Anda di halaman 1dari 21

Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 83

EPISTIMOLOGI MUHAMMAD ARKOUN DAN


RELEVANSINYA BAGI PEMIKIRAN KEISLAMAN
Erfan Efendi
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Email: erlanefendi@yahoo.com

Abstrak
Pengetahuan adalah memprakirakan untuk dapat, tetapi untuk dapat, kita harus mulai
dengan mengetahui dan kita hanya dapat mengetahui dengan syarat bahwa pada awalnya kita
membebaskan diri obsesi untuk dapat. Dengan adanya dekolonisasi, tujuan oraktis cenderung
hilang; kebanyakan ahli bertujuan untuk meluaskan pengetahuaan tertentu tanpa memikirkan
teorisasi maupun renungan metodologis, atau apalagi memikirkan kegunaan pengetahuan yang
terhimpun itu bagi kaum Muslim. Sangat maknawi bahwa dalam hal itu aliran Perancis lebih
menekankan kajian masa lalu daripada masa kini, berlawanan dengan aliran Amerika yang
lebih ditandai oleh pragmatisme. Arkoun merasakan kesulitan dalam memperkenalkan sudut
pandang intelektual Barat untuk diaplikasikan dalam ranah keilmuan Islam. Menurutnya,
banyak wilayah dalam nalar Islam yang menjadi tidak dapat dipikirkan (unthinkable). Ia lalu
menuduh bahwa ada campur tangan politis yang digunakan untuk membakukan nalar tersebut
guna mengendalikan warga negara secara ideologis. Stabilitas politik dianggapnya sebagai tujuan
pembentukan ortodoksi pemikiran teologi Islam klasik hingga sekarang.
Kata Kunci: epistimologi, Islamologi, Muhammad Arkoun

Abstract
Knowledge is to predict to be able, but to be able, we must start with knowing and we can
only know by condition that firstly we release our obsessions to be able. By the decolonization ofr
existence, the aim of practical leans to lose. Most of experts have aim to spread certain knowledge
without thinking about theorization in spite of reflection methodology, or evenless think about
the function of knowledge which is collected by Moslems. It’s very meaningful that in French
ideology more emphasizes past lesson than present lesson, contrasts with ideology of America
which is more marked by pragmatism. Arkoun felt difficulty in introducing west intellectual
84 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

point of view for being applicated in Islamic scientific domain. According to him, there are many
regions in Islamic logical reasoning which becomes unthinkable. Then, he accused that there
is meddle with of politician which is used to make logical reasoning to be standart to control
citizen ideologically. The stability of politics are regarded as aim for forming of classical Islamic
theology orthodox mindset until now.
Kay Word: Epistemology, Islamology, Mohammad Arkoun

A. Pendahuluan
Mohammad arkun lahir pada tanggal 1 februari 1928 di Tourirt-Mimoun,
di Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk berber di sebelah timur
Aljir.1 Keadaan itulah yang menghadapkannya sejak masa mudanya pada tiga
bahasa: bahasa Kabila,2 bahasa arab yang dibawa bersama ekspansi islam sejak
pertama hijrah, dan bahasa prancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai
Aljazair antara tahun 1830 sampai 1962.3 Samapai batas tertentu, ketiga bahasa
itu mewakili tiga tradisi dan orientasi budaya yang berbeda: bahasa kabilah
merupakan wadah penyampaian sehimpunan tradisi dan nilai pengarah yang
menyangkut kehidupan sosial dan ekonomi yang sudah beribu-ribu tahun
lamanya; bahasa arab adalah bahasa pengungkapan dan pelestarian tradisi
dalam bidang keagamaan, yang mengaitkan Aljazair dengan daerah dan
bahasa Alin di Afrika Utara dan Timur Tengah; bahasa Prancis merupakan
bahasa pemerintahan dan sarana pemasukan nilai dan tradisi ilmu barat yang
disampaikan melalui sekolah-sekolah prancis yang didirikan oleh penguasa
penjajah dalam jumlah yang relatif besar di daerah Kabilia. Sampai batas
tertentu juga ketiga bahasa itu mewakili cara berfikir dan memahami yang
berbeda. Situasi tersebut yang mempengaruhi arkoun.
Sejaka kecil ia bergaul secara intensif dengan ketiga bahasa itu, bahasa
kabilah dengan kehidupan sehari-hari, bahasa prancis di sekolah dan dalam

1
Johan Hendrik Meuleman, Nalar Islami Dan Nalar Moderen, Memperkenalkan Pemikiran
Mohammad Arkun, Dalam Ulumul Qur’an, No. 1, Vol IV, 1993, hal. 93
2
Merupakan salah satu bahasa berber yang warisi afrika utara sejak zaman pra islam dan
pra romawi.
3
Johan Hendrik Meuleman, Pengantar, Dalam Muhammad Arkun, Nalar Islami Dan Nalar
Moderen; ter. Rahayu S. Hidayat (Jakarta: INIS, 1994), hal 1
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 85

urusan administrasi, dan akhirnya bahasa arab yang baru mulai didalaminya
ketika ia masuk sekolah menengah di Oran, kota utama aljazair bagian barat.
Pendidikan Arkoun dimulai dari sekolah dasar dikota asalnya, kemudian
belajar sekolah menengan di kota pelabuhan Oran. Dari tahun 1950 sampai
1954 ia belajar bahasa dan sastra arab di universitas Aljir. Kemudian , ditengah
perang pembebasan Aljazair dari prancis (berlangsung dari tahun 1954 sampai
denga 1962), ia mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di paris. Sejak saat itu ia
menetap di prancis. Pergaulannya dengan budaya prancis yang sudah dimulai
ketika duduk dibangku sekolah dasar yang berpola Prancis didesa kelahirannya,
kini berlanjut semakin intensif. Namun, bidang utama dan penelitian Arkoun
tidak berubah, yaitu bahasa dan sastra arab serta pemikiran islam.4
Sebagai seorang pemikir post-modern, Arkoun adalah pengkritik tradisi
kemapanan, tradisi objektivisme, dan positivisme yang menurutnya tidak hanya
merasuki ilmu pengetahuan Islam, namun juga Barat dan orientalis Barat.
Arkoun berargumen bahwa paradigma orientalis benar-benar menyokong
konsepsi ortodoks tentang “Nalar Islam”5dengan menggunakan kategori-
kategori yang sama, simbol-simbol yang sama dan signifikansi yang sama.
Dan demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun
pun menjamah jantung eksistensialnya: Al-Qur’an, Sunnah dan Ushul. Bagi
Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).6
Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di
tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata
lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam

4
Mohammad Arkun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta: pustaka
belajar. 2001) hal kata pengantar V-VI
5
Menyoal Istilah antara Kritik Nalar Arab-nya Abed al-Jabiri dan Kritik Nalar Islam-nya
Arkoun, tentunya mempunyai siginifikansi dan konsekuensi sendiri-sendiri. Alasan Arkoun
lebih memilih “Nalar Islam” – dibanding “Nalar Arab”– sebab Arkoun ingin menuju terhadap
jantung langsung: Akidah Islam, di mana, terma tersebut mempunyai cakupan melampaui
perikehidupan muslim secara utuh-menyeluruh, tidak hanya terjebak dengan letak geografis
Arab dan bahasanya. Dan secara praktis ketika al-Jabiri lebih banyak mengandalkan dominasi
perangkat metodologinya pada wilayah Arab, maka Arkoun mengunggulinya terhadap wilayah
akidah Islam secara universal. Lihat: Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘Inda Muhammad
Arkoun, (Dar al-Thali’ah, t.th), hal.72.
6
Dikutip dari Farid Esack,Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective
of Interriligious Solidarity Against Oppression, (Oxford: Oneworld, 1997), hal. 69.
86 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-
Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad
SAW. kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa.

B. Islamologi Terapan
Ilmu pengetahuan dan budaya yang telah mencungkir balikkan
persyaratan-persyaratan penerapan pemikiran ilmiah di Barat. Pemikiran Islami
baru merasakan hantaman balik dari berbagai guncangan yang sejak abad XVI
telah mulai menggerakkan pemikiran modern di Eropa. Pemikiran islami terus
mendasari sebagian besar kegiatannya dengan suatu episteme abad pertengahan7
perancun antara kemitosan dan kesejarahan; kategorisasi nilai-nilai etika dan
keagamaan secara dogmatis; penegasan teologis dari keunggulan penganut
terhadap yang bukan penganut, dari kaum muslim terhadap yang bukan
Muslim; sakralisasi bahasa; sifat tak tersentuh dan tunggal dari makna yang
di sampaikan oleh Allah, dieksplisitkan, dilestarikan, disampaikan oleh para
ulama; nalar abadi, trans-sejarah karena berakar dari kalam Allah yang dibekali
suatu landasan ontologis yang mentransendenkan seluruh kesejarahan.8 Perlu
dicatat bahwa beberapa ciri Episteme itu juga masih sangat hidup di dalam
pemikiran Kristen kontemporer. Vatikan II bahkan telah mendirikan secara
resmi “ sebuah sekertariat untuk kaum bukan Kristen” dan banyak pemikir
Kristen seperti juga kaum Muslim, mengesampingkan kesejarahan nalar.
Islamologi terapan di sini bertolak dari berbagai kesulitan filsafati dan
teologis itu, yang dihadapi segala renungan, dari yang paling sistematis hingga
yang paling biasa. Manakala di dalam suatu percakapan, seorang muslim

7
Perlu dijelaskan bahwa istilah abad pertengahan sama sekali tidak berkonotasi
penilaian negatif, apalagi ketidaktahuaan tentang masalah-masalah mendasar
yang selalu diajukan kepada sejarahwan dan filsuf oleh zaman yang disebut abad
pertengahan. Maslah-masalah itu mungkin lebih peka lagi dalam hal masyarakat
arab Muslim, karena itu kian banyak oranyg yang lebih suka menggunakan istilah
zaman klasik.
8
Dari Sudut Pandang Ini, suatu jarak memang tumbuh antara pemikiran arab,
iran, turki, dsb dan pemikiran islami. Islam bagi sebagian besar orang tetap merupakan
cakrawala metafisik dan suatu krangka psiko-sosial yang dicoba dihindari oleh kegiatan
kebahasaan (yang tidak selamanya mengungkapkan kenyataan konkret) di kalangan
minoritas cendikiawan yang telah disekulerkan.
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 87

mengutip sebagai argumen penentu (dalil qat’i) sebuah ayat Al-Qur’an, atau
sabda Nabi, ia meniadakan, ipso facto, segala masalah teoretis yang diakibatkan
oleh peralihan suatu episteme modern. Apa saja persyaratan bagi kesahihan
peralihan itu bagi penerapan pemikiran islami masa kini yang berhasil guna?
Itulah pertanyaan praaktis, inti, yang muncul terus, yang harus dijawab oleh
seorang islamolog yang ingin menjadi manusia ilmu sekaligus penggerak suatu
pemikiran yang sedang mencari pembaharuan.
Islamologi terapan sebagai suatu praktik ilmiah pluridisiplin: itu sebuah
akibat dari perhatian-perhatiannya yang nyata (karena ingin berjalan bersama
berbagai keberhasilan dan resiko pemikiran modern) dan tuntutannya yang
khas kepada objek kajiannya. Gejala Islam sejak kelahirannya dikaitkan
dengan suatu kalam yang menjadi teks: artinya islamolog harus seorang linguis
seutuhnya atau bukan hanya seorang parasit dari suatu linguistik. Demikan
pula halnya Islam, sebagai agama, tidak dapat dipersempit menjadi suatu
sistem gagasan abstrak yang memiliki kehidupannya sendiri, seperti esensi
yang tidak bergerak. Sebagimana halnya setiap agama, Islam merupakan
suatu gabungan tak terpisahkan dari instansi psikis (psikoanalisis), psikologis
(psikologi individu dan sosial), sejarah (evolusi masyarakat-masyarakat Muslim),
sosiologis (tempat Islam dalam sistem tindakan kesejarahan dari setiap
masyarakat dan ppengaruh perkembangan berbagai masyarakat terhadap
Islam, sebagai Agama), budaya (seni, kesusastraan, pemikiran). Singkatnya,
pembagian kerja tetap tak terhindari untuk menjelajahi suatu bidang yang
begitu luas dan rumit. Namun, kita harus ingat bahwa sikap Muslim yang
paling konstan adalah menampilkan Islam dan menghayati Islam sebagi “agama
dan eksistensi duniawi” (din wa-dunya). Hal itu menjelaskan mengapa budaya
Arab-Islam klasik tidak mengetahui batas-batas kita yang kaku yang diperkuat
secara salah oleh islamologi klasik antara filsafat, teologi, hukum, mistik,
ouisi, kesusastraan duniawi, ilmu-ilmu bahasa, ilmu-ilmu eksakta, dsb. Tidak
cukup jika dikatakan bahwa Islam tidak membedakan yang spiritual dan yang
duniawi (yang menganggapkan secara implisit bahwa perbedaan itu terwujud
secara lengkap di tempat lain); lebih sesuai apabila kita merumuskan kekuatan
88 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

integrasi sosial dan budaya dari gejala Islam dan, sebaliknya, pemertahanan
dari beberapa sektor di dalam integrasi itu.9
Dalam melihat Al-Qur’an, Arkoun berpendapat bahwa Al-Qur’an
merupakan perpaduan antar aspek historis dan meta-historis sekaligus.
Walaupun Arkoun dalam memahami kitab suci tersebut menggunakan
logika bahasa tetapi berbeda dengan Derida yang tidak mempercayain adanya
meta-historis, sebaliknya justru Arkoun mempercayainya. Menurut Arkoun,
Al-Qur’an merupakan perpaduan antra tradisi; lisan, ujaran atau komunikasi
yang terbuka yang substantif dengan sistem tulisan, teks, courpus yang tertutup
dan formatif. Sebagai sebuah tradisi lisan atau ujaran yang inklusif, Al-Qur’an
pada hakikatnya dapat menerima berbagai macam bentuk interpretasi dari
berbagai lintas disiplin. Disisi lain bila diliahat secara tektual yang eksklusif
pemahaman Al-Qur’an bisa mengalami berbagai bentuk degradasi pemikiran
bahkan monolitik. Untuk yang terahir ini erat kaitannya bila Al-Qur’an
dipahami sebagai sebuah mushaf yang bercirikan Usmany yang secara historis
cendrung melakukan penyensoran dan pembakuan wahyu.10
Selanjutnya, studi Al-Qur’an yang bersifat tektual tentu amat perbaikan
dengan apa yang disebut dengan studi filologis maupun dalam bentuk ekpresi
keagamaan (pemujaan, hukum dan pemikiran) ummat islam disetiap tempat
dan sesuai dengan kontek dinamika zaman.disini pemahaman Al-Qur’an
yang bersifat inklusif menjadi dimungkinkan. Studi terhadap studi Al-Qur’an
haruslah memperhatikan konsep Al-Qur’an itu sendiri sebagai firman Allah
yang simbolik, metaforis, naratif maupun konsep nubuwwah yang historis,
realistik, aplikatif serta sudah barang tentu berkaitan erat dengan gaya bahasa
(perpaduan antara gaya bahasa Tuhan yang abstrak, universal, buku dan meta-
historis; dengan gaya bahasa yang kongkrit, parsial, dinamis dan historis).
Urutan logisnya adalah sebagai berikut: wacana Al-Qur’an berangkat dari
tradisi lisan atau ujaran yang inklusif, lalu pada tahapan berikutnya melalui
proses historis, tektual (dewan mushaf Usmany) yang pada akhirnya mengkristal
menjadi korpus yang tertutup, ideologis, buku dan resmi. Akhirnya, proses

9
Muhammad Arkoun, Nalar Islami Dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan Dan Jalan Baru
(Jakarta: INIS, 1994). Hal. 120
10
Muhammad Azhar, Epistemologi & Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta:
Transmedia Mitra Printika, 2003). hal 62-63
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 89

dimaksud berimplikasi pada munculnya absolusitas pemahaman Al-Qur’an


yang seharusnya lebih inter pretatif. Pembakuan wacana Al-Qur’an tersebut
amat dipengaruhi oleh intervensi politik, teologis maupun filosofis.11
Secara metodologis Arkoun berupaya melakukan dekonstruksi terhadap
poal pemahaman Al-Qur’an dalam perspektif kaum tektualis-fundamentalis
yang skripturalistik yang bercicirkan adanya hegemoni tafsir dan bahasa
sekaligus menutup diri terhadap kritik wahyu yang masih orisinil dan
komonikatif setelah berubah menjadi teks akhirnya menjadikan pintu ijtihad
tertutup; akibat banyaknya para penafsir yang dipengaruhi oleh konflik teologis,
politis, dan sebagainya. Akibat adanya manipulasi wahyu menjadi bentuk
ideologi berakibat pada tertutupnya ide-ide universalitas Al-Qur’an. Implikasi
lebih jauh adalah Al-Qur’an menjadi jauh dari realitas sosial. Ide-ide dasar
Al-Qur’an tidak mungkin bisa dikembangkan oleh berbagai tafsir yang sudah
mapan.12 Jadi perlu ada sekularisasi,13 dan pluralisasi14 pemahaman Al-Qur’an.
Sebagai alternatif dari metodologis di atas, Arkoun mencoba menawarkan pola
penafsiran Al-Qur’an secara kontemporer dengan menggunakan ideom-ideom
posmodern, walaupun ia sendiri tetap bersikap kritis dalam menggunakan
metode dimaksud, sebagaimana perbedaan pandangannya dengan model
pemahaman linguistik derida di atas.

11
Ibid.,hal 63
12
Machasin, Berbagai Pembacaan Qur’an (Jakarta: INIS, 1997). hal 47-88
13
Dalam pemahaman Arkun, sekularisasi berarti: dunia kini yang berbeda dengan yang
dahulu, dan itu merupakan keharusan historis yang tak dapat dihindari. Berkaitan dengan
perlunya sekularisasi penafsiran Al-Qur’an yakni para penafsir jagan hanya berkutat pada
model penafsiran yang sudah mapah (yang hanya relevan dimasa dulu belaka), tetapi harus
selalu menyesuaikan model penafsiran dimaksud sesuai dengan perkembangan historis daan
sosiologis yang ada.
14
Pluralisasi disini juga bermakna bahwa ide-ide universal berada diluar manusia, apabila
ditanamkan dalam pikiran manusia akan muncul keseragaman. Mestinya berbagai tangkapan
ide yang ada lebih bervariasi dan pluralistik.
90 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

Secara teoritis, ada tiga jalur penafsiran yang digunakan Arkoun dalam
memahami Al-Qur’an. Pertama, penggunaan konsep mitos15 Paul Recoeur,16
yaitu tentang perkembangan dengan ide-ide dari teks suci. Kedua, metode
dekonstruksi versi jacques Derrida. Yakni tentang pembongkaran dasar-dasar
metafisis dari disiplin ilmu yang ada. Ketiga, penggunaan konsep episteme
Michel Foucault. Yakni tentang relasi kekuasaan dalam pembangunan disiplin
ilmu.
Disamping itu, dengan menggunakan pendekatan semiotika, Arkoun
berpendapat bahwa variasi bacaan terhadap teks menjadi dimungkinkan,
misalnya pembacaan terhadap Al-Fatihah bisa diapresiasi sebagai sebuah teks
penyembuhan, namun merupakan bentuk komonikasi (berupa sesuatu yang
penting untuk dipikirkan). Contoh variasi diatas sangat tergantung pada
keyakinan penbaca teks. Teks, lanjut Arkoun, merupakan tindakan pengujaran

15
Mitos di sini yang dimaksud adalah simbol sekunder atau tingkat kedua , maksudnya
cerita yang membeberkan simbol primer. Mitos, karena berbicara tentang dan menggunakan
simbol, tidak sama dengan bahasa rasional, yang berbicara tentang anggitan. Walaupun
demikian mitos bukan sekedar khayalan tak berarti. Mitos, dengan cara khusus dan tidak
langsung, memang membicarakan kenyataan manusia. Selain itu, mitos memainkan peran
penting sekali dalam kehidupan manusia. Hanya, ditambahkannya, dalam pemikiran manusia
mitos sudah menjadi penyembahan idola-idola, segala jenis benda atau hal yang disakralkan
walaupun tidak layah dipujakatakanlh berhala dalam beentuknya yang primitif dan yang
lebih modern. Penyelewengan mitos yang berdasarkan simbol, menjadi penyembahan idola,
disebutnya pemistikan. Bukan mitos yang harus ditiadakan melaikan pemistikan, sehingga
makna dalam nerbagai mitos, misalnya dalam kitab wahyu dapat dipulihkan atau ditiadakan
kembali. Nah dalam hal ini arkoun mencoba menginterpretasikan bahwa mitos mempunyai
fungsi menjelaskan, menunjukkan, mendirikan bagi kesadaran kolektif kelompok yang mengukir
suatu proyek tindakan bersejarah yang baru di dalam kisah pendirian; itu merupakan mitos
dalam tahap pemunculan berbagai kemungkinan baru bagi eksistensi sosial historis: suatu
kelompok bergerak menyulih suatu tatanan kuno dengan suatu tatanan baru simbol. Seperti
juga kisah-kisah dalam al-kitab, wacana Al-Qur’an menggambarkan tingkatan ungkapan mitis
itu: tindakan sosial historis dari kelompok yang dipimpin oleh Nabi Muhammad diertai suatu
wacana bersusunan mitis di dalam Al-Qur’an. Sekarang kita bisa mengerti ap yang di maksud
Arkoun ketika ia mengajukan ungkapan bahwa wacana Al-Qur’an bersusunan mitis, yang begitu
menghebohkan ketika mitos diterjemahkan dengan “usturah” seolah-olah arkoun setuju dengan
para penentang Nabi Muhammad yang menolak Al-Qur’an sebagai “asatir al-awwalin”(dongeng-
dongeng orang dahulu kala).
16
Muhammad Arkoun pengantar Johan Mauleman, Nalar Islami Dan Nalar Modern:
Berbagai Tantangan Dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994). hal 19-21
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 91

(Semiotika). Teks adalah wacana tertulis yang sampai pada kita. Teks Al-Qur’an
merupakan konon resmi yang tertutup, tapi masih perlu dicarikan maknanya.17
Dalam studi-studinya, Arkoun menggunakan pendekatan dan metodologi
ilmu-ilmu sosial (Social Aciences)18 suatu yang sangat langka dimiliki oleh pemikir
muslim dewasa ini. Fazlur Rahman sendiri kurang mengapresiasi ilmu-ilmu sosial
secara mendalam.19 Disamping dia menggunakan penalaran deduktif juga diperkaya
dengan pengamatan empirik dalam mempertemukan doktrin Al-Qur’an yang normatif
dengan kondisi riel ummat yang historis. Suatu kebutuhan dimasa kini dan mendatang.
Dilatar belakangi dengan pendidikannya yang menggunakan sistem barat
dan moderen membuat pemikir Arkoun begitu kritis dan merasa kontroversial bagi
masyarakat muslim awam. Yang menarik, kritisisme Arkoun tidak hanya diarahkan
kepada hasil produk pemikiran islam. Namun juga banyak menggugat hasil pemikiran
para orientalis barat (Islamologi Klasik). Berdasarkan kritisismenya itulah Arkoun
menawarkan bentuk pemikiran islam baru yang dia sebut dengan istilah Islamologi
Terapan20.
Lebih lanjut Arkoun menyatakan, para islamolog barat tidak meneliti hubungan
efektif yang dihayati seorang muslim dengan teks-teks yang dikajinya tersebut. Sebaliknya
penolakan terhadap teks-teks tertentu disertai dengan sikap apriori dan sensor sebelum
diteliti secara sosiologis. Disamping itu dia juga mengkritik para islamolog muslim yang
melupakan beberapa aspek dalam mengkaji agama. Pertama, tentang kebudayaan
17
Muhammad Azhar, Epistemologi & Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer, hal 64-65
18
Tentang ilmu-ilmu sosial ini, bandingan dengan muhammad arkun, Al-Islam, Al-Ahlak
wa Al-Syiasyah, Terjemahan Hasyim Shalih, Beirut: Markaz Al-Inma’ Al-Qoumi, 1990, hal. 174
19
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandanagan Neomodernisme Islam,(Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 1996), hal 91di buku ini dijelaskan bahwa kelemahan Fazlur Rahman adalah
kekurang akrabannya dengan ilmu-ilmu sosial modern. Rahman kurang mengapresiasi ibnu
khaldun sebagai peletak dasar ilmu sosial termasuk juga Nurcholis Majid.
20
Istilah islamologi terapan itu sendiri diambil dari bukunya yang kedua Pour Une Criticue
De La Raison Islamique didalam buku itu dimuat satu esai di bawah judul “Pour Une Islamologie
Appliquee”(Untuk Islamologi Terapan). Islamologi terapan ini merupakan tesis Muhammad
Arkun untuk mengkritik Islamologi Klasik yang tidak lain merupakan sebuah occidental
discouse (pembahasan, pidato,penilaian, pengertian orang barat terhadapa islam). Yakni suatu
perbincangan yang mencoba memahami islam secara rasional. Islamologi Klasik kata arkun,
tidak memiliki suatu refleksi pemikiran dan metodologi yang cendrung mempersempit ruang
studinya pada pemikir-pemikir teologi. Filsafat dan hukum semata. Untuk mengatasi kelemahan
itu dibutuhkan islamologi terapan, yang merupakan suatu praktek ilmiah pludisipliner dan
bertujuan untuk menciptakan kondisi-kondisi yang menguntungkan dalam membebaskan
pemikiran islam dari berbagai tatanan usang dan metologi-metologi yang menyesatkan.
92 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

oral (Exspession Orale) islam diantara bangsa-bangsa yang tidak punya budaya
tulis-menulis seperti orang barbar, Afrika hitam dan secara umum dikalangan
rakyat kecil. Kedua, tentang kehidupan (Le Vecu) yang tidak tertulis dan tidak
diungkapkan (non dit) pada bangsa-bangsa yang mempunyai tulisan. Ketiga,
masalalu kehidupan masyarakat yang tidak tertulis atau menjadi objek
perkataan. Yakni tentang kehidupan kaum muslimin sehari-hari yang dianut,
dibicarakan dalam ceramah-ceramah, dan sebagainya, diluar yang tertulis dalam
teks. Keempat, tulisan-tulisan tentang islam yang dianggap tidak mewakili,
misalnya, disuatu tempat bila kaum Sunni yang dominan, maka literatur
sunnilah yang banyak berkembang. Sebaliknya, bila Si’ah yang dominan,
literatur sunni pula yang menjadi minim, serta contoh lain yang semisal.
Untuk itu, Arkoun menawarkan enam pemikiran Islamologi Terapan.
Pertama, perlu mengenal isi obyektif Al-Qur’an serta isi pemikiran para pendiri
tradisi Islam. Kajian ini tidak boleh netral, seperti islamolog barat (klasik),
tapi juka tidaak bebas nilai. Kedua, meninggalkan episteme abad pertengahan
muslim serta menggunakan episteme modern seperti di barat, dewasa ini
ilmu-ilmu sosial modern telah menghancurkan saintifik barat sebelumnya.
Ketiga, studi fenomina agama tidak dibatasi pada satu agama tertentu belaka,
seperti yang dikaji oleh barat, unsur apologetik dan polemik harus dihindari
dalam memandang agama-agama lain. Juga harus digunakan metode kritis
historis, komparativisme, analisis linguistik, pelipatgandaan, metamorfosa
dan penghancuran arti. Keempat, tidak apriori21 pada kebudayaan orang
lain, seperti yang tercermin dalam konflik Arab-Yahudi atau gaya konflik
peradaban ala huntington. Kelima, islamologi terapan merupakan peraktik
ilmiah pludisipliner. Pendekatan penelitian agama tidak bisa diubah dengan
psikoanalisa, psikologi (individu dan sosial), sejarah, sosiologi, kebudayaan
dan sebagainya. Keenam, karena tidak ada discourse maupun metode yang
bebas nilai, maka Islamologi terapan harus terbuka pada kritik serta bersifat
pluralistik dalam metodologi; atau pmeminjam istilah Fazlur Rahman, tidak
ada satu metodologi pun yang bersifat sempurna, jadi gunakanlah berbagai
atau sebanyak mungkin metode dalam mengkaji agama, tanpa rasa apriori,

21
Pengetahuan yang diperoleh melalui asumsi atau cara berpikir tertentu terhadap fakta-
fakta, tanpa obesevasi atau pengalaman khusus
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 93

saling curiga, terutama dengan para peneliti yang tidak seagama, sepanjang
dilakukan secara kritis.
Menurut Arkoun, sebuah ideologi yang tidak terkontrol oleh pemikiran
kritis tidak akan bisa menghindarkan diri dari alienasi masyarakat, dan malah
akan melahirkan alienasi-alienasi baru. Hal ini tampaknya sejalan dengan
pendekatan filsafat kritisisme Jurgen Habermas atau mendekati dengan gaya
dekonstruksi Thomas Kuhn, popper dan polanyi.
Islamologi terapan juga memiliki dua sasaran yakni mengkaji tradisi
sebagai awal terbentuknya masyarakat agama dan segala yang berkaitan
dengannya. Juga soal modernitas, karena menyangkut masa depan ummat
islam sendiri maupun ummat manusia secara keseluruhan. Dewasa ini, ummat
islam msih mengalami kesukaran dalam mengawinkan sikap yang berorientasi
ke masa lalu (yang mendambakan sebuah ideologi islam yang otentik) dengan
sebuah peradaban modern material. Maka perlu diteliti dan diinventarisasi,
karena dalam seluruh tradisi pemikiran, selain yang dipikirkan selalu ada yang
tak terpikirkan dan yang tak mungkin dipikirka ketika merambah sebuah
jalan, maka ada kemungkinan terbuka jalan-jalan lainnya. Dalam menghadapi
modernitas, secara kritis muslim mesti meperhitungkan tiga hal: 1) yang
dilupakan (oblie). 2) yang dipalsukan (travesti). 3) yang tak dipikirkan dalam
masa lalu kaum muslimin tersendiri.
Tentang hal yang dilupakan, bahwa seluruh discourse historiografi
klasik, sebetulnya mengandung sebuah fungsi ideologis yang lebih dari hanya
bersifat kognitif belaka. Dari masalah yang dilupakan atau dipalsukan diatas,
muslim perlu membuat refleksi tentang yang tak terpikirkan dalam pemikiran
Islam. Di dunia Barat, pemalsuah hal-hal itu telah menjadi pendorong utama
bagi majunya pemikiran dan peradaban yang tak terbendung lagi. Sebagai
contoh adalah kisah Robocop, star trek, time tunnel, sixth sense, dan sebagainya;
merupakan indikasi dari refleksi Barat tersebut.
Dewasa ini dunia barat terus mempertanyakan kembali faidah-faidah
positif maupun negatif pengalaman intelektual mereka, seperti: nominalisme,
rasionalisme, positivisme, empirisme, materialisme, dialektika, historisme,
relativisme, dan epistimologi terhadap kemapanan ilmiah yang sudah ada,
baik di Barat maupun dikalangan ummat Islam sendiri.
94 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

C. Mengkaji Kitab Suci (Al-Qur’an)


Dewasa ini, Al-Qur’an kerap kali diseru jutaan penganutnya untuk
mengesahkan berbagai prilaku, menyemangati berbagai perjuangan, melandasi
berbagai aspirasi, memenuhi berbagai harapan, melestarikan berbagai
kepercayaan dan memperteguh jati diri kelompok dalam menghadapi
kekuatan-kekuatan penyeragaman peradaban industri. Kita tahu bagaimana
negara-negara Muslim yang berada id bawah kekuasaan penjajah, sejak dari
Indonesia sampai maroko, terpaksa mengembangkan suatu ideologi perjuangan
demi meraih kemerdekaannya setelah perang dunia kedua. Fenomina ini tidak
lantas berakhir setelah setelah tercapainya kemerdekaan politik. Lebih jauh
lagi, dengan timbulnya strategi dominasi politik dan ekonomi di dunia dewasa
ini serta berbagai kendala pembangunan nasional, telah memaksa masing-
masing negara untuk mendesakkan agama sebagai tugas ideologis bagi para
pemimpin, suaka (perlindungan) politik bagi oposan, perlindungan moral bagi
para penguasa dan sarana promosi kader-kader baru masyarakat.
Beberapa fenomena yang marak dengan pesat, seperti meningkatnya
masjid-masjid, bahkan dalam masyarakat Barat, bertambahnya jumlah
penganut dalam ruang lingkup peribadatan, penerapan ulang berbagai hukum
Islami, kerapnya reoni Islam internasional, sukses besar karya-karya apologetik
dan sebagainya, telah memicu para pengamat untuk membicarakan renesans.
Islam, ekspansinya, keberhasilgunaan “revolusionernya kembalinya Tuhan, dan
pembalasan hal yang sakral. Perlu dicatat bahwa cikal-bakal berbagai ungkapan
yang bercorak barat tersebut hanya dapat di pahami dalam suatu konteks sosial
budaya yang telah dipengaruhi berbagai kekuatan sekularisasi. Meski demikian
kalangan muslim tetap mampu menggali rasa bangga dan meningkatkan
keyakinannya dalam suatu agama yang menghadang berbagai teori yang
menaklukan dari rasionalitas Barat. Dengan demikian, tuntutan ideologis
dunia Barat yang berada dalam kegalauan berbenturan dengan suatu tuntutan
yang serupa dari masyarakat-masyarakat Muslim yang sedang mengatasi
keterbelakangan daan berbagai bentuk dominasi baru. Persekongkolan yang
tak diakui tersebut, dalam memanipulasi nilai-nilai intelektual, sepiritual
dan moral demi berbagai tujuan politik dan ekonomi, telah menimbulkan
berbagai dampak yang parah khususnya di sisi Islam: berbagai bentuk
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 95

kerusakan di dalamnya karena rapuhnya kehidupan intelektual dan sarana-


sarana kebudayaan.22
Akibatnya, dapat diperkirakan bahwa Al-Qur’an yang kehadiranya
dituntut di man-mana, dibaca dan ditafsirka oleh para pelaku sosial menurut
tingkat budaya dan wewenang doktrinal mereka. Sehingga Al-Qur’an secara
jelas dapat menjadi objek kajian ilmiah dan penyelidikan baru tentang Al-
Qur’an berkenaan dengan status linguistik, historis, antropologis, teologis
dan filosofisnya. Kita dapat menalar suatu renesans intelektual, bahkan
suatu revolusi yang disertai dengan meningkatkan wacana militan dalam
rangka menjelaskan proses pembentukan, berbagai signifikasi, berbagai
fungsi dan demikian menjalankan pengendalian terhadapnya. Sementara
itu, kami mengamati danya suatu keseimbangan yang semakin besar antara
pendayagunaan Al-Qur’an secara ideologis dari hari ke hari kepentingan
untuk mencermati melalui pemikiran bebas dan kritis, segala persoalan yang
dewasa ini muncul, bukan hanya dalam kalangan muslim namun juga dalam
kalangan pemikir sosial, untuk memperbaharui pengetahuan kita tentang
fenomena keagamaan.
Dalam hal ini, Muhammad Arkoun, pandangannya terhadap Al-Qu’ran
merupakan gambaran akumulasi pengetahuan yang ada dalam pikirannya.
Arkoun sendiri mengakui bahwa bahwa seluruh periode yang dilalui
dalam menempuh pendidikan memainkan peran yang cukup besar dalam
membentuk pemikirannya.23
Kajian Arkoun mengenai Al-Qur’an tergolong cukup berani dan radikal.
Arkoun mempersoalkan kembali esensi wahyu sebagai Kalam Allah yang
transenden untuk kemudian ditarik dalam tataran immanen,24 yakni Kalam
Allah yang besentuhan dengan realitas budaya dan sejarah yang profan. Maka
dari itu, Arkoun juga menyeru untuk mengkajinya dengan metode historis.
Tindakan ini bukannya tidak disadari oleh Arkoun, ia sendiri mengakui

22
Muhammad Arkoun, Kajian Komtemporer Al-Qur’an, (Bandung: Penerbit
Pustaka, 1998) .hal. 02
23
Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
hal. 221.
24
Thohatul Choir dkk, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hal. 99
96 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

bahwa dengan pendekatan historis akan menentang semua penafsiran yang


mensakralkan dan mentransendensikan yang dihasilkan oleh penalaran
teologis tradisional.25 Karena memang Arkoun adalah sosok pemikir yang
tidak takjub terhadap fenomena wahyu dan keajaiban.26 Hal tersebut dapat
dipahami oleh kenyataan bahwa Kalam Allah turun dalam bentuk bahasa Arab.
Keberanian Arkoun ini dapat dipahami juga sebagai konsekuensi
pendekatannya terhadap Al-Qur’an melalui perangkat linguistik modern,
antropologi strukturalisme dan filsafat post-modern. Dengan linguistik
modern, meminjam istilahnya Ferdinand de Saussure, Arkoun menyamakan
teks Al-Qur’an sebagaimana teks-teks sastra lain yang tidak memandang lagi
subjek pembicara, yakni maksud Allah. Model pembacaannya adalah dengan
penjelajahan sinkronis dan diakronis27
Dengan pendekatan antropologi, Arkoun berusaha menyelami gagasan
wahyu dalam tradisi semitis, konsep masyarakat berkitab, mitos, angan-
angan masyarakat keagamaan, kesakralan, kebahasaan dan pemikiran dalam
masyarakat berkitab.28 Antropologi strukturalisme yang digagas oleh Claud
Levi Strauss bertujuan untuk menyelami logika simbolis atas budaya-budaya
manusia. Budaya dalam pandangan Strauss, ibarat bahasa yang memiliki logika
internalnya yang mengikat manusia dalam kerja dan intuisinya yang secara
kuat didominasi oleh ketidaksadaran.29
Arkoun juga tidak secara keseluruhan mengambil ide-ide filsafat
post-modern. Ia hanya meramu pemikirian-pemikiran filsuf Barat sehingga
melahirkan pemikiran Arkoun yang rumit. Ia terkesan hanya mencomot
sebagian sambil mengabaikan perdebatan sengit antar aliran filsafat. Semisal

25
Muhammad Arkoun, Rethinking,… hal. 58.
26
Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur›an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LKiS,
2003), hal. 96.
27
Asal kata dari istilah singkronis dan diakronis dari kata Yunani, yaitu khronos (waktu)
dan dua awalan syn dan dia, masing-masing berarti «bersama» dan «melalui». Maka dari itu
sinkroni dapat dijelaskan sebagai «bertepatan menurut waktu». Diakroni adalah pendekatan
historis sedangkan sinkroni menujukan pandangan yang sama sekali lepas dari perspektif
historis; sinkroni adalah peninjauan ahistoris. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 204.
28
Baedhowi, Antropologi Al-Qur’an, (Yogyakarta: Lkis, 2009), hal. 174.
29
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif, 2010),
hal. 379.
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 97

perdebatan aliran strukturalisme dengan fenomenologi dan eksitensialisme.30


Hal ini akan memperparah sikap objektivitas (jika ada), karena ia akan
memilih-milih metodologi yang sesuai dengan ideologinya.31
Demikian gambaran landasan epistemologi pemikiran Arkoun. Dalam
menganalisa Al-Qur’an, Arkoun banyak dipengaruh berbagai wacana yang
berkembang di Barat. Pemikirannya yang terbilang rumit, sehingga banyak
pemikir yang kesulitan untuk mengidentifikasikan dalam satu mazhab. Kadang
Arkoun masuk pada kategori strukturalis dan di lain kesempatan dia tergolong
post-strukturalis, post-modernis atau juga post-tradisionalis. Dari sini sudah
dapat dilihat bahwa landasan epsitemologi Arkoun banyak terpengaruh oleh
metode historis-materialis yang merupakan produk worldview32 Barat.

D. Relevansinya Bagi Ilmu-Ilmu Atau Pemikir Keagamaan (Keislaman)


Sebagai seorang pemikir post-modern, Arkoun adalah pengkritik tradisi
kemapanan, tradisi objektivisme, dan positivisme yang menurutnya tidak hanya
merasuki ilmu pengetahuan Islam, namun juga Barat dan orientalis Barat.
Arkoun berargumen bahwa paradigma orientalis benar-benar menyokong
konsepsi ortodoks tentang “Nalar Islam”33 dengan menggunakan kategori-
30
Contoh perdebatannya adalah mengenai kesadaran. Bagi Descartes, kesadaran
merupakan hakikat manusia. Temuan ini kemudian dikembangkan oleh Kant dan Hegel
yang berpangkal pada kesadaran yang sering disebut sebagai ”filsafat reflektif”. Fenomenologi
dan eksistensialisme termasuk dalam tradisi filsafat reflektif ini. Pada puncaknya Nietzsche
menproklamirkan ”kematian Tuhan”. Namun pendirian ini ditolak oleh penganut
strukturalisme, menurutnya manusia tidak lagi merupakan titik pusat otonom yangn tidak dapat
diasalkan dari suatu yang lain. Subjektifitas merupakan buah hasil suatu proses strukturisasi
yang tidak dikuasai oleh manusia. Jadi manusia berdiri pada ketidaksadaran. Momentum ini
dimanfaatkan oleh Foucault dengan ramalanya ”kematian manusia”. Lihat K. Bertens, Filsafat
Barat Kontemporer Prancis., hal. 244-245.
31
Fahmi Salim, Kritik Studi al-Qur’an Kaum Liberal, hal. 486.
32
Worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap kepercayaan,
bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing.
Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum maknanya
dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut.
33
Menyoal Istilah antara Kritik Nalar Arab-nya Abed Al-Jabiri dan Kritik Nalar Islam-nya
Arkoun, tentunya mempunyai siginifikansi dan konsekuensi sendiri-sendiri. Alasan Arkoun
lebih memilih “Nalar Islam” – dibanding “Nalar Arab”– sebab Arkoun ingin menuju terhadap
jantung langsung: Akidah Islam, di mana, terma tersebut mempunyai cakupan melampaui
perikehidupan muslim secara utuh-menyeluruh, tidak hanya terjebak dengan letak geografis
98 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

kategori yang sama, simbol-simbol yang sama dan signifikansi yang sama.
Dan demi menembus lapisan terdalam dari geologi pemikiran Islam, Arkoun
pun menjamah jantung eksistensialnya: al-Qur’an, Sunnah dan Ushul. Bagi
Arkoun, Al-Qur’an tunduk pada sejarah (the Qur’an is subject to historicity).34
Mengikuti analisis semiotik, Arkoun menekankan bahwa teks yang ada di
tengah-tengah kita adalah hasil tindakan pengujaran (enonciation). Dengan kata
lain, teks ini berasal dari bahasa lisan yang kemudian ditranskripsi ke dalam
bentuk teks. Tidak terkecuali teks-teks kitab suci, termasuk Al-Qur’an. Al-
Qur’an adalah kalam Allah yang diterima dan disampaikan nabi Muhammad
SAW. kepada umat manusia selama tidak kurang dari dua dasawarsa.
Akan tetapi, wahyu dalam bentuk bahasa lisan ini kemudian dibukukan
setelah memasuki masa Utsman, sekitar satu setengah periode setelah
nabi Muhammad SAW. wafat. Jauh sebelum Arkoun, karya ulama yang
menjelaskan sejarah transmisi dan kodifikasi Al-Quran sebenarnya telah
banyak memberikan informasi mengenai penulisan dan pembakuan wahyu
menjadi mushaf Utsmani ini.
Arkoun melihat bahwa informasi-informasi tersebut belum
dipertimbangkan secara serius bagi penjelajahan makna al-Qur’an, lantaran
al-Syafi’i berhasil membuat sistematika konsep sunnah dan pembakuan ushul
kepada standar tertentu serta pembakuan al-Qur’an kepada sebuah mushaf
resmi (kopus resmi tertutup/mushaf Utsman) menjadi awal ummat Islam
didominasi oleh logosentrisme, dimana fuqaha dan ulama percaya bahwa
mereka mampu menggenggam dan menguasai kebenaran wahyu dengan sarana
analisis naskah secara gramatikal dan leksikal, dengan asumsi bahwa bahasa
pada dasarnya merupakan refleksi dari dunia. Arkoun menganggap Islam
sebagai fakta fenomena yang berkembang secara historis, terlepas dari upaya

Arab dan bahasanya. Dan secara praktis ketika al-Jabiri lebih banyak mengandalkan dominasi
perangkat metodologinya pada wilayah Arab, maka Arkoun mengunggulinya terhadap wilayah
akidah Islam secara universal. Lihat: Mukhtar al-Fajjari, Naqd al-‘Aql al-Islami ‘Inda Muhammad
Arkoun, (Dar al-Thali’ah, t.th), hal.72.
34
Di amdil dari catatan kaki Hamzah Harun Al-Rasyid Dikutip dari Farid Esack,Qur’an,
Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious Solidarity Against Oppression, (Oxford:
Oneworld, 1997), hal. 69.
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 99

para alim ulama baik qudama (klasik) maupun modern untuk memahami dan
menetapkan makna kebenaran yang disampaikan oleh wahyu.35
Menurutnya kesalahan para fuqaha dan ulama terletak pada keyakinan
mereka bahwa pengetahuan bahasa membuat mereka mampu memahami
naskah, sedangkan mereka sendiri mengabaikan kebenaran yang lebih hakiki
mengenai kesejarahan dari bahasa itu sendiri. Menurutnya, nalar Islam
yang dibangun oleh para alim ulama adalah atas interpretasi doktriner dan
kebutuhan politis untuk mengontrol penafsiran atas wahyu dan maknanya.36
Hal inilah yang menurutnya menyebabkan kemunduran filsafat Islam dan
terbangunnya cloture logo centrique yang dengannya pemahaman alternatif
selain dari wahyu menjadi kemustahilan. Arkoun menegaskan bahwa semua
yang memiliki otoritas keilmuan sebagai penentu sifat utama kebenaran,
pemikiran atau kebajikan semestinya dikenai kritik intelektual, berdasarkan
asumsi strukturalis tentunya.37 Dengan begitu, ia akan leluasa melontarkan
kritik strukturalis multi disipliner terhadap dominasi serta kemapanan otoritas
alim ulama di setiap institusi-institusi maupun pemerintahan Muslim, baik
yang klasik maupun modern.
Berangkat dari asumsi di atas, Arkoun memandang bahwa nalar bersifat
inklusif dan tidak tunggal, dan yang dimaksud bukanlah nalar aktif –potensial
atau bakat intelektual (al-Mukawwin/la raison constituante), melainkan
nalar bentukan dan didikan yang berisi doktrin– doktrin pengetahuan (al-
Mukawwan/la raison constituee), jika meminjam teori A Lalande. Nalar Islam
yang terbingkai oleh sejarah, akan mengayun dan melandaskan diri ke mana
hendak dibawa sehingga menjadi suatu entitas yang membentuk dan meng-
ada. Karenanya ia bersifat historik, multi kultural dan (bahkan) sejarah itu
sendiri.38 Nalar Islam tak lain merupakan piranti yang menghasilkan produk-

35
Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hal 14. Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup dan Latar Belakang Mohammed
Arkoun”, dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj. Rahayu S. Hidayat,
(Jakarta: INIS, 1994), hal. 26.
36
Leonard Binder, Islam Liberal, Kritik terhadap Idiologi-ideologi Pembangunan, terj. Imam
Muttaqin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 239.
37
Ibid., hal. 238.
38
Mukhtar Al-Fajjari, Naqd al-’Aql al-Islami “Inda Muhammad Arkoun” (Dar al-Thali’ah, t.th),
hal. 68. Ini berarti, secara tegas, Arkoun membedakan posisi akal historical-nya dan akal ala
100 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

produk pengetahuan Islam dalam bentangan panjang sejarah. Ia diartikan


sebagai diskursus atau wacana nalar Islam yang darinya, menghasilkan ragam
disiplin keilmuan Islam.39
Maka, dikenallah nalar Tasawuf, nalar Sunni, nalar Muktazilah, nalar
Syi’ah, nalar Hasan Bashri, nalar Ibn Khaldun, nalar Muhamad Abduh, dan
seterusnya hingga kini. Itulah nalar-nalar Islam, dengan segenap identitas dan
ciri khasnya masing-masing, karena pada dasarnya merujuk pada pokok dan
otoritas yang sama: Al-Qur’an dan Hadits. Namun, yang perlu dijadikan entry
point nalar tersebut mempunyai titik tolak dalam sejumlah kognitas dasar
dan kepentingan-kepentingan tertentu yang membentuknya. Secara historik
nalar-nalar tersebut kerap bersaing, berseteru, dan bahkan bermusuhan yang
berujung pada kematian/kehancuran. Hal yang paling mendasar, bahwa
dalam kemajemukan nalar tersebut, sesungguhnya memiliki titik konvergensi
dan persenyawaan yang oleh Arkoun, disederhanakan sebagai terma nalar
Islam. Singkatnya, ia sengaja membredel nalar di atas menuju “Ruang
Kematian” dengan cara mendekonstruksinya menjadi nalar Tunggal (Binyahal-
Muwahadah), yakni nalar Islam. “Kematian” di sini tentunya diartikulasikan
dengan pembacaan kini, dengan pemaknaan ala Derrida, yakni suatu
pengalihan posisi tawar dari alam klasik menuju alam kontemporer.40
Arkoun melakukan analisa kritik historis atau klarifikasi historitas
dengan membagi sejarah nalar Islam menjadi empat periodesasi. Pertama, Era
Fundamentalitas Islam, yaitu periode kenabian ini ditandai dengan terbukanya
wacana-wacana pembakuan keagamaan yang baru lahir dan sedang mencari
jati dirinya, baik dalam ranah sosial maupun politik. Ditandainya dengan
terbukanya kebebasan serta penghormatan tinggi terhadap cita kemaslahatan
dan humanisme. Di samping gerak perubahan sejarah yang dinamis, progresif,
dan gradual. Kedua, Era Jati Diri Nalar Islam Klasik, Yang ditandai pembasisan,
pembakuan, dan pembukuan disiplin ilmu pengetahuan, terutama lini syariah
dan teologi. Era nalar Islam klasik ini dimulai sejak pertengahan abad pertama

neo platonic/helenestik yang menyatakan akal sebagai lajur transedental dan metafisik secara
konteks. Sebab ia sendiri setuju dengan pemaknaan akal transendental (akal ilahi) sebagi salah
satu struktur bangunan akal Islam elementer.
39
Ibid., hal. 70.
40
Ibid., hal. 70-71.
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 101

sampai penghujung abad keempat. Pada era ini kecenderungan dialektik antara
agama dan nalar masih menguat dibanding kecenderungan ortodoksi. Yang
paling mengesankan bagi Arkoun pribadi, periode ini melahirkan filsafat
humanisme di tangan Miskawaih dan Abu Hayan Al-Tawhidi. Keduanya
berhasil membangun filsafat humanisme dalam perwujudan nalar etika Islam
yang mengenyah akan nalar ortodoksi serta mengawinkannya dengan filsafat.
Miskawaih dalam karya Tadzhib al-Akhlâq-nya membangun etika berdasarkan
ontologi rasional Igrik, sementara Abu Hayan Al-Tawhidi membangun
humanisme murni dalam sejumlah karya-karyanya.41

E. Simpulan
Kajian di atas memperlihatkan bahwa Islam sebagai agama dan tradisi
pemikiran telah menemukan vitalitasnya sesuai dengan percepatan sejarah di
dalam semua masyarakat Muslim. Islam memainkan peranan utama di dalam
penyususnan berbagai ideologi resmi, pemeliharaan keseimbangan psikologis
sosial, ilham bagi minat-minat pribadi. Keperluan untuk mengenal lebih baik
isi objektif dari amanat Al-Qur’an dan pemikiran para tokoh pendiri tradisi
hidup tidak hanya terasa dikalangan suatu elite yang sempit, sebagaimana
halnya di masa lalu, namun juga kalangan masa rakyat yang semakin besar.
Sejalan dengan itu, pandangannya Muhammad Arkoun terhadap Al-Qu’ran
merupakan gambaran akumulasi pengetahuan yang ada dalam pikirannya.

Daftar Pustaka
Ali Harb, Kritik Nalar Al-Qur’an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, Yogyakarta:
LKiS, 2003
Baedhowi, Antropologi Al-Qur’an, Yogyakarta: Lkis, 2009
Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur’an Kaum Liberal, Jakarta: Perspektif,
2010

Mohammad Arkun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama,. hal. 20.
41
102 Jurnal An Nûr, Vol. VI No. 1 Juni 2014

Farid Esack,Qur’an, Liberation and Pluralism: An Islamic Perspective of Interriligious


Solidarity Against Oppression, Oxford: Oneworld, 1997
Ihsan Ali Fauzi, Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam,70 Tahun Harun Nasution,
Jakarta:LSAF, 1989
Johan Hendrik Meuleman, Nalar Islami Dan Nalar Moderen, Memperkenalkan
Pemikiran Mohammad Arkun, Dalam Ulumul Qur’an, No. 1, Vol IV, 1993.
Johan Hendrik Meuleman, Pengantar, Dalam Muhammad Arkun, Nalar Islami
Dan Nalar Moderen; ter. Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS, 1994
K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2006
Leonard Binder, Islam Liberal, Kritik terhadap Idiologi-ideologi Pembangunan, terj.
Imam Muttaqin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Machasin, Berbagai Pembacaan Qur’an, Jakarta: INIS, 1997
Mohammad Arkun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama Yogyakarta:
pustaka belajar. 2001
Muhammad Arkoun, Nalar Islami Dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan Dan
Jalan Baru, Jakarta: INIS, 1994
Mohammed Arkoun, Pemikiran Arab, terj. Yudian W. Asmin, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996.
Johan Hendrik Meuleman, “Riwayat Hidup dan Latar Belakang Mohammed
Arkoun”, dalam Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern, terj.
Rahayu S. Hidayat, Jakarta: INIS, 1994.
Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996
Muhammad Arkoun, Kajian Komtemporer Al-Qur’an, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1998
Muhammad Arkoun, Al-Islam, Al-Ahlak wa Al-Syiasyah, Terjemahan Hasyim
Shalih, Beirut: Markaz Al-Inma’ Al-Qoumi, 1990.
Muhammad Azhar, Epistemologi & Refleksi Pemikiran Islam Kontemporer,
Yogyakarta: Transmedia Mitra Printika, 2003
Muhammad Azhar, Fiqh Kontemporer Dalam Pandanagan Neomodernisme Islam,
Yogyakarta: Pustaka pelajar, 1996
Epistemologi Pemikiran Muhammad Arkoun dan Relevansinya Bagi Pemikiran Keislaman 103

Muhammad Azhar, Pemikiran Muhammad Arkoun Tentang Etika Spritual Pilitik,


Suara Muhammadiyah, No.22/Th. Ke-82, (15-30 November 1997).
Mukhtar Al-Fajjari, Naqd al-’Aql al-Islami “Inda Muhammad Arkoun” Dar al-
Thali’ah, 2012
Thohatul Choir dkk, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009

Anda mungkin juga menyukai