapan yaitu (Anwar, 2008) :
a. Sabil al-Ijtimal (Penyajian Global), yaitu keterangan-keterangan
diberikan secara global berupa hak-hak pokok dengan memperhatikan
potensi akal dan kesiapan subjek belajar. Informasi-informasi global ini
setelah dikuasai subjek belajar menjadi bekal awal sebelum disampaikan
pembahasan yang menyeluruh dan mendalam berkaitan dengan materi.
b. As-Syarh wa al-Bayan (Pengembangan). Dalam tahap ini, penyampaian
materi disertai ulasan ragam pandangan (teori) yang berhubungan dengan
bahasan; mareti pelajaran lebih dikonkretkan dengan berbagai contoh
(termasuk peragaan) dan perbandingan . intinya tahapan kedua ini
merupakan tahapan memperkaya materi pembelajaran.

6
Ibid.hal 400
c. Takhallus (Penyimpulan-khasan). Tahap terakhir dari proses
pembelajaran adalah dimana materi pembelajaran diberikan secara lebih
mendalam dan rinci dalam konteks yang menyeluruh, sambil
memperdalam aspek-aspeknya dan menajamkan pemahaman subjek
belajar. Semua masalah yang dianggap penting dan sulit serta kabur pada
tahap ini dituntaskan dengan tujuan agar pencapaian malakah subjek
belajar lebih sempurna.

E. Kurikulum Pendidikan Islam


Ibnu Khaldun dalam menyajikan kurikulumnya lebih kepada
bersifat praktis dan berguna bagi umum. Dalam buku Muqodimahnya
ditemukan bahwa Al-qur’an dijadikan sebagai dasar dari semua isi
pelajaran bahkan sumber daripada pelajaran dan itu harus diberikan
kepada anak-anak agar memiliki pondasi yang kokoh. Ibnu Khaldun
sangat mengajurkan Al-qur’an dan Hadits dijadikan suber dari semua
pelajaran terutama dari tingkat awal. Beliau menegaskan anak-anak harus
diberikan pelajaran sesuai dengan taraf perkembangan berpikir anak
sehingga anak memiliki dasar iman yang kuat sebelum beralih ke
pelajaran berikutnya. Dalam kurikulum pendidikannya Ibnu Khaldun
membagi kedalam dua tingkatan :
a. Tingkat Pemula
Materi tingkatan pemula difokuskan pada pembelajaran Alqur’an
yang merupakan asal agama, sumber berbagai ilmu pengetahuan dan
dasar bagi pelaksana pendidikan islam. Disamping itu isi Alqur’an
mencakup materi penanaman akidah dan keimanan dalam jiwa anak
didik serta membuat akhlak mulia dan pembinaan pribadi menjadi
pengabdi Allah SWT.
b. Tingkat atas
Kurikulum pada tingkatan ini mempunyai dua klasifikasi :
1) Ilmu yang berkaitan dengan ilmu syariah yang mencakup ilmu
tafsir Alqur’an dan qira’at Alqur’an dan Qiraat Alqur’an, Ilmu
Hadis, Ilmu Fiqih dan cabang Hukum Waris Fiqih dan cabang
Dialektika dan soal yang kontroversial, Ilmu Kalam, Ilmu Tasawuf,
Ilmu Tabir Mimpi
2) Ilmu-ilmu alat seperti Ilmu Bahasa dan yang berhubungan dengan
itu, Ilmu Logika/Ilmu Mantiq, Astronomi, Ilmu Kedokteran, Fisika,
Ilmu Pertanian, Ilmu Metafisika dan Ilmu Kalam.7
Selanjutnya beliau menjelaskan agar pengajaran Alqur’an
didahulukan apabila anak didik mencapai tingkat kemampuan
berfikirnya. Hal tersebut akan menjadikan aqidah mereka kepada
Allah menjadi kuat serta berperilaku baik sebagaimana mestinya
menjadi pengabdi Allah. Dalam pengajaran bahasa, Ibnu Khaldun
menjelaskan agar anak didik tidak terlalu dibiarkan dalam
mempelajari ilmu alat yang berhubungan dengan Bahasa Arab,
diperolehkan untuk dipelajari namun hanya sekedar alat saja, tidak
untuk memperdalamnya berlarut-larut dalam kesulitan. Menurut
Ibnu Khaldun hal tersebut dimaksudkan agar anak-anak dapat
mengekspresikan pikirannya dengan baik, tampil teliti didalam
menulis, sehingga dapat memahami apa yang ditulisnya sesuai
dengan apa aslinya, sebagaimana dapat memahami apa yang dibaca
dengan baik.

F. Pendidik dan Peserta Didik


Klasifikasi Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun,
1. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis
peserta didik dan juga kompetensi di bidang keilmuannya.
2. Pendidik juga dituntut untuk memiliki ilmu metodologi mengajar sesuai
dengan perkembangan akal8 dan kemampuan daya serap peserta didik.

7
Ibnu Khaldun, Muqoddimah (terjemah), (Jakarta: Ahmadie Thoha Pustaka Firdaus,
2011), hlm, 544.
8
Imam Syafi’I, Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Ibnu Khaldun, Surabaya: Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) Yayasan Pendidikan Bhakti Wanita Islam (YPBWI). Hlm. 6
3. Guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta
didiknya, mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian,
tidak menerapkan perilaku kasar dan keras.
4. Guru mesti menjadi teladan bagi anak didiknya karena sangat
mempengaruhi terbentuknya kepribadian anak didik.
Sebab sikap demikian dapat membahayakan peserta didik, bahkan dapat
merusak mental mereka, peserta didik bisa menjadi berlaku bohong,
malas dan berbicara kotor, serta berpura-pura, karena didorong rasa takut
dimarahi guru atau takut dipukuli. Dalam hal ini, keteladanan guru yang
merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik
menurut Ibnu Khaldun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan
dan peneladanan serta nilai-nilai luhur yanf mereka saksikan, dari pada
yang dapat dipengaruhi oleh nasihat, pengajaran atau perintah-perintah.
Sebagaimana pernyataan Ibnu Khaldun (1996:234, 752).
“Kita saksikan banyak pengajar (muallimin), dari generasi kita yang
tidak tahu sama sekali cara-cara mengajar, akibatnya, mereka sejak
permulaan memberikan kepada para muta’allimin masalah-masalah ilmu
pengetahuan yang sulit dipelajari, dan menuntutnya untuk memeras otak
guna menyeselaikannya. Para pengajar mengira cara ini merupakan latihan
yang tepat. Mereka memaksa para muta’alimin memahami persoalan yang
dijejalkan padanya, pada permulaan pelajaran para muta’allimin diajarkan
bagian-bagian pelajaran lebih lanjut, sebelum mereka siap memahaminya,
ini bisa membingungkan para muta’allimin, sebab kesanggupan dan
kesiapan menerima sesuatu ilmu hanya bisa dikembangkan sedikit demi
sedikit. Kesanggupan itu akan tumbuh sedikit demi sedikit melalui
kebiasaan dan pengulangan dari ilmu yang dipelajarinya.

Adapun peserta didik, hendaknya menurut Ibnu Khaldun yaitu,


1. Harus memiliki guru dalam menempuh suatu ilmu.
2. Peserta didik tidak mengagung-agungkan logika sebab hanya alat untuk
mencari pengetahuan.
3. Tidak ragu-ragu dalam mencari kebenaran ketika menuntut ilmu.
4. Menyadari bahwa semua anugrah akal/ potensi yang dimilikinya adalah
anugerah dari Allah.9
Jika mereka terus dilibatkan masalah yang sukar dan
membingungkan baginya dan mereka belum terlatih dan belum siap
memahaminya, maka otak mereka akan dihinggapi kejemuan, mereka
menganggap ilmu yang mereka pelajari sukar, dan kemudian akan
mengendurkan semangat mereka untuk memahami dan yang lebih fatal
menjauhkan diripadanya.”
“Sesungguhnya menghasilkan 3 perulangan, dalam beberapa hal,
ulangan yang berkali-kali dibutuhkan, tetapi tergantung pada keterampilan
dan kecerdasan murid.” (Zaim, 2016).
Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai yang belajar
(muta’alim) atau seorang yang perlu bimbingan (wildan). Dalam posisinya
sebagai muta’alim, peserta didik dituntut mengembangkan segala potensi
yang Allah anugerahkan kepadanya. Di sini peserta didik sebagai subjek
didik, bukan objek didik, yang memiliki potensi yang dapat dikembangkan
melalui proses pendidikan. Adapun dalam posisinya sebagai wildan, Ibnu
Khaldun memandang peserta didik sebagai seorang anak manusia yang
memerlukan bantuan orang lain, agar terbimbing dalam kedewasaan. Dalam
konteks ini Ibnu Khaldun memandang peserta didik sebagai objek didik
yang memerlukan guru sebagai subjek belajar. Sebagaimana pernyataan
Ibnu Khaldun (1996: 242).
Berkelana mencari ilmu merupakan keharusan untuk mendapatkan
faidah/pengetahuan yang bermanfaat dan kesempurnaan yang hanya bias
dengan bertatap muka dengan orang-orang yang berpengaruh.”

9
Ibid. Hal. 406
“Keahlian yang diperoleh melalui kontak personal dengan guru
biasanya lebih berakar, karena itu semakin banyak jumlah guru yang
dihubunginya secara langsung, maka semakin tertanam dalam keahliannya.
Kemudian adanya perbedaan istilah yang digunakan Ibnu Khaldun
dalam merujuk pengertian peserta didik, hal ini menunjukkan adanya
perkembangan belajar pada manusia yang dipengaruhi oleh perkembangan
kepribadian manusia. Pada tahap awal, peserta didik adalah wildan yang
memerlukan guru. konsepsi ini berlaku pada jenjang pendidikan tingkat
dasar. Misalnya, Ibnu Khaldun berkata: “Ketahuilah bahwa mengajarkan
Al-Qur’an kepada wildan merupakan suatu syiar dan syiar agama”. Lebih
jauh Ibnu Khaldun memaparkan bahwa seorang murid untuk memperoleh
pengetahuan harus memiliki guru (Muhammad Zaim: 2016).
Pada bagian lain, Ibnu Khaldun berpendapat dalam proses belajar
atau menuntut ilmu pengetahuan, manusia di samping harus sungguh-
sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya, dalam mencapai
pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya
membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat. Berhasilnya seuatu keahlian
dalam satu bidang ilmu tau disiplin memerlukan pengajaran.10

10
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam , (1997), Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Hlm. 174-175
BAB III
KESIMPULAN
Ibnu Khaldun memandang manusia yang memiliki daya akal malakah
yang mana dengan segala potensinya dapat dikembangan melalui Pendidikan.
Konsep pendidikan Islam Ibnu khaldun bertujuan untuk menyiap peserta didik
yang mampu hidup dengan baik, seimbang antara kemampuan intelektualnya dan
sosialnya. Tujuan Pendidikan dalam ranah agama menurut Ibnu Khaldun yaitu
mampu mengemban amanah sebagai Abdullah dan Khalifatullah untuk dapat
memakmurkan bumi dan beramal untuk kehidupan akhirat. Sedangkan tujuan
Pendidikan Islam pada ranah keduniaan Ibnu Khaldun yaitu siap menjalani hidup
sesuai dengan potensi dan kompetensi yang dimiliki.

Dalam Metode pengajarannya Ibnu Khaldun membagi menjadi 5 yaitu,


pengulangan, latihan , hafalan, metode dialog, dan widya swasta. Kurikulum
dalam pendidikan Islam Ibnu Khaldun yaitu Tingkat Pemula, materi tingkatan
pemula difokuskan pada pembelajaran Alqur’an yang merupakan asal agama,
sumber berbagai ilmu pengetahuan dan dasar bagi pelaksana pendidikan islam.
Disamping itu isi Alqur’an mencakup materi penanaman akidah dan keimanan
dalam jiwa anak didik serta membuat akhlak mulia dan pembinaan pribadi
menjadi pengabdi Allah SWT. Tingkat atas, pada tingkatan ini mempunyai dua
klasifikasi.

1. Ilmu yang berkaitan dengan ilmu syariah yang mencakup ilmu tafsir Alqur’an
dan qira’at Alqur’an dan Qiraat Alqur’an, Ilmu Hadis, Ilmu Fiqih dan cabang
Hukum Waris Fiqih dan cabang Dialektika dan soal yang kontroversial, Ilmu
Kalam, Ilmu Tasawuf, Ilmu Tabir Mimpi
2. Ilmu-ilmu alat seperti Ilmu Bahasa dan yang berhubungan dengan itu, Ilmu
Logika/Ilmu Mantiq, Astronomi, Ilmu Kedokteran, Fisika, Ilmu Pertanian,
Ilmu Metafisika dan Ilmu Kalam.
Klasifikasi Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun,
1. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang perkembangan psikologis
peserta didik dan juga kompetensi di bidang keilmuannya.
2. Pendidik juga dituntut untuk memiliki ilmu metodologi mengajar sesuai
dengan perkembangan akal11 dan kemampuan daya serap peserta didik.
3. Guru bersikap dan berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya,
mengajar mereka dengan sikap lembut dan saling pengertian, tidak
menerapkan perilaku kasar dan keras.
4. Guru mesti menjadi teladan bagi anak didiknya karena sangat mempengaruhi
terbentuknya kepribadian anak didik.
Adapun peserta didik, hendaknya menurut Ibnu Khaldun yaitu,
1. Harus memiliki guru dalam menempuh suatu ilmu.
2. Peserta didik tidak mengagung-agungkan logika sebab hanya alat untuk
mencari pengetahuan.
3. Tidak ragu-ragu dalam mencari kebenaran ketika menuntut ilmu.
4. Menyadari bahwa semua anugrah akal potensi yang dimilikinya adalah
anugerah dari Allah.

DAFTAR PUSTAKA
11
Imam Syafi’I, Pendidikan Islam Dalam Pemikiran Ibnu Khaldun, Surabaya: Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI) Yayasan Pendidikan Bhakti Wanita Islam (YPBWI). Hlm. 6
Toto Suharto, Epistimologi Sejarah Kritis Ibnu Khaldun, Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru, 2003.

Abdurrahman Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam Hadhadarh Keilmuan


Tokoh Klasik Sampai Modern,Raja Grafindo, Jakarta, 2013
Ibnu Khaldun, Muqaddimah (Terjemah), Jakarta: Ahmadie Thoha Pustaka
Firdaus, 2011.
Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Lisnawati, (2017). Konsep Pendidikan Islam Menurut Pandangan Ibnu Khaldu
dan Hubungannya dalam Konteks Pendidikan Modern. Jurnal Al-Muta’aliyah
STAI Darul Kamal NW Kembang Kerang, 1.
Anwar Saepul, (2008). Konsep pendidikan IbnuKhaldun ( Refleksi Pemikiran
Sosiolog Muslim Abad 14 M tentang Pendidikan). Jurnal Ta’lim MKDU, 6.
Zaim Muhammad, (2016). Studi Pemikiran Pendidikan Ibnu Khaldun Perspektif
Sosio-Progresif. Muallimuna: Jurnal Madrasah Ibtidaiyah, 1.

Anda mungkin juga menyukai