Anda di halaman 1dari 10

THE RITUAL OF URBANICAL WEDDING’S CEREMONY:

ANALISIS PERSPEKTIF GUY DEBORD PADA PERNIKAHAN ADAT

Ali Hidayat Fatmayanto - 502175


Pascasarjana Sosiologi Universitas Gadjah Mada
Alifatmayanto06@gmail.com

1. LATAR BELAKANG
Beberapa waktu belakangan, Saya mendiskusikan budaya ritual pernikahan
dengan teman perempuan dari Suku Jawa dan suku Batak Toba pada mata kuliah
Masyarakat Siber dan Media Digital di program studi pascasarjana Sosiologi
Universitas Gadjah Mada. Pada saat itu, kami membicarakan pengaruh teknologi
informasi dalam perubahan prosesi ritual pernikahan di keluarga Jawa. Kemudian
terperangah, saya beridentitas suku Jawa mendengarkan penjelasan prosesi
pernikahan adat Batak seakan “kembar”. Hal itu ada dugaan subyektif terjadi
akibat adanya pengaruh aspek sosial-budaya, ekonomi dan politik di kehidupan
kewarganegaraan Indonesia. Karena dugaan tak tervalidasi ini, saya
mengembangkan diskusi lebih lanjut dari tulisan sebelumnya pada ujian tengah
semester berjudul Urban Spectacles: Produksi Tanda Dalam Fenomena Ritual
Pernikahan Di Media Sosial.
Dalam validasi praktik kebudayaannya, saya mencoba perhatian pada
budaya pernikahan Adat Batak (Paramita P. et al., 2015) pada prosesi permohonan
ijin meminang antar orang tua, Mahori-hori (perundingan lamaran antar keluarga
besar), Martupol (Pertunangan resmi), Pernikahan resmi (pernikahan agama, adat
dan negara), serta resepsi (pesta pernikahan antar keluarga). Sedangkan dalam
pengetahuan Jawa, adat pernikahannya memiliki beberapa prosesi (Fitri &
Wahyuningsih, 2019; Pratiwi, 2019; Sa’diyah, 2020), seperti prosesi silahturahmi
tembung (antar orang tua), nembung (lamaran dan tunangan), midodareni
(penyepian pengantin perempuan), siraman (penyerimanan pada pengantin),
pernikahan utama (pernikahan agama, adat dan negara), serta resepsi pernikahan.
Dalam hal ini, kami menemukan adanya persamaan tradisi dalam persepsi makna
rencana pelaksanaan prosesi pernikahan adat. Gagasan sejumlah peneliti sosial
melihat adanya komparasi pengaruh antara profanitas budaya (sektor ekonomi,
penggunaan teknologi, status pendidikan, dan lainnya) dan sakralitas budaya
berpengaruh dalam perubahan pemaknaan dari sistem ritual pernikahan bagi
konsumsi kaum muda pada manusia perempuan dan laki-laki (Dewandaru &
Triastuti, 2021; Malinowski, 1948; Zhang, 2020).
1.1. Rumusan Masalah
Salah satu praktik komparatif di atas, banyak orang menggunakan media
sosial dalam pelanggengan sakralitas prosesi pernikahan. Bukan hanya dampak
pandemi COVID-19 seseorang melibatkan aktivitas pernikahan dengan media
sosial. Bagi penerus gagasan klasik dari Freud dalam Malinowski (1929),
prefrensi pilihan orang dalam hubungan rasional pernikahan adat akibat fenomena
kehidupan seksual pada estetika, emosi, keluarga, dan kehidupan sosial
masyarakat. Tidak sampai disitu, Dia mengutarakan adanya pengaruh aspek
ketuhanan dan keilmuan dalam prosesi pernikahan pada kumpulan essay berjudul
Magic, Science and Religion and Other Essays.
Gejala pernikahan adat tidak hanya diselenggarakan oleh masyarakat
tradisional, namun beberapa peneliti menemukan kecenderungan sebagai bentuk
budaya tanda bagi masyarakat simulasi terus-menerus sesuai konteks modernitas.
Menurut Hary J., Benda dalam Sa’diyah (2020) unsur-unsur perubahan dan
penyambungan budaya tidak hanya dipandang melalui historiografi, tetapi sejarah
sendiri sebagai medan masyarakat dalam pengubahan dan penghubungan antara
tradisionalitas dan modernitas. Unsur-unsur itu dapat kita temui seperti
keagamaan, adat istiadat, ke-suku-an dan lain sebagainya searah dengan kontruksi
kapitalisme industri; perkembangan pemikiran masyarakat kapitalistis
mempengaruhi dinamika budaya pernikahan/perkawinan adat di perkotaan
(Pratiwi, 2019).
Gejala dinamika budaya pernikahan sesuai konteks ini menggambarkan
perilaku tontonan konsumsi tanda melalui normalitas yang dibentuk oleh kaum
sebelum dewasa (adolescent) di kehidupan masyarakat (Fitri & Wahyuningsih,
2019; Pratiwi, 2019). Dalam konteks sejarah komunitarian bagi Benda,
masyarakat menghadapi situasi normalitas kebersamaan dan tanpa batas dalam
berkumpul pada aspek sosial-budaya. Hal ini sejalan dalam gagasan Ben White
(2012) bahwa, kaum muda mengikuti pergerakan zaman sebelumnya dalam
melakukan perubahan masa depan. Menurut Debord (2014) menyebutkan lebih
tajam dengan, perilaku tontonan ini mengubah representasi dan respon masyarakat
dari sakral menjadi profan. Dengan begitu, relasi seseorang dengan orang lain
melibatkan representasi citra dari media-media yang telah menjadi konsumsi dan
konstruksi, termasuk perubahan praktik budaya pernikahan adat bagi kaum muda
di tengah kehidupan masyarakat perkotaan.
Berdasarkan gejala di atas, saya menyajikan artikel terkait perilaku
konsumsi tanda dalam persepsi kaumuda terhadap fenomena pernikahan adat.
Dalam hal ini, saya memberikan penjelasan dari pertanyaan: bagaimana
perubahan perilaku konsumsi tanda berupa ‘mahar’ (dowry) sebagai tontonan di
kehidupan masyarakat perkotaan? Kemudian, penyusunan artikel ini
menggunakan cara pandang Guy Debord dari karya berjudul the society of
spectacles. Dalam proses pengumpulan data perilaku pernikahan ini, saya
menggunakan teknik pencarian data sekunder melalui pemaknaan gambar dan
konten di media sosial, dan analisis perspektif dari konsep wacana kritis dari Guy
Debord.
2. PEMBAHASAN
2.1 Pernikahan: Kearifan dan Komersialisasi
Pernikahan merupakan sebuah prosesi dalam hidup manusia sebagai sesuatu
yang penting untuk jenjang sebelum/setelah melakukan reproduksi kehidupan
seperti penghidupan, kelahiran, remaja, pernikahan, dan kematian (Malinowski,
1948). Terutama, budaya ketimuran menuntut manusia sebelum melakukan
reproduksi sebagai legalitas; bahkan prasyaratnya berstatus menikah. Kemudian
dalam kamus besar bahasa indonesia, istilah pernikahan mengambil dari kata
dasar ‘nikah/kawin’ (marry) sebagai tata bahasa baku. Kata dengan praktik luas
dan makna ganda ini menggambarkan proses ikatan (akad) perkawinan yang tidak
jarang terselenggara sesuai dengan ketentuan hukum adat, hukum negara, dan
hukum agama, seperti budaya Jawa.

(sumber: cnnindonesia.com, 2022)


Gambar di atas, adalah salah satu prosesi siraman dalam pernikahan adat
jawa dari putri Chairul Tanjung. Putri dari pemegang saham CT Corp memilih
prosesi pernikahan dengan unsur-unsur adat jawa. Melalui CNN Indonesia,
beberapa prosesi itu dilakukan dalam beberapa kegiatan, meliputi: pengajian;
Pasang tarub, bleketepe dan tuwuhan; siraman; dodol dawet; midodareni; Akad
nikah; Panggih.
Sedangkan Fakhtur Rohman dalam Sa’diyah (2020) menjelaskan ada dua
adat jawa, yakni Surakarta dan Yogyakarta yang berbeda filosofi. Pernikahan adat
jawa Surakarta menggunakan prosesi berikut:
No Adat Surakarta Adat Yogyakarta
1 Ijab qabul Ijab qabul
- Upacara penyerahan mahar (maskawin) - Upacara penyerahan pengantin perempuan
kepada pengantin laki-laki
2 liru kembar mayang tukar cincin
- Upacara pertemuan pengantin - Upacara tukar cincin antar pengantin
3 Panggih (pengantin bertemu resmi) Panggih
- Upacara Pengantin dipertemukan, dengan:
a) Bekasan edan-edanan (tarian)
b) Diringi gendhing bindri
c) Simbol pengusiran roh gentayangan
4 balang suruh Balang suruh
- Upacara pelemparan daun sirih dengan - Upacara pelemparan buntelan daun suruh
ikatan benang putih dan daun jeruk dengan benang putih
5 mecah wiji dadi Wiji Dadi
- Upacara pengantin laki-laki meninjak telur - Upacara pemecahan telur dengan kaki
- Upacara pengantin perempuan pengantin laki-laki
membersihkan kaki pengantin laki-laki - Upacara pengantin perempuan
membersihkan kaki pengantin laki-laki
dengan air dan bunga setaman
6 Pupuk dahar klimah
- Upacara Ibu Pengantin perempuan - Upacara penyuapan pengantin perempuan
memberikan anaknya kepada pengantin kepada laki-laki, dan sebaliknya dengan
perempuan lauk pindang atau hati
7 sindur binayung Sungkeman
- Upacara penerimaan pengantin Laki-laki - Upacara persimpuhan para pengantin
dan Perempuan sebagai anak kepada orang tua simbol doa restu
8 timbang (pangkon) pesta pernikahan
- Upacara pemangkuan kedua pengantin - Upacara penyambutan tamu undangan dan
sama berat (kasih sayang sama) bersalaman dengan pengantin sebagai
ucapan selamat kepada kedua pengantin
9 Tanem
- Upacara mendudukan/memajang pengantin
sebagai simbol telah disertui
10 tukar kalpika
- Upacara tukar cincin antar pengantin
11 kacar kucur
- Upacara penuangan barang-barang sebagai
simbol pengantin laki-laki bertanggung
jawab
12 dahar kembul (dahar walimah)
- Upacara saling menyuapi sebagai simbol
hidup bersama
13 rujak degan, bubak kawah, dan tumplak
punjen
- Upacara rujak degan (simbol kesuburan)
- Upacara bubuk kawah (simbol perebutan
alat dapur apabila anak pertama
dinikahkan)
- Upacara tumplak punjen (simbol
penumpahan kekayaan kepada menantu
terakhir)
14 Mertui
- Upacara penjemputan orang tua pengentin
Wanita terhadap orang tua pengantin pria
15 Sungkeman
- Upacara persimpuhan para pengantin
kepada orang tua simbol doa restu
16 Resepsi (Pesta Pernikahan)
- Upacara penyambutan tamu undangan dan
sesi foto bersama

Berbeda dengan disertasi Yingchun Ji (2011) dari daratan China, dia


menjelaskan bahwa proses pernikahan merupakan sebuah proses penyatuan
pasangan. Dalam hal ini, seorang perempuan yang dinikahi laki-laki agar dapat
bergabung dalam sebuah keluarga besar dalam budaya Asia Selatan. Sedangkan,
Becker (1991) dalam Yingchun Ji (2011) menggambarkan pernikahan barat
sebagai proses penggabungan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks
kerjasama institusi keluarga untuk pemenuhan kesejahteraan. Dengan proses
pernikahan (wedding tradition) ini, penyatuan laki-laki dan perempuan memiliki
berbagai persyaratan sesuai kebudayaan di letak geografisnya.
Perbedaan budaya dari China, Negara-Barat, dan Nusantara di atas,
sejumlah literatur menunjukan beberapa persiapan yang perlu diadakan dengan
beragam ritual dalam prosesi pernikahan adat. Bagi budaya barat di kehidupan
masyarakat tradisional Amerika, Barnes (2014) merincikan sebuah pernikahan
perlu mempersiapkan: gaun putih panjang, bunga, musik, anggota pemuka agama,
petugas dalam pakaian yang serasi, dan upacara dengan pertukaran cincin, yang
dilanjutkan dengan penyambutan dengan kue berjenjang. Howard (2006) dan
Mead (2007) dalam Barnes (2014) menunjukan industri pengantin berpengaruh
dalam perilaku konsumtif pernikahan dan heteroseksual untuk sebuah suasana
‘romantis dikomodifikasi’ di budaya pernikahan barat.
Kemudian, tradisi ritual pernikahan modern menunjukan adanya perubahan
akibat komodifikasi unsur adat. Komodifikasi merupakan perubahan nilai sebuah
obyek (barang/benda mati, nama, dan seterusnya) dan subyek untuk memperoleh
keuntungan. Dalam tradisi Marxian, komodifikasi merupakan perubahan nilai
sosial-budaya dan politik menjadi nilai ekonomi pada masyarakat industrialisasi
dan kapitalisasi (Hidayat, 2019; Susanti & Rochman, 2017). Pada prosesi
pernikahan, banyak obyek komodifikasi seperti, ‘yang terlihat’ (tangible) dan
‘yang tak terlihat’ (intangible). Seperti upacara prosesi pernikahann yang bersifat
sacral menjadi ruang bebas yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas
komodifikasi. Selain itu, subyek pengantin dalam bentuk tubuh sebagai obyek
yang dapat dijadikan komodifikasi. Dalam hal ini, subyek mampu diubah oleh
kapitalis sebagai obyek-obyek komodifikasi, seperti apa yang dipakai dan
bagaimana cara memakai produk kapitalis.
Hasil penelitian Barnes (2014) menunjukan bahwa, proses pernikahan
cenderung ditentukan oleh persetujuan perempuan agar siap dalam memasuki
kehidupan baru di keluarga pengantin laki-laki. Kapasitas pemikiran perempuan
menentukan proses penerimaan rencana laki-laki dalam meminangnya sesuai
kondisi keuangan. Walaupun terdapat berbagai kendala, terutama desakan orang
tua perempuan— dari perspektif ritual pernikahan tradisional— yang akan takut
pernikahan sederhana berakibat tingginya peluang perceraian. Hal ini Berkaitan
momen sakral ritual pernikahan sebagai penentu kelanggengan hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Dengan begitu, kesiapan ekonomi pengantin laki-laki
mempersiapkan dan melaksanakan prosesi pernikahan dengan uba rampe
(elemental items) adat sebagai tanda penentu dalam penilaian keseriusan,
kesucian, dan keikhlasan untuk menjadi keluarga.
Sejalan dengan perbandingan kearifan dalam prosesi pernikahan adat di
atas, saya ‘mengimajinasikan’ adanya perubahan dan penyambungan tanda dalam
unsur utama pernikahan pada prosesi pernikahan, berikut:

Unsur Komodifikasi Komodifikasi Komodifikasi Adat


Pernikahan Adat masyarakat Adat masyarakat masyarakat
tradisional Modern Spektakuler/spectacl
e
Upacara - Bersifat wajib - Bersifat wajib, - Bersifat wajib,
Peresmian dan sesuai namun beragam beragam, dan tanda
(seperti, Ijab pakem dan luwes sesuai kelas sosial
Qobul, kebudayaan kondisi sosial- - Mahar tidak wajib
pemberkatan, leluhur (kaku) ekonomi sesuai adat, namun
pemberian - Mahar sesuai - Mahar tidak menunjukan kelas
maskawin, dan adat wajib sesuai adat sosial
lainnya) - Pakaian sesuai - Pakaian sudah - Pakaian bergantung
adat beralkuturasi pengetahuan
- Prosesi sesuai budaya pengantin
adat - Prosesi utama (kosmopolitan)
- Tempat dan peresmian, - Prosesi utama
waktu sisanya peresmian, sisanya
pernikahan mengikuti penunjang mobilitas
sacral kebutuhan kelas
- Keterlibatan - Tempat dan - Tempat dan waktu
institusi agama waktu pernikahan pernikahan
dan adat sesuai pilihan ‘nyentrik’
- Uba rampe sacral maupun - Keterlibatan banyak
dipersiapkan profan pihak
secara - Keterlibatan - Uba rampe
solidaritas- institusi agama, ditentukan oleh
organik adat, negara modal ekonomi dan
- Teknologi dan/atau swasta relasi sosial-politik
modern - Uba rampe - Teknologi modern
dianggap tidak dipersiapkan sangat menunjang
penting secata solidaritas-
mekanik
- Teknologi
modern
diperlukan
Respon - Merasa - Biasa saja apabila - Aneh apabila
Masyarakat terasingkan, tidak berlaku berlaku demikian
kapitalisme- apabila tidak demikian
tradisional berlaku
demikian
Respon - Merasa biasa - Biasa saja apabila - Biasa saja apabila
Masyarakat saja apabila tidak berlaku tidak berlaku
kapitalisme- tidak berlaku demikian demikian
Modern demikian
Respon - Aneh apabila - Biasa saja apabila - Merasa terasingkan,
Masyarakat berlaku tidak berlaku apabila tidak berlaku
kapitalisme- demikian demikian demikian
Spektakuler

2.2 Bentuk Pernikahan dan Produksi Tanda Kapitalisme


Berdasarkan pembahasan ritual pernikahan adat di atas, saya menemukan
sejumlah postingan gambar dan caption dari representasi perilaku peng-upacara-
an pernikahan. Momen pernikahan ini sebagai bagian representasi ritual tradisi
pernikahan adat bagi masyarakat marjinal di suku jawa. Selain itu, gambar dan
caption memberikan gambaran varian masyarakat dalam dominasi media digital.
Dalam hal ini, penulis memilih pembahasan dari postingan tersebut, berikut.

2. 2. 1. Komodifikasi Adat dan Tempat Pernikahan

Pada 29 Maret 2022 (post-pandemic), terdapat dua pasangan


melangsungkan pernikahan di Gunung Kidul, Yogyakarta. Dalam prosesi
pernikahan itu, mereka menggunakan pakaian adat jawa khas Yogyakarta.
Uniknya, mereka melangsungkan peresmian pernikahan adat (ijab qabul) di Gua
Ngingrong, Gunung Kidul. Kemudian, keduanya menyerahkan mahar berupa
walang goreng (belalang goreng). Belalang goreng merupakan makanan khas bagi
masyarakat gunung kidul dan menjadi santapan oleh-oleh bagi para wisatawan.
Selain itu, penerimaan pengantin laki-laki kepada pengantin perempuan dilakukan
tidak berjalan, melainkan dengan menggunakan fasilitas flying fox seperti
wisatawan gua Ngingrong pada umumnya. Alexander Aprita merekam prosesi itu,
dan dipublikasikan oleh Tribun Network melalui media sosial Instagram.
Pernikahan di atas, kedua pasangan menjadi bukan bagian dalam
komodifikasi adat masyarakat tradisional. Sakralitas pernikahan budaya
Yogyakarta sesuai penyampaian Sa’diyah (2020) tidak dilakukan oleh mereka.
Selain itu, prosesi pernikahan dengan unsur komodifikasi adat dan barang publik
menunjukan adanya ‘suatu nilai’ yang ingin dipertontonkan oleh mereka,
diantaranya: pertama, mereka menggunakan pakaian pernikahan adat khas
Yogyakarta di wilayah Kawasan wisata Gua Ngingrong. Kedua, mereka memilih
mahar belalang goreng sebagai simbol keseriusan pernikahan. Ketiga, penerimaan
pengantin laki-laki menggunakan fasilitas Kawasan wisata. Dapat dimaknai,
mereka menggunakan upacara pernikahannya untuk promosi wisata Gua
Ngingrong di Gunung Kidul, dan sebaliknya melalui media sosial Gua Ngingrong
menunjukan eksistensinya dapat digunakan sebagai prosesi upacara pernikahan.
3. CATATAN PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas, saya menemukan pengetahuan bahwa,
prosesi ritual pernikahan masyarakat modern adat jawa tidak lepas dari
komodifikasi dari industri kapitalisme di Indonesia. Namun begitu, masyarakat
menerima itu dengan berbagai pengaruh, seperti pemaknaan estetika, konsumsi,
Pendidikan dan aspek-aspek lainnya dari promosi cara pandang kapitalisme dalam
konteks globalisasi dan masifnya teknologi informasi. Beberapa jenis
komodifikasi masyarakat dalam pelaksanaan pernikahan mengalami beberapa
persiapan sebagai produksi tanda; bahkan untuk menunjuang prosesi ritual
pernikahan mereka dalam konteks sebagai keunikan dan/atau tidak biasa dapat
dilakukan komodifikasi subyek dan obyek di sekitarnya, dan dilakukan
sebaliknya.

REFRENSI
Debord, G. (2014). The society of the spectacle (K. Knabb, trans.). In Bureau of
Public Secrets.
Dewandaru, S. N., & Triastuti, E. (2021). Gender Role Commodification by the
Wedding Industry. Proceedings of the Asia-Pacific Research in Social
Sciences and Humanities Universitas Indonesia Conference (APRISH 2019),
558(Aprish 2019), 225–233. https://doi.org/10.2991/assehr.k.210531.028
Fitri, F. N., & Wahyuningsih, N. (2019). Makna Filosofi dan Fungsi Tata Rias
Pernikahan Jawa di Daerah Surakarta. Haluan Sastra Budaya, 3(2), 118–134.
Hidayat, A. (2019). Platform Donasi Online Dan Filantropi Digital. Jurnal
Universitas Airlangga, 1–16.
http://repository.unair.ac.id/87205/5/JURNAL_AISYAH AYU
ANGGRAENI HIDAYAT__071511533036.PDF.pdf
Malinowski. (1929). THE SEXUAL LIFE OF SAVAGES, in North-Western
Melaesia: An Etnographic Account of Courtship, Marriage and Family Life
Among The Native of The Trobriand Islands, British New Guinea.
Malinowski, B. (1948). Magic, Science and Religion and Other Essays (R.
Redfield (ed.)). The Free Press. https://doi.org/10.2307/3017623
Paramita P., D. M., Sukirno, & Sudaryatmi, S. (2015). Diponegoro law journal.
Serambi Hukum, 6(02), 1–13.
https://www.academia.edu/34113996/EKSISTENSI_HUKUM_KONTRAK_
INNOMINAT_DALAM_RANAH_BISNIS_DI_INDONESIA
Pratiwi, K. B. (2019). Dari Ritual Menuju Komersial: Pergeseran Tradisi
Ruwahan Di Kelurahan Sukorejo, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten.
Haluan Sastra Budaya, 2(2), 204. https://doi.org/10.20961/hsb.v2i2.23306
Sa’diyah, F. (2020). UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA: Kajian
Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam Pernikahan Adat Jawa di Desa Jatirembe
Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. AL-THIQAH: Jurnal Ilmu
Keislaman, 3(02), 171–190.
Susanti, D., & Rochman, K. L. (2017). Analisis Terhadap Komodifikasi Tubuh
Perempuan Dalam Iklan Es Krim Magnum Versi Pink & Black.
KOMUNIKA: Jurnal Dakwah Dan Komunikasi, 10(2), 201–218.
https://doi.org/10.24090/komunika.v10i2.944
White, B., & Naafs, S. (2012). Generasi antara: refleksi tentang studi pemuda
Indonesia. Jurnal Studi Pemuda, 3(2), 1–27.
https://repub.eur.nl/pub/39148/Metis_184783.pdf
Zhang, Y. (2020). Marriage and Money Entangled: Commodification, Agency,
and Economic Analysis in Chinese Marriage Payment Lawsuits. UCLA
Women’s Law Journal, 27(2), 159–212. https://doi.org/10.5070/l3272051563

Anda mungkin juga menyukai