Anda di halaman 1dari 14

21

BAB II
PENGERTIAN, SEJARAH DAN KEDUDUKAN SESERAHAN
DALAM HUKUM ISLAM

Perkawinan merupakan peristiwa sejarah yang mewarnai dalam kehidupan

umat islam, karena dengan pernikahan seseorang akan mulai menjalani kehidupan

yang lebih serius dan menantang. Islam mengatur kehidupan manusia berpasang-

pasangan melalui institusi perkawinan. Ketentuannya dirumuskan berdasarkan

aturan hukum Islam dan ditetapkan untuk mewujudkan suatu kesejahteraan baik

secara pribadi maupun masyarakat, baik di dunia maupun akhirat. Kesejahteraan

hidup akan tewujud dengan terbinanya keluarga yang sejahtera.

Demikian halnya dalam masyarakat adat yang memandang perkawinan

sebagai sebuah tujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan

kekerabatan yang damai serta rukun. Sehingga perkawinan dapat dipahami

sebagai bagian dari urusan kekerabatan atau keluarga, persekutuan dan martabat.

Perkawinan dapat pula merupakan urusan pribadi tergantung kepada tata susunan

masyarakat yang bersangkutan.1

Demi terwujudnya kesejahteraan berumah tangga, maka suami atau istri

harus mempunyai peranan yang saling mendukung, baik berupa moral, maupun

materil agar tercipta keluarga yang ideal. Dalam hal ini, Allah Swt. berfirman

dalam al-Qur’an.
1
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 2000), hal. 107.
22

2
      

Artinya : “Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi
mereka”.

Perkawinan adalah gerbang menuju


21 kehidupan yang sempurna.

Perkawinan pada umumnya telah disakralkan oleh khalayak ramai, tidak sedikit

orang berbicara: “Aku hanya menikah satu kali, setelah itu aku mati.” Maka wajar

bila ritual perkawinan ini selalu diiringi dengan berbagai corak tradisi di

masyarakat.3 Salah satunya adalah tradisi seserahan sebuah tradisi yang

disertakan dalam acara perkawinan. Pada umumnya masyarakat menganggap

bahwa sesuatu kebiasaan yang berulang-ulang dan sering terjadi itu menjadi

seperangkat aturan bagi mereka. Seperti halnya tradisi dalam perkawinan yaitu

adat seserahan, mereka menganggap bahwa kebiasaan itu harus ada sebelum akad

nikah.

A. Pengertian dan Sejarah Seserahan

1. Pengertian

Seserahan secara etimologi berasal dari kata Serah yang artinya

menyerahkan4 dan mendapatkan imbuhan –an menjadi Serahan adalah

sesuatu yang diserahkan.

2
Hasbi Ash-Shiddiqi, Al-Qur’an dan Terjemah,. . .hal.45.
3
Abu Yasid, Fikih Keluarga, (Jakarta: Erlangga, 2007), hal. 71.
4
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN Balai Pustaka,
1984), hal. 923.
23

Sedangkan seserahan menurut terminologi adalah menyerahkan

sejumlah barang berupa alat perlengkapan rumah tangga seperti perhiasan,

tempat tidur, lemari, meja kursi, alat-alat dapur dan lain sebagainya yang

diserahkan kepada wali pengantin wanita sebelum akad nikah, termasuk

didalamnya ada barang yang dipersiapkan untuk membayar maskawin pra

akad nikah.5

Bapak Rois, sesepuh desa Mundu memberikan penjelasan tentang

seserahan dalam sebuah kesempatan wawancara dengan peneliti.

Ingkang dipun wastani sasrahan utawi srah-srahan utawi seserahan punika,


masrah ake saliring umbarampe ingkang dados adat tata cara ingkang
lumampah ing kitha/ dhusun ngriku, wondene wijudipun warni-warni
kadosta:
a) Ubarampe wajib : panjang ilang, majemukan.
b) Kudangan : minangka pamundhutipun calon pengantin putri
c) Pamesing : arupi pangageman (sarung, badhe rasukan)
d) Pelangkah : mligi kangge sadherek sepuh pengantin putri nglangkahi
sederekipun sepuh
e) Taksih wonten malih panunggilahipun kados dene arta pangageman
kangge calon pengantin putri, ingkang boten mujudake kudangan 6

Ada juga yang berpendapat bahwa seserahan adalah upacara

penyerahan barang-barang ( jw, raja peni, guru bakal, guru dadi) sebagai

tanda asih kekeluarga dari calon memepelai putra kepada calon memepelai

putri. Barang-barang tersebut juga sering disebut sebagai Peningset. Ini

melambangkan bahwa sudah ada ikatan sayang antara calon mempelai putra

dengan calon mempelai putri.7

5
Wawancara dengan sesepuh warga desa Mundu Bapak Rois di kediamannya 18 Januari
2014, 19.00 WIB.
6
R.M.A. Sudi Yatmana, Upacara Pengantin (Tata Cara Kejawen), (Semarang: CV.
Aneka Ilmu, Anggota IKAPI, 2001), Cet. Ke-2, hal. 5.
7
R.M.S. Gitosaprodjo, Pedoman Lengkap Acara dan Upacara Perkawinan Adat Jawa,
(Surakarta: CV. Cendrawasih, 2010), hal. 10.
24

Tidak banyak memang masyarakat yang memberikan penjelasan

secara mendetail tentang seserahan. Namun yang jelas keberadaan seserahan

ini sangat diyakini bahwa seserahan menjadi salah satu syarat dalam

perkawinan oleh hampir semua kalangan masyarakat khususnya desa Mundu

dan umumnya masyarakat Indonesia.8

Di bawah ini tanggapan dari beberapa kalangan masyarakat desa

Mundu Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes. Pertama bapak Casmadi,

pekerjaan buruh tani kondisi ekonomi prasejahtera. Bertempat tinggal di Rt

04 Rw 02. Beliau mengatakan bahwa ”sarahan (seserahan) kuwe ya kudu

ana yong kewajibane wong tua ngopeni anak, meski wong ora duwe mbuh

apa”. (Bagi dia merupakan suatu keharusan karena merupakan bagian dari

ngopeni anak9 walaupun dia orang tidak mampu).” Namun acara seserahan

tersebut di-anak-anakna bagjane olih utang”.10 Ujar bapak Casmadi. Karena

jika tidak dilaksanakan dia merasa malu dengan masyarakat sekitar rumah

tempat tinggalnya.

Lain halnya dengan tanggapan bapak Wardi, pekerjaan penjual beras

kondisi ekonomi cukup. Bertempat tinggal di Rt 05 Rw 02. Beliau

mengatakan bahwa “kawajibae wongtua supados ngadakake seserahan niku

(adat seserahan itu suatu kewajiban bagi seorang ayah untuk mengadaakan

acara tersebut). Lamon ora diadakake isin maring tangga bokat di glendengi,

8
Wawancara dengan bapak Casmadi, salah satu warga desa Mundu, di kediamannya
pada tanggal 2 Maret 2014. 16.00 WIB.
9
Ngopeni anak artinya memelihara anak. Jadi salah satu caranya adalah dengan
seserahan.
10
Di-anak-anakna bagjane olih utang artinya acara seserahan tersebut harus diadakan
bagaimanapun caranya walapun uangnya dapat berhutang.
25

masa wong sing yambutgawene ora nggenah bisa ngadakake seserahan masa

kula sing cukup ora bisa. Intine kula boten kalah karo wong-wong kuwe

mau”. Ujar bapak Wardi. (Karena menurutnya seserahan bisa dilaksanakan

oleh orang yang pendapatannya jauh dibawahnya masa saya tidak bisa

mengadakannya dan menyangkut gengsinya di tengah-tengah masyarakat). 11

Disamping itu seserahan juga merupakan sarana untuk mencirikan

besar kecil atau tolak ukur kemampuan dalam ekonomi dimata masyarakat

lainnya.

Berbeda dengan kedua orang di atas, bapak Sutarno, pekerjaan

penjual, kondisi ekonominya cukup. Bertempat tinggal di Rt 02 Rw 01. Ia

berpendapat bahwa seserahan itu tidak menjadi suatu keharusan bagi saya

karena seserahan merupakan adat istiadat yang tidak ada sangkut-pautnya

dalam syariat Islam. Mengadakan seserahan itu tergantung masing-masing

niat dan individunya. Kalau memang kondisi ekonomi kita ada, ya saya akan

mengadakan adat seserahan tersebut, tetapi kalau toh tidak ada tidak

mengakibatkan kerugian bagi saya, hanya saja masyarakat pasti mencibir

saya.12 “Ujar bapak Sutarno”.

2. Sejarah Seserahan

Tidak banyak orang yang mengetahui secara betul dari mana asal adat

seserahan ini, banyak orang yang mengatakan bahwa adat seserahan ini

11
Wawancara dengan bapak Wardi, salah satu warga desa Mundu, di kediamannya pada
tanggal 5 Maret 2014. 15.00 WIB.
12
Wawancara dengan bapak Sutarno, salah satu warga desa Mundu, di kediamannya pada
tanggal 8 Maret 2014. 15.00 WIB.
26

sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tradisi ini konon dibawa dari kebiasaan

orang-orang Bugis dalam melangsungkan pernikahan dan kini membumi dan

menjadi tradisi pula di beberapa kawasan tertentu di negeri ini. Khususnya di

Desa Mundu Kecamatan Tanjung Kabupaten Brebes, walupun dengan

beberapa modifikasi.

Contohnya pada tempo dulu, seseorang sebelum melangsungkan

pernikahan terlebih dahulu menyerahkan sejumlah uang kepada calon

mertua. Kemudian dari pihak mertua sudah menyediakan rumah beserta

perabotannya untuk ditempati kedua mempelai selamanya.13Namun tradisi

seperti itu mengalami pergeseran, sebelum akad nikah seseorang mempelai

laki-laki dituntut untuk menyerahkan semua keperluan rumah tangga. Dari

mulai perabotan dapur, lemari, tempat tidur, perhiasan dan lain sebagainya

untuk kehidupan kedua pasangan kelak. Artinya seorang laki-laki dituntut

untuk bisa membangun sebuah rumah untuk tempat tinggal bersama sang

istri.

Permasalahannya tidak jarang orang tua mempelai perempuan yang

mengambil barang-barang seserahan itu untuk keperluannya sendiri,

sehingga itu menjadi beban bagi calon suami. Seserahan pun seakan-akan

dijadikan sebagai syarat untuk menuju kepernikahan. Tidak jarang orang

yang tidak melakukan adat seserahan belum dikatakan lengkap dalam

melaksanakan sebuah pernikahan.14

13
Abu Yasid, Fikih Keluarga . . ., hal. 72.
14
Wawancara dengan sesepuh warga desa Mundu Bapak Rois di kediamannya 18 Januari
2014, 19.00 WIB.
27

Menilik realitas seserahan, nampaknya tradisi ini tak lain adalah suatu

persyaratan yang merupakan kesepakatan atau tawar-menawar antara pihak

laki-laki dengan orang tua si perempuan. Tujuannya untuk memberikan

lampu hijau bagi sang laki-laki untuk mempersunting si gadis.

B. Relasi Seserahan dengan Walimah

Sebelum membahas relasi seserahan dengan walimah lebih jauh,

penulis akan menjelaskan pengertian dari walimah itu sendiri dan hal-hal

yang terkait dengan walimah.

1. Pengertian Walimah

Walimah ‫الوليمه‬ artinya Al-jam’u= kumpul, sebab antara

suami dan istri berkumpul, bahkan sanak saudara, kerabat, dan para

tetangga.

Walimah ‫ الوليمه‬berasal dari kata Arab: ‫ الومل‬artinya makanan

pengatin. Walimah sama artinya dengan perjamuan kawin (sesudah

nikah)15 maksudnya adalah makanan yang disediakan khusus dalam

acara pesta perkawinan. Biasa juga diartikan sebagai makanan untuk

tamu undangan atau lainnya.16

Walimah diadakan ketik acara akad nikah belangsung atau

sesudahnya atau ketika hari perkawinan (mencampuri isrinya) atau

15
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa . . . , hal. 1147.
16
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, hlm. 149. Dikutip dari H.M.A Tihami dan Sohari
Sahrani, Fikih Munakahat, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 131.
28

sesudahnya. Walimah bias juga diadakan menurut adat dan kebiasaan

yang berlaku dalam masyarakat.

2. Dasar Hukum Walimah

Mayoritas ulama mengatakan bahwa mengadakan walimah itu


hukumnya sunah mu’akad.17 Hal ini berdasarkan hadist Rasulullah Saw:
‫ما اولم رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم على شىء من نسا ئه ما اولم على‬: ‫عن انس قال‬
18
‫زينب او لم بشاة‬
Artinya: “Dari anas, ia berkata “Rasulullah Saw. Belum pernah
mengadakan walimah untuk istri-istrinya, seperti beliau mengadakan
walimah untuk zainab, beliau mengadakan walimah untuknya dengan seekor
kambing”

Beberapa hadis di atas menunjukkan bahwa walimah itu boleh

diadakan dengan makanan apa saja, sesuai kemampuan. Hal itu

ditunjukkan oleh Nabi Saw. Perbedaan-perbedaan walimah beliau bukan

membedakan atau melebihkan salah satu dari yang lain, tetapi semata-mata

disesuaikan dengan keadaan ketika sulit atau lapang.

3. Hukum Menghadiri Undangan Walimah

Untuk menunjukakan perhatian, memerintahkan, dan

menggembirakan orang yang mengundang, maka orang yang di undang

walimah wajib mendatanginya.

17
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010),
hal. 132.
18
Al-Hafid Ibn Hajar Al-Asqolani, Bulughul Al-Marom (min adilatil ahkam) (Surabaya:
Warunnashri, 773-852 H.), hal. 219. Hadis dari Bukhari.
29

Adapun wajibnya mendatangi undangan walimah, apabila:19

a. Tidak ada udzur syar’i.

b. Dalam walimah itu tidak diselenggarakan untuk perbuatan munkar.

c. Tidak membedakan kaya dan miskin.

Dasar hukum mendatangi undangan walimah adalah dalam hadis

Nabi Saw. Sebagai berikut:

20
‫إذا ادعي احد كم الى الطﱠعام فليجب لن شاء طعم شاء ترك‬

Artinya: “Jika salah seorang di antaramu diundang makan, hendaklah


diijabah dikabulkan, jika ia menghendaki makanlah, jika ia menghendaki
tinggalkanlah.”

‫الدعوة ف قد عصى اهلل و‬


‫ ومن ت رك ﱠ‬:‫عن ابى هريرة ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم قال‬
21
‫رسوله‬
Artinya: Dari Abu hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw. Telah bersabda,
“Barang siapa tidak mengahadiri undangan, sesungguhnya ia telah durhaka
kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ada ulama yang berpendapat bahwa hukum mengahadiri undangan

adalah wajib kifayah. Namun ada juga ulama yang mengatakan sunah, akan

tetapi, pendapat pertamalah yang lebih jelas. Adapun hukum mendatangi

undangan selain walimah, menurut jumhur ulama, adalah sunah muakkad.

Sebagian golongan imam Syafi’i berpendapat wajib. Akan tetapi, Ibn Hazm

menyangkal bahwa pendapat ini dari jumhur Sahabat dan Tabi’in. Karena

19
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,. . . , hal. 134.
20
Al-Hafid Ibn Hajar Al-asqolani, Bulughul Al-Marom (min adilatil ahkam) (Surabaya:
Warunnashri, 773-852 H.), hal. 218. Dengan nomor hadis 1068.
21
Moh. Rifa’i, Moh. Zuhri, Salomo, Terjemahan Khulashah Kifayatul Akhyar,
(Semarang: CV. Toha Putra), hal. 134. Hadis dari Bukhari.
30

hadis-hadis di atas memberikan pengertian tentang wajibnya mengahdiri

undangan, baik undangan mempelai maupun walinya.22

4. Bentuk Walimah

Islam mengajarkan kepada orang yang melaksanakan pernikahan

untuk mengadakan walimah, tetapi tidak memberikan bentuk minimum atau

bentuk maksimum dari walimah itu, sesuai dengan sabda-sabda Rasulullah

Saw di atas.

Hal ini memberikan isyarat bahwa walimah itu diadakan sesuai

dengan kemampuan seseorang yang melaksanakan perkawinannya, dengan

catatan, agar dalam pelaksanaan walimah tidak ada pemborosan,

kemubaziran, lebih-lebih disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan

diri.23

5. Relasi Seserahan dengan Walimah

Melihat dari pengertian, dasar hukum, bentuk seserahan dengan

walimah di atas, kita sudah bisa mengetahui bahwa, keduanya tidak memiliki

kesamaan. Seserahan dalam perkawinan tidak lain merupakan adat istiadat

atau tradisi yang turun temurun dari leluhur. Karena hal ini telah dilakukan

masyarakat berpuluh tahun yang lalu bahkan mungkin ratusan tahun, maka

22
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,. . ., hal.135.
23
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat,. . .,hal.137.
31

tradisi ini dianggap merupakan sebuah tradisi, yang kemudian masyarakat

menganggapnya suatu keharusan untuk dilaksanakan.

Berbeda dengan walimah. Sebab walimah keberadaannya ditengah

pesta pernikahan adalah wajib. Mengadakan walimah setelah dhukul

(bercampur), berdasarkan perintah Nabi saw kepada Abdurrahman bin ’Auf

r.a. agar menyelenggarakan walimah sebagaimana telah dijelaskan pada

hadits berikut. Dari Buraidah bin Hushaib bertutur, ”Tatkala Ali melamar

Fathimah r.anha, berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda, ”Sesungguhnya

pada perkawinan harus diadakan walimah.”24

Hukum dari walimah dianjurkan oleh Rasulullah untuk segera

mengadakan walimah walau hanya dengan menyembelih seekor kambing.

Dari segi hukum seserahan dan Walimah memang tidak ada kaitan

sama sekali. Namun, dalam seserahan terdapat istilah rasul yang di dalamnya

memiliki makna barang bawaan yang dibawa oleh calon suami berupa bahan-

bahan untuk keperluan walimah, seperti beras, sayur-mayur, hewan

sembelihan misalnya ayam, kambing atau sapi tergantung kemampuan

ekonomi calon penganten laki-laki. Barang-barang tersebut diolah dan

dimasak untuk keperluan walimah setelah akad nikah. Jadi relasi dari

seserahan dengan walimah memiliki hubungan yang sangat erat.25

24
H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani Fikih Munakahat . . ., hal. 132.
25
Wawancara dengan sesepuh warga desa Mundu Bapak Rois di kediamannya 28 februari
2014, 20.00 WIB.
32

C. Relasi Seserahan dengan Khithbah

Paparan di atas menjelaskan bahwa seserahan dengan walimah dari

segi pelaksanaannya memiliki hubungan yang erat walaupun, secara hukum

memiliki kedudukan hukum yang berbeda. Namun demikian hal itu bagi

masyarakat sudah dianggap sebagai suatu keharusan dengan demikian

seserahan dan walimah merupakan bagian dalam hukum adat.

1. Pengertian Khitbah

Khithbah atau dalam bahasa Indonesia berarti “peminangan”, kata

peminangan berasal dari kata dasar “pinang-meminang” (kata kerja).

Meminang sinonimnya adalah melamar. Menurut etimologi, meminang atau

melamar artinya meminta sesuatu apapun kepada seseorang yang menguasai

untuk memilikinya. Meminang atau melamar wanita artinya meminta seorang

wanita kepada walinya, untuk dijadikan istri.26Menurut terminologi,

peminangan ialah kegiatan atau upaya kearah terjadinya hubungan

perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita.27Atau seorang laki-

laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara-

cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyrakat.

Khithbah adalah jalan pembuka menuju pernikahan. Boleh dikatakan,

khithbah merupakan jenjang yang memisahkan antara pemberitahuan

persetujuan seorang gadis yang telah dipinang oleh seorang pemuda dengan

26
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), Cet Ke-3 hal. 556.
27
H. Abdurahman, hlm. 113. Dikutip dari, H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 24.
33

pernikahannya. Keduanya sepakat untuk menikah. Tetapi, hal ini merupakan

pengikat untuk dilanjutkan kejenjang pernikahan. Biasanya bentuk pengikat

ini diwujudkan dalam bentuk pemberian berupa perhiasan, hal ini bukan

merupakan suatu hal yang mengandung pengertian akad nikah.

Adapun wanita yang boleh dipinang harus memenuhi syarat sebagai

berikut :

a. Tidak dalam pinangan orang lain

b. Pada waktu dipinang, perempuan tidak ada penghalang syara’ yang

melarang dilangsungkannya pernikahan

c. Perempuan itu tidak dalam masa iddah karena talak raj’i

d. Apabila perempuan dalam masa iddah karena talak ba’in, hendaknya

meminang dengan cara sirry (tidak terang-terangan).28

2. Relasi Seserahan dengan Khithbah

Khithbah dengan seserahan dilihat dari pelaksanaannya ada persaman

dalam kedua acara tersebut dimana keduanya memiliki makna memberi.

Tetapi secara hukum memiliki perbedaan yang sangat menonjol. Pemberian

dari calon suami pada calon istri sangat dianjurkan oleh Rasulullah, namun

ini bukan termasuk mahar. Pemberian sesuatu dalam acara Khithbh sebagai

tanda jadi bahwa calon suami benar-benar serius akan menikahinya.

28
H. Abdurahman, hlm. 113. Dikutip dari, H.M.A Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih
Munakahat, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 24-25.
34

Jadi sebenarnya ada korelasi antara seserahan dengan khithbah, yakni

sama-sama memiliki makna memberi. Namun berbeda dalam pelaksanaannya

dan sumber hukumnya.

Anda mungkin juga menyukai