BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita yang hendak menikah maka
harus memenuhi beberapa rukun atau syarat, seperti masalah mahar yang harus
ditunaikan calon suami kepada calon istri. Dalam beberapa literatur fikih, mahar
menempati posisi sebuah kewajiban. Meski demikian, tidak ada ketentuan secara pasti
mengenai jumlah minimum dan maksimum mahar tersebut. Besaran kuantitas dan
kemudahan. Karenanya ketidaksanggupan mengenai besaran dan bentuk mahar itu tidak
berlangsungnya perkawinan. Alasan lainnya yang lebih kuat karena pada dasarnya
mengubah pola tingkah laku cara berfikir masyarakat tersebut. Dalam hal ini adat
yang menurut mereka itu harus dijalankan sebagai hukum. Misalnya saja adat
seserahan2 dalam pernikahan. Adat seserahan ini harus dilaksanakan karena itu
merupakan sebuah tradisi dan tidak boleh di tinggalkan. Tidak jarang tujuan perkawinan
yang begitu suci dan begitu sakral seringkali diwarnai dengan adat dan budaya yang
1
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), cet. Ke-2, hal. 135.
2
Seserahan merupakan bahasa sunda yang dibakukan dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam
bahasa daerah khususnya desa Mundu Kec. Tanjung Kab. Brebes menyebutnya “SARAHAN” yaitu dimana
calon pengantin laki-laki membawa barang-barang perabot rumah tangga, perhiasan dan lain sebagainya yang
diberikan kepada calon pengatin wanita.
1
2
merusak tujuan perkawinan itu sendiri. Hal ini salah satunya disebabkan oleh beban
yang harus ditanggung oleh calon pengantin pria berupa bentuk seserahan tersebut.
Dalam suatu acara perkawinan di suatu tempat, pada umumnya bukan hanya
sekedar melaksanakan sesuatu yang menjadi rukun nikah secara formal, namun lebih
keseluruhan acara yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan
pandangan mereka rukun perkawinan itu adalah segala hal yang harus terwujud dalam
Lain halnya dengan adat tradisi yang ada di Desa Mundu Kecamatan Tanjung
Kabupaten Brebes. Disamping syarat dan rukun nikah yang harus ada dan telah diatur
dalam hukum Islam. Mereka juga menganggap bahwa budaya seserahan baik itu
barang rumah tangga, seperti, gelang, cincin, alat-alat dapur, tempat tidur dan sejumlah
makanan serta perkakas rumah tangga lainnya. Kesemuanya itu termasuk dalam syarat
rumah tangga seperti yang telah disebutkan di atas. Barang-barang tersebut diserahkan
kepada wali pengantin wanita sebelum akad nikah, termasuk di dalamnya ada barang
yang dipersiapkan untuk membayar maskawin pra akad nikah.6 Ada juga yang
3
Umborampe adalah istilah jawa yang berarti segala sesuatu yang berkaitan.
4
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hal. 61.
5
Wawancara dengan Bapak Rois, salah satu sesepuh warga desa Mundu, di kediamannya Blok Tengah
Rt.01/02, Sabtu, 18 Januari 2014, pukul. 19.00 WIB.
6
Wawancara dengan Bapak Rois, salah satu sesepuh warga desa Mundu, di kediamannya Blok Tengah
Rt.01/02, Sabtu, 18 Januari 2014, pukul. 19.00 WIB.
3
mayur seekor ternak dan peralatan dapur lainnya. Barang-barang seserahan itu
diserahkan oleh calon mempelai laki-laki kepada wali dengan pernyataan bahwa barang-
barang yang diserahkan tadi adalah barang yang dipersiapkan untuk acara resepsi
Tata cara atau prosesi seserahan ini biasanya dilakukan pada satu hari sebelum
akad nikah. Wali dari calon pengantin perempuan mengundang calon pengantin laki-laki
melalui utusan dari pihak walinya. Kemudian setelah calon pengantin laki-laki
berangkat menuju rumah calon pengantin perempuan diiringi dengan seserahan. Dalam
mengantarkan seserahan biasanya disertai dengan seorang utusan yang bertugas untuk
Maksud dan tujuan diadakannya seserahan ini tidak lain hanya untuk
menggembirakan hati calon mempelai perempuan dan walinya. Bahwa calon mempelai
laki-laki tersebut benar-benar sudah siap untuk menjalin rumah tangga dengan
perempuan tersebut.8
Namun dampak yang timbul dari acara “tambahan” tersebut dapat berpengaruh
positif dan juga negatif bagi pasangan pengantin tersebut. Dampak positifnya setelah
akad nikah sudah dilaksanakan pasangan pengantin itu dapat hidup mandiri dengan
peralatan yang sudah tersedia. Barang-barang tersebut bisa meringankan beban orang
tua/wali karena pada umumnya pengantin laki-laki hidup di rumah mertua atau wali dari
perempuan.
Sementara itu dampak negatif yang timbul dari seserahan ini sangat dirasakan
oleh kalangan masyarakat yang kurang mampu dan suatu hal yang diwajibkan ada
7
Rasulan yaitu istilah adat mundu yang artinya upacara adat dalam rangka menyambut perkawinan.
8
Wawancara dengan Bapak Rois, salah satu sesepuh warga desa Mundu, di kediamannya Blok Tengah
Rt.01/02, Sabtu, 18 Januari 2014, pukul. 19.00 WIB.
4
dalam hukum adat. Di samping itu terjadi persaingan dalam memperlihatkan kekayaan
sehingga menimbulkan sikap riya pada diri mereka. Hal ini pun mengakibatkan
timbulnya sistem “kasta” karena dengan adat seserahan itu orang yang kurang mampu
tidak mungkin bisa berbesan dengan orang kaya karena ketidak mampuanya.
Gagal dan berlanjutnya acara akad nikah ditentukan oleh wujud besar kecilnya
atau sedikit banyaknya seserahan yang diserahkan calon pengantin pria kepada calon
mertua atau orang tua pengantin putri. Fakta ini dalam kenyataannya sering
pernikahan. Kebanyakan dari mereka yang gagal adalah keluarga yang tidak mampu.
Mundu Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes, dan umumnya di Indonesia ini adalah
suatu hal yang dianggap wajib dalam prasyarat perkawinan dan kebanyakan yang
beranggapan bahwa jika seserahan adalah salah satu yang harus dilakukan dan tidak
boleh ditinggalkan. Karena menurut pandangan mereka itu termasuk kedalam syarat
tentang perkawinan menurut ajaran Islam masih belum banyak difahami masyarakat
mereka, begitu juga syarat rukun perkawinan yang dewasa ini merupakan hal yang
wajib, mereka tinggalkan. Bahkan, mahar atau maskawin yang walaupun bukan
5
termasuk rukun nikah tetapi masuk pada suatu hal yang wajib adanya, kadang-kadang
disepelekan.
Hal ini terbukti dalam pemberian mahar dari pengantin pria kepada pengantin
putri jauh lebih kecil dibandingkan dengan besaran seserahan itu sendiri. Padahal sejak
awal mulanya seserahan adalah sederhana sekali, akan tetapi sesuai perkembangan
zaman budaya seserahan semakin marak. Sehingga bagi sebagian masyarakat adat
9
Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
10
اح اَيْ ِس ُرَها
ِ َخ ْي ُر النِّ َك
Artinya: “Sebaik-baik nikah itu yang disukainya”.
Ayat dan hadis di atas menunjukan kemudahan dan bukan mempersulit dalam
suatu jenjang perkawinan. Di satu sisi dapat diberlakukan sebagai pijakan dalam
mengistinbatkan hukum, disisi lain dalam konteks penelitian ini adat seserahan
perkawinan karena ingin mendapatkan yang lebih dari segi keduniaan yang ditinjau dari
B. Rumusan Masalah
9
Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Qur‟an dan Terjemah, (Jakarta: yayasan penyelenggara penterjemah Al-
Qur‟an,1971). Hal. 72.
10
Abi al-Tabin Muhammad Syams al-Haq al-Azim al-Abady, „Aun al-Ma‟būd Syarh Sunān Abi
Dawūd, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979), cet. Ke-6, hal. 152. Hadis dari „Uqbah ibn „Amir, hadis ini sahih.
6
Dari uraian latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan dan
1. Tujuan
Sesuai dengan latar belakang dan jawaban dari rumusan masalah tersebut di atas,
2. Kegunaan
perkawinan.
D. Kajian Terdahulu
yang akan dilakukan tidak terjadi pengulangan. Oleh karena itu peneliti mempelajari dan
7
penelitian yang akan dilakukan. Penelitian yang telah ada adalah sebagai berikut:
Skripsi Syaeful Bakhri, 2008 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap
Beban Calon Suami Dalam Adat Seserahan Di Desa Malahayu Kec.Banjarharjo Kab.
Brebes Jawa Tengah.” Skripsi ini membahas masalah perkawinan adat di sebagian suku
juga harus membawa perabotan rumah tangga, serta mencantumkan pula mengenai
tinjauan umum tentang mahar dan nafkah dalam islam. Di dalamnya berisi pengertian
dan dasar hukum mahar, macam-macamnya serta pengertian dan dasar hukum nafkah,
bentuk dan ukuran pemenuhan nafkah. Penelitian ini lebih cenderung pada besaran calon
Ada juga Skripsi Judarseno, 2007 dengan judul "Tradisi Hantaran dalam
Peminangan Adat Melayu Sanggau Kalimantan Barat." Skripsi ini membahas masalah
Tradisi Hantaran dan mencamtumkan pula mengenai sejarah serta tata cara Peminangan
dalam Adat Melayu Sanggau Kalimantan Barat, yang teridentifikasi bahwasanya tradisi
tersebut bermula pada tahun 1345 dilakukan oleh kerabat Kerajaan Sanggau, dengan tata
cara yang dimulai dari proses nanyu, nyumu-nyumu, ngerisi‟, sampai kepada antar
pinang/antar barang.
Nunyu ialah tindakan dari seseorang (pihak laki-laki) untuk survei atau melihat
kepada pihak si wanita secara diam-diam. Nyumu-nyumu artinya membuka sedikit tabir
keinginan, ini dilakukan oleh Pak Tali atau Mak Tali12 dengan cara bisik-berbisik13 agar
tidak diketahui oleh masyarakat umum, mereka datang untuk bersilaturrahmi ke rumah
11
Syaeful bakhri, Skripsi Tinjauan Terhadap Beban Calon Suami Dalam Adat Seserahan di Desa
Malahayu Kec.Banjarharjo Kab. Brebes Jateng, http// =skripsi+seserahan&ie=utf-8&oe=utf-
8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a.
12
Pak Tali atau Mak Tali yaitu seorang yang dipercaya, orang suruhan dari pihak orang tua laki-laki.
13
Bukan berbisik yang sebenarnya, tetapi berbicara dengan pelan dan tertata.
8
Ngerisi‟ ialah pemberian barang pada tahap pertama pada saat peminangan, yang
berupa; sirih, pinang, kapur, gambir, dan tembakau, kemudian barang pengiringnya
berupa; sehelai sarung, selendang, sabun dan pupur. Antar Pinang ialah apabila
pertunangan telah disepakati oleh kedua belah pihak, maka barang yang diantarkan
kepada pihak perempuan lebih besar lagi jumlahnya, berupa bungkus-bungkusan kecil
seperti; padi, beras, kemiri, jahe, dan paku, kemudian disusul dengan mas kawin berupa
Seiring dengan perkembangan zaman tradisi ini masih tetap sakral dilaksanakan
mengalami perubahan menyesuaikan masa sekarang. Hukum adat tertulis yang khusus
membahas masalah tradisi ini juga mengalami perubahan pada jumlah uang sangsi
adatnya.
Berbeda dengan penelitian Syaeful Bakhri dan Judarseno penelitian ini berupaya
mendeskripsikan sesuatu yang terkait dalam acara perkawinan di desa Mundu kecamatan
Tanjung Kabupaten Brebes. Dalam penelitian ini, apakah seserahan bisa dipahami
sebagai salah satu hal yang diwajibkan bagi calon suami. Seserahan dalam konteks ini
bisa dipahami sebagai pelengkap yang statusnya hanya perayaan dalam menyambut
E. Kerangka Pemikiran
dipakai untuk arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik, diterima akal-pikiran
14
Judarseno, Skripsi dengan judul "Tradisi Hantaran dalam Peminangan Adat Melayu Sanggau
Kalimantan Barat,(UIN Yogyakarta, 2007) hal. 15.
9
yang sehat.15 ʻUrf merupakan suatu yang sudah dikenal dikalangan umat manusia selalu
manuisa. Namun bagaimanapun ia tidak terlepas dari pengaruh budaya atau adat dari
suatu daerah, misalnya Mundu di mana hukum Islam berkembang. Sehingga proses
perkawinan adat beruapa seserahan yang terjadi di Desa Mundu ini termasuk dalam ʻurf.
ʻUrf ada dua macam, yaitu ʻurf yang sahih danʻurf yang fasid. Yang pertamaʻUrf
yang sahih adalah sesuatu yang telah dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan
dengan dalil syara‟, tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang
wajib. Seperti sesuatu yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon istri
berupa perhiasan, pakaian atau apa saja. Sebagai suatu kerelaan sebelum bersanding atau
pembayaran mahar secara utang.17 „Urf yang seperti ini harus dipelihara, karena apabila
difatwakan yang lain dari yang telah dibiasakan, sedangkan perbuatan mereka tidak
bertentangan dengan naṣ, tentulah timbul kepicikan dan kesukaran.18 Sebagaimana telah
19
20
َ اَلْ َع
ادةُ ُم ْح َكمة
15
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), hal. 77.
16
Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1995), hal. 77.
17
Abd al-Wahhab Khalaf, ʻIlmuUṣūl al-fiqh, (Kairo: Dār al-Qalām, 1978), hal. 90.
18
Hasib Ash-Shiddiqi, Filsafat Hukum Islam, cet. Ke-1, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 477.
19
Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Qur‟an dan Terjemah, . . .,hal. 45.
10
hukum. Kebisaan dalam istilah hukum sering disebut sebagai „Urf atau adat. Adapun
suatu adat atau „Urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut :
21
Artinya: “Dan dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempita”.
Adat yaitu hukum yang ditetapkan untuk menyusun dan mengatur hubungan
Hukum-hukum ini dapat dipahami maknanya dan selalu diperhatikan kemaslahatan „urf-
„urf-nya dan dapat berubah menurut perubahan masa, tempat dan situasi. Oleh karena itu
Kaidah-kaidah Arti „urf secara harfiah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan,
atau ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
juga adat, sebab perkara yang telah dikenal itu berulang kali dilakukan manusia. Para
20
Abdul Hamid Hakim, Mabady‟awaliyyah, (Jakarta: Syadiyyah Putra, tt), hal. 36.
21
Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Qur‟an dan Terjemah,. . .hal. 523.
11
ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan „urf dalam kedudukannya sebagai
Artinya: “Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya
hubungan rasional.”
Artinya: “„Urf adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat
yang baik serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan nash syara.”
kebanyakan adat, tetapi muncul dari pemikiran dan pengalaman yang dibahas ulama
ushul fiqih dalam kaitannya dengan dalil dalam menetapkan hukum syara adalah „urf,
bukan adat.
kenyataan yang ada adalah rasa keberatan dari pihak calon mempelai laki-laki. Karena
berlebihan dan menyulitkan, maka kaidah uṣul al-fiqh di bawah ini sebagai pedoman
kemaslahatan:
23
صا لِ ِح
َ الم
َ ب ِ الم َفا ِس ِد ُم َقدم َعلَي َج ْل
َ َُدرء
22
http// Harun Nasution, Pengaruh„Urf Dalam Pengambilan Hukum Islam, Postado Jumat, 24
Agustus 2012, Pukul 02.42.
23
Abd al-Wahhab Khalaf, „Ilmu Uṣūl al-Fiqh, (tk: tt), hal. 136.
12
Artinya: “Membuang yang rusak lebih didahulukan dari pada mempertahankan yang
maslahat”.
kemaslahatan yang tidak ditetapkan hukumnya oleh syara‟ dan tidak ada dalil yang
24
melarang atau mewajibkannya. Akan tetapi berdasarkan kebiasaan masyarakat yang
selalu diulang-ulang. Hal ini perlu dikaji ulang dalam tinjauan hukum Islam karena
memberatkan. Artinya ada pemberian seserahan yang di samping mahar sehingga dirasa
Pendekatan kedua yakni teori Receptio25 menurut teori ini : “Kalau suatu
masyarakat itu memeluk agama tertentu maka hukum adat masyarakat yang
bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya.26 Kalau ada hal-hal yang
menyimpang dari pada hukum agama yang bersangkutan, maka hal-hal itu dianggap
sebagai pengecualian”. Namun Snouck Hurgrounye menentang keras teori ini dengan
mengatakan bahwa tidak semua hukum agama diterima dalam hukum adat.
sifatnya sangat pribadi yang erat kaitannya dengan kepercayaan dan hidup batin, bagian-
bagian itu adalah hukum keluarga, hukum perkawinan, dan hukum waris. Memang
diakui sulit mendeskripsikan bidang-bidang hukum adat yang dipengaruhi oleh hukum
agama, hal ini disebabkan bidang yang dipengaruhi oleh hukum agama sangat bervariasi
Di desa Mundu contohnya hukum perkawinan yang diwarnai corak adat yakni
tradisi seserahan, Van Vollen Houven mengatakan Suatu kebiasaa/adat akan menjadi
24
Rahmat Syafei, IlmuUshul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 129.
25
Teori ini dikembangkan oleh Mr. LCW Van Den Berg.
26
http://ahdabina.staff.umm.ac.id/archives/144.
27
http://didinkcha.blogspot.com/2012/12/hukum-adat.html
13
hukum adat, apabila kebiasaan itu diberi sanksi, sangsi yang terdapat di Mundu memang
haya sebatas cibiran namun itu sangat dihindari oleh masyarakat dengan cara melakukan
tradisi-tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu kala salah satunya tradisi seserahan.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan sosiologi hukum Islam yang bersifat
deskriptif berupa lisan dan pola prilaku masyarakat desa Mundu yang memberikan
2. Lokasi Penelitian
a. Di desa itu mempunyai masalah yang sangat pelik mengenai hukum Islam dan
b. Kasus yang menjadi bahan kajian dalam penyusunan penulisan ini adalah salah
3. Langkah-langkah Penelitian
melakukan penelitian, sehingga hasil yang didapatkan dapat maksimal. Di bawah ini ada
1) Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara
penelitian ini adalah sesepuh desa Mundu, Tokoh agama (NU dan MU), kalangan
2) Data sekunder adalah data yang dapat diambil dari berbagai literatur yang
berikut:
1) Wawancara.
permasalahan, dalam hal ini para sesepuh desa serta warga desa mundu.
2) Observasi
situasi yang sedang diteliti sehingga peneliti memperoleh gambaran jelas. Untuk
mendapatkan informasi yang akurat dan objektif, maka peneliti terjun kelapangan
3) Dokumentasi
juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum, dan lain-lain
Karena data yang diperoleh di lapangan berupa data (kata atau tindakan),
maka analisis yang digunakan dalam penelitian kualitatif lebih bersifat deskriptif-
analitik yang berarti interpretasi terhadap isi yang dibuat dan disusun secara
Analisis data dilakukan secara induktif yaitu mulai dari laporan atau fakta
menarik kesimpulan dari fenomena yang ada di lapangan. Analisis data didalam
1) Reduksi data
16
a) Data yang telah terkumpul dipilih dan dikelompokan berdasarkan data yang
mirip sama.
2) Penyajian data
naratif yang disertai dengan bagan atau tabel untuk memperjelas penyajian data.
3) Penarikan data
Tabel 1.1:
Siklus Data Interaktif
Pengumpulan data
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan ini terdiri atas lima bab. Bab pertama memaparkan
pendahuluan. Pada bab ini berisi tentang uraian Latar Belakang Masalah, Rumusan
17
Bab kedua menjelaskan tentang pengertian, sejarah dan kedudukan seserahan dalam
hukum Islam, relasi seserahan dengan walimah dan relasi seserahan dengan khithbah.
Bab ketiga memuat kondisi objektif desa, menguraikan sejarah desa, keadaan geografis
dan demografis, kondisi sosial budaya, keadaan ekonomi, kondisi politik, tradisi yang
Bab keempat yakni hasil penelitian dan pembahasan. Dalam bab ini akan diuraikan
tentang hasil penelitian yaitu seserahan sebagai persyaratan yang mengikat dalam
Terakhir bab lima merupakan hasil kesimpulan dari penelitian dan pembahasan terhadap